POV ElaPernikahanku dengan Mas Ilyas, sudah berakhir beberapa bulan yang lalu. Sekarang, statusku resmi menjanda dengan anak satu. Memang berat, menyandang status ini. Akan tetapi, tetap aku jalani sepenuh hati. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membahagiakan Zahwa. Fokus menjaganya, sampai tanggung jawabku berpindah pada pria yang akan menjadi suaminya.Alhamdulilah, aku sudah bisa merintis usaha masker organik. Dari bahan rempah alami, khas daerahku. Bisnis masker kecantikan, aku tekuni baru tiga bulan ini. Memang, belum begitu menghasilkan. setidaknya, aku bisa mengembangkan ilmu yang didapatkan dari bangku kuliah.Laras membantuku dibagian marketing. Sesuai jurusan kuliahnya, yakni Sarjana ekonomi. Produk ini, hanya kami jual di pasar online. Belum merambah ke bisnis reseller."Kesian banget anak Mak marni. Anak bungsunya jadi perawan tua. Anak pertamanya jadi janda. Ya ampun," kicauan Eti, tetangga desa.Ketika aku dan Laras di pasar. Untuk membeli rempah-rempah pembuatan m
"Ada apa, Mbak Ela?" tanya Mas Arya.Dia ikut bangkit, sambil celingak-celinguk mengikuti tingkahku. "Ti-tidak, Mas. Tadi kayanya ada kucing kawin.""Ah, masa, Mbak. Perasaan dari tadi gak ada suara kucing.""Hehehe, kayanya saya lagi halu, Mas. Maklum, kebanyakan membayangkan masa depan bersama cogan. Canda cogan, hihi.""Mbak Ela bisa saja," kekehnya. Bapak dosen ini, nampak bahagia bersamaku. Sedari tadi, bibirnya tak berhenti cengengesan. Heran, dia pikir aku topeng monyet? Untung ganteng, kaya opah Korea. Kalau, jelek, sudah aku tonyor dia."Ehem. Kalian kenapa berdiri di situ? lagi nunggu tukang cupang? sini duduk, Mas Arya," ucap Laras terlihat cemburu.Dia sengaja buang muka, saat aku melewatinya. Dasar adik, aneh. Kakak sendiri dicurigai. Siapa juga yang mau berebut cowok dengannya. Aku sudah cukup makan asam garam dunia percintaan. Rasanya masih trauma. Biar Bapak dosen ini, aku ikhlaskan untuk Laras saja. Semoga dia belum punya anak istri. Supaya bisa berjodoh dengan adik
"Apa, Bu, Zahwa minta uang jutaan?" tanyaku kaget.Jangan-jangan mantan ibu mertuaku sedang belajar jadi artis. Kemudian, dia sengaja berakting. Untuk mengasah kemampuannya dalam memainkan tokoh di film. Aku yakin 100%, Zahwa tidak pernah meminta uang pada mereka. Kalaupun, iya, pasti dia memberitahuku. "Gak usah sok, kaget Ela. Pasti kamu yang mengajarkan cucu saya untuk memoriti harta kakeknya. Agar harta warisan cucu saya bisa kamu kuasai.""Dijaga Bu, ngomongnya. Kalau bicara ko, seenaknya. Pedes banget kaya bon cabe. sepeserpun, Ela, gak pernah nyuruh Zahwa minta-minta. Ela masih sanggup menafkahi anak sendiri. Soal uang penjualan rumah, itu memang milik Zahwa. Anggap saja, sebagai nafkah dari Mas Ilyas untuk beberapa tahun. Selama dia sibuk sama istri barunya yang kaya nenek lampir itu."Mulutku gatal. Aku ungkapkan segala kekesalan. Mantan ibu mertua sudah keterlaluan. Seakan-akan menuduhku telah memanfaatkan keadaan. Serta memperalat Zahwa untuk jadi mesin penghasil uang. Dia
"Zahwa, buka pintunya!""Zahwa buka!" teriakku sambil terisak penuh air mata.Tak ada jawaban. Aku masih terduduk di lantai. Nyeri begitu terasa di pergelangan kaki. Ditambah sakit di dalam hati. Ada apa dengan Zahwa? sampai dia tega berlaku kasar padaku. Dia bukan Zahwa yang biasa aku kenal. Sorot matanya, mengisyaratkan ketakutan yang luar biasa."Mbak Ela. Bangun, Mbak." Arya tiba-tiba membuka pintu. Dia paham kakiku sakit, karena aku terus menangis sambil memegangi pergelangan kaki. Dia mengangkat tubuhku ke atas sofa. Wajah cemas begitu kentara."Ada apa, Mbak? kaki Mbak kenapa?""Ti-tidak, Mas.""Kalau boleh, biar saya urut sebisa saya. Semoga saja bisa berkurang rasa sakitnya." Aku mengangguk.Dengan cekatan Arya mengurut pergelangan kakiku. Urat-urat yang mengsol rasanya kembali ke jalurnya masing-masing. Meskipun nyeri, tapi setidaknya kakiku sedikit lebih baik. Tidak terlalu kaku seperti tadi."Makasih, Mas Arya.""Iya, Mbak. Sebenarnya ada apa?"Aku hanya diam. Rasanya ta
POV Zahwa[Ngapain Kaka kirim paket ke rumah? Jangan ganggu aku lagi.]Kak Lion memang sudah gila. Dia tidak mau melepaskanku. Sampai nekat menemui Mamah. Karena dia, aku sampai melukai Mamah. Tak tega, melihatnya jatuh di lantai. Namun, aku harus menghindar. Sebelum barang haram ini dilihat Mamah.[Keluar dari rumah. Hiduplah bahagia bersamaku Zahwa. Kita akan hidup damai. Kamu tak usah lagi pura-pura bahagia.]Pesan balasan dari Kak Lion menohok hati. Dia sesat. Bukan mengajakku ke jalan kebenaran. Malah dengan sengaja menjerumuskan. Aku menyesal telah mengenalnya. Meskipun sulit menolak ajakannya.Andai aku lebih mendengarkan kata-kata ka Fauzi. Mungkin, hidupku tak akan hancur seperti sekarang. Dia yang selalu menenangkan hati. Dengan nasihat-nasihat yang menyejukan. Sampai aku terpuruk di titik paling rendah. Dia selalu membimbingku, agar mendekatkan diri kepada sang pencipta.Namun, bisikan setan lebih aku dengarkan. Rasa sakit dan amarah kepada Ayah, aku luapkan melalui benda
"Menyerahlah, Lion.""Tidak. Kau yang harusnya menyerah, perjaka tua.""Hahaha, kamu ini jauh lebih muda dariku. Tapi berani sekali."Detektif Arya perlahan mendekat. Kak Lion menggenggam erat tanganku. Kami mundur sedikit demi sedikit. Dua orang polisi di belakang sedang bertempur melawan anak buah Ka Lion. "Mundur dan cari tempat aman, Wa," bisik Ka Lion.Dalam hitungan sekejap mata, aku melangkah menjauh. Kak Lion langsung memukul Detektif Arya dengan brutal. Mereka bertarung dengan tangan kosong. Kondisi Kak Lion babak belur. Begitu sebaliknya. Adu gulat diantara mereka seri. Mereka sama-sama kuat. Tak memberi celah pada lawan untuk meloloskan diri."Menyerahlah!" teriak Detektif Arya. Menaruh pistol tepat di dahi Kak Lion. Aku bungkam mulut dengan telapak tangan. Mata membeliak ngeri. Ingin rasanya berteriak sekencang mungkin. Namun, percuma saja. Tak ada yang mau menolong. Hanya takdir yang menentukan. Pergulatan hari ini, akan dimenangkan Detektif, atau kekasihku."Pak Arya,
POV Ilyas"Sudahlah, lupakan Ela. Dia bukan jodohmu lagi, Ilyas," tutur Ibu ketika aku mengatakan apa yang aku lihat. Ela bersama pria lain. Mungkin dia sudah melupakanku. Apa yang dia lakukan, memang sudah sepatutnya. Aku yang memulai menciptakan api. Maka aku yang harus menahan panasnya."Kenapa Ela mudah sekali melupakan Ilyas, Bu?""Biarkan saja, Nak. Dia bukan yang terbaik untukmu. Meskipun kamu pernah salah, seharusnya Ela tidak berbuat hal yang sama. Baru beberapa bulan selesai masa Iddah, langsung dapat pria lain.""Bukan Ela yang salah. Tapi anakmu sendiri, Bu," celetuk Bapak. Dia berdiri menatap tajam ke arahku."Ilyas memang salah. Tapi Ela juga berbuat hal yang sama. Padahal, anak kita mau memperbaiki semuanya.""Pantas anak kita keras kepala. Ternyata ibunya juga sama.""Maksud Bapak apa? kenapa jadi nyalahin Ibu?""Memang begitu nyatanya. Kamu masih saja membela anak pecundang seperti dia.""Dijaga Pak ngomongnya. Sejelek apapun Ilyas, dia anak kita.""Tidak. Aku sudah
POV Ela"La, M-Mas gak bi-sa na-pas," ucap Mas Ilyas terbata-bata."Astagfirulloh, lepaskan, Bu. Istigfar."Sahabat Zahwa juga ikut bersama mantan suamiku. Dia mencoba meredakan sikap brutalku. Tangan sulit aku lepas. Masih belum puas menyakiti Mas Ilyas. Kekesalan dan beban yang aku alami, membuatku nekat bertindak semi kriminal."Mbak, stop!"Sekuat tenaga Laras melepaskan cengkraman tanganku di leher Mas Ilyas. Laras menarikku untuk menjauh. Dia merangkul erat. Aku menangis sekencang mungkin. Tidak memikirkan rasa malu sedikitpun. Meraung bak orang kesetanan.Hatiku hancur berhamburan. Raga terus ditindih beban hidup. Jiwaku hampir depresi. Berusaha sebisa mungkin mengontrol diri. Menguatkan pijakan di bumi. Supaya tidak ambruk, dan menyerah pada keadaan. Kekecewaan yang paling menyakitkan, bukan karena perceraian. Akan tetapi, saat aku tahu telah gagal menjadi orang tua. Anakku salah jalan. Dia mendekam di penjara, dalam keterpurukan. Masa depannya terancam suram. Perih dan nyer
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih
"Ambil aja, Bang.""Oke, Neng. Makasih!"Aku tancap gas dengan kecepatan mirip halilintar. Segera menuju rumah sakit. Gantian Fika yang terus berteriak memintaku memperlambat kecepatan."Woy, Zahwa, berhenti!" "Arrgh!""Kenapa sih, Fik? urgent nih.""Lu mau nemuin si Fauzi sama Nayla 'kan? mending gua gak ikut dah. Dari pada si Nayla ngenalin gua. Bahaya buat penyelidikan kita nantinya.""Iya juga sih. Terus, kamu mau turun di mana?""Udah turun di sini aja. Nanti gua ngojek.""Gak papa, Fik? mau aku anterin dulu?""Gak usah. Nanti calon lu keburu di embat si Nayla. Sana cepetan gas. Kalau ada apa-apa, kabarin gua.""Oke siap. Makasih yah, Fik."Fika mengacungkan jempol. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga. Aku segera masuk ke rumah sakit. Ternyata Nayla sudah ditangani dokter. Kak Fauzi merangkulnya. Membantu dia berjalan. Kaki sebelah Kanan, diperban dari area lutut ke bawah sepanjang 30 cm. Nayla jalan terpincang-pincang.Pasti dia sen
"Ih, santai dong, Ayah.""Maaf, Nak. Ayah kayanya salah denger, ya. Coba ulang-ulang kamu bilang apa tadi.""Ih, Ayah. Awa serius. Awa pengen NIKAH SAMA KAK FAUZI. Ayah gak salah denger."Suara benda jatuh terdengar jelas. Aku terus memanggil nama ayah tapi tidak ada jawaban. Namun, beberapa menit kemudian barulah ayah bersuara lagi. Dia mengatakan cukup terkejut dengan keinginanku. Lalu, aku jelaskan dampak positif menikah muda, dan kesiapan Kak Fauzi jadi imamku. Aku juga akan tetap kuliah meskipun sudah menikah. Menaklukan hati ayah ternyata tidak sesulit Mamah. Ayah akhirnya melunak. Dia mau menerima keinginanku. Namun, mau bertemu Fauzi terlebih dahulu untuk memastikan. Aku setujui permintaan ayah, dan menyuruhnya cepat pulang ke sini."Ayah harus bantu Awa bujuk Mamah, ya.""Hmmm, kalau soal itu Ayah gak jamin Mamah kamu bakal dengerin Ayah.""Ah, Ayah gimana, sih. Pokoknya Awa gak mau tahu, ayah harus bujuk Mamah. Pake cara apa saja, supaya Mamah setuju.""Aduh, cukup berat pe
Tanpa persetujuanku, Kak Fauzi mempersilakan Nayla duduk di jok belakang motornya. Apa sih, yang Kak Fauzi mau. Tadi dia merayuku untuk pergi bersama. Sekarang, kenapa dia mau meninggalkanku demi Nenek sihir?"Terus Awa gimana? dih, Kakak jahat banget.""Ya, Awa ikut juga.""Dih, ogah.""Emang Awa gak papa kalau Kakak berduan sama Mbak Nayla?" tanyanya seakan memberi kode."Ya, gak boleh. Kakak 'kan calon suami aku.""Ya udah ikut. Biar Nayla di tengah.""Lagian ngapain sih, nolongin dia. Orang jahat kaya dia malah ditolongin.""Gak boleh gitu, Zahwa Sayang. Menolong sesama manusia adalah kewajiban. Tanpa memandang sikap baik atau buruk orang itu pada kita."Mendengar kata-kata Kak Fauzi yang lembut. Dibumbui panggilan 'Sayang' membuatku tak bisa membantah. Baru kali ini, dia memanggilku dengan sebutan yang begitu romantis. Ternyata dia pandai sekali memperbaiki mood-ku."Hari ini kamu beruntung Nayla. Tapi, ingat, kapan-kapan jangan berharap menggoda calon suamiku," gerutuku setenga