POV Ela"La, M-Mas gak bi-sa na-pas," ucap Mas Ilyas terbata-bata."Astagfirulloh, lepaskan, Bu. Istigfar."Sahabat Zahwa juga ikut bersama mantan suamiku. Dia mencoba meredakan sikap brutalku. Tangan sulit aku lepas. Masih belum puas menyakiti Mas Ilyas. Kekesalan dan beban yang aku alami, membuatku nekat bertindak semi kriminal."Mbak, stop!"Sekuat tenaga Laras melepaskan cengkraman tanganku di leher Mas Ilyas. Laras menarikku untuk menjauh. Dia merangkul erat. Aku menangis sekencang mungkin. Tidak memikirkan rasa malu sedikitpun. Meraung bak orang kesetanan.Hatiku hancur berhamburan. Raga terus ditindih beban hidup. Jiwaku hampir depresi. Berusaha sebisa mungkin mengontrol diri. Menguatkan pijakan di bumi. Supaya tidak ambruk, dan menyerah pada keadaan. Kekecewaan yang paling menyakitkan, bukan karena perceraian. Akan tetapi, saat aku tahu telah gagal menjadi orang tua. Anakku salah jalan. Dia mendekam di penjara, dalam keterpurukan. Masa depannya terancam suram. Perih dan nyer
"Hust."Mas Ilyas menaruh telunjuk di bibirku. Dia menggeleng cepat. Kemudian, menggenggam erat."Kita harus yakin. Zahwa akan baik-baik saja, La. Anak kita hebat dan kuat seperti ibunya. Kamu ingat, ketika Zahwa kecil hampir tenggelam di kolam renang saat TK? bukankah anakmu mampu selamat?"Seketika pikiranku memutar kenangan belasan tahun silam. Saat Zahwa masih sekolah TK. Dia mengikuti acara sekolah untuk renang bersama. Namun, karena lengah, putri kecilku terpleset ke kolam dengan kedalaman dua meter. Dia berteriak minta tolong. Kami semua panik. Kebetulan kolam sedang sepi. Tak ada orang yang bisa membantu menyelamatkan. Aku segera berlari dan meraih tubuh anakku. Jantung hampir ikut tak berdetak. Ketika Zahwa pingsan. Penjaga kolam, langsung memberi pertolongan pertama. Memompa bagian dada. Supaya air keluar. Beberapa menit kemudian, air kolam dapat dimuntahkan. Zahwa kecilku bisa selamat.Sepanjang perjalanan ke klinik terdekat, dia masih sempat tersenyum. Sama sekali tidak m
"Menangislah, Mas. Luapkan genangan air yang menumpuk di pelupuk matamu."Ucapku puitis. Menambah syahdu pembicaraan diantara kami. Semoga, pedih di hati Mas Ilyas, jadi cambukan luar biasa. Agar dia tidak gegabah dalam melangkah. Tak salah arah. Kukuh mempertahankan tanggung jawab. Bukan lalai, dan seenaknya abai."Mas bodoh, La. Mas pantas menerima hukuman ini. Anak kandung sendiri, begitu membenci ayahnya, hiks, hiks."Aku geser duduk di kursi sampingnya. Mengelus punggung. Beberapa pedagang kantin menyoroti Mas Ilyas. Akibat suara tangisnya."Anak kita, La. Dia membenciku. Mas gak tau lagi, gimana caranya, supaya Zahwa mau maafin Mas.""Berdoa, Mas. Kerasnya hati anak kita, hanya bisa digedor melalui doa. Tapi, aku juga akan bantu. Biar Zahwa tidak membencimu lagi.""Makasih, La. Meskipun aku sudah menyakiti, tapi kamu tetap baik sama Mas.""Lepaskan, Mas."Mas Ilyas memelukku. Beberapa detik kemudian, dia refleks melepaskannya. Mungkin saking senangnya mau aku bantu, atau memang
"Mas yakin, Pak detektif ini pasti punya maksud lain. Tak mungkin membantu secara cuma-cuma."Brak!Meja digebrak keras oleh Laras. Kopi sampai muncrat mengotori meja. Adikku murka. Dia tak segan-segan mengamuk, kalau orang yang dia sayang dijelek-jelekkan."Bang Ilyas mulutnya bener-bener harus dijejelin cabai setan. Gak disaring banget. Ini rumah kami, Bang. Tolonglah, bicara yang sopan. Jangan nuduh-nuduh yang gak baik sama Mas Arya. Dia udah tulus mau membantu keluarga ini.""Bener kata Laras, Mas. Minta maaf sama Arya.""Tapi, La, aku cuman mau urusan kasus anak kita, biar aku yang urus. Bapak dan ibu, yang bakal membantu kita. Buat bayar berapapun, asal Zahwa bisa segera bebas.""Gini Pak Ilyas, lebih baik kita kerja sama. Pakai pengacara rekomendasi Bapak juga boleh. Biar Bapak lebih tenang. Nanti, pihak saya, biar membantu mencari bukti dan saksi untuk meringankan hukuman Zahwa.""Tuh, dengerin Bang. Meskipun Mas Arya udah diomongin nyelekit, dia tetep baik. Mau cari jalan ten
POV NadiaSetelah beberapa hari, Mas Ilyas mengurus kasus anaknya yang masuk penjara. Aku sengaja merayu dia, agar mengajakku tinggal dengan orang tuanya. Apalagi, Mas Ilyas memang berniat mau pindah kerja di Surabaya. Cukup sulit membujuk Mas Ilyas. Namun, aku tak menyerah. Kesempatan emas di depan mata. Aku bertekad mendapatkan hati mertuaku yang kaya raya. Dengan segala cara. Meskipun harus menggunakan jalan setan lagi.Beruntung, Mas Ilyas memberiku uang lebih. Sisa uang memesan tiket pesawat ke Surabaya, aku gunakan untuk mampir di tempat dukun yang direkomendasikan tetangga. Tipe yang mudah bergaul, membuatku akrab dengan tetangga. Maka, dengan mudah mereka membongkar aib pribadi. Termasuk memberitahu tentang rahasia menaklukan suami, maupun mertua."Pakai minyak wangi asihan ini. Tatap mata mertuamu, lalu tampilkan senyuman. Dijamin, mertuamu akan patuh dan menyangimu.""Siap, Mbah. Terima kasih.""Tapi ingat, mantra-mantra ini hanya bertahan beberapa bulan. Kalau mau panjang
Ibu mertua akan membahas hal penting setelah makan bersama. Tentu untuk membicarakan permintaanku di depan bapak mertua dan Mas Ilyas. Meminta keadilan, untuk anakku kelak. "Langsung saja, Pak. Ibu mau bapak menyerahkan setengah harta warisan untuk calon anaknya Nadia," ujar ibu setelah makan malam selesai."Nadia hamil, Bu?" tanya Mas Ilyas kaget."Belum. Tapi, sebentar lagi Nadia pasti punya anak.""Hahaha, kamu ini lucu, Bu."Bapak malah tertawa. Diiringi senyum sinis. Dia meneguk segelas air putih. Lalu, menatap tajam ke arahku."Lucu gimana sih, Pak. Ibu serius. Bapak harus adil.""Sadar Bu, menantu kesayangan ibu ini, belum hamil. Tak Sudi Bapak memberikan harta warisan, dari sekarang. Pasti perempuan licik seperti dia ingin menguasai hartaku.""Bapak, dijaga ucapannya.""Emang bener, toh. Iya 'Kan Nadia?"Pria tua itu menatap dongkol. Kenapa dia bisa membaca gerak gerikku? sialan. Kakek tua yang tidak tahu diri. Harusnya dia tidak berkata demikian. Apa susahnya menghibahkan h
POV Ela"Pergi kalian, pergi!" usir Nadia.Sejujurnya aku begitu prihatin dengan keadaan Nadia. Tidak ada tanda-tanda petaka, tiba-tiba berita kecelakaan Nadia Samapi ke telinga. Kemarin Mas Ilyas yang mengabari. Besoknya, aku dan Laras sengaja menjenguk. Ikut bersimpati, dan berniat mendoakan kesembuhannya. Namun, Nadia malah mengusir kami. Ternyata, musibah yang dia dapatkan sama sekali tidak menyadarkannya. Atas dosa-dosa yang sudah diperbuat."Nadia, tenang. Kami ke sini sama sekali tidak ada maksud jelek.""Pergi kalian. Gak usah sok baik!" bentaknya diiringi Isak tangis. Tangan yang sedang diinfus, dia kibas-kibaskan untuk mengusirku."Heh, Nenek Gayung. Kami bukan sok baik. Tapi hati kamu saja yang julid. Orang berbuat baik, dianggap mau ngeledek. Sengklek nih, orang.""Diam! pergi, hiks, hiks. Puas kalian liat kondisiku? puas, hah?""Istigfar, Dek, tenanglah.""Usir mereka, Mas.""Nadia, kamu benar-benar keterlaluan. Sadarlah, kamu yang mengundang bala. Saya tau, kamu mau meni
POV Zahwa"Berpikirlah sebelum bertindak, Wa. Dendam yang kamu tanam, hanya menyiksa dirimu sendiri. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah," nasihat Kak Fauzi saat di rumah sakit."Tapi Awa benci Ayah, Ka. Awa jadi kaya gini semua karena Ayah.""Kamu kaya gini, bukan karena Ayah. Tapi, Awa sendiri yang memilih jalan yang salah.""Enggak. Ayah yang salah. Andai keluarga Awa masih utuh. Andai Ayah gak pernah berkhianat. Awa gak bakal melampiaskannya sama narkoba.""Jangan menyalahkan orang lain, atas kesalahan yang dibuat sendiri. Awa bukan anak kecil lagi. Seharusnya paham, bagaimana cara terbaik merespon masalah.""Halah, Kakak emang gak pernah ngertiin aku. Coba Ka Fauzi di posisi aku.""Kakak memang tidak akan bisa merasakan perasaan kamu seutuhnya. Tapi, Kakak menegaskan bahwa apapun alasannya, menggunakan narkoba secara sadar, itu perbuatan yang salah. Dosa besar, Wa."Kak Fauzi berbicara penuh penekanan. Baru kali ini, aku melihat wajahnya yang begitu serius. Dia menunjukan kek
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih
"Ambil aja, Bang.""Oke, Neng. Makasih!"Aku tancap gas dengan kecepatan mirip halilintar. Segera menuju rumah sakit. Gantian Fika yang terus berteriak memintaku memperlambat kecepatan."Woy, Zahwa, berhenti!" "Arrgh!""Kenapa sih, Fik? urgent nih.""Lu mau nemuin si Fauzi sama Nayla 'kan? mending gua gak ikut dah. Dari pada si Nayla ngenalin gua. Bahaya buat penyelidikan kita nantinya.""Iya juga sih. Terus, kamu mau turun di mana?""Udah turun di sini aja. Nanti gua ngojek.""Gak papa, Fik? mau aku anterin dulu?""Gak usah. Nanti calon lu keburu di embat si Nayla. Sana cepetan gas. Kalau ada apa-apa, kabarin gua.""Oke siap. Makasih yah, Fik."Fika mengacungkan jempol. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga. Aku segera masuk ke rumah sakit. Ternyata Nayla sudah ditangani dokter. Kak Fauzi merangkulnya. Membantu dia berjalan. Kaki sebelah Kanan, diperban dari area lutut ke bawah sepanjang 30 cm. Nayla jalan terpincang-pincang.Pasti dia sen
"Ih, santai dong, Ayah.""Maaf, Nak. Ayah kayanya salah denger, ya. Coba ulang-ulang kamu bilang apa tadi.""Ih, Ayah. Awa serius. Awa pengen NIKAH SAMA KAK FAUZI. Ayah gak salah denger."Suara benda jatuh terdengar jelas. Aku terus memanggil nama ayah tapi tidak ada jawaban. Namun, beberapa menit kemudian barulah ayah bersuara lagi. Dia mengatakan cukup terkejut dengan keinginanku. Lalu, aku jelaskan dampak positif menikah muda, dan kesiapan Kak Fauzi jadi imamku. Aku juga akan tetap kuliah meskipun sudah menikah. Menaklukan hati ayah ternyata tidak sesulit Mamah. Ayah akhirnya melunak. Dia mau menerima keinginanku. Namun, mau bertemu Fauzi terlebih dahulu untuk memastikan. Aku setujui permintaan ayah, dan menyuruhnya cepat pulang ke sini."Ayah harus bantu Awa bujuk Mamah, ya.""Hmmm, kalau soal itu Ayah gak jamin Mamah kamu bakal dengerin Ayah.""Ah, Ayah gimana, sih. Pokoknya Awa gak mau tahu, ayah harus bujuk Mamah. Pake cara apa saja, supaya Mamah setuju.""Aduh, cukup berat pe
Tanpa persetujuanku, Kak Fauzi mempersilakan Nayla duduk di jok belakang motornya. Apa sih, yang Kak Fauzi mau. Tadi dia merayuku untuk pergi bersama. Sekarang, kenapa dia mau meninggalkanku demi Nenek sihir?"Terus Awa gimana? dih, Kakak jahat banget.""Ya, Awa ikut juga.""Dih, ogah.""Emang Awa gak papa kalau Kakak berduan sama Mbak Nayla?" tanyanya seakan memberi kode."Ya, gak boleh. Kakak 'kan calon suami aku.""Ya udah ikut. Biar Nayla di tengah.""Lagian ngapain sih, nolongin dia. Orang jahat kaya dia malah ditolongin.""Gak boleh gitu, Zahwa Sayang. Menolong sesama manusia adalah kewajiban. Tanpa memandang sikap baik atau buruk orang itu pada kita."Mendengar kata-kata Kak Fauzi yang lembut. Dibumbui panggilan 'Sayang' membuatku tak bisa membantah. Baru kali ini, dia memanggilku dengan sebutan yang begitu romantis. Ternyata dia pandai sekali memperbaiki mood-ku."Hari ini kamu beruntung Nayla. Tapi, ingat, kapan-kapan jangan berharap menggoda calon suamiku," gerutuku setenga