POV Zahwa"Berpikirlah sebelum bertindak, Wa. Dendam yang kamu tanam, hanya menyiksa dirimu sendiri. Sama sekali tidak menyelesaikan masalah," nasihat Kak Fauzi saat di rumah sakit."Tapi Awa benci Ayah, Ka. Awa jadi kaya gini semua karena Ayah.""Kamu kaya gini, bukan karena Ayah. Tapi, Awa sendiri yang memilih jalan yang salah.""Enggak. Ayah yang salah. Andai keluarga Awa masih utuh. Andai Ayah gak pernah berkhianat. Awa gak bakal melampiaskannya sama narkoba.""Jangan menyalahkan orang lain, atas kesalahan yang dibuat sendiri. Awa bukan anak kecil lagi. Seharusnya paham, bagaimana cara terbaik merespon masalah.""Halah, Kakak emang gak pernah ngertiin aku. Coba Ka Fauzi di posisi aku.""Kakak memang tidak akan bisa merasakan perasaan kamu seutuhnya. Tapi, Kakak menegaskan bahwa apapun alasannya, menggunakan narkoba secara sadar, itu perbuatan yang salah. Dosa besar, Wa."Kak Fauzi berbicara penuh penekanan. Baru kali ini, aku melihat wajahnya yang begitu serius. Dia menunjukan kek
POV Ela"Dor!""Laras," Jawabku datar.Laras berulah. Dia merecokiku yang sedang sibuk di dapur. Aku respon dengan kesal. Tidak kaget sama sekali. Derap langkah Laras sudah terdengar lebih dulu. Sehingga, paham dia sengaja mengagetiku. Aku memilih abai, dan lanjut meracik masker organik. Tak bergairah untuk melakukan lelucon."Mbak ko, gak kaget, sih. Jawabnya datar kaya setrikaan. Lempeng tapi bikin panas.""Diem, Ras.""Yaelah, Mbak. Santuy Napa. Mukanya suram dan gelap banget kaya pantat panci.""Heem.""Heem-heem doang lagi. Mbak sakit gigi?""Ras, Mbak lagi fokus kerja, nih. Jangan ganggu.""Senyum dong, Mbak. Nih, Laras keluarin jurus sarimin pergi memasak."Laras berjalan mengangkang. Wajah dan gerakan tubuhnya disamakan dengan monyet. Kemudian, tangannya bergaya ala-ala orang memegang spatula."Edan. Sana atraksi di pasar. Bukannya bantuin. Malah aneh-aneh," responku tak acuh.Selucu apapun Laras melawak, hati rasanya tak tersentuh untuk tertawa. Bibir seakan direkatkan rem.
"Aku suka sama kamu, El," ulang Arya."Hahaha, ya ampun, Pak Detektif lagi kenapa? kurang seons nih, hatinya. Bilang suka-suka segala. Emang aku Andin, sampe ngefens gitu.""Kurang tepat yah, kata-katanya. Aku ulang lagi."Arya membenarkan posisi duduknya. Bersila menghadapku. Dengan raut wajah serius. Dihiasi tatapan yang sulit diartikan."El, aku sayang sama kamu. Apa kamu punya perasaan yang sama?"Jantung mengalun bagai alunan musik reggae. Jedag jedug, tak menentu. Sorot mata Arya, benar-benar menggambarkan isi ucapannya. Sama sekali tak ada sisi bercanda. Apa benar dia menyukaiku? aku harus jawab apa?"Maaf, El. Aku harus tahu perasaan kamu. Sebelum semuanya terlambat. Tolong berikan jawaban apapun. Supaya perasaanku lega.""Pak detektif, jujur aku gak tahu harus jawab apa. Bapak ini, kebanyakan makan jengkol atau udang rebus? ko, ngomongnya ngelantur gitu.""Aku memang benar-benar menyukaimu, El. Bidadari hebat, yang selama beberapa bulan ini, mengisi hati. Yang bayangannya ter
"Nginep di sini? Mas ngelindur, yah?" tanyaku memastikan."Enggak, La. Tolong, Mas benar-benar kacau."Penampilan Mas Ilyas memang urak-urakan. Dia hanya datang menggunakan motor, dengan baju kaos dan celana pendek. Wajahnya suram. Apa yang terjadi? kenapa hari ini, hidupku dipenuhi orang-orang galau. Awalnya Arya, kemudian Laras, dan sekarang Mas Ilyas. Mereka pikir, aku badut yang bisa menghibur dikala gundah gulana? baiklah, tak ada salahnya membantu sesama manusia, yang sedang dihampiri penderitaan perasaan."Masuk, Mas. Duduk dulu.""Makasih, La"Inginku mengusir Mas Ilyas. Biar dia tidak seenaknya tinggal di sini. Namun, tak tega melihat kondisinya. Aku percaya, dia jujur tentang keadaannya saat ini. Sebenarnya apa yang terjadi? apa mungkin sudah meletus perang dunia ke sepuluh diantara Mas Ilyas dan Nadia? ah, kenapa juga harus ke sini? Mas Ilyas pikir, aku tempat pelarian? enak saja. Aku bukan sandal jepit yang bisa digunakan kapanpun, dan dibuang seenaknya. "Nih, minum kopi
"Satu, dua, tiga!" Brugh!Aba-aba dua orang pria yang mendobrak pintu kamar Laras. Dengan kekuatan penuh, akhirnya pintu dapat terbuka. "Mbak, usir ulat bulunya," ucap Laras yang bersembunyi didekat lemari. Aku ikuti arah telunjuk Laras. Ternyata ada ulat bulu yang sedang nangkring di atas bantal. Ulat berukuran jempol manusia. Berwarna hitam, dengan bulu lebat yang nampak mekar. Akibat kehadiran makhluk imut itu, kamar Laras jadi berantakan. Vas bunga kesayangannya pecah berserakan. Selimut acak-acakan di lantai."Ya Allah, Laras. Bikin orang tua jantungan.""Hehehe, maaf, Emak. 'Kan Emak tahu, Laras dari kecil fobia ulat bulu. Ih, liat tuh Mak bulunya. Kaya jarum. Pasti gatel, dan bikin sakit dikulit."Laras memang punya fobia terhadap ulat bulu. Berawal dari sekolah dasar. Waktu itu, emak panik ketika Laras pulang bermain malah menangis. Dia menunjukan bagian paha yang tertutup rok selutut. Ternyata, ada ulat bulu nemplok di pahanya. Anak itu, memang suka bermain di kebun, lari
"Mas Arya, hiks, hiks."Laras mendekap erat pujaan hatinya. Arya nampak melirik pada sang istri. Mereka seakan saling memberi kode. Aku lihat, istri Arys hanya tersenyum. Seolah-olah membiarkan Laras mengungkapkan isi hatinya."Ras, tenang, yah," bujuk Arya."Mas Arya. Kalau boleh negosiasi, aku pengen Mas jadi jodohku. Tapi, kalau Tuhan berkata, Laras bukan jodoh Mas. Aku bisa apa?""Ras, lepasin. Malu diliatin tamu," perintahku. Namun, tak digubris sama sekali.“Bentar, Mbak. Ngertiin Laras kali ini saja, hiks, hiks,” jawab Laras tanpa melepaskan pelukannya.Dunia seakan hanya milik Laras. Dia tak perduli banyak mata yang menatap dengan anggapan yang beragam. Desas desus gosip mulai terdengar. Beberapa orang memandang tak suka dengan perlakuan Laras. Ada lagi yang memanfaatkan suasana untuk membuat konten. Sengaja memvideokan kejadian ini.Kepalaku bagai tertimpa kontener. Pusing lima belas keliling. Tak tahu harus berbuat apa. Kalau nekat memisahkan Laras dari Arya, khawatir adikku
"Ela, buka pintunya. Dasar pelakor!" teriak Nadia terus menggedor pintu.Sebilah kayu yang dibawa, berusaha mendobrak pintu, dan menghancurkan kaca. Ada sedikit rasa takut untuk membuka pintu. Takut Nadia hilang kesadaran, dan berbuat hal mengerikan. "Mbak, buka sana. Tuh, nenek gayung ngajak baku hantam.""Sana kamu yang buka, Ras. Katanya kamu kesel sama nenek gayung. Buruan buka. Mbak bantu dari belakang.""Mbak duluan deh. Asli, kali ini nyali aku ciut liat muka sangar nenek gayung. Kaya orang gila dia. Bahaya, Mbak. Orang gila lebih serem dari setan.""Ish, malah ngomong yang enggak-enggak. Buruan ambil sapu, Ras. Siap-siap yah, Mbak mau buka pintu. Apapun yang terjadi, bantuin Mbak. Biar gak jadi dodol garut.""Hahaha, Mbak lucu. Suasana genting gini masih bisa melucu. Tapi baguslah. Drama pagi ini, cukup membuat Laras lupa sama hati yang lagi patah.""Halah, lupakan perbucinan. Darurat.""Oke-oke. Maju, Mbak. Laras siap siaga dari belakang."Dengan irama jantung tak menentu, a
POV Ilyas"Arrgh! Nadia. Dia benar-benar gila. Menyesal aku memberinya kesempatan tetap menjadi istriku!"Sepanjang jalan menuju kantor polisi, aku menggerutu atas kebodohan sendiri. Kenapa tidak menyadari kejanggalan sikap Nadia? dia benar-benar kelewatan. Hampir membunuh Laras dan Ela. Memang sudah gila perempuan itu.Dari awal dia mau pergi, aku memang curiga. Tak biasanya Nadia keluar di waktu subuh. Dia beralasan ingin membeli sayuran ke pasar. "Tumben, kamu ke pasar, Dekk? biasanya 'kan yang urus dapur Mbok," tanyaku heran ketika dia sudah berpakaian rapih."Apa salahnya aku belanja? gak boleh?" responnya datar. Semenjak kecelakaan, sikap Nadia memang berubah drastis. Dia sering marah-marah, dan kadang melamun. Bahkan, sesekali aku memergokinya bicara sendirian. Aku tak berpikir aneh-aneh. Berusaha memaklumi perubahan sikapnya. Berpikir positif, mungkin Nadia butuh penyesuaian diri, dan menata hati. Supaya tegar menjadi perempuan tanpa rahim. Namun, lama kelamaan aku muak d
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih
"Ambil aja, Bang.""Oke, Neng. Makasih!"Aku tancap gas dengan kecepatan mirip halilintar. Segera menuju rumah sakit. Gantian Fika yang terus berteriak memintaku memperlambat kecepatan."Woy, Zahwa, berhenti!" "Arrgh!""Kenapa sih, Fik? urgent nih.""Lu mau nemuin si Fauzi sama Nayla 'kan? mending gua gak ikut dah. Dari pada si Nayla ngenalin gua. Bahaya buat penyelidikan kita nantinya.""Iya juga sih. Terus, kamu mau turun di mana?""Udah turun di sini aja. Nanti gua ngojek.""Gak papa, Fik? mau aku anterin dulu?""Gak usah. Nanti calon lu keburu di embat si Nayla. Sana cepetan gas. Kalau ada apa-apa, kabarin gua.""Oke siap. Makasih yah, Fik."Fika mengacungkan jempol. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga. Aku segera masuk ke rumah sakit. Ternyata Nayla sudah ditangani dokter. Kak Fauzi merangkulnya. Membantu dia berjalan. Kaki sebelah Kanan, diperban dari area lutut ke bawah sepanjang 30 cm. Nayla jalan terpincang-pincang.Pasti dia sen
"Ih, santai dong, Ayah.""Maaf, Nak. Ayah kayanya salah denger, ya. Coba ulang-ulang kamu bilang apa tadi.""Ih, Ayah. Awa serius. Awa pengen NIKAH SAMA KAK FAUZI. Ayah gak salah denger."Suara benda jatuh terdengar jelas. Aku terus memanggil nama ayah tapi tidak ada jawaban. Namun, beberapa menit kemudian barulah ayah bersuara lagi. Dia mengatakan cukup terkejut dengan keinginanku. Lalu, aku jelaskan dampak positif menikah muda, dan kesiapan Kak Fauzi jadi imamku. Aku juga akan tetap kuliah meskipun sudah menikah. Menaklukan hati ayah ternyata tidak sesulit Mamah. Ayah akhirnya melunak. Dia mau menerima keinginanku. Namun, mau bertemu Fauzi terlebih dahulu untuk memastikan. Aku setujui permintaan ayah, dan menyuruhnya cepat pulang ke sini."Ayah harus bantu Awa bujuk Mamah, ya.""Hmmm, kalau soal itu Ayah gak jamin Mamah kamu bakal dengerin Ayah.""Ah, Ayah gimana, sih. Pokoknya Awa gak mau tahu, ayah harus bujuk Mamah. Pake cara apa saja, supaya Mamah setuju.""Aduh, cukup berat pe
Tanpa persetujuanku, Kak Fauzi mempersilakan Nayla duduk di jok belakang motornya. Apa sih, yang Kak Fauzi mau. Tadi dia merayuku untuk pergi bersama. Sekarang, kenapa dia mau meninggalkanku demi Nenek sihir?"Terus Awa gimana? dih, Kakak jahat banget.""Ya, Awa ikut juga.""Dih, ogah.""Emang Awa gak papa kalau Kakak berduan sama Mbak Nayla?" tanyanya seakan memberi kode."Ya, gak boleh. Kakak 'kan calon suami aku.""Ya udah ikut. Biar Nayla di tengah.""Lagian ngapain sih, nolongin dia. Orang jahat kaya dia malah ditolongin.""Gak boleh gitu, Zahwa Sayang. Menolong sesama manusia adalah kewajiban. Tanpa memandang sikap baik atau buruk orang itu pada kita."Mendengar kata-kata Kak Fauzi yang lembut. Dibumbui panggilan 'Sayang' membuatku tak bisa membantah. Baru kali ini, dia memanggilku dengan sebutan yang begitu romantis. Ternyata dia pandai sekali memperbaiki mood-ku."Hari ini kamu beruntung Nayla. Tapi, ingat, kapan-kapan jangan berharap menggoda calon suamiku," gerutuku setenga