"Mas Arya, hiks, hiks."Laras mendekap erat pujaan hatinya. Arya nampak melirik pada sang istri. Mereka seakan saling memberi kode. Aku lihat, istri Arys hanya tersenyum. Seolah-olah membiarkan Laras mengungkapkan isi hatinya."Ras, tenang, yah," bujuk Arya."Mas Arya. Kalau boleh negosiasi, aku pengen Mas jadi jodohku. Tapi, kalau Tuhan berkata, Laras bukan jodoh Mas. Aku bisa apa?""Ras, lepasin. Malu diliatin tamu," perintahku. Namun, tak digubris sama sekali.“Bentar, Mbak. Ngertiin Laras kali ini saja, hiks, hiks,” jawab Laras tanpa melepaskan pelukannya.Dunia seakan hanya milik Laras. Dia tak perduli banyak mata yang menatap dengan anggapan yang beragam. Desas desus gosip mulai terdengar. Beberapa orang memandang tak suka dengan perlakuan Laras. Ada lagi yang memanfaatkan suasana untuk membuat konten. Sengaja memvideokan kejadian ini.Kepalaku bagai tertimpa kontener. Pusing lima belas keliling. Tak tahu harus berbuat apa. Kalau nekat memisahkan Laras dari Arya, khawatir adikku
"Ela, buka pintunya. Dasar pelakor!" teriak Nadia terus menggedor pintu.Sebilah kayu yang dibawa, berusaha mendobrak pintu, dan menghancurkan kaca. Ada sedikit rasa takut untuk membuka pintu. Takut Nadia hilang kesadaran, dan berbuat hal mengerikan. "Mbak, buka sana. Tuh, nenek gayung ngajak baku hantam.""Sana kamu yang buka, Ras. Katanya kamu kesel sama nenek gayung. Buruan buka. Mbak bantu dari belakang.""Mbak duluan deh. Asli, kali ini nyali aku ciut liat muka sangar nenek gayung. Kaya orang gila dia. Bahaya, Mbak. Orang gila lebih serem dari setan.""Ish, malah ngomong yang enggak-enggak. Buruan ambil sapu, Ras. Siap-siap yah, Mbak mau buka pintu. Apapun yang terjadi, bantuin Mbak. Biar gak jadi dodol garut.""Hahaha, Mbak lucu. Suasana genting gini masih bisa melucu. Tapi baguslah. Drama pagi ini, cukup membuat Laras lupa sama hati yang lagi patah.""Halah, lupakan perbucinan. Darurat.""Oke-oke. Maju, Mbak. Laras siap siaga dari belakang."Dengan irama jantung tak menentu, a
POV Ilyas"Arrgh! Nadia. Dia benar-benar gila. Menyesal aku memberinya kesempatan tetap menjadi istriku!"Sepanjang jalan menuju kantor polisi, aku menggerutu atas kebodohan sendiri. Kenapa tidak menyadari kejanggalan sikap Nadia? dia benar-benar kelewatan. Hampir membunuh Laras dan Ela. Memang sudah gila perempuan itu.Dari awal dia mau pergi, aku memang curiga. Tak biasanya Nadia keluar di waktu subuh. Dia beralasan ingin membeli sayuran ke pasar. "Tumben, kamu ke pasar, Dekk? biasanya 'kan yang urus dapur Mbok," tanyaku heran ketika dia sudah berpakaian rapih."Apa salahnya aku belanja? gak boleh?" responnya datar. Semenjak kecelakaan, sikap Nadia memang berubah drastis. Dia sering marah-marah, dan kadang melamun. Bahkan, sesekali aku memergokinya bicara sendirian. Aku tak berpikir aneh-aneh. Berusaha memaklumi perubahan sikapnya. Berpikir positif, mungkin Nadia butuh penyesuaian diri, dan menata hati. Supaya tegar menjadi perempuan tanpa rahim. Namun, lama kelamaan aku muak d
POV Ela Mas Ilyas datang menjenguk Laras. Emosiku naik melihatnya ke sini. Posisi di dalam ruangan hanya ada aku, dan Laras yang sedang istirahat. Emak dan Rafli sedang pulang sebentar mengambil pakaian, dan membeli makan. Aku terus memarahi Mas Ilyas. Dia bagaikan noda membandel. Disuruh pergi, masih saja berdiri. Laras sampai terbangun, karena berisik mendengar suaranya yang menyebalkan. "Mas, aku ikut."Awalnya aku senang Mas Ilyas beranjak pergi, setelah Laras menyuruhnya pulang. Namun, seseorang menelponnya. Mengatakan bahwa Nadia di rumah sakit jiwa. Rasa ingin tahuku seketika meronta-ronta. Ingin tahu kondisi Nadia. Apa yang sebenarnya terjadi kepada dia? kalau dia benar-bensr gila, apa gerangan penyebabnya? "Kamu serius, La?""Ya serius, masa aku lagi ngeprenk. Aku beneran mau liat kondisi Si Nadia. Mau tahu keadaannya.""Tapi, Laras gimana?""Gak papa, Bang. Emak dan sahabatnya Mbak Ela lagi otw.""Apa benar, La?""Iya. Bentar, tunggu Emak sama Duren balik. Bentar lagi me
"Berhenti! atau aku sakiti perempuan tua ini!"Ibu mertua terus meraung bagai kebakaran jenggot. Kedua tangan menutup telinga. Dia histeris tak karuan. Sedangkan aku, berusaha terus melantunkan ayat kursi. Berbeda dengan Mas Ilyas yang malah ikut menangis. Padahal dia laki-laki, tapi lembek."La, berhenti saja, La. Kasihan Ibu."Aku melotot ke arah Mas Ilyas. Sebagai kode agar dia diam. Bukannya membantu berdoa atau membaca ayat suci, Mas Ilyas malah mengacaukan fokusku."Allahu laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyum. Laa ta’khudzuhuu sinatuw wa laa naum. Lahuu maa fis samaawaati wa maa fil ardh.Man dzal ladzii yasyfa’u ‘indahuu illaa bi idznih. Ya’lamu maa baina aidiihim wa maa khalfahum. Wa laa yuhiithuuna bi syai-im min ‘ilmihii illaa bi maa syaa-a. Wasi’a kursiyyuhus samaawaati wal ardha wa laa ya-uuduhuu hifzhuhumaaWahuwal ‘aliyyul ‘azhiim.""Lanjutkan, Mbak. Mari kita berdoa bersama."Seorang ustad berumur lebih tua dari Mas Ilyas memberi instruksi dari belakang. Kemudian, dia maj
"Mas lepaskan. Nanti kita viral lagi. Bahaya. Ih, malu-maluin."Mataku melotot menatap pengunjung. Warung ayam bakar ini, cukup ramai, sehingga kami jadi sorot perhatian. Ada yang menatap sambil senyum-senyum. Mungkin merasa bahwa kami pasangan romantis. Ada juga yang mencibir. Seolah-olah iri."La, Mas sayang banget sama kamu," ujar Mas Ilyas masih memelukku.Ya Allah, ini manusia sudah tua tapi jiwa bucinnya masih saja mengakar. Suka sekali membuat kehebohan. Kalau aku berontak sambil berteriak penculik, tak mungkin. Lalu, aku harus apa?"Mas lepaskan. Sebelum aku tendang benda pusaka kamu," ancamku lirih tepat di telinganya."La, sebentar saja. Mas ingin mengulang momen, saat Mas melamarmu di sini."Oh tunggu, momen itu. Ketika aku memeluknya karena kegirangan mendapatkan sebuah cincin. Yah, aku ingat. Mas Ilyas mengajakku makan, ternyata di jus yang aku pesan, terdapat cincin bermata satu. Untung tidak masuk tenggorokan. Mas Ilyas memang sudah aneh ala-ala sinetron, sejak zaman
"Zahwa mau Mamah kembali sama Ayah?"Senyum simpul pertanda jawaban dari Zahwa. Sorot mata penuh harap. Dia masih sama seperti Zahwaku, semasa kecil dulu. Paling tidak rela, melihat orang tuanya berjauhan. Sewaktu kecil, dia sering merengek karena ditinggalkan Ayahnya bekerja.Merangkak dewasa, putriku malah harus benar-benar berjauhan. Sampai menekan mentalnya. Walaupun, keberuntungan masih berpihak pada keluargaku. Putri kecilku yang beranjak dewasa masih bisa diselamatkan. Perlahan menjauh dari benda haram. Apa mungkin ini pertanda aku harus kembali pada Mas Ilyas? aku takut, jika mementingkan ego, Zahwa akan tersiksa kembali. Tak menutup kemungkinan, putriku rapuh lagi karena bisikan setan. Sehingga, untuk kedua kali terjerumus dalam jurang kenistaan."Demi Zahwa, Mamah rela kembali pada Ayah," ucapku lesu. Hati pilu mengucapkannya. Luka masa lalu, basah lagi."Bukan itu maksud Zahwa, Mah. Awa cuman pengen tahu, apa Mamah masih sayang sama Ayah? Awa gak akan memaksa Mamah kemb
Pov Laras"Mbak Ela ...," teriakku menggema memanggil kakak tercinta.Dua hari lagi acara pernikahanku dengan Mas Rafly akan dilaksanakan. Namun, rasa gugup sudah mengguncang sejak dua Minggu lalu. Rasa panik menyeruak di hati. Takut ini dan itu. Belum lagi memikirkan persiapan acara yang tidak ada habisnya."Iya, Laras. Ampun deh, udah mau nikah mulutnya tetep kaya kaleng rombeng. Berisik tahu. Anggun dikit napa."Mbak Ela datang tergesa-gesa dari halaman belakang menuju kamarku. Badannya bau aroma dodol. Maklum, dia dan para tetangga sedang membuat beberapa kue basah dan kering. Awalnya aku mengusulkan untuk beli saja. Namun, Emak melarang. Lebih baik buat sendiri, supaya lebih banyak. Sehingga, cukup dibagi-bagi ke tetangga nantinya. Begitulah ciri khas di kampung ini."Hehehe, maklum Mbak. Panik. Ini loh, kue buat pernikahan aku belom ada kabarnya. Aku 'kan pengen maksimal. Pengen kue pernikahan dua tingkat dengan desain Doraemon.""Ampun deh. Tinggal telepon tukang kuenya.""Masa
“Mah, ayok kita ke sana, Mah. Awa mau liat Mah," rengekku setelah Kak Fauzi menutup sambungan telepon."Iya, Wa. Kita pasti ke sana," jawab Mamah."Ya Allah, Nadia, hiks, hiks."Tangisan Ayah pecah. Bagaimana pun, Nadia pernah mengisi hatinya. Memberi suka duka. Pasti kabar ini cukup menekan batinnya."Sabar, Pak. Semua yang bernyawa pasti menemui kematian. Tugas kita yang masih hidup, hanya bisa mendoakan. Semoga segala Dosa Nayla dan Mbak Nadia bisa dimaafkan. Sehingga, dilapangkan kuburnya.""Aamiin," jawab aku dan Mamah.Wajah Mamah juga berubah murung. Aku bisa memahami perasaannya. Masa lalu tentang Nadia pasti berputar-putar memenuhi pikirannya. Ada rasa kecewa, tapi rasa kasihan jelas lebih besar. Mamah bukan tipe orang pendendam. Dia pasti ikut kehilangan Nadia. Begitu pula denganku. Perjalanan kehidupan yang aku lalui dengan hadirnya Nayla dan Kakaknya terus melintasi di kepala. Memang banyak kesan buruk yang membekas. Berusaha aku ikhlaskan, walaupun berat. Semampu diriku,
Pov Zahwa“Kak Fauzi ….”“Zahwa, bidadariku, bangunlah. Kakak ada di sini.”Tubuhku rasanya remuk. Sulit digerakan. Mata remang-remang. Aku seakan melihat keberadaan Kak Fauzi. Apa ini hanya halusinasi. Yang aku ingat, dia tidak bersamaku."Mamah ... Ayah ...."Perlahan aku bisa menatap sekitar dengan jelas. Mamah mengalirkan hujan di pipi. Dia memelukku erat. Bagaikan sudah bertahun-tahun baru bertemu. Begitu pula dengan Ayah. Mengelus kepala dengan mata berkaca-kaca. "Mah, Awa di mana?""Awa di rumah sakit, Nak. Sudah seminggu kamu gak sadarkan diri. Alhamdulilah, Awa bisa kuat melawan rasa sakit. Mamah sayang sama Awa. Cepat sehat Nak."Satu Minggu? selama itu aku tertidur lelap. Perlahan aku ingat-ingat kejadian terakhir sebelum tak sadarkan diri.Setelah mendapat pesan dari Nayla, aku segera datang ke lokasi. Sebelum itu, menelepon Fika untuk menyusul, dan membawa pasukan detektif Arya. Namun, ternyata aku dijebak. Tak ada orang di rumah reyot yang aku datangi. Aku terus mencari
POV FauziMulut ini tak henti melafalkan doa. Memohon pertolongan-Nya. Ruangan pengap, dengan pencerahan minim, jadi saksi bisu. Untukku bertaruh nyawa. "Hey, calon suamiku," sapa Nayla dengan seringai mengerikan.Mulutku dibekap kain yang dililitkan sampai belakang. Tangan dan kaki diikat kencang. Hanya mata yang bisa merespon kejahatan Nayla. Hati tak hentinya beristigfar. Tak menyangka, jika ada perempuan tak berperasaan seperti Nayla.Aku menyesal tidak mendengarkan penuturan Zahwa. Pujaan hatiku, yang malah diabaikan. Padahal, dia bicara sesuai kenyataan. Aku yang terlalu bodoh. Tidak menaruh sedikitpun rasa curiga pada Nayla.Memang kita tidak boleh berprasangka buruk kepada sesama manusia. Namun, berwaspada juga penting. Membela diri sendiri merupakan hal yang diharuskan dalam agama. Dari sini aku belajar. Supaya, tetap berhati-hati menghadapi setiap manusia dengan isi hati yang sulit dipahami.Manusia bukan hanya diciptakan dari tanah. Namun, ada amarah bagai api yang tersimp
"Zahwa!""Mah, Kak Fauzi, hiks, hiks."Aku menangis di lantai. Kepala diletakan di sofa. Tubuh tak ada tenaga. Mengingat nasib Kak Fauzi. Aku tau, Nayla memang mencintainya. Tak mungkin menyakitinya. Namun, kalau Kak Fauzi dijebak, lalu disuruh menikahi Nayla, bagaimana denganku?"Tenang, putri Ayah. Kita pasti bisa menyelamatkan Fauzi."Ayah merangkul tubuhku. Untuk duduk di sofa. Aku sandarkan beban ini padanya. Mamah ikut memelukku. Raut khawatir juga tergambar jelas di wajahnya."Arya, apa Nayla sama sekali tidak meninggalkan jejak?""Tidak ada Pak Ilyas. Kami kehilangan jejaknya. Ponselnya juga tidak bisa dilacak. Sulit menemukan keberadaannya. Tapi tenang, saya dan para polisi, sedang berkeliling daerah sini. Mencari keberadaan Fauzi.""Om Arya, tolong temukan Kak Fauzi, hiks, hiks.""Insyalloh, Wa. Om akan berusaha semaksimal mungkin."Air hujan di pipi, tak henti menetes. Perasaanku bagai daun berguguran di musim semi. Kering kerontang. Layu, dan tak ada energi keceriaan.Mama
POV ZahwaKak Fauzi jahat. Dia bilang cinta. Mau melamarku jadi istrinya. Dulu saja, ketika aku terjebak narkoba, dia yang paling percaya aku bisa keluar dari benda haram itu. Namun, kenapa sekarang tidak? Nayla dan Nayla lagi yang dibela. Padahal, bukan aku yang melukainya. Pasti nenek lampir itu gila. Dia yang melukai dirinya sendiri."Sabar ponakan Aunty. Kita belum kalah.""Tapi Aunty, hati Awa rasanya cenat cenut. Sakit banget.""Hahaha, Aunty paham. Tenanglah, kita dan Fika bukankah sudah mengatur strategi?""Iya, sih, tapi ....""Hust, ada yang sedang mengawasi."Aunty menarikku ke lorong lain dari rumah sakit. Bukan jalur pulang. Lalu, kami bersembunyi di ruang praktek dokter. Untung, ruangannya kosong. Dari balik kaca, aku bisa melihat ada dua preman yang sedang celingukan. Mereka pasti mencari kami."Hati-hati. Aunty yakin, Si Nayla punya rencana jahat untuk kita.""Rencana jahat apa, Aunty?""Ya, mana Aunty tahu.""Yah, gimana dong. Mau sampe kapan kita di sini." "Sabar, A
Kenalkan, namaku Nayla. Kakakku adalah Nadia. Seorang perempuan yang hidupnya di porak porandakan keluarga Ilyas dan Ela. Dua tahun lalu, ketika tahu kakakku masuk rumah sakit jiwa, napas rasanya tercekat. Raga tersesat. Dunia seperti kiamat.Akibat kejahatan keluarga Ilyas. Tanggung jawab keluarga pindah ke pundakku. Biasanya, keluargaku mengandalkan uang Kak Nadia. Ibu yang sakit-sakitan terpaksa tidak bisa berobat. Bapak hanya seorang pengangguran. Keluarga kami miskin dan menderita ketika Kak Nadia gila. Aku yang belum siap dengan permasalahan yang pelik ini, hanya bisa menangis setiap malam. Menahan perut yang kelaparan. Di tambah lagi menyaksikan kedua orangtuaku harus menahan penyakit, dan lapar diusia senja. Kondisi saat itu, merupakan keadaan paling buruk yang pernah aku rasakan.Aku pernah mengunjungi rumah Ilyas. Meminta bantuan pada mereka. Namun, aku malah diusir oleh ibunya Ilyas. Sedangkan kakak iparku itu, sama sekali tidak peduli. Dia kabur ke luar negeri. Tidak melih
"Ambil aja, Bang.""Oke, Neng. Makasih!"Aku tancap gas dengan kecepatan mirip halilintar. Segera menuju rumah sakit. Gantian Fika yang terus berteriak memintaku memperlambat kecepatan."Woy, Zahwa, berhenti!" "Arrgh!""Kenapa sih, Fik? urgent nih.""Lu mau nemuin si Fauzi sama Nayla 'kan? mending gua gak ikut dah. Dari pada si Nayla ngenalin gua. Bahaya buat penyelidikan kita nantinya.""Iya juga sih. Terus, kamu mau turun di mana?""Udah turun di sini aja. Nanti gua ngojek.""Gak papa, Fik? mau aku anterin dulu?""Gak usah. Nanti calon lu keburu di embat si Nayla. Sana cepetan gas. Kalau ada apa-apa, kabarin gua.""Oke siap. Makasih yah, Fik."Fika mengacungkan jempol. Aku kembali melanjutkan perjalanan. Beberapa menit kemudian, akhirnya sampai juga. Aku segera masuk ke rumah sakit. Ternyata Nayla sudah ditangani dokter. Kak Fauzi merangkulnya. Membantu dia berjalan. Kaki sebelah Kanan, diperban dari area lutut ke bawah sepanjang 30 cm. Nayla jalan terpincang-pincang.Pasti dia sen
"Ih, santai dong, Ayah.""Maaf, Nak. Ayah kayanya salah denger, ya. Coba ulang-ulang kamu bilang apa tadi.""Ih, Ayah. Awa serius. Awa pengen NIKAH SAMA KAK FAUZI. Ayah gak salah denger."Suara benda jatuh terdengar jelas. Aku terus memanggil nama ayah tapi tidak ada jawaban. Namun, beberapa menit kemudian barulah ayah bersuara lagi. Dia mengatakan cukup terkejut dengan keinginanku. Lalu, aku jelaskan dampak positif menikah muda, dan kesiapan Kak Fauzi jadi imamku. Aku juga akan tetap kuliah meskipun sudah menikah. Menaklukan hati ayah ternyata tidak sesulit Mamah. Ayah akhirnya melunak. Dia mau menerima keinginanku. Namun, mau bertemu Fauzi terlebih dahulu untuk memastikan. Aku setujui permintaan ayah, dan menyuruhnya cepat pulang ke sini."Ayah harus bantu Awa bujuk Mamah, ya.""Hmmm, kalau soal itu Ayah gak jamin Mamah kamu bakal dengerin Ayah.""Ah, Ayah gimana, sih. Pokoknya Awa gak mau tahu, ayah harus bujuk Mamah. Pake cara apa saja, supaya Mamah setuju.""Aduh, cukup berat pe
Tanpa persetujuanku, Kak Fauzi mempersilakan Nayla duduk di jok belakang motornya. Apa sih, yang Kak Fauzi mau. Tadi dia merayuku untuk pergi bersama. Sekarang, kenapa dia mau meninggalkanku demi Nenek sihir?"Terus Awa gimana? dih, Kakak jahat banget.""Ya, Awa ikut juga.""Dih, ogah.""Emang Awa gak papa kalau Kakak berduan sama Mbak Nayla?" tanyanya seakan memberi kode."Ya, gak boleh. Kakak 'kan calon suami aku.""Ya udah ikut. Biar Nayla di tengah.""Lagian ngapain sih, nolongin dia. Orang jahat kaya dia malah ditolongin.""Gak boleh gitu, Zahwa Sayang. Menolong sesama manusia adalah kewajiban. Tanpa memandang sikap baik atau buruk orang itu pada kita."Mendengar kata-kata Kak Fauzi yang lembut. Dibumbui panggilan 'Sayang' membuatku tak bisa membantah. Baru kali ini, dia memanggilku dengan sebutan yang begitu romantis. Ternyata dia pandai sekali memperbaiki mood-ku."Hari ini kamu beruntung Nayla. Tapi, ingat, kapan-kapan jangan berharap menggoda calon suamiku," gerutuku setenga