Ian tengah menatap foto pernikahannya dengan Ai yang masih terpasang di dinding. Masih teringat jelas bagaimana ia berdebat parah dengan sang ayah ketika foto itu hendak dipajang di sana.Sekarang, kejadian itu malah terulang kembali, namun keadaannya berbanding terbalik. Ia merasa tidak sanggup jika harus melepas foto itu dan yang menjadi lawannya adalah hatinya sendiri.Ia tidak mengerti dengan jalan pikirannya, helaan napasnya begitu kuat. Ia juga menatap layar ponselnya yang memamerkan isi pesannya dengan mantan istrinya itu.Ia bisa melihat panggilan sayang yang ia keluarkan walau hanya dalam hitungan jari. Kepalanya semakin terasa panas. Entah mengapa, hatinya selalu bergejolak melawan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kehidupannya sekarang."Pak, ada berkas yang harus dikirimkan ke kantor Bu Ai. Sebaiknya Bapak periksakan ulang sebelum saya antarkan," kata sekretarisnya.Kening Ian mengerut. Mendengar nama wanita itu saja, jantungnya berdebar begitu kencang. Entah apa yan
Tin! Tin!Suara klakson mobil yang saling berbalas di depan kediaman Arzi benar-benar mengganggu. Kini, pengisinya segera ke luar untuk memastikan dan sangat terkejut dengan kehadiran Danny dan Ian di sana.Kedua pria itu bahkan terparkir bersampingan dengan kaca mobil yang terbuka. Tatapan di antara keduanya benar-benar saling beradu tajam.Arzi yang benar-benar tidak ingin ikut campur, pun memutuskan untuk menutup pintu hingga bunyi klakson itu kembali terulang.Ai yang sadar jika ada hal buruk terjadi, pun segera ke luar untuk memastikan. Ia yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, juga sangat menawan itu segera lolos menghipnotis penglihatan kedua pria itu."Kalian ngapain pagi-pagi sudah ada di sini? Memangnya ada yang undang?" tanyanya dengan nada yang sedikit kesal."Em, mau anterin kamu kerja," jawab Ian tampak sangat berbeda. Ia seolah bukan Ian yang biasa."Ha?" balas Ai yang tidak begitu yakin."Aku saja yang anterin kamu, Ai." Danny segera menyodorkan diri layaknya bara
"Ai, tolong berhenti, Nak! Kamu harus istirahat!" titah Arzi dengan penuh ketegasan.Ai yang masih sibuk mencari jalan ke luar untuk menyelamatkan perusahaannya dari isu buruk itu tentu saja menolak. Ia masih ingin sibuk dan memang akan tetap sibuk."Kamu tidak takut kalau bayimu kenapa-kenapa?" geram sang ayah kemudian.Ai berhenti untuk sesaat. Ia menatap sang ayah dengan senyum tulusnya."Aku tau, Yah. Istirahat, kan? Lima jam, itu sudah lebih dari cukup.""Ai!" teriak Arzi dengan nada kencang. "Kamu sedang hamil sekarang. Usia kandungan kamu masih sangat rentan. Bahkan sepuluh jam dalam sehari saja masih kurang. Seharusnya pekerjaan yang kamu lakukan adalah pekerjaan santai. Paham tidak?!"Bukan Ai namanya jika tidak lebih mencintai kesibukan daripada santai. Ia bahkan akan mencari masalah untuk diselesaikan tatkala merasa hidupnya begitu damai. Itulah sebabnya ia tak begitu sedih lagi setelah benar-benar sadar kehilangan sang suami.Danny yang diperintahkan untuk membelikan vitam
Ai kembali lembur malam ini. Ia sedikit ke luar dari ruangannya, mendapati banyak lampu yang sudahmati. Sesungguhnya, hal itu sedikit membuatnya gelisah.Namun, hal itu segera tertutupi ketika rasa laparnya menggejolak untuk segera diganjal. Setelah menutup akses laptopnya, ia bergerak menuju ruang pentry sekarang.Rasa lapar itu semakin menjadi ketika melihat isi kulkas yang hanya berisikan buah. "Ah, sial. Padahal pekerjaanku tinggal sedikit. Akan sangat tanggung jika aku memesan dari luar," gumamnya.Dengan masih semangat yang menyala-nyala, ia mengupas buah itu dan membawanya ke ruangan. Penciumannya segera mendapat bau yang aneh ketika berada di ujung pintu. Begitu juga dengan keningnya yang segera mengerut."Ada apa ini?" pikirnya.Walau begitu, ia tetap melangkah hingga di langkah yang kesepuluh ia terhenti ketika sadar jika bau itu adalah bau kopi. Siapa yang telah membawakannya?Perasaannya semakin tidak enak ketika mendengar suara keran air di toilet. Ia mundur sekarang, he
Seminggu setelah kejadian itu, Ai baru berani ke luar dari rumah. Ia menatap ke sekeliling dengan penuh hati-hati. Ia yang bahkan berada di balkon rumahnya sendiri terlihat was-was.Danny yang memang sejak seminggu kemarin tak bertemu dengannya, tentu saja merasa rindu. Ia dan Rald bahkan sudah menunggu di bawah.Namun, ia masih tetap dengan keputusannya. Ia hanya akan pergi bersama sang ayah. Danny yang memang seorang pria bijak tentu saja menerima keputusan itu."Om, sampaikan salamku padanya," ucapnya sebelum berlalu dari sana."Aku juga, Om. Sampaikan pada Kak Ai, aku butuh uang jajan."Ucapan Rald membuat Arzi tergelak. Ia bahkan menjambak rambut lelaki itu sekarang oleh karena perasaan geramnya."Sudah, sudah, kalian pergilah sana. Kalau bisa belikan bibit ikan, ya. Kolam Ai baru saja jadi. Kami tidak sempat membeli langsung, jadi minta tolong pada kalian saja." Arzi bergerak mengambil uang yang memang sudah disediakan sebelumnya."Beli berapa banyak, Om?" tanya Rald yang meman
Ai kembali memasuki rumah sakit untuk menjemput ponselnya yang ketinggalan. Ia memang bergerak sendirian karena keinginannya sendiri dan sebelumnya sudah ditelepon oleh dokter. Wanita itu tertegun selama beberapa saat, melihat ke sekeliling dan sadar jika keadaan sangat riuh. Namun, ia tidak tahu apa penyebab pastinya. Yang ia tahu, beberapa menit yang lalu rumah sakit kedatangan ambulans yang tentu saja membawa pasien. Namun, entahlah penyebab pasti keadaan runyam ini.Langkahnya memasuki ruangan sang dokter yang kebetulan tampak kosong. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya."Itu ada pasien yang baru datang, Bu Ai. Pasien kekurangan darah, stok di rumah sakit juga sedang kosong untuk golongan darah yang cukup langka itu.""Oh." Ai terdiam sambil manggut-manggut tanda paham. Namun, keningnya masih mengerut, sepertinya belum begitu puas dengan apa yang baru saja ia dengarkan."Ada lagi yang mau ditanyakan, Bu?""Apa dia orang penting sampai semua sesibuk itu?""Em ..." Mengangguk.
"Ehem!" Suara deheman yang berhasil membuat Ai terkejut batin.Ia segera menoleh dan mendapati Ian yang telah berdiri di belakangnya. Merasa takut dan panik, wanita itu segera menjaga jarak dan lebih dekat dengan Mario yang padahal tengah tidak sadarkan diri sekarang."Terima kasih masih mau jagain Papa di sini," kata pria itu dengan nada yang cukup tenang.Ai tidak menjawab dan memang tidak ada niat untuk itu.Sekarang, ia mulai sibuk mencari tahu keberadaan ayahnya dan kapan segera kembali. Ia tidak ingin ada di sini.Tatkala ia melangkah untuk berlalu dari sana, tangannya segera ditarik oleh pria itu."Aku tidak akan menjahati kamu, kok."Ai berusaha tenang. Ia menepis tangan pria itu dengan sikap yang santai."Aku mau manggil perawat atau dokter yang ada, ini inpusnya sudah habis soalnya," balas Ai mulai merasakan sesak di dadanya tatkala pria di hadapannya ini terus menatapnya."Baiklah, aku yang akan panggilkan sebentar. Kamu tetap berada di sini, jangan ke mana-mana dan tunggu
Rald yang mendapatkan motor sewaannya lagi, pun mulai mengitari kota kecilnya sendirian. Ia yang memang mencoba penampilan santai seperti gaya andalan Danny pun semakin percaya diri.Melihat suasana yang sepi dan masih sejuk, ia pun memutuskan untuk bergerak menuju taman. Ia percaya, di sana pasti akan mendapatkan ide tentang apa yang akan dilakukan beberapa hari ke depan.Benar saja, di sana juga hanya ada beberapa orang saja. Ia merasa senang sebab tebakannya benar. Laptop andalannya, pun dikeluarkan sekarang dan segera mengerjakan tugas kuliahnya.Terdiam selama beberapa saat untuk menikmati suasana, ia melihat Sara yang tengah bersama seorang pria. Jogging lebih tepatnya.Sekitar lima meter di belakangnya, ada Tiffany yang berlari sendirian dan tampak sangat lemah. Ingin sekali ia membuang rasa khawatir dan pedulinya, namun bukan Rald namanya jika ia jahat.Segera saja, ia menutup laptop itu kemudian memasukkannya dalam tas. Ia memperhatikan gerak-gerik Tiffany yang tengah memegan