Ai kembali memasuki rumah sakit untuk menjemput ponselnya yang ketinggalan. Ia memang bergerak sendirian karena keinginannya sendiri dan sebelumnya sudah ditelepon oleh dokter. Wanita itu tertegun selama beberapa saat, melihat ke sekeliling dan sadar jika keadaan sangat riuh. Namun, ia tidak tahu apa penyebab pastinya. Yang ia tahu, beberapa menit yang lalu rumah sakit kedatangan ambulans yang tentu saja membawa pasien. Namun, entahlah penyebab pasti keadaan runyam ini.Langkahnya memasuki ruangan sang dokter yang kebetulan tampak kosong. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya."Itu ada pasien yang baru datang, Bu Ai. Pasien kekurangan darah, stok di rumah sakit juga sedang kosong untuk golongan darah yang cukup langka itu.""Oh." Ai terdiam sambil manggut-manggut tanda paham. Namun, keningnya masih mengerut, sepertinya belum begitu puas dengan apa yang baru saja ia dengarkan."Ada lagi yang mau ditanyakan, Bu?""Apa dia orang penting sampai semua sesibuk itu?""Em ..." Mengangguk.
"Ehem!" Suara deheman yang berhasil membuat Ai terkejut batin.Ia segera menoleh dan mendapati Ian yang telah berdiri di belakangnya. Merasa takut dan panik, wanita itu segera menjaga jarak dan lebih dekat dengan Mario yang padahal tengah tidak sadarkan diri sekarang."Terima kasih masih mau jagain Papa di sini," kata pria itu dengan nada yang cukup tenang.Ai tidak menjawab dan memang tidak ada niat untuk itu.Sekarang, ia mulai sibuk mencari tahu keberadaan ayahnya dan kapan segera kembali. Ia tidak ingin ada di sini.Tatkala ia melangkah untuk berlalu dari sana, tangannya segera ditarik oleh pria itu."Aku tidak akan menjahati kamu, kok."Ai berusaha tenang. Ia menepis tangan pria itu dengan sikap yang santai."Aku mau manggil perawat atau dokter yang ada, ini inpusnya sudah habis soalnya," balas Ai mulai merasakan sesak di dadanya tatkala pria di hadapannya ini terus menatapnya."Baiklah, aku yang akan panggilkan sebentar. Kamu tetap berada di sini, jangan ke mana-mana dan tunggu
Rald yang mendapatkan motor sewaannya lagi, pun mulai mengitari kota kecilnya sendirian. Ia yang memang mencoba penampilan santai seperti gaya andalan Danny pun semakin percaya diri.Melihat suasana yang sepi dan masih sejuk, ia pun memutuskan untuk bergerak menuju taman. Ia percaya, di sana pasti akan mendapatkan ide tentang apa yang akan dilakukan beberapa hari ke depan.Benar saja, di sana juga hanya ada beberapa orang saja. Ia merasa senang sebab tebakannya benar. Laptop andalannya, pun dikeluarkan sekarang dan segera mengerjakan tugas kuliahnya.Terdiam selama beberapa saat untuk menikmati suasana, ia melihat Sara yang tengah bersama seorang pria. Jogging lebih tepatnya.Sekitar lima meter di belakangnya, ada Tiffany yang berlari sendirian dan tampak sangat lemah. Ingin sekali ia membuang rasa khawatir dan pedulinya, namun bukan Rald namanya jika ia jahat.Segera saja, ia menutup laptop itu kemudian memasukkannya dalam tas. Ia memperhatikan gerak-gerik Tiffany yang tengah memegan
"Iya, aku melamarmu sekarang." Memberikan sekuntum bunga dan sebuah kotak berisikan perhiasan yang jumlahnya sangat banyak.Setelah mendapat keyakinan itu, Ana pun mengnagguk mengiyakan. Impian terbesarnya selama ini akhinya menjadi kenyataan. Bagaimana tidak, Ian datang ke hadapannya untuk melamar.Noah yang juga ada di tempat itu, pun bersorak kegirangan. Ia juga mendekat untuk memberikan pelukan pada Ian dan Ana, memberi kesempatan untuk keduanya saling melepas rasa senang masing-masing."Aku kalau dikasih kesempatan juga mau begitu.""Kamu tidak punya uang."Orang-orang yang ada di kafe itu tampak sedang membicarakan mereka. Ana yang sadar akan hal itu semakin senang. Ia memang tipe orang yang suka pamer tanpa pamer dengan sengaja.Namun, kening Noah mengerut sekarang. Ia baru teringat dengan keadaan Mario yang bahkan belum baik-baik saja. Ia menjadi penasaran. Bagaimana bisa, Ian datang untuk melamar putrinya padahal Mario masih di rumah sakit?"Aku memang sudah melamarnya, Om, t
Elvina mengerutkan kening tatkala ia memanggil-manggil sahabatnya berkali-kali, namun tidak ada jawaban. Ia memanggil ponsel wanita itu, namun tetap tidak ada jawaban.Hal itu sangat membuatnya panik lalu memberikan laporan pada pihak berwajib untuk mencari keberadaan Mia. Sementara dirinya sibuk mencari wanita itu di seluruh bagian rumahnya sekarang.Beberapa saat kemudian, ia sadar jika Mia mungkin sudah tidak baik-baik saja. Hal itu ia yakini setelah mendapatkan pesan yang ditinggalkan oleh wanita itu di kertas di atas nakas."Di mana kamu, Mia? Aku saja masih tidak menyerah untuk membantumu sembuh, kenapa kamu malah lebih dulu menyerah?" kata wanita itu benar-benar merasa sedih sekarang.Ia menatap ke arah luar hingga menyadari jika ada yang janggal dengan jendelanya. Ia mendekat dan dengan was-was mencoba menyibak gorden yang menutupi jendela hingga akhirnya pemandangan itu membuatnya teriak panik seketika."Mia?" teriaknya benar-benar ketakutan.Orang-orang yang mendengar teriak
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu