Ai tertegun, terduduk lemas sendirian sekarang. Ia menatap ke arah langit yang tampak menggelap, seolah menggambarkan kondisi hati dan kehidupannya saat ini.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Ia sama sekali tidak mau jika sampai ada orang yang sadar dengan gurat kesedihan di sana.Sehari sudah ia tak makan. Pembantu di rumah itu sudah berganti membujuknya. Namun, tetap saja ia tak mau. Mereka berdiri di dekat wanita itu sekarang. Seolah ikut merasakan kesedihan."Ai, kamu pasti lapar tapi tidak bernafsu, kan? Coba yang ini dulu," bujuk Danny yang tiba-tiba datang.Ia membawakan semangkuk sereal cokelat. Menyajikannya di hadapan wanita itu."Dan, pergilah dari sini. Aku sedang tidak ingin." Menolak dengan halus."Ai, yang kami khawatirkan bukan hanya dirimu, tapi bayimu juga. Jika orang lain saja peduli denganmu, peduli dengan bayimu, kenapa tidak dengan dirimu sendiri? Ayo, makanlah.""Tapi aku seda
Ana yang merasa bahagia itu dan benar-benar bertekad untuk memulai cerita baru di hidupnya harus menelan pil pahit ketika ia baru saja tiba di kantor, namun hampir seluruh karyawan berbisik hal buruk tentangnya. Mereka melakukannya secara terang-terangan.Ia bahkan ditatap dengan sangat sinis membuatnya semakin tak habis pikir. Ia menjadi sangat geram sekarang dan mulai menduga-duga jika Ai telah melakukan ini semua.Gadis itu tampak berjalan dengan sangat cepat, segera menaiki tangga darurat ketika tak seorang pun melihatnya sekarang. Iya, dia menghindari naik lift yang mungkin akan membuatnya semakin kesal dengan keadaan.Melihat kursi yang masih kosong, Ana duduk di sana. Bergerak bebas ke sana ke mari. Tentu saja ada perbedaan antara kursi kerjanya dengan kursi kerja Ai."Kursinya malah lebih mahal. Enak sekali dia bisa berada di posisi ini. Tunggu saja waktunya," gumamnya pada diri sendiri seraya tersenyum licik penuh arti.Tak berselang lama, Ai akhirnya tiba di sana. Ia dengan p
Ian tengah menatap foto pernikahannya dengan Ai yang masih terpasang di dinding. Masih teringat jelas bagaimana ia berdebat parah dengan sang ayah ketika foto itu hendak dipajang di sana.Sekarang, kejadian itu malah terulang kembali, namun keadaannya berbanding terbalik. Ia merasa tidak sanggup jika harus melepas foto itu dan yang menjadi lawannya adalah hatinya sendiri.Ia tidak mengerti dengan jalan pikirannya, helaan napasnya begitu kuat. Ia juga menatap layar ponselnya yang memamerkan isi pesannya dengan mantan istrinya itu.Ia bisa melihat panggilan sayang yang ia keluarkan walau hanya dalam hitungan jari. Kepalanya semakin terasa panas. Entah mengapa, hatinya selalu bergejolak melawan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kehidupannya sekarang."Pak, ada berkas yang harus dikirimkan ke kantor Bu Ai. Sebaiknya Bapak periksakan ulang sebelum saya antarkan," kata sekretarisnya.Kening Ian mengerut. Mendengar nama wanita itu saja, jantungnya berdebar begitu kencang. Entah apa yan
Tin! Tin!Suara klakson mobil yang saling berbalas di depan kediaman Arzi benar-benar mengganggu. Kini, pengisinya segera ke luar untuk memastikan dan sangat terkejut dengan kehadiran Danny dan Ian di sana.Kedua pria itu bahkan terparkir bersampingan dengan kaca mobil yang terbuka. Tatapan di antara keduanya benar-benar saling beradu tajam.Arzi yang benar-benar tidak ingin ikut campur, pun memutuskan untuk menutup pintu hingga bunyi klakson itu kembali terulang.Ai yang sadar jika ada hal buruk terjadi, pun segera ke luar untuk memastikan. Ia yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, juga sangat menawan itu segera lolos menghipnotis penglihatan kedua pria itu."Kalian ngapain pagi-pagi sudah ada di sini? Memangnya ada yang undang?" tanyanya dengan nada yang sedikit kesal."Em, mau anterin kamu kerja," jawab Ian tampak sangat berbeda. Ia seolah bukan Ian yang biasa."Ha?" balas Ai yang tidak begitu yakin."Aku saja yang anterin kamu, Ai." Danny segera menyodorkan diri layaknya bara
"Ai, tolong berhenti, Nak! Kamu harus istirahat!" titah Arzi dengan penuh ketegasan.Ai yang masih sibuk mencari jalan ke luar untuk menyelamatkan perusahaannya dari isu buruk itu tentu saja menolak. Ia masih ingin sibuk dan memang akan tetap sibuk."Kamu tidak takut kalau bayimu kenapa-kenapa?" geram sang ayah kemudian.Ai berhenti untuk sesaat. Ia menatap sang ayah dengan senyum tulusnya."Aku tau, Yah. Istirahat, kan? Lima jam, itu sudah lebih dari cukup.""Ai!" teriak Arzi dengan nada kencang. "Kamu sedang hamil sekarang. Usia kandungan kamu masih sangat rentan. Bahkan sepuluh jam dalam sehari saja masih kurang. Seharusnya pekerjaan yang kamu lakukan adalah pekerjaan santai. Paham tidak?!"Bukan Ai namanya jika tidak lebih mencintai kesibukan daripada santai. Ia bahkan akan mencari masalah untuk diselesaikan tatkala merasa hidupnya begitu damai. Itulah sebabnya ia tak begitu sedih lagi setelah benar-benar sadar kehilangan sang suami.Danny yang diperintahkan untuk membelikan vitam
Ai kembali lembur malam ini. Ia sedikit ke luar dari ruangannya, mendapati banyak lampu yang sudahmati. Sesungguhnya, hal itu sedikit membuatnya gelisah.Namun, hal itu segera tertutupi ketika rasa laparnya menggejolak untuk segera diganjal. Setelah menutup akses laptopnya, ia bergerak menuju ruang pentry sekarang.Rasa lapar itu semakin menjadi ketika melihat isi kulkas yang hanya berisikan buah. "Ah, sial. Padahal pekerjaanku tinggal sedikit. Akan sangat tanggung jika aku memesan dari luar," gumamnya.Dengan masih semangat yang menyala-nyala, ia mengupas buah itu dan membawanya ke ruangan. Penciumannya segera mendapat bau yang aneh ketika berada di ujung pintu. Begitu juga dengan keningnya yang segera mengerut."Ada apa ini?" pikirnya.Walau begitu, ia tetap melangkah hingga di langkah yang kesepuluh ia terhenti ketika sadar jika bau itu adalah bau kopi. Siapa yang telah membawakannya?Perasaannya semakin tidak enak ketika mendengar suara keran air di toilet. Ia mundur sekarang, he
Seminggu setelah kejadian itu, Ai baru berani ke luar dari rumah. Ia menatap ke sekeliling dengan penuh hati-hati. Ia yang bahkan berada di balkon rumahnya sendiri terlihat was-was.Danny yang memang sejak seminggu kemarin tak bertemu dengannya, tentu saja merasa rindu. Ia dan Rald bahkan sudah menunggu di bawah.Namun, ia masih tetap dengan keputusannya. Ia hanya akan pergi bersama sang ayah. Danny yang memang seorang pria bijak tentu saja menerima keputusan itu."Om, sampaikan salamku padanya," ucapnya sebelum berlalu dari sana."Aku juga, Om. Sampaikan pada Kak Ai, aku butuh uang jajan."Ucapan Rald membuat Arzi tergelak. Ia bahkan menjambak rambut lelaki itu sekarang oleh karena perasaan geramnya."Sudah, sudah, kalian pergilah sana. Kalau bisa belikan bibit ikan, ya. Kolam Ai baru saja jadi. Kami tidak sempat membeli langsung, jadi minta tolong pada kalian saja." Arzi bergerak mengambil uang yang memang sudah disediakan sebelumnya."Beli berapa banyak, Om?" tanya Rald yang meman
Ai kembali memasuki rumah sakit untuk menjemput ponselnya yang ketinggalan. Ia memang bergerak sendirian karena keinginannya sendiri dan sebelumnya sudah ditelepon oleh dokter. Wanita itu tertegun selama beberapa saat, melihat ke sekeliling dan sadar jika keadaan sangat riuh. Namun, ia tidak tahu apa penyebab pastinya. Yang ia tahu, beberapa menit yang lalu rumah sakit kedatangan ambulans yang tentu saja membawa pasien. Namun, entahlah penyebab pasti keadaan runyam ini.Langkahnya memasuki ruangan sang dokter yang kebetulan tampak kosong. Ia pun memberanikan diri untuk bertanya."Itu ada pasien yang baru datang, Bu Ai. Pasien kekurangan darah, stok di rumah sakit juga sedang kosong untuk golongan darah yang cukup langka itu.""Oh." Ai terdiam sambil manggut-manggut tanda paham. Namun, keningnya masih mengerut, sepertinya belum begitu puas dengan apa yang baru saja ia dengarkan."Ada lagi yang mau ditanyakan, Bu?""Apa dia orang penting sampai semua sesibuk itu?""Em ..." Mengangguk.