Noah merasa penasaran dengan putrinya yang tidak ke luar dari kamar sejak tadi malam. Hal itu membuatnya untuk segera memastikan. Tatkala hendak menuju kamar putrinya, ia segera sadar jika Ana telah berada di tepian kolam renang. Gadis itu tampak lesu dan tidak ada semangat."Ehem." Mencoba berdehem. "Ada apa denganmu, Sayang?"Ana tidak segera menjawab. Ia menyeka air matanya lalu meneguk minuman yang ada di dekatnya. "Cerita sama Papa.""Pa, sepertinya perbuatanku sudah sangat salah, ya? Tapi, itu semua terjadi di luar dugaanku, Papa. Aku tidak pernah ingin jika Ian bersama wanita lain. Dia hanya milikku, semua orang pun tau itu. Tapi kenapa dia harus menikah dengan saudara tiriku?"Noah menggelengkan kepalanya, paham jika gadis ini pasti sedang ada masalah dengan Ian. Hal yang dapat ia lakukan sekarang adalah bicara dengan gadis itu secara pelan."Segala sesuatu yang dimulai harus diselesaikan, Ana. Kalau ada awal, pasti ada akhir. Kamu tau itu.""Ya." Menundukkan kepalanya lemas
Ai memperhatikan kertas di tangannya. Kertas yang menyatakan jika dirinya telah sembuh total. Ia telah bebas beraktivitas sekarang. Namun, tampaknya hal itu tak berhasil membuatnya kegirangan seperti reaksi yang diberikan manusia pada umumnya.Amplop yang lain segera ia buka dan mendapati isi yang menyatakan jika dirinya tengah hamil. Ia berlari dan masuk ke dalam toilet. Tangisannya pecah tatkala sadar jika anak itu mungkin akan bertumbuh tanpa ayah kandung atau mungkin tanpa seorang ayah. Mencoba mengingat-ingat, entah kapan lagi mereka melakukannya, ia sangat menyesal sekarang.Hampir sejam berada di sana, ia mencoba mengecek ponselnya dan tak mendapati satu pesan pun dari suaminya. Pria itu sama sekali tidak peduli, tidak mengkhawatirkan dirinya, mungkin juga lupa. Seketika ia benar-benar sadar jika dirinya tidak seberharga itu di mata Ian.Dengan langkahnya yang gontai, ia ke luar dan berjalan sendiri di koridor rumah sakit. Ia tampak berdiri di parkiran dan segera mendapat pang
Keesokan harinya, kabar sudah benar-benar menyebar ke mana-mana. Sebuah foto yang menunjukkan kebersamaan Ana dengan beragam pria. Satu yang paling mengagetkan adalah ketika bersama dengan Ian, beruntungnya wajahnya tidak begitu terekspos.Noah menjadi salah satu orang yang paling marah. Ia tahu jika putrinya memang salah, tapi jika harus dipermalukan seperti itu, ia tidak akan terima.Kini, Rald sudah berada di rumah itu. Ia menyaksikan wajah penuh amarah Noah untuk pertama kalinya. Ia bahkan gemetar ketika mengirim pesan pada ayahnya agar segera datang."Kenapa kamu melakukan itu? Ada masalah apa kamu dengan Ana sampai setega itu pada putriku?" tanya Noah dengan nada menantang.Wajahnya benar-benar berubah seram dan sungguh tidak bersahabat. Pria itu terus menghela napas panjang membuat Rald menjadi kian semakin takut."Aku benci Kak Aja. Kenapa coba, Om, dia harus selalu mengganggu dan menyiksa Kak Ai? Ini masih perbuatan kecil, masih aib kecil. Apa kalian mau aib besar akan semaki
Pertemuan rahasia antara Ian dan Ana pun terjadi di sebuah gedung kosong. Keduanya datang sendirian. Ian memasang wajah datarnya tatkala gadis itu hendak bermanja dengannya. Ia bahkan dengan sengaja menepis tangan Ana.Gadis itu seketika menatap dengan penuh keheranan. Ia tidak paham dengan apa yang tengah dilakukan oleh Ian padanya."Ian, kok kamu menjauh dari aku? Kamu merasa jijik atau apa?""Ya jelas. Kamu mau bermanja di sembarang tempat. Itu menjijikkan sekali."Jawaban itu tentu saja membuat Ana tak habis pikir. Ia seolah dilarang oleh Ian untuk menyentuh. Sontak saja ia segera menjauh lalu duduk di sebuah kursi yang tampak sudah disiapkan sebelumnya.Terdiam cukup lama, Ian tampak menghela napas dengan sangat panjang. Ana segera berpikir negatif dibuatnya. Bagaimana tidak, seolah ada rahasia yang ditup-tutupi darinya atau rencana di luar perencanaan mereka."Ana, sepertinya hubungan kita harus benar-benar berakhir di sini? Kita tidak boleh memaksakan kehendak dan merubah takd
Ai akhirnya kembali bekerja mulai hari ini, walau dirinya hanya akan memimpin proyek yang memang belum ia selesaikan sebelumnya. Semua orang menyambutnya dengan sangat hangat. Tak sedikit dari mereka yang memberikan ucapan selamat, pun bunga kecil yang bahkan sekarang sudah memenuhi meja kerjanya.Ana yang memang selalu usil dengannya, pun mendatangi ruangannya. Gadis itu duduk di kursi pengunjung sambi melihat-lihat sumber bunga-bunga itu. Ai tidak terlalu keberatan dengan kehadiran sang kakak tiri sebab pekerjaannya memang tidak diganggu sama sekali. Ia masih bisa beraktivitas sesukanya.Sampai akhirnya, di satu tangkai bunga hidup yang tampak segar dan indah, Ana terpaku. Ia melihat bunga yang ternyata datang dari seorang Ian. Ia sungguh tidak menyangka."Selamat siang," sapa pria itu bagaikan sebuah kebetulan yang tak diduga-duga.Hal itu membuat panas di hati Ana semakin memuncak. Ia menarik pria itu ke luar dan menyudutkannya di tempat yang memang sepi pengunjung. "Kamu kenapa
Seorang wanita tampak berdiri di depan kediaman Arzi. Hal itu sudah diperhatikan oleh sang pemilik rumah sejak tadi. Setelah sejam berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri orang itu.Entah mengapa, perasaannya campur aduk. Bingung dengan perasaannya sendiri, ia memutuskan untuk berhenti sesaat. Menyadari jika detakan jantungnya sangat kencang. Walau begitu, ia tetap berusaha untuk meminimalisir rasa khawatir itu dan memutuskan untuk segera membuka pagar rumahnya."Ada yang perlu dibantu?" tanyanya."Arzi?" Sebuah suara yang berhasil membuat pria itu merasakan goncangan yang amat besar dalam jiwanya. Jantungnya seolah berhenti untuk selamanya.Suara itu adalah suara yang sudah tak didengarnya selama berpuluh tahun lamanya. Mungkinkah ia telah salah dengar."Maaf, anda siapa?" tanyanya membuat lawan bicara segera membuka kaca mata hitam yang dikenakannya sejak tadi.Hal yang lebih mengejutkan itu, pun terjadi. Orang itu adalah orang yang tak pernah diharapkan Arzi untuk pulang
Tersenyum penuh arti, Rald mendatangi Tiffany di toko bunganya. Ia berdiam selama beberapa saat di sana sebelum akhirnya membuka helm. Iya, Rald menyewa motor untuk ia gunakan seharian bersama gadis itu."Tiffany?" panggilnya. Suara langkah kaki yang mendekati pintu membuatnya diam, mengira jika itu adalah orang yang dia maksud. Namun, wajahnya begitu terkejut tatkala wanita yang adalah Elvina itu segera ke luar dari sana dan tidak menyapanya sama sekali."Kak El?" panggilnya begitu heboh namun tetap tidak dihiraukan sebab wanita itu melangkah dengan cepat hingga memasuki taksi yang mungkin telah dipesan sebelumnya.Tiffany yang melihat dari koridor lantai da pun segera memutuskan turun tatkala menyadari kehadiran Rald di sana. Ia tersenyum tipis walau dibaluri dengan rasa cemas.Ia segera menarik tangan pria itu dengan sediki kencang, membawanya menjauh dari tempat itu hingga ke tepi jalan."Kamu ngapain sih ke sini, Rald?""Memangnya tidak boleh?" jawab pria itu seraya mengibaskan
Lagi, Ai melihat Ana mengenakan jaket suaminya yang adalah hasil belanjanya. Kali ini, hal itu sudah tidak dapat ia toleran lagi.Segera saja, ia menarik gadis itu dan membawanya ke ruang meeting. Memaksa Ana untuk membuka jaket itu dan memeriksanya sendiri.Ia tersenyum lebar ketika mendapati barang yang sama. Ia tersenyum menyeringai ketika orang-orang mulai bermunculan dan masuk ke sana sebab memang ada hal yang harus mereka selesaikan."Kamu kenapa harus pakai acara meminjam jaket suami orang, sih? Kamu kan bukan pengangguran, anak orang kaya, fashionable pula. Masa iya harus pakai acara minjam punya suami orang?"Ledekan menohok itu lolos membuat Ana merasa malu dan sangat kecewa. Ia merasa geram pada Ai sekarang."Maksud kamu apa?""Tidak usah sok bodoh begitu!" balas Ai berbisik. "Ini adalah jaket yang aku beli, khusus untuk suamiku. Dan di sini, masih ada namanya."Menujukkan tulisan nama Ian yang padahal adalah hasil tulisan Ai. Kini, gadis itu tak lagi kuasa menahan malu, ia