Pertemuan rahasia antara Ian dan Ana pun terjadi di sebuah gedung kosong. Keduanya datang sendirian. Ian memasang wajah datarnya tatkala gadis itu hendak bermanja dengannya. Ia bahkan dengan sengaja menepis tangan Ana.Gadis itu seketika menatap dengan penuh keheranan. Ia tidak paham dengan apa yang tengah dilakukan oleh Ian padanya."Ian, kok kamu menjauh dari aku? Kamu merasa jijik atau apa?""Ya jelas. Kamu mau bermanja di sembarang tempat. Itu menjijikkan sekali."Jawaban itu tentu saja membuat Ana tak habis pikir. Ia seolah dilarang oleh Ian untuk menyentuh. Sontak saja ia segera menjauh lalu duduk di sebuah kursi yang tampak sudah disiapkan sebelumnya.Terdiam cukup lama, Ian tampak menghela napas dengan sangat panjang. Ana segera berpikir negatif dibuatnya. Bagaimana tidak, seolah ada rahasia yang ditup-tutupi darinya atau rencana di luar perencanaan mereka."Ana, sepertinya hubungan kita harus benar-benar berakhir di sini? Kita tidak boleh memaksakan kehendak dan merubah takd
Ai akhirnya kembali bekerja mulai hari ini, walau dirinya hanya akan memimpin proyek yang memang belum ia selesaikan sebelumnya. Semua orang menyambutnya dengan sangat hangat. Tak sedikit dari mereka yang memberikan ucapan selamat, pun bunga kecil yang bahkan sekarang sudah memenuhi meja kerjanya.Ana yang memang selalu usil dengannya, pun mendatangi ruangannya. Gadis itu duduk di kursi pengunjung sambi melihat-lihat sumber bunga-bunga itu. Ai tidak terlalu keberatan dengan kehadiran sang kakak tiri sebab pekerjaannya memang tidak diganggu sama sekali. Ia masih bisa beraktivitas sesukanya.Sampai akhirnya, di satu tangkai bunga hidup yang tampak segar dan indah, Ana terpaku. Ia melihat bunga yang ternyata datang dari seorang Ian. Ia sungguh tidak menyangka."Selamat siang," sapa pria itu bagaikan sebuah kebetulan yang tak diduga-duga.Hal itu membuat panas di hati Ana semakin memuncak. Ia menarik pria itu ke luar dan menyudutkannya di tempat yang memang sepi pengunjung. "Kamu kenapa
Seorang wanita tampak berdiri di depan kediaman Arzi. Hal itu sudah diperhatikan oleh sang pemilik rumah sejak tadi. Setelah sejam berlalu, akhirnya ia memutuskan untuk menghampiri orang itu.Entah mengapa, perasaannya campur aduk. Bingung dengan perasaannya sendiri, ia memutuskan untuk berhenti sesaat. Menyadari jika detakan jantungnya sangat kencang. Walau begitu, ia tetap berusaha untuk meminimalisir rasa khawatir itu dan memutuskan untuk segera membuka pagar rumahnya."Ada yang perlu dibantu?" tanyanya."Arzi?" Sebuah suara yang berhasil membuat pria itu merasakan goncangan yang amat besar dalam jiwanya. Jantungnya seolah berhenti untuk selamanya.Suara itu adalah suara yang sudah tak didengarnya selama berpuluh tahun lamanya. Mungkinkah ia telah salah dengar."Maaf, anda siapa?" tanyanya membuat lawan bicara segera membuka kaca mata hitam yang dikenakannya sejak tadi.Hal yang lebih mengejutkan itu, pun terjadi. Orang itu adalah orang yang tak pernah diharapkan Arzi untuk pulang
Tersenyum penuh arti, Rald mendatangi Tiffany di toko bunganya. Ia berdiam selama beberapa saat di sana sebelum akhirnya membuka helm. Iya, Rald menyewa motor untuk ia gunakan seharian bersama gadis itu."Tiffany?" panggilnya. Suara langkah kaki yang mendekati pintu membuatnya diam, mengira jika itu adalah orang yang dia maksud. Namun, wajahnya begitu terkejut tatkala wanita yang adalah Elvina itu segera ke luar dari sana dan tidak menyapanya sama sekali."Kak El?" panggilnya begitu heboh namun tetap tidak dihiraukan sebab wanita itu melangkah dengan cepat hingga memasuki taksi yang mungkin telah dipesan sebelumnya.Tiffany yang melihat dari koridor lantai da pun segera memutuskan turun tatkala menyadari kehadiran Rald di sana. Ia tersenyum tipis walau dibaluri dengan rasa cemas.Ia segera menarik tangan pria itu dengan sediki kencang, membawanya menjauh dari tempat itu hingga ke tepi jalan."Kamu ngapain sih ke sini, Rald?""Memangnya tidak boleh?" jawab pria itu seraya mengibaskan
Lagi, Ai melihat Ana mengenakan jaket suaminya yang adalah hasil belanjanya. Kali ini, hal itu sudah tidak dapat ia toleran lagi.Segera saja, ia menarik gadis itu dan membawanya ke ruang meeting. Memaksa Ana untuk membuka jaket itu dan memeriksanya sendiri.Ia tersenyum lebar ketika mendapati barang yang sama. Ia tersenyum menyeringai ketika orang-orang mulai bermunculan dan masuk ke sana sebab memang ada hal yang harus mereka selesaikan."Kamu kenapa harus pakai acara meminjam jaket suami orang, sih? Kamu kan bukan pengangguran, anak orang kaya, fashionable pula. Masa iya harus pakai acara minjam punya suami orang?"Ledekan menohok itu lolos membuat Ana merasa malu dan sangat kecewa. Ia merasa geram pada Ai sekarang."Maksud kamu apa?""Tidak usah sok bodoh begitu!" balas Ai berbisik. "Ini adalah jaket yang aku beli, khusus untuk suamiku. Dan di sini, masih ada namanya."Menujukkan tulisan nama Ian yang padahal adalah hasil tulisan Ai. Kini, gadis itu tak lagi kuasa menahan malu, ia
"Aku buatin nasi goreng kesukaan kamu ya, Mas," kata Ai di meja makan tatkala suaminya tidak berselera dengan masakan Rainy malam itu.Ayah dan ibu tirinya segera datang, kemudian duduk bersamanya sekarang. Ia tahu, jika akan ada banyak pertanyaan yang akan dilayangkan oleh Mario.Hal itu membuatnya mencari-cari alasan. Kali ini, ia mengeluhkan perutnya yang segera dihentikan oleh sang ayah, tatkala tahu dan sadar jika Ian hanya berpura-pura."Barusan aja papa masih dengar kamu pesanin nasi goreng pedas sama istri kamu," decitnya segera menghentikan sandiwara pria itu."Hm, iya.""Jadi, kalian mau nanya apa sekarang?" balasnya pasrah sekarang."Dari mana saja kamu beberapa hari ini? Selalu ke luar kantor tanpa ada pemberitahuan yang jelas mau ke mana. Kasihan tuh asisten sama sekretaris kamu. Dia kan jadi tidak tau mau berkata apa sama klien, sudah banyak yang kecewa."Ian hanya terdiam mendengarkan ocehan Mario. Menurutnya, itu memang cukup baik sebab akan ada saat untuk menentangnya
"Mas, ini jaketnya sudah kembali." Ai memberikan benda itu pada suaminya yang membuatnya benar-benar terkejut."Ha?" Hanya sepatah kata itu yang ke luar dari mulut pria itu membuat Ai merasa senang dan ingin berlalu dari sana. Ia segera terlihat sibuk dengan mengambil handuk dan beranjak masuk ke kamar. Namun, langkahnya segera dihentikan oleh Ian yang merasa tersinggung dan ingin menyelesaikan masalah yang ada."Kamu dapat dari mana?""Ya, dari orang yang kamu kasih pinjamlah, Mas.""Ini kok kelihatan agak berbeda gitu, ya? Jangan-jangan ini bukan milikku. Setahuku, jaketnya ada di kantor." Memberi jawaban kebohongan yang bermaksud menenangkan hati wanita itu."Tidak usah bohong, Mas. Itu aku dapatkan dari Ana, kok. Tadi aku suruh dikirim ke alamat kamu, eh malah dikirimnya ke sini. Apa dia yang berani mencuri jaket kamu? Berani sekali loh, ngambilnya dari ruang kerja kamu pula."Ian merasa sangat malu sekarang. Ia sungguh tidak tahan lagi menahan segalanya lalu bergerak menjauh dar
Danny sudah siap dengan tampilan rapinya lagi. Kali ini, ia tidak berdiri di samping Ai sebagai office boy atau sopir pribadi, juga bukan sebagai mantan kekasih, melainkan sebagai seorang teman yang akan selalu mendukung. Ia menanti Ai yang segera ke luar. Sebelum ke luar dari rumah itu, terlebih dahulu ia keluarkan semua barang-barangnya. Ia juga berpelukan dengan mertuanya.Wanita itu tampak sangat bersedih dan sesekali memegangi bagian perutnya yang segera masuk dalam pemantauan pria itu. Ia memperhatikan dengan sangat pasti dan kini menyadari satu hal."Kita ke kantor Ian sekarang, ya," katanya."Ke sana mau ngapain, Ai? Tumben. Memangnya dia ada di mana sekarang?""Aku mau bahas hal penting dengannya," jawab Ai dengan senyum tipisnya. Ia merasa senang sebab sepertinya Danny belum tahu masalah yang tengah menimpanya saat ini.Singkatnya, mereka berangkat. Selama perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Danny tidak begitu memberatkan hal itu sebab tahu jika wanita
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu