"Mas, ini jaketnya sudah kembali." Ai memberikan benda itu pada suaminya yang membuatnya benar-benar terkejut."Ha?" Hanya sepatah kata itu yang ke luar dari mulut pria itu membuat Ai merasa senang dan ingin berlalu dari sana. Ia segera terlihat sibuk dengan mengambil handuk dan beranjak masuk ke kamar. Namun, langkahnya segera dihentikan oleh Ian yang merasa tersinggung dan ingin menyelesaikan masalah yang ada."Kamu dapat dari mana?""Ya, dari orang yang kamu kasih pinjamlah, Mas.""Ini kok kelihatan agak berbeda gitu, ya? Jangan-jangan ini bukan milikku. Setahuku, jaketnya ada di kantor." Memberi jawaban kebohongan yang bermaksud menenangkan hati wanita itu."Tidak usah bohong, Mas. Itu aku dapatkan dari Ana, kok. Tadi aku suruh dikirim ke alamat kamu, eh malah dikirimnya ke sini. Apa dia yang berani mencuri jaket kamu? Berani sekali loh, ngambilnya dari ruang kerja kamu pula."Ian merasa sangat malu sekarang. Ia sungguh tidak tahan lagi menahan segalanya lalu bergerak menjauh dar
Danny sudah siap dengan tampilan rapinya lagi. Kali ini, ia tidak berdiri di samping Ai sebagai office boy atau sopir pribadi, juga bukan sebagai mantan kekasih, melainkan sebagai seorang teman yang akan selalu mendukung. Ia menanti Ai yang segera ke luar. Sebelum ke luar dari rumah itu, terlebih dahulu ia keluarkan semua barang-barangnya. Ia juga berpelukan dengan mertuanya.Wanita itu tampak sangat bersedih dan sesekali memegangi bagian perutnya yang segera masuk dalam pemantauan pria itu. Ia memperhatikan dengan sangat pasti dan kini menyadari satu hal."Kita ke kantor Ian sekarang, ya," katanya."Ke sana mau ngapain, Ai? Tumben. Memangnya dia ada di mana sekarang?""Aku mau bahas hal penting dengannya," jawab Ai dengan senyum tipisnya. Ia merasa senang sebab sepertinya Danny belum tahu masalah yang tengah menimpanya saat ini.Singkatnya, mereka berangkat. Selama perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Danny tidak begitu memberatkan hal itu sebab tahu jika wanita
Di rumah, Ian tampak menjauh dari keluarganya. Ia masuk ke kamar, niatnya adalah membuang semua pakaian wanita itu. Namun sayang, harapannya hanyalah sia-sia sebab semua pakaian Ai sudah tidak lagi ada di sana.Perasaannya sangat kacau sebab tidak dapat memuaskan amarahnya. Namun, ketika sang ayah datang, ia segera bersikap selayaknya tak ada kesalahan yang telah ia perbuat."Pa, aku sudah berusaha banyak. Kalian tau, aku bahkan menjaga ibunya, tapi dia bahkan tidak tau cara berterima kasih dengan benar."Mendengar penjelasan itu seketika membuat Mario terdiam. Cara pandanganya terhadap Ai seolah berubah. Ia yang biasanya berpikir jika wanita itu adalah korban, sekarang berbeda. Bagaimana tidak, Ai bahkan dengan sangat mudah menandatangani surat cerai yang padahal belum jatuh tepat pada tanggalnya.Rainy segera memberi tatapan sendu pada suaminya, berharap agar tidak mempercayai Ian sepenuhnya. Wanita itu tau betul, jika tak ada hal yang dilakukan Ian secara tulus. Ia hanya akan melak
Ai tertegun, terduduk lemas sendirian sekarang. Ia menatap ke arah langit yang tampak menggelap, seolah menggambarkan kondisi hati dan kehidupannya saat ini.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Ia sama sekali tidak mau jika sampai ada orang yang sadar dengan gurat kesedihan di sana.Sehari sudah ia tak makan. Pembantu di rumah itu sudah berganti membujuknya. Namun, tetap saja ia tak mau. Mereka berdiri di dekat wanita itu sekarang. Seolah ikut merasakan kesedihan."Ai, kamu pasti lapar tapi tidak bernafsu, kan? Coba yang ini dulu," bujuk Danny yang tiba-tiba datang.Ia membawakan semangkuk sereal cokelat. Menyajikannya di hadapan wanita itu."Dan, pergilah dari sini. Aku sedang tidak ingin." Menolak dengan halus."Ai, yang kami khawatirkan bukan hanya dirimu, tapi bayimu juga. Jika orang lain saja peduli denganmu, peduli dengan bayimu, kenapa tidak dengan dirimu sendiri? Ayo, makanlah.""Tapi aku seda
Ana yang merasa bahagia itu dan benar-benar bertekad untuk memulai cerita baru di hidupnya harus menelan pil pahit ketika ia baru saja tiba di kantor, namun hampir seluruh karyawan berbisik hal buruk tentangnya. Mereka melakukannya secara terang-terangan.Ia bahkan ditatap dengan sangat sinis membuatnya semakin tak habis pikir. Ia menjadi sangat geram sekarang dan mulai menduga-duga jika Ai telah melakukan ini semua.Gadis itu tampak berjalan dengan sangat cepat, segera menaiki tangga darurat ketika tak seorang pun melihatnya sekarang. Iya, dia menghindari naik lift yang mungkin akan membuatnya semakin kesal dengan keadaan.Melihat kursi yang masih kosong, Ana duduk di sana. Bergerak bebas ke sana ke mari. Tentu saja ada perbedaan antara kursi kerjanya dengan kursi kerja Ai."Kursinya malah lebih mahal. Enak sekali dia bisa berada di posisi ini. Tunggu saja waktunya," gumamnya pada diri sendiri seraya tersenyum licik penuh arti.Tak berselang lama, Ai akhirnya tiba di sana. Ia dengan p
Ian tengah menatap foto pernikahannya dengan Ai yang masih terpasang di dinding. Masih teringat jelas bagaimana ia berdebat parah dengan sang ayah ketika foto itu hendak dipajang di sana.Sekarang, kejadian itu malah terulang kembali, namun keadaannya berbanding terbalik. Ia merasa tidak sanggup jika harus melepas foto itu dan yang menjadi lawannya adalah hatinya sendiri.Ia tidak mengerti dengan jalan pikirannya, helaan napasnya begitu kuat. Ia juga menatap layar ponselnya yang memamerkan isi pesannya dengan mantan istrinya itu.Ia bisa melihat panggilan sayang yang ia keluarkan walau hanya dalam hitungan jari. Kepalanya semakin terasa panas. Entah mengapa, hatinya selalu bergejolak melawan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kehidupannya sekarang."Pak, ada berkas yang harus dikirimkan ke kantor Bu Ai. Sebaiknya Bapak periksakan ulang sebelum saya antarkan," kata sekretarisnya.Kening Ian mengerut. Mendengar nama wanita itu saja, jantungnya berdebar begitu kencang. Entah apa yan
Tin! Tin!Suara klakson mobil yang saling berbalas di depan kediaman Arzi benar-benar mengganggu. Kini, pengisinya segera ke luar untuk memastikan dan sangat terkejut dengan kehadiran Danny dan Ian di sana.Kedua pria itu bahkan terparkir bersampingan dengan kaca mobil yang terbuka. Tatapan di antara keduanya benar-benar saling beradu tajam.Arzi yang benar-benar tidak ingin ikut campur, pun memutuskan untuk menutup pintu hingga bunyi klakson itu kembali terulang.Ai yang sadar jika ada hal buruk terjadi, pun segera ke luar untuk memastikan. Ia yang sudah lengkap dengan pakaian kerjanya, juga sangat menawan itu segera lolos menghipnotis penglihatan kedua pria itu."Kalian ngapain pagi-pagi sudah ada di sini? Memangnya ada yang undang?" tanyanya dengan nada yang sedikit kesal."Em, mau anterin kamu kerja," jawab Ian tampak sangat berbeda. Ia seolah bukan Ian yang biasa."Ha?" balas Ai yang tidak begitu yakin."Aku saja yang anterin kamu, Ai." Danny segera menyodorkan diri layaknya bara
"Ai, tolong berhenti, Nak! Kamu harus istirahat!" titah Arzi dengan penuh ketegasan.Ai yang masih sibuk mencari jalan ke luar untuk menyelamatkan perusahaannya dari isu buruk itu tentu saja menolak. Ia masih ingin sibuk dan memang akan tetap sibuk."Kamu tidak takut kalau bayimu kenapa-kenapa?" geram sang ayah kemudian.Ai berhenti untuk sesaat. Ia menatap sang ayah dengan senyum tulusnya."Aku tau, Yah. Istirahat, kan? Lima jam, itu sudah lebih dari cukup.""Ai!" teriak Arzi dengan nada kencang. "Kamu sedang hamil sekarang. Usia kandungan kamu masih sangat rentan. Bahkan sepuluh jam dalam sehari saja masih kurang. Seharusnya pekerjaan yang kamu lakukan adalah pekerjaan santai. Paham tidak?!"Bukan Ai namanya jika tidak lebih mencintai kesibukan daripada santai. Ia bahkan akan mencari masalah untuk diselesaikan tatkala merasa hidupnya begitu damai. Itulah sebabnya ia tak begitu sedih lagi setelah benar-benar sadar kehilangan sang suami.Danny yang diperintahkan untuk membelikan vitam
Ai mendapatkan kebahagiaannya sekarang. “Ada kalanya keluarga menjadi bagian terpenting dalam hidup. Namun, ada kalanya rasa iri menghancurkan segalanya tanpa mementingkan kepentingan kekeluargaan.”Ucapan itu terdengar nyaring membuat Ian mendongak. Ia sadar akan perbuatannya selama ini. Jika saja, ia tak menyakiti Ai dengan sengaja, mungkin hidupnya tak akan berakhir seperti ini.Wanita itu terlihat sangat menawan. Ia seolah jatuh cinta untuk kedua kalinya. Namun, kali ini berbeda. Rasa cinta itu tumbuh karena sikap dan sifat baik wanita itu.Danny juga mendekat sekarang. Walau ada rasa sesak di hati masing-masing. Namun, umur tua menambah tuntutan agar bersikap lebih dewasa dan mulai belajar untuk saling mengikhlaskan.“Kamu lihat, kan? Istriku cantik sekali. Wih, dia benar-benar membuatku jatuh cinta.”“Sudahlah, Dan. Akhiri omong kosongmu. Aku tau, kamu datang ke sini hanya untuk meledekku. Kamu ingin aku merasa sakit hati dengan apa yang kamu punya saat ini. No, hatiku sudah be
Dua tahun kemudian, Danny dan Ai pertama kalinya mengunjungi rumah keluarga Mario yang kini terlihat baik-baik saja. Namun, terasa sangat sepi. Hal itu membuat mereka merasa penasaran."Ian sudah lama tidak tinggal di sini, semenjak istrinya menikah. Dia tinggal di perbatasan kota, di sana kan sepi," terang Rainy yang tengah menjamu tamunya."Dia tidak pernah pulang, Ma?" balas Ai yang tengah membantu mantan mertuanya itu."Ya, tidak pernah memang, Nak. Kami yang sering mengunjungi dia ke sana. Dia benar-benar belum ada niat untuk punya pengganti Ana juga sepertinya. Sampai sekarang belum juga ada kabar tuh tentang wanita yang dia dekati."Arzi yang baru ke luar dari toilet dan mendengar percakapan itu pun segera meluncur untuk bergabung. Berbeda dengan Danny dan Mario yang malah mengajak bermain sang anak."Keeano Halburt, kamu tampan sekali, Nak?" Rainy yang sudah tidak tahan ingin bicara dengan anak kecil itu pun segera berlari heboh kemudian menggendongnya. Semua orang ikut tersen
Tiffany mengintip dari jauh, tentang apa yang sedang dilakukan oleh Rald sekarang. Pria itu terlihat sangat sibuk di dekat mobil keluarganya.Beberapa saat kemudian, ketika sang sopir sudah datang, ia buru-buru menjauh dari sana.Tiffany yang tau kelakuan pria itu pun segera mendekat."Loh, kok bannya bisa bocor begini, ya? Sepertinya ada yang sengaja, nih." Keluhan sang sopir yang tentu saja segera ditepis oleh Rald."Jangan banyak menuduh dan berpikiran buruk, Om. Tidak baik untuk kesehatan dan sekitar.""Tidak, Nak. Ini memang benar, tadi saya tinggal masih baik-baik saja, kok.""Ini minumannya, aku pulang duluan, ya?" ujar Tiffany yang tentu saja membuat Rald kaget.Ia punya firasat buruk tentang kelakuannya yang mungkin sudah disaksikan oleh gadis itu."Om, aku pulang duluan, ya. Om perbaiki mobil saja dulu, nanti jemput di rumah Bang Danny!"Ia juga segera berlari untuk mengejar Tiffany yang sudah pergi jauh meninggalkannya."Tiff, kamu lihat semuanya, ya?""Apanya yang aku liha
Sebulan telah berlalu, naluri seorang ayah terhadap putrinya tidak akan bisa terpatahkan begitu saja. Hal itulah yang sedang dirasakan oleh Ian sekarang. Ia membawa begitu banyak pakaian anak-anak bersama kedatangannya ke sana.Masih dengan jarak yang jauh, namun Ai sudah dapat melihat kedatangan pria itu. Ia yang memang masih merasakan trauma mendalam yang entah kapan sembuhnya pun segera menutup semua akses untuk kedatangan pria itu.Ai yang memang hanya tinggal bersama pembantunya tak dapat berbuat apa-apa selain menghindar. Tampak jika Ian tengah membuat penawaran sekarang. Bagaimana tidak, ia sangat takut jika tidak diberi kesempatan."Sudah, Bi. Suruh saja dia pergi. Aku tidak mau kalau dia datang ke sini, tidak suka." Perintah Ai yang dikirimkan lewat pesan wa itu membuat Ian semakin sedih. Ia segera berlutut sekarang."Ai, tolong beri aku kesempatan untuk melihat wajah putraku. Aku tidak mau dihantui rasa bersalah ini terus-terusan. Hidupku terasa sangat menderita, jadi tolon
Danny buru-buru pindah ke rumah Arzi. Ia memang sengaja mengalah dalam hal itu agar lebih dekat dengan istri dan anaknya. Bagaimana pun, saat ini yang paling ia utamakan adalah kebahagiaan sang istri.Arzi tersenyum lebar ketika melihat kedekatan antara anak dan menantunya itu. Ia juga tidak terlalu mempermasalahkan apapun yang menjadi pilihan pasangan itu."Yah, ini Keeano tidak mau diam dan tenang. Sepertinya harus mandikan bundanya dulu." Pria itu segera memberikan anaknya kepada Arzi. "Aku bantu Ai mandi sebentar ya, Yah.""Iya, tenang saja. Serahkan pada ayah." Arzi segera bergerak ke luar dari ruangan keluarga kemudian mendekati sang istri yang tengah tersenyum menunggunya sekarang. Ia terpaku menatap arah dada istrinya yang cukup besar sebab mengalami pembengkakan."Hei, apa yang kamu lihat? Aku tidak suka pria genit ya, Dan.""No. Bukan itu masalahnya, Ai. Kenapa ukurannya malah semakin membesar? Ada masalah kah, kita periksakan ke dokter, yuk?"Ai menggeleng sambil tersenyum
Sementara Ai, ia mengeluhkan rasa sakit yang teramat. Entah kenapa, pikirannya terus terbayang pada ibunya yang sekarang tak lagi bersama dengannya.Ia kemudian meminta sang ayah untuk menghubungi ibunya sebab bagaimana pun, wanita itu akan tetap menjadi orang yang paling berarti baginya sebab telah melahirkannya ke dunia ini."Ada kami di sini-""Om, please lakukan saja. Kita tidak tau bagaimana wanita menahan rasa sakit yang teramat ketika akan melahirkan. Aku bisa menjamin seratus persen kalau semuanya akan segera baik-baik saja setelah Ai mendengar suara Tante Elvina."Menyerah dan tidak ingin berdebat lebih panjang, Arzi pun melakukan hal itu. Dokter dan perawat yang menanganinya pun ikut bersuara. Mereka berbincang sekarang dan dalam hitungan menit, anak itu lahir ke dunia."Selamat, Bapak dan Ibu, anak kalian laki-laki. Dia sangat tampan," puji sang dokter membuat Ai merasa sangat penasaran."Kenapa jadi mirip sama kamu sih, Dan?" tanyanya sebelum akhirnya tak sadarkan diri.Se
Ai menatap ke arah pintu kamarnya yang tengah terbuka sejak tadi namun tidak ada yang masuk. Pada akhirnya, ia ke luar sekarang. Mencoba menelusuri seluruh sudut rumah dan masih tidak mendapati siapa-siapa di sana.Pada akhirnya, ia turun ke lantai bawah dengan maksud untuk mencari sang ayah. Langkahnya tertatih sebab perutnya yang sudah semakin besar sekarang.Bayi dalam kandungannya pun begitu aktif memberikan tendangan untuknya sehingga ia harus menahan rasa sakit esktra."Sayang, tunggu sebentar, ya. Kita cari papa kamu dulu," gumam wanita itu sambil terus melangkah hingga akhirnya ia tidak sengaja mendengar percakapan antara ayah dan orang-orang yang entah siapa mereka."Jadi, kecelakaan Ai waktu itu adalah rencana Ian?" tanya Arzi dengan nada kencang.Ia masih tak percaya hingga sekarang.Beberapa saat kemudian, Ana datang. Ia membenarkan kabar itu sebab rekaman suara itu didapat dari ponsel milik Ian sendiri. Ia memang telah melewati batas dengan memeriksa ponsel pria itu, namu
"Sekarang juga kamu harus menikah dengan Ana," gertak Mario penuh amarah tatkala putranya siuman dari tidur panjangnya.Pria itu memang sudah tidak sadarkan diri selama dua bulan lamanya. Mungkin karena benturan hebat di otaknya. Semua orang seolah memberi tekanan yang membuatnya merasa tidak dihargai, seolah segala sesuatunya menjadi sulit.Sementara Ai, ia menjadi lebih tenang sekarang sebab kandungannya sebentar lagi akan segera ke luar ke dunia. Ia juga tak lagi bekerja di luar rumah.Traumanya jauh lebih besar dari keinginan untuk bisa bekerja selayaknya harapannya dari jauh-jauh hari."Apa yang dia lakukan tanpaku?" tanyanya pada Ana yang segera memberikan tamparan di wajahnya sekarang."Perutku sudah semakin besar dan kamu masih memikirkan wanita lain? Sialan kamu, Ian. Aku tidak mau tau, kamu harus segera menikahi aku!"Kecaman itu segera membuat Ian sadar jika ia memang telah melakukan hal itu pada Ana. Ia sendiri juga yang telah berjanji jika akan segera menikahi wanita itu,
Ai merasakan sakit yang teramat di perutnya. Ia segera memperhatikan arah kakinya, rasanya cukup lega sebab tidak ada darah yang ke luar.Namun, rasa sakit itu masih tak berhenti. Ia berteriak hingga akhirnya mendengar suaranya sendiri yang bergema. Tau jika dirinya tengah disekap di ruangan itu, ia mulai mencari jalan ke luar untuk segera ke luar dari sana."Ya Tuhan, aku sangat ketakutan," gumamnya.Suara langkah kaki menyadarkan ia jika seseorang telah datang, mungkin untuk memastikan keadaannya. Ia masih berpura-pura tidak sadarkan hingga sebuah tangan menyentuh dagunya."Bangunlah, jangan berpura-pura lagi," ujar Ian yang membuat Ai sungguh tidak menyangka.Rasa takutnya kembali memuncak dan menjadi lebih agresif sekarang. Pria yang hendak menyentuhnya itu segera ia hantam kepalanya. Ia juga mendorong pria itu dan menggigit tangannya sekuat tenaga."Aw," pekik Ian merasa geram menahan sakit. "Kamu jangan bertindak di luar batas, ya. Aku bisa saja membunuhmu sekarang. Aku sudah cu