Lagi, Ai melihat Ana mengenakan jaket suaminya yang adalah hasil belanjanya. Kali ini, hal itu sudah tidak dapat ia toleran lagi.Segera saja, ia menarik gadis itu dan membawanya ke ruang meeting. Memaksa Ana untuk membuka jaket itu dan memeriksanya sendiri.Ia tersenyum lebar ketika mendapati barang yang sama. Ia tersenyum menyeringai ketika orang-orang mulai bermunculan dan masuk ke sana sebab memang ada hal yang harus mereka selesaikan."Kamu kenapa harus pakai acara meminjam jaket suami orang, sih? Kamu kan bukan pengangguran, anak orang kaya, fashionable pula. Masa iya harus pakai acara minjam punya suami orang?"Ledekan menohok itu lolos membuat Ana merasa malu dan sangat kecewa. Ia merasa geram pada Ai sekarang."Maksud kamu apa?""Tidak usah sok bodoh begitu!" balas Ai berbisik. "Ini adalah jaket yang aku beli, khusus untuk suamiku. Dan di sini, masih ada namanya."Menujukkan tulisan nama Ian yang padahal adalah hasil tulisan Ai. Kini, gadis itu tak lagi kuasa menahan malu, ia
"Aku buatin nasi goreng kesukaan kamu ya, Mas," kata Ai di meja makan tatkala suaminya tidak berselera dengan masakan Rainy malam itu.Ayah dan ibu tirinya segera datang, kemudian duduk bersamanya sekarang. Ia tahu, jika akan ada banyak pertanyaan yang akan dilayangkan oleh Mario.Hal itu membuatnya mencari-cari alasan. Kali ini, ia mengeluhkan perutnya yang segera dihentikan oleh sang ayah, tatkala tahu dan sadar jika Ian hanya berpura-pura."Barusan aja papa masih dengar kamu pesanin nasi goreng pedas sama istri kamu," decitnya segera menghentikan sandiwara pria itu."Hm, iya.""Jadi, kalian mau nanya apa sekarang?" balasnya pasrah sekarang."Dari mana saja kamu beberapa hari ini? Selalu ke luar kantor tanpa ada pemberitahuan yang jelas mau ke mana. Kasihan tuh asisten sama sekretaris kamu. Dia kan jadi tidak tau mau berkata apa sama klien, sudah banyak yang kecewa."Ian hanya terdiam mendengarkan ocehan Mario. Menurutnya, itu memang cukup baik sebab akan ada saat untuk menentangnya
"Mas, ini jaketnya sudah kembali." Ai memberikan benda itu pada suaminya yang membuatnya benar-benar terkejut."Ha?" Hanya sepatah kata itu yang ke luar dari mulut pria itu membuat Ai merasa senang dan ingin berlalu dari sana. Ia segera terlihat sibuk dengan mengambil handuk dan beranjak masuk ke kamar. Namun, langkahnya segera dihentikan oleh Ian yang merasa tersinggung dan ingin menyelesaikan masalah yang ada."Kamu dapat dari mana?""Ya, dari orang yang kamu kasih pinjamlah, Mas.""Ini kok kelihatan agak berbeda gitu, ya? Jangan-jangan ini bukan milikku. Setahuku, jaketnya ada di kantor." Memberi jawaban kebohongan yang bermaksud menenangkan hati wanita itu."Tidak usah bohong, Mas. Itu aku dapatkan dari Ana, kok. Tadi aku suruh dikirim ke alamat kamu, eh malah dikirimnya ke sini. Apa dia yang berani mencuri jaket kamu? Berani sekali loh, ngambilnya dari ruang kerja kamu pula."Ian merasa sangat malu sekarang. Ia sungguh tidak tahan lagi menahan segalanya lalu bergerak menjauh dar
Danny sudah siap dengan tampilan rapinya lagi. Kali ini, ia tidak berdiri di samping Ai sebagai office boy atau sopir pribadi, juga bukan sebagai mantan kekasih, melainkan sebagai seorang teman yang akan selalu mendukung. Ia menanti Ai yang segera ke luar. Sebelum ke luar dari rumah itu, terlebih dahulu ia keluarkan semua barang-barangnya. Ia juga berpelukan dengan mertuanya.Wanita itu tampak sangat bersedih dan sesekali memegangi bagian perutnya yang segera masuk dalam pemantauan pria itu. Ia memperhatikan dengan sangat pasti dan kini menyadari satu hal."Kita ke kantor Ian sekarang, ya," katanya."Ke sana mau ngapain, Ai? Tumben. Memangnya dia ada di mana sekarang?""Aku mau bahas hal penting dengannya," jawab Ai dengan senyum tipisnya. Ia merasa senang sebab sepertinya Danny belum tahu masalah yang tengah menimpanya saat ini.Singkatnya, mereka berangkat. Selama perjalanan tidak ada percakapan di antara mereka berdua. Danny tidak begitu memberatkan hal itu sebab tahu jika wanita
Di rumah, Ian tampak menjauh dari keluarganya. Ia masuk ke kamar, niatnya adalah membuang semua pakaian wanita itu. Namun sayang, harapannya hanyalah sia-sia sebab semua pakaian Ai sudah tidak lagi ada di sana.Perasaannya sangat kacau sebab tidak dapat memuaskan amarahnya. Namun, ketika sang ayah datang, ia segera bersikap selayaknya tak ada kesalahan yang telah ia perbuat."Pa, aku sudah berusaha banyak. Kalian tau, aku bahkan menjaga ibunya, tapi dia bahkan tidak tau cara berterima kasih dengan benar."Mendengar penjelasan itu seketika membuat Mario terdiam. Cara pandanganya terhadap Ai seolah berubah. Ia yang biasanya berpikir jika wanita itu adalah korban, sekarang berbeda. Bagaimana tidak, Ai bahkan dengan sangat mudah menandatangani surat cerai yang padahal belum jatuh tepat pada tanggalnya.Rainy segera memberi tatapan sendu pada suaminya, berharap agar tidak mempercayai Ian sepenuhnya. Wanita itu tau betul, jika tak ada hal yang dilakukan Ian secara tulus. Ia hanya akan melak
Ai tertegun, terduduk lemas sendirian sekarang. Ia menatap ke arah langit yang tampak menggelap, seolah menggambarkan kondisi hati dan kehidupannya saat ini.Tak terasa, air matanya kembali menetes. Entah sudah berapa kali ia bolak-balik kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Ia sama sekali tidak mau jika sampai ada orang yang sadar dengan gurat kesedihan di sana.Sehari sudah ia tak makan. Pembantu di rumah itu sudah berganti membujuknya. Namun, tetap saja ia tak mau. Mereka berdiri di dekat wanita itu sekarang. Seolah ikut merasakan kesedihan."Ai, kamu pasti lapar tapi tidak bernafsu, kan? Coba yang ini dulu," bujuk Danny yang tiba-tiba datang.Ia membawakan semangkuk sereal cokelat. Menyajikannya di hadapan wanita itu."Dan, pergilah dari sini. Aku sedang tidak ingin." Menolak dengan halus."Ai, yang kami khawatirkan bukan hanya dirimu, tapi bayimu juga. Jika orang lain saja peduli denganmu, peduli dengan bayimu, kenapa tidak dengan dirimu sendiri? Ayo, makanlah.""Tapi aku seda
Ana yang merasa bahagia itu dan benar-benar bertekad untuk memulai cerita baru di hidupnya harus menelan pil pahit ketika ia baru saja tiba di kantor, namun hampir seluruh karyawan berbisik hal buruk tentangnya. Mereka melakukannya secara terang-terangan.Ia bahkan ditatap dengan sangat sinis membuatnya semakin tak habis pikir. Ia menjadi sangat geram sekarang dan mulai menduga-duga jika Ai telah melakukan ini semua.Gadis itu tampak berjalan dengan sangat cepat, segera menaiki tangga darurat ketika tak seorang pun melihatnya sekarang. Iya, dia menghindari naik lift yang mungkin akan membuatnya semakin kesal dengan keadaan.Melihat kursi yang masih kosong, Ana duduk di sana. Bergerak bebas ke sana ke mari. Tentu saja ada perbedaan antara kursi kerjanya dengan kursi kerja Ai."Kursinya malah lebih mahal. Enak sekali dia bisa berada di posisi ini. Tunggu saja waktunya," gumamnya pada diri sendiri seraya tersenyum licik penuh arti.Tak berselang lama, Ai akhirnya tiba di sana. Ia dengan p
Ian tengah menatap foto pernikahannya dengan Ai yang masih terpasang di dinding. Masih teringat jelas bagaimana ia berdebat parah dengan sang ayah ketika foto itu hendak dipajang di sana.Sekarang, kejadian itu malah terulang kembali, namun keadaannya berbanding terbalik. Ia merasa tidak sanggup jika harus melepas foto itu dan yang menjadi lawannya adalah hatinya sendiri.Ia tidak mengerti dengan jalan pikirannya, helaan napasnya begitu kuat. Ia juga menatap layar ponselnya yang memamerkan isi pesannya dengan mantan istrinya itu.Ia bisa melihat panggilan sayang yang ia keluarkan walau hanya dalam hitungan jari. Kepalanya semakin terasa panas. Entah mengapa, hatinya selalu bergejolak melawan apa yang sebenarnya telah terjadi dalam kehidupannya sekarang."Pak, ada berkas yang harus dikirimkan ke kantor Bu Ai. Sebaiknya Bapak periksakan ulang sebelum saya antarkan," kata sekretarisnya.Kening Ian mengerut. Mendengar nama wanita itu saja, jantungnya berdebar begitu kencang. Entah apa yan