"An?" Satria coba memanggil hati-hati.Tapi Ana tak bergeming. Hanya melemparkan tatapan pada pemandangan di luar jendela mobil.Satria melirik sekilas beberapa kali. Ia bingung harus bagaimana dan mengatakan apa atas hal yang terjadi ini.Saat masuk ke perkomplekan rumah, Ana sudah melepas sabuk pengamannya. Hingga mobil berhenti di depan rumah Devandra.Sedikit bayangan tidak enak terbesit di kelopak mata Satria."An?"Baru saja ia coba memanggil Ana sekali lagi, tapi anak itu sudah keluar dari mobilnya. Satria mengikuti Ana.Seolah semesta makin mempersulit Satria, Devandra tampak sedang bersantai di teras. Ia berusaha keras memberanikan diri mengikuti Ana ke dalam pekarangan rumah."Ana? Kok bisa pulang sama Om Satria?" tanya Syafira."Ketemu di jalan, Ma," jawab Ana lalu melintas begitu saja masuk ke dalam rumah."Makasih udah di anterin ya, Sat," kata Syafira padanya.Satria mengangguk samar dengan hati yang tidak tenang.Ia bertanya-tanya mengapa Syafira tampak santai-santai sa
Sudah dua minggu ini Satria jadi makin frustasi. Melenyapkan diri dalam pekerjaan tidak membuat pikirannya seutuhnya bisa terlupa dari kejadian di malam itu.Bodohnya malah ia terus membayangkan Ana dalam pelukannya seperti malam sialan itu. Sungguh otak mesum yang harus segera ia lenyapkan.Berbagai macam cara sudah Satria lakukan demi melupakan Ana dan kejadian malam itu. Toh sampai hari ini semuanya baik-baik saja.Hanya Ana yang menghindar darinya. Juga rasa tidak nyaman tiap kali ia mencoba menemui salah satu wanitanya untuk bersenang-senang. Bayangan tangis Ana seolah menghantui dan berakhir dengan Satria yang tidak jadi melakukan itu.Tumpukan pekerjaan yang tadi pagi menghiasi mejanya kini sudah menghilang. Semuanya sudah ia bereskan sebelum waktu pulang kerja tiba."Pak Satria. Pak Devandra meminta masuk."Satria tertegun beberapa saat mendangar intercome yang berbunyi.Entah kenapa dadanya selalu berdegup kencang tiap kali harus berhadapan dengan Devandra. Satria sadar betul
Pagi-pagi Devandra dibuat kewalahan menangani 3 putranya yang sedang berebut pisang di meja makan."Kalian kenapa sih? Eh! Jangan pada berebut. Pisangnya banyak itu!"Tiga serangkai yang kadang akur kadang saling tepok itu kini layaknya 3 ekor snak monyet di alam liar."Ma! Mama ini kenapa mereka kaya anak monyet!" teriak Devandra panik dengan ketiga putranya.Syafira menghampiri mereka sambil membawa telor ceplok dan nasi goreng untuk sarapan mereka."Ini anak kita bukan anak monyet," balas Syafira."Terus kenapa pada berebut pisang begini."Syafira menggeleng dengan kelakuan mereka bertiga."Laper, Ma." Afgan menanggapi tatapan mamanya."Makan deh nih. Jangan pada makan pisang aja."Syafira menyodorkan wadah berisi nasi goreng dan telor ceplok yang langsung direbutkan anak-anaknya."Pelan-pelan!" Devandra mulai khawatir dengan tingkah kebinatangan anak-anaknya.Mungkinkah selama hamil ada kelainan pada istrinya dulu pada ketiga anaknya ini."Udah, An. Mama aja yang ambil makanannya,
[Jadi kamu mau nanggung ini semua sendirikan? Jangan seret-seret, Om. Pokoknya kalau kamu gak mau denger solusi dari Om, kamu tanggung sendiri.]Ana menghempaskan tubuhnya ke tempat tidur dengan kepala berdenyut serta rasa mual yang serasa saling berkelahi di dalam dirinya.Ia membaca pesan dari Satria itu dengan peluh dingin.[Baik.]Ana melempar handphonenya ke dekat kepala ranjang lalu memejamkan matanya. Ia sungguh lelah. Satu-satunya hal yang Ana mau adalah tidur. Dirinya sangat butuh istirahat sekarang.****Ruang tamu di rumahnya jadi sering di jadikan tempat berkumpul. Terutama malam ini yang tak hanya ada papa dan para om-nya tapi juga para tante serta sepupu-sepupunya.Ana mengambilkan minuman seperti biasam tapi berniat langsung ke kamar setelah ini. Ia tak sanggup terlalu lama berdiri. Apalagi rasanya sekujur tubuh Ana lemas."Makasih, Ana."Ana mengangguk saat mendapat ucapan itu dari papanya.Sedikit ekor mata Ana melihat sosok yang tidak ingin ia lihat."Tumben gak naka
"Bener ya katanya kak Ana hamil?"Sore-sore tiga serangaki yang selalu bersama sedang ngobrol layaknya perempuan lain kalau sedang bersama pasti ujung-ujungnya ngomongin orang."Eh, iya. Katanya hamil duluan.""Padahal, tampilan kak Ana biasanya alim gitukan. Rajin. suka di banggain sama tante Syafira karena gak males-malesan aja kerjanya."Amelia mendecik. "Biar kita suka males-malesan kali. Tapi gak kebablasan kaya gitu.""Amit-amit! Aku deket sama laki-laki aja ogah. Apalagi di ajak ngamar." Adelia menyahut.Brak!Daneen menggebrak meja lalu menatap sengit tiga sepupunya yang sedang menggosip.Amelia, Adelia dan Kamila sontak diam."Silahkan kalian gisopi siapa aja yang kalian mau! Tapi enggak dengan Ana!" geramnya.Nafas Daneen memburu menatap satu-satu dari mereka penuh ancaman."Paham!?" teriaknya.Serentak mereka mengangguk sambil menggetar.Daneen memang terkenal manja dan suka merengek. Tapi bukan berarti mereka tidak tau kalau Daneen paling nekat.Sekali mengancam, apapun bi
"Bener, An? Ini semua karena perbuatan Melisa?"Perbuatan Daneen sukses melibatkan tiga keluarga sekaligus. Mereka jadi bicara di rumah Bapa dan ibu."Ngomong aja, An! Biar semua orang tau si B*ngs*t Melisa yang udah bikin kamu kayak gini!" "Daneen!"Dinar sudah tidak bisa terus diam dan sabar menghadapi putrinya ini. Entah siapa yang Daneen contoh. Dirinya sama sekali tidak pernah mengajari Daneen begini."Mama diam! Mama tuh gak ngerti apa-apa!" balas Daneen yang sepertinya tidak pandang bulu lagi untuk mengomel."Daneen. Kasih waktu buat Ana jawab," tegur Syafira menengahi.Kalau tidak sedikit memberi sabar pada mulutnya, mungkin Syafira juga akan di semprot oleh Daneen.Semua mata tertuju pada Ana. Menunggu jawaban apakah iya atau tidak."Cepet jawab, Ana! Tinggal bilang iya aja susah banget!" desak Daneen tidak sabaran.Yuda sampai mencekam tangan putrinya agar mau diam.Tamoak Ana memejamkan mata. Menghela nafas menatap satu persatu orang di sana. Tatapannya terdiam sejenak pa
Harapan Devandra melihat Ana sekolah dengan benar. Meraih segala cita-citanya hingga ia merasa sangat bangga sudah membesarkan anak perempuan yang selama ini ia anggap anak sendiri.Tapi kenyataan yang menimpa putrinya itu seolah tak dapat di terima olehnya. Devandra pernah membayangkan akan membesarkan dan mendukung setiap tumbuh kembang Ana. Bahkan menunaikan kewajibannya hingga memberikan putri angkatnya itu pada sang suami.Tapi tak secepat ini. Bahkan tidak dengan Satria yang baginya lebih tepat menjadi Ayah Ana di bandingkan suami.Andai ini semua masih bisa di revisi, dirinya tak akan tinggal diam hingga akan memperbaiki segalanya.Sulit di bayangkan putrinya yang masih sangat muda menjadi istri dari Satria yang usianya setara dengan dirinya."Makan dulu, Dev."Ia berbalik mendengar suara Syafira. Sejak tari sore dirinya memilih sendiri di kamar setelah mendapatkan lamaran dari Satria untuk putrinya.Devandra sangat ingin menolak. Dirinya tak mau Ana sampai harus hidup sengsar
"Tolong jaga Ana dengan baik."Satria paling mengingat pesan Syafira yang satu itu. Meski dirinya hanya akan membawa Ana ke rumahnya. Tentu masih tetanggaan dengan rumah orang tua Ana.Posisi hidupnya terasa sedikit berubah sekarang. Ia yang tadinya adalah Om dari Ana, kini jadi suami. Saudara sekaligus sahabat dari Devandra, sekarang malah jadi menantu.Walau Satria tau kalau Devandra masih belum ikhlas dirinya menikahi Ana. Satria paham Devandra tak dapat menerimanya karena merasa hidupnya yang tidak bisa di terima.Mungkin mereka memang bisa saling bersaudara dan bersahabat. Tapipasti sulit menerima dirinya jadi menantu di saat Devandra mengetahui sepak terjangnya selama ini.Orang tua mana yang mana anak gadisnya hidup bersama laki-laki sepertinya yang sering bergonta ganti wanita tiap malam.Terlihat dengan jelas Devandra tak mau menatap matanya. Bahkan keberatan yang di pancarkan Devandra pada dirinya."Kita tidur sekamar, Om?"Satria menarik koper Ana ke dekat lemari yang telah
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya