Dinar mematut dirinya di cermin. Berkali-kali memastikan penampilannya tidak akan membuat Yuda malu. Ia menghela nafas pendek. Kenapa sekarang dirinya justru terobsesi terlihat glamor dan berkelas. Rasanya ia tidak seperti dirinya yang dulu.Dinar akui dirinya terganggu dengan ucapan Ami beberapa hari lalu. Walau tidak menunjukkan amarah, tetap saja hatinya terasa di cubit hingga timbul rasa ingin menunjukkan kalau dirinya tidak rendahan."Lama banget, Din. Kenyamukan saya di luar nungguin kamu."Bayangan Yuda terlihat di kaca hingga membuyarkan Dinar dari pikirannya. Ia berbalik menatap Yuda yang terlihat kesal."Maaf ya, Mas," kata Dinar tidak enak."Kenapa sih?" tanya Yuda heran.Yuda mendekat ke arahnya seolah mengerti ada hal yang berbeda dengan dirinya.Dinar menggeleng pelan, namun justru membuat Yuda tampak penasaran."Ada masalah lain?""Enggak kok. Cuma kurang pede aja Dinar pakai baju ketat gini."Gaun hitam yang membungkus tubuhnya hingga mata kaki terasa kurang pas di mat
"Yuda. Ya ampun. Seneng banget bisa ketemu di sini!"Lagi-lagi perempuan cantik dan seksi. Dinar menyipitkan matanya lalu melirik Yuda tajam."Kamu kok udah gak jawab telpon aku lagi sih? Biasanya kalau aku telpon kamu selalu jawab. Kalau aku ngajakin ketemu kamu selalu mau," kata perempuan itu dengan nada manja.Dinar menarik nafas panjang sambil melipat kedua tangannya ke dada. Tak lupa tatapan tajamnya pada Yuda.Sementara perempuan itu masih bersikap seolah tidak melihat dirinya."Ehem!" deham Dinar yang ia di buat-buat.Rupanya itu sukses menarik perhatian perempuan itu yang menatapnya sekilas lalu melihat ke arah Yuda lagi."Siapa, Yud?" tanyanya tampak tidak suka."Adik," jawab Dinar cepat dengan senyum dan tatapan mematikan pada Yuda."Adik kamu beneran?" tanya perempuan itu lagi tidak percaya."Iyalah. Iyakan?" balas Dinar lagi. Kali ini sambil meremas tangan Yuda dengan ke dua tangannya."I-iya. . . . gitulah," balas Yuda mau tidak mau. Ia menggaruk tengkuknya bingung harus
Rasanya Yuda tidak tahan seperti ini. Sejak tadi malam ia dibayang-bayangi perasaan was-was mengingat para perempuan itu tiba-tiba jadi terus bertemu dengannya.Bukan bertemu terus dengan para perempuan itu yang Yuda khawatirkan. Ia memikirkan bagaimana respon Dinar kalau mengetahui kenyataan dirinya di masa lalu.Matanya menatap lampu merah yang menghentikan putar roda mobilnya. Ia melepas kemudi dan bersandar sembari menghela nafas.Kembali terbayang saat dirinya masih sendiri. Saat itu tak ada hal lain yang ia pikirkan. Seolah-olah saat itu semuanya hanya sekedar permainan. Mencari uang lalu bersenang-senang.Pasti sulit bagi Dinar menerima dirinya yang sering bermain kesana kemari sesaat sebelum menikah. Walau hal ini terjadi sebelum mereka berkenalan bahkan jauh sebelum mereka menikah. Ada rasa dalam hatinya untuk jujur saja. Tapi bagaimana kalau Dinar tiba-tiba minta cerai darinya. Memaklumi perbutannya dahuku tentu sulit ia terima dari Dinar.Tidak ia sangka masa lalu yang ing
"Saya pernah janji sama Ami. Saat saya mau di bawa bapa ke sini. Saat itu dia juga mau di bawa pergi untuk sekolah di tempat yang jauh dari saya."Yuda menjeda ceritanya tampak ragu. Iris mata Dinar yang menatapnya tanpa reaksi sungguh membuat ia tidak yakin untuk bercerita. Rasanya jauh lebih baik Dinar marah atau mungkin menangis agar ia tau apa yang istrinya rasakan.Diam. Reaksi yang tidak mungkin ia tebak artinya."Janji apa?" tanya Dinar dengan suara pelan."Janji kalau saya akan menikahi dia. Janji kalau saya akan kembali pada dia ketika saya sukses.""Terus kenapa mas gak kembali?" tanya Dinar kali ini dengan nada yang seolah menuntutnya. Kelopak matanya yang berair menandakan Dinar menahan diri untuk menunjukan reaksi."Saya kembali. Tapi sayangnya saat saya kembali ternyata pintu itu terbuka sangat luas. Seolah mempersilahkan siapapun untuk masuk."Yuda tertawa hambar sembari mengingat masa lalunya."Jangan pakai istilah, Mas. Dinar gak ngerti," tutur Dinar terlihat geram.
"Jujur Dinar takut, Mas. Gak kebayang tentang masa lalunya, Mas Yuda. Dinar takut, gimana kalau mas kembali tergoda sama masalalu itu selama pernikahan kita?"Dinar tidak dapat membohongi perasaannya. Ia tau kalau semua yang Yuda ceritakan adalah masa lalu. Tapi bayangan jika Yuda akan kembali ke masa lalunya membuat dirinya takut. Bagaimanapun Yuda sudah pernah berada di masalalu kelam, yang besar kemungkinan akan menggodanya untuk kembali ke masa itu. Apalagi orang-orang dari masalalu suaminya tampak menggoda. Bagaimana kalau nanti Yuda meninggalkan dirinya. Pasti akan lebih sakit lagi ketimbang hanya mengetahui masalalu. "Saya ngerti gak mudah menerima saya. Kalau kamu butuh waktu, saya bakal kasih ruang buat kamu berfikir. Tapi saya harap kamu tidak meninggalkan saya. Kasih satu kesempatan buat saya membuktikan buat kamu dan anak kita, kalau semua benar-benar masa lalu."Dinar membalasnya dengan anggukan. Mungkin benar. Ia harus berfikir panjang. Saat ini bukan solusi kalau ber
"Mau kemana, Din?"Dinar segera menoleh saat suara yang familiar bertanya padanya. "Mau jalan, Bang. Kenapa?"Tumben Satria mendatangi rumahnya. Seorang diri pula. Biasanya kalau tidak dengan Hasyim, atau dengan Jono. Lucunya ini jam kerja. Apa mungkin Satria sedang libur. "Bisa kamu batalin dulu jalannya?"Dinar mengerutkan kening bingung. "Kenapa emang, Bang?"Orang mau jalan tiba-tiba suruh batalin. "Yanti lagi sakit. Kasian dia suruh bersih-bersih rumah. Tolong bantu bersih-bersih rumah ibu sama bapa ya? "Kok dia? Yang tinggal di sanakan banyak. "Ada orang yang bisa bersihin rumah itu. Kenapa harus Dinar?"Aneh sekali abang yang satu ini. "Ami gak enak badan. Sementara Bu Vika gak biasa bersih-bersih. Kasian. Tolong ya, Din?"Dinar terpaku beberapa detik. Ada yang gak beres dengan abang satu ini. Lagian yang gak bisa bersih-bersih Bu Vika kenapa malah ia yang di repotkan. "Bentar Dinar tanya ibu dulu boleh apa enggak ya, Bang."Dinar meraih handphone di sakunya. Ia menek
"Pulang dulu ya, Gam. Kapan-kapan mampir lagi."Dinar dengan seruan cerianya berdadah dadah pada teman seperjuangannya itu. Sementara Yuda berjalan duluan membawakan boneka hadiah ulang tahun Dinar yang cukup merepotkannya. Dia jadi bahan lirikan orang-orang. Bawa boneka segede gaban gini. Orang-orang pasti bertanya-tanya buat apa. "Jadi mereka lebih dulu ngerayain ulang tahun kamu ketimbang saya ya?" Yuda berkata sambil memasukan boneka itu ke bangku penumpang. "Dinar juga gak tau mereka ngajakin ke sini buat ngerayain ulang tahun," balas Dinar yang diam menunggu Yuda yang kerepotan memasukkan boneka itu. "Mmm."Respon singkat Yuda yang tidak dipikirkan oleh Dinar. Sementara bonekanya telah di masukan dengan posisi duduk di bangku penumpang, Dinar masuk ke pintu sebelahnya bermaksud duduk di sebelah boneka itu. "Duduk di sana? Gak mau di depan?" tanya Yuda. Dinar menggeleng kecil sembari tersenyum tipis. Tanpa banyak berkomentar, Yuda memilih langsung masuk ke bangku kemudinya
"Sini. Biar Dinar bantu."Dinar meraih pisau yang lain dan memotong wortel yang satunya lagi. "Kelamaan ya nunggu saya?""Enggak kok. Cuma pengen bantu aja."Walhasil kegiatan mereka jadi memasak bersama. Walau diam-diaman karena tak tau harus mengobrol apa. Sebenarnya banyak yang mau di obrolkan. Hanya saja rasanya tidak enak kalau di bicarakan sekarang. Yuda sangat ingin saat ini menanyakan saat Satria menyuruh Dinar membersihkan rumah. Tapi hanya akan membuat suasana nyaman tentram mereka jadi rusuh. Sementara Dinar mau membicarakan banyak hal pada Yuda tapi sepertinya Yuda tidak mau membicarakan hal yang mau ia bicarakan. Namun suara sayatan pisau pada sayuran bukan nada yang menyenangkan. Dinar melirik Yuda yang sepenuh hati sekali memotong wortel-nya yang tak selesai-selesai itu. "Pantes ya banyak perempuan mau sama mas Yuda. Pinter cari muka sama perempuan."Dinar sengaja memancing keributan. "Cari muka?"Yuda menatapnya sambil berfikir. Sementara Yuda tidak punya bakat m
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya