"Sini. Biar Dinar bantu."Dinar meraih pisau yang lain dan memotong wortel yang satunya lagi. "Kelamaan ya nunggu saya?""Enggak kok. Cuma pengen bantu aja."Walhasil kegiatan mereka jadi memasak bersama. Walau diam-diaman karena tak tau harus mengobrol apa. Sebenarnya banyak yang mau di obrolkan. Hanya saja rasanya tidak enak kalau di bicarakan sekarang. Yuda sangat ingin saat ini menanyakan saat Satria menyuruh Dinar membersihkan rumah. Tapi hanya akan membuat suasana nyaman tentram mereka jadi rusuh. Sementara Dinar mau membicarakan banyak hal pada Yuda tapi sepertinya Yuda tidak mau membicarakan hal yang mau ia bicarakan. Namun suara sayatan pisau pada sayuran bukan nada yang menyenangkan. Dinar melirik Yuda yang sepenuh hati sekali memotong wortel-nya yang tak selesai-selesai itu. "Pantes ya banyak perempuan mau sama mas Yuda. Pinter cari muka sama perempuan."Dinar sengaja memancing keributan. "Cari muka?"Yuda menatapnya sambil berfikir. Sementara Yuda tidak punya bakat m
Masih tersisa binar bahagia di wajah Dinar saat mereka dalam perjalanan pulang dari tempat laundry yang di jaga Agam. Sepertinya kebahagiaan yang teman-temannya pancarkan ketika diberi Yuda amplop berisi uang menular padanya. Dulu juga ia sangat bahagia kalau dapat uang gak di duga kayak gitu. "Mas isi satu amplop berapa?" tanya Dinar pada Yuda yang fokus menyetir di sebelahnya. "500 ribu.""Perorang?" tanya Dinar dengan wajah kaget. "Iya."Pantes teman-temannya terlihat senang sekali waktu membuka amplop itu tadi. Bahkan ada yang mau pergi beli oleh-oleh sebelum pulang. "Banyak juga, Mas. Gak apa-apa Mas Yuda kasih sebanyak itu?"Ia pikir Yuda memberikan 50 atau 100 ribu. Biasanya di kasih segitu juga mereka senang. "Gak apa-apa. Gak sering juga. Lagian mereka teman-teman kamu. Yang nemenin dan bikin kamu senang. Selama kamu bahagia bakal saya lakuin, Din."Ya. Mungkin memang Yuda bisa memberikan itu semua padanya. Walau sedikit banyak Dinar harus menutup mata tentang masalalu
Semua berjalan cukup baik untuk beberapa bulan terakhir. Walau beberapa kali Ami dan tante Vika membuat Dinar kesal dengan berbagai macam tingkahnya.Kandungan Dinar sudah memasuki usia 8 bulan. Baru satu bulan lalu mereka mengadakan 7 bulanan untuk calon anak mereka. Sebuah acara sederhana yang hanya dihadiri kerabat dekat Bapa dan Ibu.Bapa dan ibu hadir namun cepat kembali ke Singapura esok harinya. Mereka memutuskan untuk tinggal di sana lebih lama lagi. Yuda dan Dinar memutuskan tidak mengadakan gender reveal seperti yang banyak pasangan lakukan. Dinar yang tidak mau melakukan itu. Dia pikir lebih baik mengadakan syukuran saja saat anak mereka lahir nanti. Sebenarnya Dinar hanya merasa sedih karena ibu dan bapaknya tidak bisa hadir. Bahkan 7 bulanan saja tidak bisa mereka hadiri. Tak ada satupun keluarganya hadir di hari itu. Memang dirinya sendiri yang tidak mau mengundang mereka. Dari pada membuat masalah nanti. Namun sebisa mungkin Dinar melewati ini semua dengan bahagia.
[Yud. Dinar di bawa ke rumah sakit. Dia pendarahan karena di serempet sama orang gak di kenal.]Pesan yang Yuda terima dilihat oleh Devandra. Ia melirik pada bos preman itu tajam."Kau yang melakukan itu?" tanya Devandra. "Kau bilang tidak akan melukai anak-anak Togar!" bentak Devandra dengan geram."Memang tidak," balas preman itu dengan santai."Tapi kenapa kau lukai istriku?" desis Yuda pelan namun ditekannya.Preman itu tertawa kecil. "Aku tidak pernah berencana melukai istrimu."Yuda berdiri mensejajarkan tingginya dengan bos preman itu."Tapi istriku baru saja masuk rumah sakit," geram Yuda dengan tubuh bergetar menahan amarah.Preman itu terdiam melihat isi pesan yang di dapatkan Yuda. Ia langsung melempar tatapan pada salah satu anak buahnya yang ia tugaskan membalas dendam."Aku bilang balas dendam pada anak bed*bah itu!" teriak si Bos preman kencang. "Tapi apa yang kau lakukan?!"Anak buah bos preman itu diam tak berkutik. Sementara bos preman itu meluap-luapkan amarahnya de
Syafira mengunjungi Dinar. Mereka saling bercakap-cakap mengingat kejadian itu.Yuda memilih duduk di sofa yang agak jauh dari ke duanya.Saat ini keadaan Dinar sudah semakin membaik. Rasa Syukur tak henti-hentinya Yuda rasakan. Pasca beberapa waktu lalu ia merasa di ambang antara hidup dan mati.Matanya seolah kembali melihat kejadian itu. Tak tau bagaimana dirinya saat ini bila tuhan mengambil Dinar. Ia tak tau apa mungkin bisa menjalani kehidupannya dengan baik setelah itu.Bagaimana keadaan putrinya, jika kala itu Tuhan tidak memberi satu kesempatan pada mereka.Pintu ruang inap terbuka membuyarkan lamunannya. Devandra masuk dan duduk di sampingnya."Pasien yang menolong Dinar, kata Dokter sudah boleh di bawa pulang," katanya."Mas Danu? Gimana keadaan dia, Bang?"Yuda mengernyitkan kening saat suara Dinar menyahut perkataan Devandra. Sahutan yang mengatakan nama yang agak sensitif di telinganya."Kamu kenal laki-laki yang menolong kamu itu?" tanya Syafira pada Dinar.Dinar menata
Dinar menghela nafas setelah menelan bubur di mulutnya."Buburnya gak enak," keluh Dinar saat Yuda kembali akan menyuapinya."Tapi ini buat kesehatan kamu, Din. Paksain ya?" bujuk Yuda.Dinar tidak menggeleng ataupun mengangguk. Tapi mulutnya tetap terbuka menerima suapan itu walau dengan setengah hati."Gak enak rasanya, Mas. ancur gitu," keluh Dinar lagi."Ya namanya juga bubur, Din."Sahutan Yuda serasa menggantung menurut Dinar. Ia merasakan ada hal yang berbeda dari suaminya ini. Walau tidak menunjukkan ekspresi marah atau apapun, hanya saja Yuda tampak berbeda.Biarpun Yuda sama perhatian seperti biasanya, tetap saja Dinar merasakan aura yang tidak nyaman dari suaminya."Mas Yuda marah sama Dinar ya?"Ia memperhatikan raut wajah Yuda yang terlihat dingin sejak menyuapinya makan. "Enggak. Kenapa marah?"Tuh kan. Yuda terasa sedikit merenggang padanya. Entah apa cuma dirinya yang merasakan, tapi Dinar sangat yakin Yuda sedang tidak baik-baik saja."Itu mukanya Mas Yuda kayak gitu
"Dinar janji gak akan bohong lagi. Dan Mas juga janji kalau Mas tau sesuatu, dan gak nyaman sama sesuatu yang ada hubungannya sama Dinar, Mas ngomong. Gak usah di pendam."Di peluknya lembut lengan Yuda. Ada perasaan takut kalau suaminya ini malah berfikir untuk menceraikannya."Dinar bakal berusaha buat gak mikirin Mas Danu. Gak akan cinta lagi sama dia."Yuda melepaskan lengannya dari pelukan Dinar. Sebersit kekecewaan menghantam perasaannya. Tapi tarikan pelan Yuda hingga mengubah posisi Dinar jadi bersandar padanya, membuat perasaan Dinar langsung menghangat."Kamu udah coba melakukannyakan, Din? Tapi kamu tetap terus terkenang Danu.""Mas bantu dong Dinar biar gak kepikiran dia terus. Lagian Dinar yakin kali ini gak akan kepikirkan mas Danu terus.Lagian mas Danu juga udah ngobrol baik-baik. Mungkin selama ini jiwa Dinar masih terguncang karena kejadian itu gak pernah Dinar sangka. Atas kejadian itu, kami juga udah saling memaafkan dan Mas Danu bilang gak akan pernah lagi datang
"Kenapa, Sayang?" Yuda baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya mendekati Dinar yang menatap ke arah box bayi. Tepat pada putri kecil mereka yang tertidur lelap.Ia mendekati Dinar. Merangkul istrinya lembut."Si kecil kenapa?"Dinar membalasnya dengan gelengan dan senyum tipis. Hal yang justru membuat Yuda heran."Mas mau makan sekarang?" tawar Dinar."Nanti saya ambil sendiri aja. Kamu harus istirahat banyak. Gak boleh kebanyakan aktivitas."Yuda merasakan kekhawatiran dalam diri Dinar. Ia melangkah ke lemari segera memakai baju santainya lalu menuntun Dinar untuk duduk di pinggir ranjang."Ada yang ganggu pikiran kamu?" "Gak kok, Mas. Dinar takut aja. Jadi ibu yang gak baik buat anak kita."Ia mengusap punggung Dinar lembut."Semua perempuan yang melahirkan pasti harus belajar untuk menjadi ibu. Gak ada yang tiba-tiba punya anak langsung jadi ibu yang hebat.""Tapi gimana kalau di tangan Dinar anak kita kenapa-napa? Dinar takut gara-gara Dinar pertumbuhan anak ki
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya