"Dinar janji gak akan bohong lagi. Dan Mas juga janji kalau Mas tau sesuatu, dan gak nyaman sama sesuatu yang ada hubungannya sama Dinar, Mas ngomong. Gak usah di pendam."Di peluknya lembut lengan Yuda. Ada perasaan takut kalau suaminya ini malah berfikir untuk menceraikannya."Dinar bakal berusaha buat gak mikirin Mas Danu. Gak akan cinta lagi sama dia."Yuda melepaskan lengannya dari pelukan Dinar. Sebersit kekecewaan menghantam perasaannya. Tapi tarikan pelan Yuda hingga mengubah posisi Dinar jadi bersandar padanya, membuat perasaan Dinar langsung menghangat."Kamu udah coba melakukannyakan, Din? Tapi kamu tetap terus terkenang Danu.""Mas bantu dong Dinar biar gak kepikiran dia terus. Lagian Dinar yakin kali ini gak akan kepikirkan mas Danu terus.Lagian mas Danu juga udah ngobrol baik-baik. Mungkin selama ini jiwa Dinar masih terguncang karena kejadian itu gak pernah Dinar sangka. Atas kejadian itu, kami juga udah saling memaafkan dan Mas Danu bilang gak akan pernah lagi datang
"Kenapa, Sayang?" Yuda baru keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya mendekati Dinar yang menatap ke arah box bayi. Tepat pada putri kecil mereka yang tertidur lelap.Ia mendekati Dinar. Merangkul istrinya lembut."Si kecil kenapa?"Dinar membalasnya dengan gelengan dan senyum tipis. Hal yang justru membuat Yuda heran."Mas mau makan sekarang?" tawar Dinar."Nanti saya ambil sendiri aja. Kamu harus istirahat banyak. Gak boleh kebanyakan aktivitas."Yuda merasakan kekhawatiran dalam diri Dinar. Ia melangkah ke lemari segera memakai baju santainya lalu menuntun Dinar untuk duduk di pinggir ranjang."Ada yang ganggu pikiran kamu?" "Gak kok, Mas. Dinar takut aja. Jadi ibu yang gak baik buat anak kita."Ia mengusap punggung Dinar lembut."Semua perempuan yang melahirkan pasti harus belajar untuk menjadi ibu. Gak ada yang tiba-tiba punya anak langsung jadi ibu yang hebat.""Tapi gimana kalau di tangan Dinar anak kita kenapa-napa? Dinar takut gara-gara Dinar pertumbuhan anak ki
"Males banget saya ke rumah sebelah itu," dengus Yuda saat makan malam mereka teringat permintaan Bang Erwin untuk datang kesana bersama yang lain."Emang ada masalah apa lagi sih mas?" tanya dinar.entah apa lagi yang membuat beliau meminta semua orang datang. pasca ia di serempet beberapa waktu lalu akibat ulah keberanian beliau yang melampaui batas itu, hampir saja ia dan dirinya tidak selamat."gak tau. paling masalah preman yang masih ngincer ami. kenapa gak di bawa pergi aja dari sini kalau emang bahaya. ngerepotin orang banyak aja," dumel Yuda sambil merapikan meja makansemenjak punya anak dia jadi lebih peka untuk membersihkan meja lebih dulu sebelum Dinar yang bersihkan."ya udahlah. mau gimana lagi. emang mas Yuda bisa ngebantah kalau di minta ke sana?"kedudukan bang erwin dan bapa bisa di bilang setara. mereka sahabat lama. cuma kehidupan bapa jadi lebih makmur semenjak ia mengangkat 5 anak muda yang tak tau arah seperti Yuda dan yang lain.karena usaha dan kerja keras me
"Bener mau nemenin Dinar ke salon?" Wajah Dinar berbinar.Pagi-pagi Yuda membisikkan sesuatu yang sudah pasti akan Dinar sukai. "Iya. Tapi siapin asi buat Daneen terus main bentar sama dia. Baru kita jalan." Yuda berkata sambil berjalan keluar hendak membersihkan mobil.Sebagai seorang suami yang baru aja punya anak, Yuda banyak belajar dari Bapa atau teman-teman yang sudah punya anak. Kalau kasih sayang yang lengkap untuk anak dan healing tipis-tipis juga penting untuk istri.Sejak melahirkan Dinar tidak pernah keluar rumah karena kondisinya harus banyak beristirahat. Jadi saat kondisi istrinya sudah membaik seperti sekarang, Yuda berencana membawa Dinar jalan-jalan sekalian perawatan."Daneen gak di ajak?" Wajah cemberut Dinar membayangkan si kecilnya di tinggalkan sendiri.Ia berjalan mengikuti Yuda."Jangan di bawa keluar-keluar dulu. Kasian dia masih kecil."Yuda mengambil peralatan untuk membersihkan mobil sementara Dinar berdiri di ambang pintu menontoni dirinya.Dinar tampak
"Mungkin gak ya kalau kita punya anak."Syafira menatap langit-langit kamar sambil berandai-andai kelak ia bisa mengasuh bayi yang lahir dari perutnya."Kalau rezeki, pasti bisa." Devandra meraih jemarinya dan mengelus-elus pelan.Malam begini serasa hampa walau mereka bersama. Padahal Devandra sudah menyiapkan banyak hal untuk menghibur malam mereka. Bahkan membeli banyak kaser Drama korea kesukaan Syafira. Buku-buku Novel dan sebagainya.Yang pada akhirnya juga bosan menghabiskan malam hanya dengan menonton TV.Tak ada kegiatan bagi mereka berdua. Kegiatan yang membuat hari-hari menjadi sibuk.Mereka sama-sama berbaring di tempat tidur telentang dengan rasa sepi yang tenyata tidak nyaman.Walau keduanya kini terikat pernikahan dan saling mencintai, nyatanya belum ada kepastian apa ia bisa mengandung atau tidak. Syafira sangat berharap satu hari nanti ada anugrah yang akan tuhan berikan padanya. Mengamanahkan titipan yang akan menyempurnakan kisah hidupnya."Kalaupun gak bisa, aku j
"Sepi banget rasanya, Din," keluh Syafira saat mereka duduk-duduk santai."Mau nyetel sound sistem gak biar berisik," tawar Dinar sambil cengar-cengir."Serius, Din. Rasanya jiwaku hampa." Ya. . ., Dinar sendiri juga serius. Kalau sepi setel aja sound sistem."Bang Devandra kemana sampai hampa?"Selama menikah dengan Yuda tak pernah rasanya jiwa dinar hampa. Selalu ada Yuda dan masalah rumah tangga mereka yang seliweran datang menghampiri.Nikah gak pake pacaran ya gitu. Tanggung masalah dalam pernikahan. Untung aja Yuda tipe suami dewasa buat istri yang kayak dirinya ini"Emang kamu gak liat dia barusan?""Ya Dinar pikir gitu Bang Devandra kemana sampai hampa begitu."Syafira menghela nafas pendek seperti merasa lelah dengan Dinar. Niat mau curhat tapi jadinya malah gregetan."Daneen tidur?" tanya Syafira mengubah topik pembicaraan."Gitulah. Kalau dia bangun mana mungkin bisa santai-santai gini.""Tapikan ada baby sitternya biarpun bangun juga."Dinar menggeleng dengan bibir manyun
Devandra memejamkan mata menikmati detik-detik pelepasannya. Sambil mengontrol nafasnya, Devandra merasakan kebahagiaan di saat-saat seperti ini.Kemudian Devandra teringat kejadian tadi. Ia menoleh pada Syafira yang tampaknya akan memejamkan mata."Mau ngomong apa?" tanya Devandra.Ia tau betul kalau sikap Syafira mulai mengundang dirinya seperti itu, pasti ada yang istrinya inginkan.Geliatan manja Syafira perlahan mendekat hingga menempel di lengannya."Dev," panggilnya dengan suara seksi. Sudah pasti ada hal yang akan merogoh isi dompetnya. Untung saja ia memang punya dompet yang tebal."Kenapa?" bisik Devandra menahan senyum geli karena sudah tau keinginan istrinya ini.Paling Syafira ingin membeli sesuatu yang mahal. Akan ia berikan. Toh semua ia lakukan untuk istrinya."Aku tuh, kepengen punya kegiatan," ucapnya sambil memainkan jadi di dada bidang Devandra."Apa?" tanya Devandra sambil memejamkan matanya.Beginilah rasanya punya istri yang sudah berpengalaman. Selalu tau bagai
Tangannya memegang pembatas jembatan dengan tubuh yang hanya meniti di pinggir jembatan itu. Sekali lepas saja kedua tangannya, maka ia akan berakhir ke bawah sungai sana."Seberat-beratnya hidup, memang harus aku akhiri dengan mati?"Sebuah suara tampak terdengar dekat dengan telinganya. Sementara itu Devandra memilih tetap memejamkan mata.Sebelah kaki sudah hampir terjun ke sungai yang sangat deras di bawah sana. Tak terpikir lagi kemungkinan diri akan selamat."Kau itu masih muda. Kalau kau ada masalah, pikirkan cara mengatasinya. Pendek kali bah otakmu sampai mau terjun bebas begini. Kau pikir setelah kau mati nanti semua masalah selesai?"Bapak-bapak yang tiba-tiba ada di sampingnya berbicara santai dengan bertumpu ke pinggir jembatan."Gak usah ceramahin saya. Anda gak ngerti gimana hancurnya hidup saya," tepis Devandra.Sedikit lagi tubuh itu akan meluncur bebas ke bawah. terbawa arus sungai hingga nantinya meregang nyawa."Cemen kali kau. Masalah berat di umur 18 tahun itu ap
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya