Sehabis sholat Maghrib, Dinar keluar kamar yang ditempatinya dengan Yuda. Suaminya itu barusan pamit ke mesjid bersama bapa.
Dinar memilih ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Namun belum sempat dirinya hendak memegang peralatan dapur, ia sudah di tegur dan di usir mertuanya."Jangan kau sentuh barang-barang dapur itu hey! Biarkan Yanti dan Jujum yang kerjakan!" tegur ibu saat Dinar baru ingin menyentuh kompor.Beliau melangkah lebar menuju kearahnya."Gak apa-apa, Bu. Kali aja Dinar bisa bantu," katanya.Ibu langsung menggeleng tegas. "Buat apa aku punya pembantu kalau pada akhirnya harus kau yang bereskan semua ini," omel beliau. "Lebih baik kau bantu aku saja," katanya lagi."Bantu apa, Bu?" tanya Dinar."Ikut," ajak beliau lalu melangkah menuju ruang tamu.Ibu duduk sambil meraih remot TV dan menekan tombol on hingga cahaya TV menyala."Dinar bisa bantu apa, Bu?" tanya Dinar kebingungan.Dinar memilih kembali ke halaman belakang dan duduk di samping ibu mertuanya."Sudah ketemu Yuda?" tanya ibu mertuanya."Sudah, Bu," balas Dinar sambil tersenyum tipis. Ibu mertuanya mengangguk lalu kembali bercengkrama dengan para rekan sepantarannya. Sementara Dinar memilih duduk saja tanpa mau ikut berbincang.Pikirannya justru berkelana pada kejadian dirinya melihat Yuda duduk berduaan tadi. Dan perasaan sesal merambat di hati Dinar kenapa dirinya tadi tidak mendekati Yuda saja dan menanyakan langsung.Kalau begini, dirinya justru bertanya-tanya siapa wanita itu dan apa yang mereka bicarakan di luar sana berduaan."Hai. Jangan melamun."Dinar tersentak kecil. Matanya langsung menyambut senyuman tipis Yuda yang lalu duduk di dekatnya."Mas, dari mana?" tanya Dinar secara spontan"Kamar mandi," balasnya singkat.Kenapa harus bohong? Dinar jadi semakin kepikiran apalagi jawaban Yuda
"Markir sih kalau saya."Yuda membuka pintu rumah. Dua koper di tariknya lagi masuk ke dalam.Tas besar yang mereka bawa dari rumah, di ubah Yuda saat mereka berada di hotel kala itu.Dinar yang yang terheran-heran diam di tempat karena lagi-lagi jawaban Yuda adalah markir."Kenapa di situ? Masuk. Ini rumah kita," kata Yuda sudah berada di dalam rumah.Langkah kaki Dinar perlahan memasuki pintu rumah. Ia langsung di sambut dengan banyaknya bingkai foto yang bertebaran di hampir seluruh dinding kamar. Bahkan ada foto besar yang terpajang.Foto 5 laki-laki dengan seragam berbeda-beda."Itu foto saya sama mereka berempat waktu di Amerika," kata Yuda saat Dinar menatap lekat foto itu.Dinar terfokus pada apa yang ada di belakang kelima laki-laki itu.Pesawat!"Mas, pernah kerja di bandara?" tanya Dinar."Memang saya kerja di bandara," balas Yuda ringan.Mata Dinar membol
Rancangan pernikahan yang di buat dalam jangka waktu singkat, tak di sangka bisa terbentuk dengan sangat sempurna.Berlokasi di dekat villa milik bapa Togar. Istimewanya, pesta ini akan di selenggarakan di dekat pantai. Tepat di belakang villa. Bisa di bilang ini lokasi pribadi milik bapa Togar."Bagus sekali rancangan mereka dengan pesta kalian itu, ya?" Ibu datang dengan wajah sumberingah. Sepertinya baru saja menengok tempat akan di adakan acara dua jam lagi."Subhanallah! Cantiknya." Ibu langsung memuji saat melihat Dinar yang masih dalam proses makeup.Makeup artist yang di pilih pun yang istimewa. Bagaimana tidak sempurna polesannya."Kau macam aku waktu masih muda."Ibu memilih duduk di dekat Dinar.Usai bibir Dinar di beri lipstik, ia menoleh pada mertuanya itu."Makasih ya, Bu. Dinar gak nyangka acara pernikahannya akan seistimewa ini."Siapa yang menyangka pernikahan yang dulunya akan di gelar
[Jangan bicara, apalagi membuat Dinar sedih hari ini. Foto ini bisa saja melayang ke polisi detik ini juga.]Bu Tiara membulatkan matanya saat melihat foto-foto lama dirinya saat bekerja di rumah seorang perempuan sakit-sakitan. Foto ini sudah berusia lebih dari 10 tahunan. "Siapa yang punya foto ini?" Bu Tiara cepat menyobek foto-foto itu lalu melemparkannya ke tong sampah.Ia berdiri di depan cermin toilet villa dengan wajah memucat."Bu? Ibu kenapa?" Sania menyusul ibunya yang sangat lama berpamitan ke toilet."Tuh Dinar udah di pelaminan! Nyebelin banget sih! Katro dia pakai acara drama-drama gitu!" gerutu Sania yang kesal melihat prosesi Dinar naik pelaminan."Bu? Ibu kenapa sih?"Sania yang sejak tadi menggerutu sendiri bingung melihat ibunya tampak pucat bertumpu pada westapel.Bu Tiara menggeleng cepat. "Nggak. Nggak apa-apa. Udah. Kita balik ke acara aja "Ibu Tiara tampak merasa sep
"Cantik juga istri kau.""Amir. Jangan macam-macam!"Dinar terpaku mendengar bentakan Yuda hanya karena pria bernama Amir itu memuji dirinya cantik.Padahal, sejak di pelaminan tadi ada banyak rekan bapak baik laki-laki dan perempuan berkata begitu. Bahkan saudara Yuda yang lain juga mengatakan itu tadinya."Kenapa? Takut kau?""Bang!" Jono seolah berusaha menahan Yuda.Suasana anehnya menjadi tegang setelahnya. Tiga saudara yang lain jadi terlihat cukup waspada.Bapa dan ibu masih mengurus sesuatu di luar villa. Sementara Devandra katanya pergi mengantar perempuan yang tadi di ajaknya, pulang."Saya tidak pernah lakukan apa yang kamu tuduhkan, Amir. Jangan membalas apapun!" ucap Yuda sambil menarik Dinar merapat padanya.Amir nampak justru tertawa dengan perkataan Yuda."Melakukan atau tidak kau sudah membuat semuanya hancur. Sekarang, bagaimana kalau kau merasakan kehancuran ini juga?"
"Pengantin baru pada diem-diem baek dari tadi," ledek Jono yang menyetir.Sejak keluar dari villa, memang tak ada yang mengeluarkan suara antara Dinar dan Yuda. keduanya memang tidak berargumen apapun di hadapan keluarga. Hanya saja diam-diaman keduanya cukup terasa membuat orang yang melihat paham kalau sedang ada masalah antar keduanya."Iya. Kenapa Dinar? Gak dikasih jatah si Yuda?" sambar Satria meledek.Pas sekali semua saudara Yuda bahkan si Amir ada di dalam mobil itu.Yuda memalingkan wajahnya tak mau saudaranya mengetahui kalau mereka bertengkar. Akan lebih baik hanya mereka berdua yang menyelesaikan ini.Dinar pun hanya tersenyum saja membalas Jono dan Satria dari bangku depan. Sementara dirinya yang di bangku tengah bersama Yuda.Di bangku paling belakang, Devandra, Hasyim, dan Amir duduk mepet-mepetan.Memahami kalau bertengkar atau tidaknya Yuda dan Dinar bukan ranah mereka, akhirnya mereka berdua diam memb
"Ibu kenapa sih semenjak pulang dari Bali jadi kayak orang uring-uringan? Terus juga, kemarin kenapa gak jadi minta uang sama, Mbak Dinar?" tanya Sania.Ibu Tiara jadi tidak fokus setelah pulang dari Bali. Seolah ada yang mengintainya. Ketakutan, bahkan tak jarang seperti orang semaput."Jangan hubungi Mbak kamu lagi. Fokus saja pada CPNS. Jangan sampai semua perjuangan ibu menguliahkan kamu sia-sia," balas ibu Tiara.Sania mengerutkan kening. "Kok gitu sih? Tapi kita butuh uang, Bu. Buat cek up aku ke rumah sakit, buat kebutuhan dapur, sama juga aku mau minta ke Mbak Dinar buat kebutuhan skincare aku itu loh."Aneh. Perubahan ibunya itu membuat Sania tidak terima. Ia sejak sebelum berangkat, sudah membuat daftar apa saja yang mau dibeli setelah mendapatkan uang dari Mbaknya itu.Tapi sikap ibunya malah begini. Yang membuat lebih kesal lagi, mereka tidak di persilahkan untuk tinggal di villa itu selama di Bali. Cuma di sewakan hotel tak jauh dari villa itu.Padahal mereka keluarga. Ta
Sania harus menelan pil pahit ketika pengumuman CPNS, dirinya dinyatakan gagal. Pastinya itu sangat kentara akibat viralnya video pengakuan Danu tentang dirinya yang hamil duluan dan merebut calon suami kakaknya sendiri.Tapi keanehan sangat di rasakan Sania ketika Danu dinyatakan lolos sebagai PNS.Entah kenapa hatinya merasakan janggal."Mas kok bisa sih lolos CPNS?" tanya Sania sambil meletakkan kopi yang diminta Danu.Kini Sania tinggal di rumah mertuanya. Mau tidak mau karena butuh biaya untuk kehamilannya yang sudah menginjak usia hampir melahirkan."Kenapa? Iri kamu gak lolos kayak aku?" tanya Danu balik bernada sengit."Bukan gitu. Mas sama Sania sama-sama rusak reputasinya gara-gara Mbak Dinar sama mas Yuda. Tapi kok cuma Sania yang dinyatakan gagal, sementara mas lolos."Danu menatap Sania remeh. "Jangan kamu samakan nasibku dengan nasib burukmu itu. Lagi pula, aku masih kesal karena kelakuan burukmu itu. Bukannya kamu bilang memberikan tubuhmu tanpa syarat? Tapi kenapa pada
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya