Sania harus menelan pil pahit ketika pengumuman CPNS, dirinya dinyatakan gagal. Pastinya itu sangat kentara akibat viralnya video pengakuan Danu tentang dirinya yang hamil duluan dan merebut calon suami kakaknya sendiri.Tapi keanehan sangat di rasakan Sania ketika Danu dinyatakan lolos sebagai PNS.Entah kenapa hatinya merasakan janggal."Mas kok bisa sih lolos CPNS?" tanya Sania sambil meletakkan kopi yang diminta Danu.Kini Sania tinggal di rumah mertuanya. Mau tidak mau karena butuh biaya untuk kehamilannya yang sudah menginjak usia hampir melahirkan."Kenapa? Iri kamu gak lolos kayak aku?" tanya Danu balik bernada sengit."Bukan gitu. Mas sama Sania sama-sama rusak reputasinya gara-gara Mbak Dinar sama mas Yuda. Tapi kok cuma Sania yang dinyatakan gagal, sementara mas lolos."Danu menatap Sania remeh. "Jangan kamu samakan nasibku dengan nasib burukmu itu. Lagi pula, aku masih kesal karena kelakuan burukmu itu. Bukannya kamu bilang memberikan tubuhmu tanpa syarat? Tapi kenapa pada
"Jangan memikirkan apa yang Anita katakan. Dia memang sudah gila."Baru saja mau melanjutkan kegiatan berkebun yang tertunda, Dinar kembali di datangi seseorang yang kini berbeda jenis dengan tamu jilangkung yang tadi "Bang Amir?" Dinar menatap pria itu yang tanpa di persilahkan langsung duduk di tempat yang sama dengan yang di duduki Anita tadi."Saya rasa Yuda benar. Kamu berbeda dari Anita."Dinar lagi-lagi harus memutar otak dengan kata-kata berbentuk tebak-tebakan puzzle yang harus ia satu-satukan dan di mengerti dengan baik.Tumben juga bang Amir tidak bicara seperti ibu dan bapa. Dia berbicara dengan bahasa Indonesia yang fasih seperti Yuda."Gimana maksudnya, Bang?" tanya Dinar.Amir justru menggeleng. "Saya juga bingung, apa harus melakukan niat awal saya, atau justru berbalik arah," katanya lagi.Apa sih?!Gak jelas banget ini laki-laki!Dinar menggerutu dalam hati. Kalau bicara orang-orang di sini, apa memang dasarnya tidak pakai judul dan tidak pakai narasi yang bisa di
"Dinar pasti baik-baik aja, Bang." Hasyim coba menenangkan Yuda yang jadi uring-uringan.Dinar masih tidak ketemu bahkan di jam 1 malam ini. Mereka berkumpul di rumah bapa dan ibu. Kedua pasutri itu juga tidak ada di rumah.Berharap Dinar ikut bersama keduanya, namun sayang saat di telpon bapa dan ibu mengaku tidak membawa Dinar Suasana hati Yuda jadi semakin kacau apalagi saat suara petir bersambar menandakan hujan kemungkinan besar akan turun."Kalian gimana sih? Bisa gak tau di mana, Dinar!" bentak Yuda pada Yanti dan Jujum yang menunduk.Merekapun tidak tau di mana Dinar. Saat pulang dari pasar mereka tidak melihat ada Dinar. Padahal biasanya Dinar selalu ada di depan rumah sore hari. Kalau tidak duduk-duduk sambil menunggu tukang bakso, ya berlumuran tanah mengurusi kebunnya itu.Tapi sore tadi semua tampak hening. Sayangnya mereka tidak menaruh curiga karena bisa saja Dinar ketiduran di dalam rumah atau ikut majikan mereka yang berangkat dari kapan, pun mereka tidak tahu."Kena
Kejadian di malam itu bukan kali pertama kegilaan Anita. Bahkan kegilaannya berlanjut hingga Yuda berangkat ke Amerika.Tak sekali dua kali wanita itu mendatangi dirinya seolah Yuda akan benar-benar jatuh cinta bila ia gigih mendatangi dan mencurahkan perhatian pada Yuda."Yud, kalau kamu gak cinta sama aku waktu masih di maskapai yang sama, mungkin kita bisa saling mengenal lagi. Mungkin kita bisa pdkt dulu. Aku gak apa-apa kok.""Kamu gak apa-apa. Tapi saya gak mau Anita. Saya gak mau makin merusak hubungan antara saya sama Amir. Kamu paham gak sih perbuatan kamu ini udah gila banget?"Bahkan Anita berusaha agar bisa bekerja di maskapai yang sama dengan Yuda di Amerika. Untungnya dia tidak ada kesempatan itu karena kualifikasi pengalaman yang dimiliki Anita tak memenuhi standar maskapai."Aku gak peduli. Aku bakal tetap tunggu kamu, Yuda. Aku cinta sama kamu. Cinta banget. Aku tunggu balasan cinta dari kamu juga."Tidak perduli kalau Yuda sudah melihat kelakuannya itu sebagai hal ya
Dinar mengusap tengkuknya yang terasa dingin. Tatapan tajam itu membuat tubuhnya merinding. Ia menunduk menghindari tatapan mereka agar tidak bertabrakan. Wajah dingin yang tidak mengeluarkan sepatah katapun itu makin membuat nyalinya Dinar mencuit."Udahlah, Mas, ngeliatin Dinar kaya gitu," keluhnya dengan bibir cemberut.Sepertinya sudah hampir satu jam mereka duduk di luar kamar inap ibu Tiara dengan Yuda yang masih tidak melepaskan tatapan marahnya pada Dinar"Kan, mas juga yang gak teliti. Aturan liat dulu kamar kita. Dinar udah kasih tulisan segede gaban loh," ucap Dinar lagi.Lagi-lagi Yuda tidak mengeluarkan kata-kata apapun. Tapi tidak perlu di lirik juga, Dinar tau pria itu sedang menatap dirinya seolah ia habis mencuri uang miliaran rupiah.Dinar mendongak kecil memastikan Yuda tidak tertidur karena pria itu tak kunjung berbicara."Apa?"Setengah tersentak Dinar kembali menunduk. "Dinar minta maaf," gumamnya tak berdaya."Puaskan bikin saya semaput kamu?" tutur Yuda."Gak
"Berangkat kerja dulu ya, Mbak."Dinar mengangguk pada Sania yang sudah rapi hendak berangkat kerja. Sementara dirinya masih sibuk mengurus ibu mereka."Sarapan dulu ya, Bu," katanya.Keadaan ibu Tiara lumayan membaik. Walaupun dinyatakan lumpuh, namun ibu masih bisa berbicara dan duduk seperti biasa. Pelan-pelan Dinar menyuapkan makanan pada sang ibu. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang."Terima kasih, Dinar," tutur ibu Tiara lemah.Dinar mengangguk sembari tersenyum kecil.Sudah dua hari dirinya di sini tanpa Yuda. Suami beserta mertuanya sudah pulang sehari setelah memastikan dirinya baik-baik saja.Walau serentetan pesanan dari ibu mertuanya agar ia menjaga diri baik-baik.Sementara Yuda, tak banyak kata suaminya itu ucapkan. Hanya kalimat perpisahan singkat dan sampai jumpa lalu pergi dengan wajah tanpa ekspresi."Dinar. Ibu meminta tolong. Sekali ini saja." Suara parau ibunya melirih
"Gak balik?"Yuda yang ikut nimbrung bersama mereka malam-malam begini tentu mendapatkan pertanyaan heran.Apalagi tampaknya Yuda tidak kembali ke rumah, melihat pakaian yang masih sama seperti tadi pagi."Males. Saya di rumah sendiri."Begitu memarkirkan mobil dan mendapati rumahnya masih gelap gulita, Yuda jadi makin malas masuk ke dalam."Kayak gak biasa sendiri aja." Suara celetukan yang membuat kelima lelaki itu menoleh serempak.Orang itu langsung duduk tanpa di persilahkan. Dan anehnya ia duduk persis di samping Yuda."Ini juga tumben ikut nimbrung," komentar Jono lalu menyesap kopi panasnya."Kenapa lagi? Saya gak ada godain Anita. Ketemu aja nggak saya hari ini," ucap Yuda malas berdebat.Apalagi yang akan di debatkan Amir kalau bukan Anita. Perempuan paling di cintainya namun hanya menganggap Amir pelampiasan.Amir tiba-tiba tertawa mendengar kekesalan Yuda. Tangannya terulur tepat di hadapan Yuda.Yuda mengernyit heran dengan sikap anehnya."Anggap saja kita sudah berbaikan
"Udah pagi, Mas. Hari ini mas gak kerja?"Entah susah berapa kali Dinar bolak balik kamar mencoba membangunkan Yuda. Sementara laki-laki itu masih menutup mata dan membalasnya dengan gumaman kecil."Mas. Bangun."Kali ini ia Dinar menggoyang bahu Yuda agak keras. Setengah gemas dirinya menarik selimut yang menutupi tubuh sang suami hingga bahu."Aaaa! Mas!"Tubuh Dinar rasa tertarik ke depan. Matanya membelak setengah sadar merasakan tubuhnya berada di atas tubuh kekar sang suami."Kamu pagi-pagi udah wangi aja, Sayang."Yuda bergumam kecil dengan mata terpejam sembari membelit tubuh sang istri dengan kedua tangannya semakin merapatkan tubuh mereka."Mas Yuda! Ini udah pagi. Tuh, udah mau jam 8. Biasanya mas setengah 6 udah berangkat," keluh Dinar."Saya gak kerja. Udah bilang izin lewat Devandra," balas Yuda sambil membuka kedua matanya. Senyumnya mengembang saat pertama kali menatap wajah Dinar dengan jarak yang sangat dekatDengan posisi yang masih seperti tadi, Yuda mengecup pelan
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya