"Berangkat kerja dulu ya, Mbak."
Dinar mengangguk pada Sania yang sudah rapi hendak berangkat kerja. Sementara dirinya masih sibuk mengurus ibu mereka."Sarapan dulu ya, Bu," katanya.Keadaan ibu Tiara lumayan membaik. Walaupun dinyatakan lumpuh, namun ibu masih bisa berbicara dan duduk seperti biasa.Pelan-pelan Dinar menyuapkan makanan pada sang ibu. Dengan hati-hati dan penuh kasih sayang."Terima kasih, Dinar," tutur ibu Tiara lemah.Dinar mengangguk sembari tersenyum kecil.Sudah dua hari dirinya di sini tanpa Yuda. Suami beserta mertuanya sudah pulang sehari setelah memastikan dirinya baik-baik saja.Walau serentetan pesanan dari ibu mertuanya agar ia menjaga diri baik-baik.Sementara Yuda, tak banyak kata suaminya itu ucapkan. Hanya kalimat perpisahan singkat dan sampai jumpa lalu pergi dengan wajah tanpa ekspresi."Dinar. Ibu meminta tolong. Sekali ini saja." Suara parau ibunya melirih"Gak balik?"Yuda yang ikut nimbrung bersama mereka malam-malam begini tentu mendapatkan pertanyaan heran.Apalagi tampaknya Yuda tidak kembali ke rumah, melihat pakaian yang masih sama seperti tadi pagi."Males. Saya di rumah sendiri."Begitu memarkirkan mobil dan mendapati rumahnya masih gelap gulita, Yuda jadi makin malas masuk ke dalam."Kayak gak biasa sendiri aja." Suara celetukan yang membuat kelima lelaki itu menoleh serempak.Orang itu langsung duduk tanpa di persilahkan. Dan anehnya ia duduk persis di samping Yuda."Ini juga tumben ikut nimbrung," komentar Jono lalu menyesap kopi panasnya."Kenapa lagi? Saya gak ada godain Anita. Ketemu aja nggak saya hari ini," ucap Yuda malas berdebat.Apalagi yang akan di debatkan Amir kalau bukan Anita. Perempuan paling di cintainya namun hanya menganggap Amir pelampiasan.Amir tiba-tiba tertawa mendengar kekesalan Yuda. Tangannya terulur tepat di hadapan Yuda.Yuda mengernyit heran dengan sikap anehnya."Anggap saja kita sudah berbaikan
"Udah pagi, Mas. Hari ini mas gak kerja?"Entah susah berapa kali Dinar bolak balik kamar mencoba membangunkan Yuda. Sementara laki-laki itu masih menutup mata dan membalasnya dengan gumaman kecil."Mas. Bangun."Kali ini ia Dinar menggoyang bahu Yuda agak keras. Setengah gemas dirinya menarik selimut yang menutupi tubuh sang suami hingga bahu."Aaaa! Mas!"Tubuh Dinar rasa tertarik ke depan. Matanya membelak setengah sadar merasakan tubuhnya berada di atas tubuh kekar sang suami."Kamu pagi-pagi udah wangi aja, Sayang."Yuda bergumam kecil dengan mata terpejam sembari membelit tubuh sang istri dengan kedua tangannya semakin merapatkan tubuh mereka."Mas Yuda! Ini udah pagi. Tuh, udah mau jam 8. Biasanya mas setengah 6 udah berangkat," keluh Dinar."Saya gak kerja. Udah bilang izin lewat Devandra," balas Yuda sambil membuka kedua matanya. Senyumnya mengembang saat pertama kali menatap wajah Dinar dengan jarak yang sangat dekatDengan posisi yang masih seperti tadi, Yuda mengecup pelan
"Kenapa sih kalian bertamu pagi-pagi gini?" kesal Yuda sambil berjalan duduk ke sofa di ikuti empat saudaranya.Gangguan pagi-pagi di saat kedua pasangan suami istri ini hendak menghabiskan waktu bersama."Lagi pengen ngumpul-ngumpul aja," jawab Devandra tanpa merasa bersalah "Mau ngumpul doang malem-malem juga bisa," balas Yuda."Lah, kalau malam nanti ganggu acara kau dengan istri tercintamu itu," sahut Satria sambil menarik turunkan alisnya."Kalian pikir bertamu jam segini gak ganggu?" balas Yuda sewot.Yang benar saja, saudara-saudaranya yang punya bakat menghancurkan kedamaian orang bahkan rela saling bolos kerja demi menganggu keindahan Yuda dan Dinar yang sedang di mabuk asmara."Gak sih ya kan? Masih pagi ini. Masa iya mau gituan pagi-pagi."Derai tawa keempat pria itu bersamaan. Mau tidak mau wajah Dinar jadi tersipu malu. Ia pun memilih pergi ke dapur berniat membuatkan minuman karena sepertinya tamu ini akan lama perginya.Padahal, tadi dirinya dan Yuda hampir saja tengge
Kurang baik apa mas Yuda ini, ia menghampiri Dinar yang tampak tidak bergairah hidup. "Udah bisa senyum sekarangkan?"Yuda memperlihatkan layar handphonenya yang memperlihatkan bukti transfer sejumlah uang ke rekening Sania.Beberapa detik Dinar terdiam sambil memperhatikan layar ponsel itu sebelum akhirnya menatap Yuda."Sekarang jangan sedih lagi ya?""Mmm.... Mas Yuda...., Hiks.... Dinar jadi gak enak," rengeknya dengan bibir cemberut."Kok nangis sih? saya pengennya kamu senyum, Sayang.""Dinar terharu," gumamnya lalu memeluk Yuda.Mau tidak mau Yuda akhirnya memeluk Dinar sangat erat. Walau dirinya tak senang mengirimkan uang pada Sania seperti ini, tapi dirinya lebih tidak senang melihat Dinar seperti menanggung beban pikiran berat."Makasih ya, Mas Yuda.""Iya. Buat kamu, apa sih yang enggak."Senyum Dinar makin mengembang. "Dinar janji bakal balikin uangnya.""Ck! Kenapa kamu yang balikin uangnya? Lagian saya gak kasih hutangan kok. Saya kasih percuma aja.""Terus Sania terim
"Udah itu aja? Gak mau milih baju lagi?"Dinar menggeleng cepat dengan pertanyaan suaminya."Udah ah. Ini aja udah banyak.""Siapa tau mau beli yang lain lagi," Lagi, Dinar menggeleng.Yuda menghela nafas pendek. Baru pertama ia menghadapi wanita yang di ajak jalan-jalan ke mall, di suruh memilih baju sepuasnya tapi ogah-ogahan.Dulu waktu masih sendiri, ia memang sering jalan dengan perempuan. Sebagai laki-laki yang tidak pelit, seringnya ia keluar uang untuk membelanjakan perempuan apapun yang mereka mau. Apapun yang mereka suka akan di beli tanpa sungkan. Tapi anehnya, perempuan berstatus istri baginya kenapa sangat sungkan membelanjakan uangnya dalam jumlah besar.Cuma beberapa helai yang Dinar beli. Itupun semuanya Yuda yang menunjuk agar Dinar mau memilih. "Padahal tadi Mas ngajaknya makan malam, tapi malah nyasar beli baju kita," gumam Dinar yang diakhiri dengan tawa kecilnya."Sekali-sekali. Kamu mana mau beli pakaian kaya gini kalau gak saya ajakin."Keduanya berjalan berd
"Sayang? Sarapan saya mana?" teriak Yuda melihat meja makan yang kosong."Tunggu bentar," sahut Dinar dari dapur.Yuda menghela nafas panjang sembari duduk dan menunggu. Sesekali ia melihat jam dinding memastikan tidak terlambat bekerja."Ini, Mas." Dinar menyajikan piring berisi makanan tampak terburu-buru."Ini aja Dinar?"Setangkup roti bakar dengan selai. Ini sarapan yang tidak seperti biasanya."Mas lagi buru-burukan? Ini yang paling simpel. Dinar gak sempet masak lagi soalnya."Yuda memandang Dinar heran."Kenapa gak sempet, Sayang? Perasaan dari tadi kamu masaknya."Sedari sholat subuh Dinar sudah di dapur, lalu kenapa tidak sempat."Itu. . . ."Seolah pertanyaan Yuda terjawab, handphone Dinar tiba-tiba mengeluarkan bunyi yang agak sering di dengar Yuda akhir-akhir ini."Bentar ya, Mas." Yuda memperhatikan ekspresi Dinar yang tampak membalas pesan yang masuk ke handphonenya.Walau agak kesal, akhirnya Yuda menyantap juga roti bakar yang di sajikan Dinar.Kalau hanya sepotong
Dinar cuma bisa duduk sambil menunduk dengan perasaan bersalah, sementara Yuda tampak sibuk di depan kompor seperti tengah memasak sesuatu untuk makan malam mereka."Mas, Dinar bener-bener minta maaf," lirihnya berharap Yuda mengeluarkan kata. Walaupun Yuda marah-marah akan Dinar terima. Asal jangan diam tanpa ekspresi seperti itu. Cukup lama tak ada balasan kata dari Yuda. Lelaki itu tampak tidak mempedulikan ucapannya.Setetes air mata merembes keluar dari sudut matanya, bersama segugukan bak mengeluarkan segala uneg-uneg dalam hatinya."Udah, jangan nangis. Saya gak marah banget kok."Usapan lembut di pipinya membuat Dinar mendongak. Wajahnya berjarak sangat dengan dengan wajah Yuda. Lelaki itu membungkuk menatap dirinya."Kenapa kamu ikut hal-hal kayak gitu?" tanya Yuda.Dinar tampak tak tahu bagaimana menjawab pertanyaan sang suami. Tangannya memilin ujung baju seolah tak yakin Yuda akan menerima alasannya."Dinar cuma mau punya uang sendiri."Dahi Yuda sedikit mengerut. "Kenap
Dinar tak bisa melihat adegan berbahaya yang sedang terjadi di hadapannya. Ia hanya bisa bersembunyi di belakang badan Yuda sambil memejamkan mata.Namun telinganya tidak bisa berbohong mendengarkan erangan sakit yang keluar dari mulut Devandra dan Hasyim."Ini kalian maukan? Mau kutambah lagi hah?"Bentakan Bapa juga tak kunjung berhenti pada kedua anak angkatnya."Merasa banyak nyawa kalian berdua hah? Kalau mau babak belur, tak perlu kalian adu tinju macam tadi. Bilang kalian berdua sama aku. Biar kubuat gepeng kalian," marah Bapa sambil terus tangannya melayangkan berbagai macam bentuk pukulan pada keduanya."Jangan bilang, kamu yang bawa Bapa ke sini," bisik Yuda sangat pelan pada Dinar."Tadi Dinar liat gak bisa di lerai. Jadi Dinar cari bantuan. Eh, ketemu Bapa lagi lari malam gitu, makanya Dinar tarik ke sini," balas Dinar dengan wajah takut.Yuda memejamkan mata kuat sembari tersenyum miris pada kedua saudaranya yang sudah babak belur.Bisa-bisanya Dinar membawa Bapa di saat a
“Jaga diri kamu,” ujar Daneen. “Jangan sampai kenapa-napa di sana.”Fahrian tersenyum lebar sembari mengangguk. Dirinya mendapat restu setelah bicara baik-baik dengan Yuda. Jika ia akan kembali setelah bertaruh nasib di negri orang. Bahwa dirinya, akan mengusahakan kehidupan yang lebih baik untuk Daneen.“Ini memang tidak berharga. Tapi hanya ini yang aku punya untuk mengikat kamu.”Fahrian memberikan sebuah cincin perak putih. Namun tak berani menyematkannya di jemari Daneen. Takut jika mungkin Daneen tidak suka dengan pemberiannya.Tapi mengerti dengan ketakutan Fahrian, Daneen mengambil cincin itu dan menyematkannya di jemarinya. “Aku janji ini tidak akan hilang sampai kamu pulang.”****Sementara di lantai atas, sepasang suami istri memandangi dua insan yang akan berpisah itu. “Aku sedih, Mas. Kenapa gak di kasih kerjaan di sini aja? Mas punya banyak cabang usaha.”“Itu Namanya perjuangan. Biarkan dia memandang anak kit aitu mahal dan berharga. Agar dia tidak menyia-nyiakannya. B
Yuda sedang kesal dengan Dinar karena perbedaan pendapat mereka. Apalagi Dinar kuekeh dengan keinginannya bertemu dengan pacar Daneen yang pernah bertemu dengannya. Walau Daneen tidak mengaku, tapi ia yakin itu adalah pacar Daneen.Ia tidak suka.Putrinya tidak mungkin bersama laki-laki seperti itu. Culun, lemah, dan cuma tukang ngepel di sekolah. Mau jadi apa anaknya di nikahkan dengan laki-laki tanpa masa depan begitu. Apalagi mengingat laki-laki itulah yang memukul Daneen di malamsepi itu.Meski sih dalam tekanan dan ancaman. Tapi masa di ancam begitu langsung memukuli perempuan. Di lawan dulu atau gimana lah. Masa diam aja. Pengecut.Tapi biarpun sudah 1001 cerita ketidak sukaan dirinya dengan lelaki itu, masih saja Dinar memberikan pembelaan. Dari yang masuk akal, sampai yang penting di bela, masa bodo gak masuk logika.Dinar bilang seorang laki-laki memang mengutamakan ibunya. Dan salah bila menyudutkan pacar Daneen itu hanya karena ia tak berani melawan. Semua orang punya level
Liburan yang di harapkan bisa membuat mereka tenang dan senang justru malah menjadi kejadian paling menyebalkan untuk Satria. Ia juga harus membawa pulang bekas pukulan di sudut bibirnya hasil pukul balas dari Aji. Tapi bisa di bilang juga Satria dan Ana puas dengan bulan madu mereka ini. Setidaknya ada beberapa moment mereka habiskan Bersama. Juga pengutaraan rasa cinta mereka. Sebelum menemui Ana kemarin, setelah masalah di selesaikan secara damai, Satria sempat menasehati Aji untuk berhenti mendekati istrinya, dan jangan membuat konten tidak mutu seperti prank-prank-an lagi. Lebih baik cari kerjaan tetap, sembari mengerjakan hobi membuat konten, tapi konten yang bermanfaat. Ana turun dari mobil mendahului Satria. Pastinya sudah tidak sabar menemui anak mereka yang tercinta. Ini kali pertama Tasya mereka tinggalkan berhari-hari. Ia menyusul Ana yang sudah duduk di samping Syafira. Ibu dari Ana itu tampak sibuk merajut. Entah apa yang mau di buatnya dari hasil rajutan itu. “Mana
Udara segar berembus menerpa kulit Ana. Secara alami ia tersenyum merasakan betapa nyaman lingkungan seperti ini. Bebas dari kebisingan dan polusi.“Ana?”Me timenya serasa terganggu begitu melihat seseorang di sampingnya. Entah kenapa Ana jadi merasa harus menoleh ke kamarnya. Dan ia jadi lega melihat sang suami yang masih tertidur.“Aku mau minta maaf dan berterima kasih sekali lagi sama kamu.”Ana mengangguk kecil. Ia mengerti Aji tak bermaksud jahat. Cuma tetap saja yang kemarin itu sangat tidak sopan dan mengganggu.Untungnya Satria mau menyelesaikannya dengan memaafkan Aji dan teman-temannya.“Aku, gak nyangka,” ujarnya dengan terjeda. Seolah yakin atau tidak untuk bicara.“Nyangka apa?”“Kalau berita kamu udah nikah itu bener.”Setelah lulus, inilah kali pertama mereka bertemu lagi. Banyak kabar yang sempat bersimpang siur tentang pernikahan Ana dari para teman-temannya. Terutama tentang Ana yang menikah dengan laki-laki seumuran dengan orang tuanya.“Iya. Aku udah nikah. Malah
Dinar hendak beranjak dari tempatnya melihat seseorang yang diam-diam di rindukannya selama ini. Namun tangan Yuda menahannya. Dinar mendongak dengan tatapan memohon pada Yuda.“Diam di sini. Di mana-mana yang nengokin orang sakit yang mendekat. Bukannya kamu yang turun dari tempat tidur.”Mendengar perkataan Yuda, Daneen menghela nafas sembari mengarahkan tantenya Sania untuk mendekati bangsal Dinar.Sania memilih ujung bajunya. Tampak sangat ragu dan kikuk berdiri di samping sang kakak. Otaknya bekerja keras menyatukan kata apa untuk menyapa atau sekedar membuka pembicaraan.“Mbak?”Sania tertegun dengan pelukan erat Dinar. Butuh beberapa saat untuk dirinya merespon pelukan itu.“Maafin Mbak, Sania. Maaf,” lirih Dinar.Sania melepaskan pelukan kakaknya. “Jangan meminta maaf, Mbak. Gimanapun Mbak gak salah. Harusnya bahkan aku yang bilang maaf dan terima kasih.”Dinar menggeleng. “Mbak rasanya udah jahat banget sama kamu. Pura-pura gak peduli. Bahkan gak mau tau gimana kehidupan kamu
Yuda memicingkan matanya seolah mencoba mempediksi apa yang sedang di pikirkan putrinya.“Kita balik lagi ke Rumah sakit, Pa?” tanya Daneen tampak mencoba menghindari sesuatu.Seolah dia bisa tau kalau akan di tanyai masalah yang tadi.“Ya,” balas Yuda singkat.“Dia itu, bukan pacarmukan?” tanya Yuda tidak tahan untuk tidak bertanya.“Dia siapa?” tanya Daneen balik tampak tidak paham.Papanya mendecak . “Gak usah pura-pura gak ngerti. Papa tau loh ekspresi kamu kalau lagi suka sesuatu.”“Papa ngomong apa sih?”“Kerja di mana dia? Terus gimana bisa dia mukul kamu?”“Kenapa bahas dia sih, Pa? Kita fokus mikirin mama aja.”****Bagi Yuda, Daneen sedang menghindari pertanyaannya seputar laki-laki yang di lindunginya tadi. Yang pada akhirnya Yuda lepaskan karena permintaan putrinya. Tapi tentu saja Yuda masih merasa ingin tau. Ralat, ia perlu tau dan sungguh harus tau tentang laki-laki itu.Cuma Daneen cukup keras kepala untuk tidak mau membicarakan pria itu. Greget juga waktu Yuda terpaks
Yuda dan Daneen mendatangi kediaman Sania. Sebelum itu ia menelpon Bulan untuk segera menyusul ke sini. Di mobil, Daneen dan Yuda sama-sama hanya diam. Namun, diamnya seorang ayah, tidak bisa melepaskan sepenuhnya tentang kecemasannya saat putri kesayangannya ini rasanya belum makan apa-apaIa memesan makanan drive-thru tanpa banyak bicara lalu memberikannya pada Daneen. Dirinya Kembali fokus melihat jalan dan mengalihkan mobil ke jalur alamat yang mereka tuju.“Makasih, Pa.” Suara Daneen terdengar penuh dengan makanan.“Mmm.”Sebuah rumah yang taka sing bagi Yuda terpampang di hadapan mereka. Butuh beberapa saat untuk Yuda sehingga dirinya bisa melangkahkan kakinya.Rumah ini, jadi lebih mengerikan dari terakhir kali dirinya ke sini dulu. Tampak sangat tidak terawatt dan banyak bagian rumah yang butuh renovasi.Ia mengikuti Daneen yang mengetuk pintu dan memanggil si pemilik rumah. Lalu seseorang dengan wajah lelah dan tampaknya baru habis menangis, membukakan pintu.“Tante, gimana k
Yuda harusnya menyadari ini sejak awal. Bahwa kembali ke kampung halaman istrinya, hanya akan membawa petaka. Tapi di sinilah jawaban atas kebingungan dan keputusasaan dirinya dan istrinya. Tapi bagaikan pertukaran yang tak mungkin bisa di pilih. Karena pada akhirnya Yuda juga harus menerima istrinya terbaring di rumah sakit dengan balutan perban di kepala Dinar. Kecemasan tak kunjung reda, dengan pemandangan wajah istrinya yang tak kunjung membuka mata.“Papa?”Panggilan itu membuat Yuda menoleh singkat. Harusnya saat ini ia memeluk gadis kecilnya yang sudah menjadi dewasa ini. Yang menghilang tanpa kabar bahkan tak memberikan alasan jelas. Mungkin tak berselang puluhan tahun kepergian putrinya. Tapi sudah cukup membuat banyak perubahan.“Mama masih belum sadar?” Suara itu berpindah ke samping istrinya. Jemari Dinar diraih. Kini kedua tangan Dinar di remas hangat. Andaikan tidak dalam kondisi seperti sekarang, mungkin ini adalah moment membahagiakan. Tapi sayangnya yang terasa han
Yuda memasukan koper ke dalam mobil. Dirinya melirik Dinar yang mengipasi wajahnya seperti orang kepanasan. Cuaca memang sedang terik saat mereka tiba mendarat beberapa menit lalu."Loh. Kok mobilnya jalan, Mas?"Yuda tersenyum dengan keterkejutan Dinar, karena mobil jemputan yang berjalan tanpa mereka."Kita naik motor, " ujar Yuda.Dinar membulatkan mata. "Panas, Mas," keluhnya dengan wajah cemberut.Motor yang akan mereka naiki di antarkan seseorang. Untungnya bukan motor lama Yuda yang 20 tahunan lalu. Motor itu pasti sudah tidak bisa di gunakan. Setau Dinar motor itu sudah di museumkan oleh Yuda.Masih dengan wajah cemberutnya, Dinar mengenakan jaket dan helm yang di berikan Yuda."Kita udah gak muda lagi loh, Mas," gumam Dinar.Yuda meraih jemari Dinar agar erat memeluk pinggangnya. "Ini buat mengingatkan kita kalau kita pernah melewati hari-hari dengan cinta kayak gini."Ban motor berjalan seiring dengan tarikan gas. Jemari Yuda terus mengelus jemari yang sejak dulu menemaninya