"Gimana, Ann?" tanya Lena seraya merapikan mejanya. Jam kerja kantor telah usai, kini ia akan kembali ke apartment. "Gak deh, aku sekalian jenguk ayah. Lama gak ketemu soalnya, Len. Tapi bolehlah nebeng," ujarnya dengan cengengesan. "Hahahaha, ya udah ayo!" serunya. Ann dan Lena meninggalkan kantor, seharusnya memang langsung pulang. Tapi, Lena ingin ditemani makan di restoran. "Aisha pacaran sama sekertaris suamiku," celetuk Ann. "Wah, bagus dong! Semoga aja mereka cepat menikah!" seru Lena dengan antusias. Ia begitu bahagia melihat teman-temannya menikah. Namun, untuk mempersiapkan pernikahannya sendiri? Gak dulu! "Lalu kamu kapan serius berpacaran dengan satu orang?" tanya Ann dengan menohok. Deg! Lena tersedak makanan yang ditelannya, satu pertanyaan saja mampu menghentikan detak jantungnya sekian detik. "Minum!" seru Lena. Ann tertawa terbahak-bahak, ekspresi Lena yang sangat lucu. Membuatnya tidak bisa berhenti tertawa. "Ann, kamu benar-
"Restu?" Ann melempar tanya dengan menggantung. "Ayah masih sangat susah merestuimu, Ann. Maka dari itu cerailah saja dari Sena!" tegas Adi tanpa ragu. Cerai? Cerailah dari Sena? Kalimat yang mengisi benak Ann dengan gema yang mengganggu. "Ayah, sejak ibu meninggal aku seperti mati dan menjadi wanita tanpa kasih. Dan saat aku sudah memutuskan menikah ... suamiku selingkuh dengan anak tiri ayah. Hahaha, lalu sekarang?" Ann menggantungkan ucapannya. "Ann bukan itu maksud ayah, apa kamu tahu kalau ayah sekarang bangkrut karena siapa?" Adi mulai mencari simpati pada anaknya. Namun, semua itu gagal. Ann beranjak dari duduknya, langkahnya pergi meninggalkan Adi begitu saja. "Kalau ayah masih egois, minta aja ke anak kesayanganmu itu. Jangan ke aku!" hardiknya. "Ann!" seru Adi keras. Tidak memedulikan suara Adi, Ann tiba di kamar. Ia menangis tersedu-sedu, mengapa disaat bahagianya sudah mulai ada. Ia harus kehilangan itu lagi dan lagi. "Apa masih kurang mere
"Maksudmu? Kamu juga mau mencari pria seperti suamiku?" tanya Ann dengan mata membelalak. "Wahahaha!" Dewa tertawa keras sampai perutnya sakit. "Wanita seperti Ann yang dicari oleh tuan muda tampan dan kaya itu. Wanita seperti kamu mah dapatnya sekelas manager hahahaha!" celetuk Dewa tanpa ragu. Ann dibuat tertawa keras oleh celetukan Dewa, untuk kali ini atasannya itu sangat lucu. "Pak, udah pak! kena mental dia nanti, hahaha!" ujar Ann dengan tawa kencangnya. Sedangkan yang dibicarakan hanya bisa menatap sinis dua orang di hadapannya. "Kalian ini ya! Aku benar-benar kesal dengan kalian berdua," Lena segera kembali ke ruangannya. Kesal bukan main mendapat serangan dari Dewa dan Ann. "Gila mereka! Lihat saja aku akan mendapatkan tuan muda seperti suami Ann!" pekiknya. Ia menatap layar laptopnya kembali, beberapa tulisan terlihat kabur. "Ah, aku sangat mengantuk!" gumamnya. "Bangun, kamu mau aku siram!" teriak Ann dengan kekehan. Lena mendongakkan kep
"Kalian ngerasa aneh gak?" celetuk Lena setelah tiba di cafe. "Aneh?" Ann mengernyitkan dahinya bingung. "Iya aneh, hts aku mulai menjauh satu persatu," keluh Lena. "Hahahaha," Ann dan Aisha tertawa terbahak-bahak. Merasa lucu karena ucapan Lena, entah mengapa itu terasa geli bagi Ann dan Aisha. "Itu disuruh tobat, Mbak!" timpal Aisha. Menyesal! Mungkin itu kalimat yang ingin Lena utarakan, rasanya sangat kesal saat dua sahabatnya menertawakannya. "Aku ini sedih loh ditinggal pada hts-anku, bukannya dihibur malah dibully!" gertaknya. "Udahlah, mau aku cariin tuan muda gak? Kenalan suamiku," ucap Ann dengan tatapan tajam. "Gak ah, takutnya dikasih aki-aki!" ujar Lena. Setelah percakapan itu, satu persatu pesanan mulai berdatangan. "Oh ya, Aisha. Kalian beneran udah ke arah sana?" tanya Ann memastikan diri. "Iya, Mbak. Mas Arka sudah mengikatku!" dengan menunjukkan cincin yang ada dijari manisnya. Lena terdiam tatkala melihat itu. Bukan main! Mem
"Apa yang terjadi di sana, Ann?" tanya Sena di seberang. Ia merasa ada yang aneh dengan istrinya, mengapa secara tiba-tiba meminta pengacara? "Ada hal yang harus diselesaikan dengan pihak berwajib, apa kamu bisa datang dengan pengacara ke sini?" Ann melempar tanya pada Sena lagi. Keadaan seperti menghimpit, mau tidak mau ia harus kembali ke rumah. "Tunggu ya, aku akan segera pulang!" tegas Sena. Ia mulai menghubungi orang yang sangat ia percaya, Arka yang secara langsung diminta memesan tiket pesawat secara dadakan. "Tuan, mana bisa kita membeli tiket mendadak seperti ini?" tanya Arka dengan ragu. "Kamu ragu-ragu? Sudah biar aku saja!" elak Sena. "Ti-tidak, Tuan!" Arka bergegas membeli tiket sesuai permintaan Sena. Sedangkan Sena kini masih bertanya-tanya apa yang terjadi di rumah Adi sepagi ini. "Tuan, kita hanya punya waktu 2 jam sebelum boarding!" tegas Arka berseru. "Ya, kita persiapkan semuanya. Kalau tidak sempat dikemasi, tinggal saja!" tegas Sena
"Mas, ini gimana?" tanya Dewi dengan berbisik. Jantungnya tidak lagi berdetak beraturan, ia menggenggam erat tangan Rafael. "Kau diam atau memilih kita selesai di sini!" seru Rafael dengan berbisik. Nada bicaranya terdengar bergetar, ia takut pada siapa di balik pintu itu. Tapi ... siapa yang harus ia takuti kini? Ann atau ... Brak! Pintu itu terbuka dengan menampakkan sosok Ann yang berdiri di sana. "Rafael, Dewi sepertinya kalian harus diperiksa," ucap Ann dengan senyuman manisnya. "Kak, bukan kami yang melakukan itu," elak Dewi dengan tatapan penuh harap. Memohon agar dirinya dilepaskan saja, tapi sepertinya keadaan tidak pernah berpihak pada dirinya. "Apa yang kamu lakukan, Ann? Kamu menuduh kami melakukan ini?" tanya Rafael dengan menatap nyalang ke arah Ann. "Jika kamu tidak melakukan, kenapa raut wajahmu seperti itu, Rafael?" Saat membalikkan tanya pada Rafael, Ann bersama dengan seorang pria. Bukan Sena atau pun siapa yang mungkin Dewi kenal.
Setelah beberapa hari, Ann mulai mengurus tambahan laporan tentang Rafael. Semua kebusukannya terlihat, Dewi sengaja dibebaskan dengan pertimbangan kehamilannya. "Aku tidak menyangka jika semuanya cukup rumit, Sena," ucap Ann lirih. "Tidak apa-apa, Sayang. Semua ini agar ia mendapatkan balasan yang setimpal," balas Sena. Ke duanya duduk di ruang tunggu, Rafael yang dihadirkan begitu kumuh dan lusuh. "Tuan, Nona, silakan jika ingin bicara pada pelaku," ucap seorang pria itu. "Terima kasih, Pak." Ann dengan gemetar mendekati Rafael, ia menatap nyalang ke arah pria yang dulu sangat ia cintai. "Aku tidak paham dengan jalan pikirmu, Rafael. Mungkin dulu aku sangat mencintaimu, tapi kini aku terpaksa menjebloskanmu ke penjara," ucap Ann dengan penuh ketegasan. "Jika bukan karena istriku yang menahanku menjebloskanmu lebih dulu. Mungkin kau sudah habis ditanganku, bajingan!" pekik Sena seraya mengepalkan tangan. "Sena, stop! Pak, tolong bawa dia masuk!" pinta Ann.
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa Arka saat Sena hendak memasuki ruangan. "Pagi, Arka. Apa ada hal yang harus aku perhatikan hari ini?" tanya Sena. "Permisi, Tuan muda. Ada tamu yang menunggu di bawah," ucap seorang wanita. Sena mengernyitkan dahinya, sedangkan Arka mulai bertanya-tanya. "Arka, ada jadwal pertemuan pagi ini?" Sena melempar tanya dengan menatap sekretarisnya itu. "Tidak ada, Tuan. Coba saya cek dulu ya," Arka beranjak meninggalkan Sena. Langkahnya terburu-buru menuju lobi, seorang wanita yang cukup cantik berdiri di dekat pintu. "Selamat pagi, Nona," sapa Arka. "Pagi, apa saya bisa bertemu dengan Tuan Muda Gaharu?" tanyanya dengan terburu-buru. "Kalau boleh tahu, ada urusan apa dengan Tuan muda Gaharu? Beliau sangat sibuk hari ini, setelah saya cek Anda juga tidak membuat jadwal," terang Arka. Helaan nafasnya terlihat gusar, wanita yang tinggi semampai dengan pakaian yang sangat mencolok. "Oh, kamu karyawan baru di sini. Saya ini saudari Tuan m
"Lena?" tanya Sena dengan tatapan penuh tanya. "Kan kamu janjiin dia cowok, Sayang. Kamu lupa?" tanya Ann dengan kekesalan. "Tidak, aku masih ingat kok. Hm, beberapa temanku memang sedang mencari pacar, nanti aku akan mengenalkan salah satunya pada Lena," terang Sena. Mata yang teduh kini menatap lekat ke arah Ann, perjalanan menuju apartment selalu menyenangkan baginya. "Malam ini biarkan aku memasak untukmu, Sayang. Kamu istirahat saja ya," bisik Sena. "Ta-tapi? Kenapa tidak pesan di luar saja?" Ann melempar tanya. Ia hanya cemas jika Sena memasak asal dan tidak bisa dimakan. Akan sangat mubazir jika itu terjadi. "Tenang saja!" ucap Sena. Tibalah mereka berdua di apartment, Sena yang langsung membawa Ann ke kamar. "Kamu istirahat ya, mandi dulu," titah Sena. "Tapi, Sayang," Ann memeluk erat tubuh Sena. Membuat lelaki itu terdiam sejenak, Ia membalas pelukan Ann dengan hangat. "Kamu mau apa sekarang? Mandi dulu ya, nanti aku yang memasak," terang Se
"Siang, Tuan Muda," sapa Arka dan Aisha kompak. Kini mereka duduk di sebuah restoran cukup ternama, Ann yang duduk di samping Sena membuat Aisha canggung. Bukan karena apa, hanya saja suaminya mengajaknya makan siang bersama. "Aisha, aku dengar dari Lena kamu lagi cari rumah?" tanya Ann dengan menatap wajah Aisha sekilas. "Iya, Mbak. Dasar Lena suka bahas hal-hal yang gak perlu!" Aisha menanggapi dengan kekehan ringan. Merasa malu, ia meremas ujung bajunya sampai kusut. "Aku berniat memberikan apartment padamu, Aisha," ucap Sena. Satu kalimat yang berhasil membuat mulut Aisha ternganga, bukan ini yang ia inginkan. Tapi ... kenapa Sena ingin memberikan apartment padanya? "Tuan, saya punya tabungan untuk menyewa rumah kecil saja. Saya ...," Aisha menghentikan ucapannya. "Aisha, semua ini tidak kuberikan cuma-cuma, karena kamu teman baik istriku. Dia yang meminta padaku tentang ini, jangan ditolak ya!" peringat Sena. Manik mata yang kini basah menatap Arka secara berulang, ia m
"Aku dengar Aisha lagi cari kontrakan ya," celetuk Lena saat tiba di tempat duduknya. "Aku malah gak dengar apa-apa, Len." Ann kembali fokus pada pekerjaan yang ada di hadapannya. "Aku masih bertanya-tanya, apa bapaknya belum berubah dari dulu?" Lena masih dengan tanya yang ada di kepalanya. Mendengar itu, Ann mendongak pada sahabatnya yang kini bersandar di kubikel. sorot mata penuh tanya dengan tatapan tajam. "Bapaknya belum berubah? Maksudmu apa?" tanya Ann. "Orangnya kasar banget, Ann. Dulu waktu masih SMA, Aisha sering dateng babak belur ke sekolah," terang Lena dengan mengingat beberapa tahun ke belakang. "Gila, kenapa kamu diam aja sih!" seru Ann. Lena menatap Ann dengan penuh tanya, bingung! Padahal awalnya Lena hanya membahas tentang Aisha yang mencari rumah. "Aisha itu kelihatannya mau kabur dari rumah, Ann. Makanya dia berniat beli rumah baru," terang Lena sebagai tambahan. "Iya, aku telpon suamiku dulu." Ann meraih ponselnya yang tergeletak di
"Mas, kan kita mau pulang. Kenapa lewat sini?" tanya Aisha saat mengamati arah laju mobil Arka. "Kita makan," singkat. Akhirnya, Aisha memilih diam tanpa bertanya lagi. Ia hanya bersandar dengan posisi nyaman. Menatap jalanan yang ramai di malam hari. "Ai, kenapa diam?" tanya Arka dengan lembut. "Gak apa-apa, Mas. Aku tidak lapar," jawabnya. Meski perutnya terasa kosong dan membuat tubuhnya lemas. Aisha tidak lagi ingin merepotkan Arka, sudah terlalu banyak bantuan yang ia terima. Hingga Aisha bingung harus membalas dengan apa. "Mas, aku jadi bebanmu ya sekarang?" Kalimat itu keluar begitu saja, membuat Arka sempat tergelak. "Maksudmu, Ai?" tanya Arka dengan menatap penuh tanya. "Karena Mas Arka melamarku, aku sekarang jadi merepotkanmu, Mas!" kata Aisha dengan ragu. Ia tidak lagi mampu menopang dirinya sendiri, dan ia malah merepotkan orang lain yang notabene pria yang melamarnya. "Mas, harusnya aku gak memperlakukanmu seperti ini," ucap Aisha lagi.
"Aisha, ada apa?" tanya Arka dengan penuh kecemasan. Di sambungan telepon, di ruangan yang gelap. Aisha memberanikan diri menghubungi Arka, malam itu. "Aku gak apa-apa, Mas. Tapi temani aku sebentar ya," kata Aisha dengan gemetar. "Iya, aku temani. Apa kamu mau aku ke sana? Aku temani ya," Arka kian mencemaskan Aisha kali ini. Logikanya tidak lagi bisa diajak kompromi, satu hal yang ia inginkan. "Jangan ya, Mas. Aku gak mau Mas Arka ikutan keseret. Temenin aku aja via telepon," elak Aisha. "Baiklah, Aisha. Katakan saja kalau ada apa-apa," timpal Arka. Kecemasan yang tidak ada habisnya, ia hanya bisa menahan diri. Menemani Aisha dalam kekalutan yang tidak dia pahami. "Arghhh!" pekik Arka dengan keras. Tanpa sadar ia berteriak saat telepon masih tersambung. "Mas, ada apa?" tanya Aisha terburu-buru. "Tidak apa-apa, Aisha. Mas ke sana aja ya, di sini gak bisa tenang," tegas Arka. "Ta-tapi, ... Aku gak bisa jamin loh, Mas," Aisha terbata dengan suara gem
"Kamu senang?" tanya Arka saat diperjalanan mengantar Aisha. "Ya, Mas Sena dan Mbak Ann sangat baik, Mas," tutur Aisha. "Hehehe, Tuan muda memang selalu baik, Ais. Tanpa dia sepertinya aku gak akan seperti sekarang," Arka menyetir dengan mengulas senyuman. "Aku hanya berharap mereka selalu bahagia bersama," ucap Aisha dengan tulus. Arka tersenyum, "Aku juga berharap kita bahagia, Aisha!" ungkapnya lembut. Ke duanya hanya tersipu dengan ucapan masing-masing. Setibanya di depan gang rumah Aisha, Arka hanya membukakan pintu. "Mas, ikut ya?" tanya Arka. "Mas, jangan dulu ya!" Aisha mengelak. Entah kenapa Aisha masih enggan membawa Arka pada keluarganya. "Ya, oke." Meski sudah melamar Aisha, Arka masih suka bertanya-tanya tentang keadaan keluarganya. Tapi, Aisha selalu menghindari itu. "Aku pulang dulu, Sayang," ucap Arka dengan senyuman. "Ya, hati-hati, Sayang," balas Aisha. *** "Suami kamu royal banget, Ann!" seru Lena tatkala tiba di kantor. "Ya, makanya
"Hehehe," Hari berlalu dengan sibuk, Ann menatap layar komputer sampai matanya pedas. Pekerjaan yang cukup menumpuk akibat ia mengambil cuti. Lena dengan emosionalnya akibat tumpukan pekerjaan. "Kau benar-benar gila, lihatlah semua ini aku yang kerjakan!" seru Lena. "Iya, maaf, Lena. Aku juga tidak tahu kenapa Pak Dewa melimpahkan itu padamu," Ann menatap nanar ke Lena. "Hahaha, canda besti. Nanti bilang ke suamimu ya, suruh dia mengenalkan teman tampannya untukku," bisik Lena dengan mengedipkan sebelah mata. "Punya teman serakah itu seperti ini ternyata," ujar Ann tanpa ragu. *** "Bagaimana kerjaan kamu?" tanya Sena dengan lembut. "Lancar, kamu gimana, sayang?" Ann membalikkan tanya. Sedangkan wanita yang duduk di samping kemudi seperti obat nyamuk. Hanya bermain ponsel dengan tatapan kosong. "Minimal sadar ya!" sindirnya. "Hahaha, Lena ... benarkah kamu sedang mencari calon suami?" tanya Sena dengan kekehan ringan. "Wah, benar, Tuan muda. Kalau
"Siap, Sayang? Kita kembali ke kota yang ramai dengan hiruk pikuk dunia," celetuk Sena seraya menatap istrinya yang terlihat diam. "Siap gak siap, Sena. Di sini sangat nyaman, jadi aku cukup jatuh cinta dengan kota ini," balas Ann dengan nanar. Sena hanya tersenyum simpul, tidak ada yang salah dari ucapan Ann. Ia begitu mencintai pantai dan laut, akan sangat senang jika ia bisa tinggal di dekat dua tempat itu. "Nanti kita ambil cuti lagi ya, yang lebih lama lagi. Sekarang sudah saatnya kita pulang, Sayang," ucap Sena dengan lembut. "Ya." *** "Permisi, Tuan muda. Sarapannya sudah siap!" Suara Reni yang menggelegar terdengar nyaring dan memekakkan telinga Ann dan Sena. Dua sejoli yang baru terlelap beberapa jam itu harus segara membuka matanya. "Huahh, aku masih mengantuk sekali, Ann!" gumam Sena lembut. "Sama, tapi tidak mungkin kita terus terbaring di sini, Sayang!" Sena meraih tangan Ann, menariknya masuk ke kamar mandi. "Ya, Reni. 30 menit kami akan
"Saudara perempuan?" Ann melemparkan tanya dengan tatapan bingung. "Iya, Ann. Entah ini benar atau salah, tapi ini sangat membebani pikiranku," keluh Sena. Pelan Ann menelaah setiap kalimat yang keluar dari bibir Sena. Aneh, dan penuh tanda tanya besar. "Kamu yakin itu adik kamu?" tanya Ann lirih. "Tidak, aku percaya dengan ucapan ibuku sebelum meninggal. Aku adalah satu-satunya anak dari pasangan keluarga Gaharu," terang Sena. Ann bingung harus menanggapi apa, raut wajah Sena yang terlihat tertekan dengan keadaan yang diluar kendalinya. "Sayang, peluk aku!" ucap Ann. Ia merentangkan tangan dengan penuh keyakinan, jika mulutnya tidak mampu berkata dengan benar. Setidaknya, dekapannya mampu memberikan ketenangan pada Sena. "Sayang, terima kasih ya," bisik Sena. Ke duanya saling mendekap satu sama lain, mengeratkan pelukannya. "Besok sore kita pulang, ayo nikmati bulan madu kali ini, Sayang," bisik Sena. "Badanku rasanya remuk sekali, Sena. Bahkan untuk