Beranda / Romansa / Suamiku Bukan Petani Teh Biasa / 1. Fitnah Keji Anak Majikan.

Share

Suamiku Bukan Petani Teh Biasa
Suamiku Bukan Petani Teh Biasa
Penulis: Suzy Wiryanty

1. Fitnah Keji Anak Majikan.

Penulis: Suzy Wiryanty
last update Terakhir Diperbarui: 2023-04-03 21:21:43

"Demi Allah, Bu Shinta. Bukan Lara yang mencuri jam tangan Non Sesil. Lara berani bersumpah!" Dengan mata sembab Asmaulara Husna kembali mengulangi kata-kata yang rasanya sudah puluhan kali ia ulang sejak dari rumah tadi.

Sesilia Hadinata, anak majikannya menuduhnya mencuri jam. Lara baru saja pulang sekolah dan masuk dari pintu samping, saat Sesil tiba-tiba merebut tas ranselnya. Sesil kemudian membalik tas dan menumpahkan segala isinya ke lantai. Di sana, di antara buku-buku pelajaran dan alat-alat tulisnya yang berserakan, terselip sebuah jam tangan mahal. Jam tangan milik Sesil.

Sesil lantas menuduhnya mencuri jam tangan barunya. Karena Lara tidak bersedia mengakui perbuatan yang memang tidak ia lakukan, Sesil membawanya ke rumah sakit di mana dokter Shinta, ibu Sesil praktek. 

Lara mengerti, Sesil ingin mengadukannya pada dokter Shinta. Sesil juga membawa serta ibunya yang selama ini mengasuh Sesil sedari bayi merah. Dengan disopiri oleh sang ayah, yang juga bekerja sebagai supir di keluarga Hadinigrat ini, Sesil memboyong semua keluarganya ke rumah sakit. Dan di rumah sakit inilah sekarang dirinya, Sesil dan ibunya berada. Di Rumah Sakit Jiwa Harapan Kita tempat dokter Shinta praktek. 

"Bohong! Kalau bukan lo yang mencurinya, bagaimana mungkin jam itu ada di tas lo? Apa jam gue itu punya kaki? Coba jawab!" Dengan geram Sesil menarik keras kuncir kuda Lara sekuat tenaga. Tak ayal kepala si empunya rambut tertarik keras ke belakang.

"Aduh! Sa--sakit, Non Sesil. Lepasin, Non." Lara meringis kesakitan. Kulit kepalanya serasa tercabut berikut kuncir kudanya.

"Nggak akan gue lepasin, sebelum lo ngaku, pencuri. Hayo ngaku!" Alih-alih melepaskan, Sesil menarik kuncir kuda Lara kian keras.

"Apa yang harus saya akui. Saya benar-benar tidak mencuri jam tangan Non Sesil. Mengenai mengapa jam itu ada di tas saya, saya juga tidak tahu, Non. Sumpah!" Lara tetap menyangkal apa yang memang tidak ia lakukan. 

"Kalau kamu memang mencurinya, akui dan kemudian minta maaf, Lara. Jangan ngeyel seperti ini." Bu Ningsih memarahi putrinya. Ia sangat malu pada dokter Shinta karena merasa tidak becus mendidik anak.

"Tidak, Bu. Lara bukannya ngeyel. Lara memang tidak pernah mengambil apapun yang bukan milik Lara. Demi Allah Lara bersumpah!" Lara sangat sedih karena ibunya pun tidak mempercayainya. Selalu seperti ini. Jikalau ia masalah dengan Sesil, ibunya cenderung menyalahkannya, tanpa mau mendengar penjelasannya. Ibunya terlalu takut dipecat oleh keluarga Hadinata

Mendengar Lara terus membela diri, Sesil berdecih. Ia benci sekali kepada anak pengasuhnya ini.

"Kalau tidak, mengapa jam itu ada di dalam tas lo, anak babu?!" sembur Sesil lagi.

"Saya tidak tahu, Non. Lagi pula, logikanya kalau saya mencuri, untuk apa saya menyembunyikannya di tempat yang mudah ditemukan?"

"Pinter ngomong lo, anak babu!" Sesil menarik sekali lagi kuncir kuda Lara.

"Sesil, kamu tidak boleh kurang ajar seperti itu. Mbok Ningsih itu pengasuhmu sedari bayi. Lagi pula Mbok Ningsih itu teman kecil Ibu. Ibu tidak suka kalau kamu bersikap kurang ajar begitu. Minta maaf pada Mbok Ningsih!" 

Dokter Shinta berdiri dari kursinya. Sesil memang anak kandungnya. Namun ia tidak suka kalau Sesil menghina Ningsih. Sesil ini memiliki perangai yang kurang baik. Terlahir sebagai anak tunggal, menjadikan Sesil tumpuan segala cinta Hardi, suaminya. Akibatnya Sesil tumbuh menjadi anak yang tinggi hati, egois dan minim empati. 

"Sudah, Bu Shinta. Tidak apa-apa. Memang saya yang salah karena tidak becus mengurus anak. Jangan memarahi Non Sesil. Kasihan dia."

Dokter Shinta menghela napas panjang. Tindakan pembenaran Bu Ningsih akan segala kesalahan Sesil seperti inilah yang membuat Sesil besar kepala. Sesil jadi tidak menyadari kesalahannya. Bu Ningsih, teman lamanya sekaligus pengasuh Sesil, terlalu memanjakan Sesil.

"Sudah berulangkali aku katakan. Jangan menyela apapun yang aku perintahkan pada Sesil. Kenali batasanmu, Sih!" Dokter Shinta memberi Bu Ningsih peringatan keras. 

Bu Ningsih terdiam. Ia tidak berani lagi menyela. Kalau sedang memarahi Sesil, dokter Shinta tidak suka disela. 

"Kamu tidak mendengar apa yang Ibu perintahkan, Sesil?" Dokter Shinta menatap tajam putrinya. Ada ancaman nyata di kedua bola mata mamanya. Jika keinginan mamanya tidak ia laksanakan, ia pasti akan menerima hukuman. Lebih baik ia mengalah kali ini. Ia tidak sudi dihukum di depan mata anak pembantunya ini.

"Gue minta maaf, Mbok." Sesil meminta maaf dengan setengah hati.

"Yang benar minta maafnya. Jangan memakai kata gue pada orang tua." Dokter Shinta meminta Sesil mengulang permintaan maafnya.

"Saya minta maaf, Mbok." Apa boleh buat, Sesil terpaksa mengulangi permintaan maafnya.

"Kalau begitu kamu juga harus minta maaf pada Sesil, Lara. Akui perbuatanmu dan berjanjilah kalau kamu tidak akan mengulanginya lagi." Bu Ningsih meminta Lara melakukan hal yang sama. 

"Lara tidak salah, Bu. Untuk apa Lara harus meminta maaf?" Lara menggeleng keras. Ia tidak bersedia meminta maaf untuk sesuatu yang tidak ia lakukan.

Plak!

Lara terkesiap. Ibunya menampar pipinya keras. Lara menatap ibunya dengan pandangan terluka. Selalu saja begini. Ibunya akan menganiayanya jika ia menolak permintaannya.

"Dasar anak tidak tahu diri. Sudah tertangkap basah, tapi masih saja tidak mau mengaku. Mau kamu Ibu hajar lagi? Ayo ngaku!" Bu Ningsih makin emosi. Lara ini keras kepala sekali. Susah sekali melenturkan sikap keras kepalanya.

"Lara memang tidak mencurinya, Bu. Ibu harusnya percaya pada Lara. Lara ini anak kandung Ibu. Kewajiban Ibu adalah melindungi Lara. Bukan sebaliknya!" 

Tidak tahan terus ditekan, emosi Lara meledak. Tidak masalah bagi Lara kalau orang lain tidak mempercayainya. Ia peduli akan asumsi mereka, selama ia tidak melakukan kesalahan. Tapi kalau ibunya, ia tidak terima. Hakekatnya seorang ibu adalah memberikan cinta dan perlindungan pada anaknya bukan?

Plak!

Ibunya kembali memberikan tamparan kedua. Lara memandang lurus ke depan dengan mulut terkatup rapat. Ia tidak mau lagi memohon pada sang ibu.

"Kenapa kamu tidak mau memandang Ibu? Oh kamu mau melawan Ibu ya? Baik. Ayo sekarang kita pulang. Ibu akan menghajarmu habis-habisan di rumah nanti sampai kamu mengaku. Dasar anak tidak tahu diri!" Bu Ningsih makin geram. Keras kepala Lara ini entah menurun dari siapa. Yang pasti, bukan darinya.

"Sudah, Ningsih. Jangan memukuli Lara lagi. Mungkin ini hanya salah paham saja. Sekarang, kalian semua pulang dulu ke rumah. Masalah jam tangan ini aku anggap selesai sampai di sini. Jangan ada yang membahasnya lagi." Dokter Shinta melerai keributan di tempat prakteknya. 

"Tapi, Bu--" Sesil membantah. Ia tidak puas pada reaksi mamanya.

"Cukup Sesil! Ibu tidak mau mendengar apapun lagi. Sekarang kalian semua pulang. Jangan merusuh di tempat ibu bekerja. Ayo kalian semua bubar. Dan kamu Ningsih, bersikap bijaklah. Kamu itu penggantiku di rumah saat aku sedang bekerja. Kalau ada masalah besar, kecilkan. Kalau hanya masalah kecil, upayakan menjadi tidak ada. Mengerti, Ningsih?" Dokter Shinta menegur Ningsih tegas. 

Bu Ningsih tidak segera menjawab teguran dokter Shinta. Sejenak ia balas menatap dokter Shinta tajam sebelum akhirnya mengangguk singkat. 

"Ayo, kita pulang Non Sesil, Lara." Bu Ningsih dengan kaku membalik badan. Sesil mengekori dengan wajah cemberut, diikuti Lara yang berjalan bagai robot. Lara sangat kecewa atas sikap ibunya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Heri mandi prasetyo Heri mandi
akibat terlalu manja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   2. Ibu Kandung Rasa Ibu Tiri.

    "Kamu sekarang sudah mulai berani melawan Ibu ya, Lara? Sudah merasa hebat ya kamu?" Bu Ningsih yang sengaja berhenti di tengah lorong rumah sakit, menoyor geram kening Lara. Lara menggigit bibirnya keras. Ia bertahan bungkam dalam kesedihan. Lara sadar, tidak ada gunanya ia membantah. Karena apapun yang ia katakan, tidak akan bisa melembutkan hati sang ibu."Hajar terus, Mbok. Si Lara ini sekarang memang tidak tahu diri. Sudah salah, melawan lagi. Lara tidak ada sopan-sopannya pada Mbok Ningsih." Sesil memanas-manasi hati pengasuhnya. "Eh, jawab! Kamu punya mulut 'kan?" Bu Ningsih mendorong punggung Lara kasar. Ia makin emosi karena dipanas-panasi Sesil. Lara tetap mengunci mulutnya rapat-rapat. Ia semakin mempercepat langkahnya menuju tempat parkir. Di mana sang ayah menunggu mereka semua."Dasar benar-benar anak durhaka ya kamu, Lara? Orang tua berbicara hanya dianggap angin lalu belaka. Sini kamu!" Bu Ningsih mengejar Lara yang hampir mencapai parkiran. Ia menjambak keras kunci

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   3. Semangat Demi Masa Depan.

    Empat tahun kemudian."Ini ongkos untuk ke kampus besok ya, Nduk? Kamu ada bimbingan dengan dosen pembimbing di kampus 'kan? Ayah akan ikut Bu Shinta seminar ke Bandung selama tiga hari. Jadi Ayah tidak bisa mengantarmu. Kamu berangkat dengan taksi online saja ya, Nduk?" Pak Yono meletakkan dua lembar uang seratus ribuan di atas meja makan. Keluarga kecilnya baru saja selesai makan malam. "Ngapain Lara diberi ongkos sebanyak itu, Pak? Lagi pula walaupun Bapak ikut ke Bandung, tapi 'kan ada Farhan yang akan menggantikan Bapak mengantar Sesil dan Lara ke kampus?" Bu Ningsih tidak setuju suaminya memberi ongkos terlalu banyak pada Lara. Suaminya ini terlalu memanjakan anak tidak pada tempatnya."Ada Farhan?" Pak Yono membuat air muka mencemooh. "Non Sesil itu selalu menyuap Farhan setiap kali Bu Shinta keluar kota. Sesil akan meminta Farhan pulang dan ia akan menyopir sendiri. Lara biasanya ia turunkan di tengah jalan. Anak itu memang nakalnya sampai ke tulang. Makanya Bapak memberikan

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   4. Sabar Hingga Akhir.

    "Mau ke mana kamu? Duduk sini dulu!" Bu Ningsih membentak Lara yang bersiap menyelinap ke kamarnya. Daripada ribut, Lara mengikuti perintah sang ibu. Ia duduk bagai robot di kursi makan. Sikap mempertahankan diri seperti ini sudah ia praktekkan bertahun lalu. Sejak ia sadar kalau ibunya tidak mencintainya seperti ibu pada umumnya. Namun ia selalu ingat pada pesan ayahnya. Bahwa ibunya mencintainya dengan cara berbeda. Keras karena ia ingin dirinya kelak mampu melewati dunia yang lebih keras lagi. Di dunia ini tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Hanya kalimat singkat itulah yang menjadi pelipur laranya jikalau ia sedih karena diperlakukan tidak simpatik. Kalau ia tidak terus mengingat-ingat nasehat ayahnya itu, ia pasti sudah depresi sejak lama."Kamu itu sudah besar, Ra. Sudah dewasa. Mengapa kamu tidak malu menerima uang dari orang lain?" cibir Bu Ningsih. Kalimat tidak simpatik sang ibu membuat Lara mendongak."Ayah bukan orang lain, Bu. Ayah adalah orang tua Lara. Begitu j

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   5. Awal Mula Bencana.

    Lara tengah merevisi skripsi sesuai dengan permintaan dosen pembimbingnya. Sudah dua jam ini jarinya menari-nari di atas keyboard laptop. Beberapa penelitian yang telah ia rangkum, dicoret tebal-tebal oleh dosen pembimbingnya. Tugas akhir membuat skripsi ini memang sangat menguras energinya. Bolak-balik merevisi, melakukan penelitian baru dan menyusunnya dari awal, terkadang membuatnya frustasi. Namun jikalau ia mengingat tujuan akhirnya yang ingin membantu perekonomian kedua orang tuanya, rasa lelahnya menguap seketika. Semua ini demi masa depan keluarganya. "Lara, ke sini sekarang!" Teriakan sang ibu mengagetkan Lara. Karena teriakan ibunya itu bukan teriakan seperti biasanya. Ibunya memang biasa meneriakinya jikalau tidak puas akan sesuatu. Namun kali ini ada aura ketakutan dalam nada suara ibunya."Saya, Bu," sahut Lara sambil menghambur ke depan. Perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang telah terjadi. Karena ia melihat ada Pak Hardi dan Sesil juga di pavi

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   6. Pergantian Identitas.

    "Saat paling bahagia dalam hidup Ayah adalah saat kamu lahir ke dunia. Ketika tangisanmu menggema, maka yang Ayah pikirkan pertama kali adalah, bagaimana ayahmu yang sederhana ini bisa membantumu menggapai cita-cita. Ayah beritahu kamu satu rahasia. Bahwa seorang ayah tidak pernah lebih mencintai orang lain daripada anak perempuannya. Yang terakhir ini adalah rahasia kita berdua ya? Jangan beritahukan ibumu. Hehehe." Air mata Lara mengalir tak terkendali ketika teringat akan kata-kata manis yang ayahnya ucapkan. Kala itu ia mengadu pada ayahnya kalau bahwa ibunya tidak mencintainya. Ayahnya dengan kalimat apik yang mudah dimengerti oleh anak kecil menghiburnya hingga kesedihannya hilang. Bagi Lara, ayahnya adalah segalanya. Memikirkan ayahnya tidak akan ada lagi di dunia ini menggentarkannya. Ia tidak mau ayahnya mati. Ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa ayahnya. "Baik." Lara mengusap air matanya putus asa. Keputusannya bulat sudah. "Lara bersedia menggantikan posis

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-03
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   7. Ancaman Terselubung.

    "Jalani saja takdirmu. Siapa tahu di sana kamu justru menemukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini. Sana, temui Bagas. Nanti Ibu menyusul." Bu Ningsih segera melepaskan pelukan Lara. Banyak hal yang harus ia persiapkan sehubungan dengan rencana yang telah ia susun bersama Sesil.Dengan lesu Lara menggeret koper pinjaman dari Sesil. Ia menatap seantero kamarnya sekali lagi sebelum berjalan ke rumah utama. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa ke kamar ini lagi atau malah berakhir di penjara nantinya. ********"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu. "Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil. "Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya. "Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total. "Kamu ikut Ibu dulu seb

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   8. Terpaksa.

    "Kamu tadi bilang sengaja datang ke sini tanpa ayahmu, karena ingin mengajak saya berekonsiliasi menantang perjodohan ini. Kamu tidak punya cukup keberanian untuk menantang ayahmu secara terbuka ya? Makanya kamu mengajak saya untuk mengeroyok ayahmu? Saya tidak tahu harus berekspektasi apa terhadapmu." Lara membalikkan sindiran Bagas telak."Ehm... Ehm... Non Sesil, Pak Bagas, apa tidak sebaiknya berangkat sekarang? Takutnya nanti kemalaman di jalan." Bu Ningsih memotong percakapan yang mulai memanas antara Lara dan Bagas. Khusus pada Lara, Bu Ningsih memberinya tatapan mengancam. Lara ini memang keras hati. Susah sekali membungkam mulut besarnya. "Ibu benar. Baiklah, kami akan berangkat sekarang. Sepertinya Sesil sudah tidak sabar menjadi istri saya secepatnya. Kami permisi dulu ya, Bu?" Bagas beringsut dari sofa. Ia ngeloyor ke depan tanpa melirik sedikit pun pada Lara yang kesulitan berjalan dengan koper besar di belakangnya. "Kamu ini tidak bisa dibilangin ya?" Bu Ningsih menjew

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11
  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   9. Perjalanan Panjang.

    Bagas menatap Lara tajam. Entah mengapa, dia melihat keraguan di mata perempuan itu meski perempuan itu terlihat berani.Namun, belum sempat membalas, Lara sudah kembali berbicara, "Tidak masalah kalau kamu belum mencintai saya. Saya berjanji, saya akan melakukan apa saja agar kelak kamu bisa mencintai saya."Apa yang terjadi, terjadilah. Lara sudah tidak peduli. Yang penting, pernikahan ini terus berjalan sampai Sesil merasa puas.Sementara itu, Bagas mengernyitkan dahi. Ia menatap Sesil dengan pandangan ganjil. Bagaimana kepribadian perempuan yang bernama Sesilia Hadinata ini? Bahasa tubuhnya terus saja berubah-ubah. "Sebenarnya saya sudah mempunyai pacar. Kami berhubungan sudah sangat lama. Masalahnya kedua orang tua kami bermusuhan. Jadi seandainya kita menikah pun, saya tidak akan pernah mencintaimu. Saya melakukan semua ini hanya karena amanah ayah saya yang sedang sakit." Bagas mencoba kembali bernegosiasi dengan Sesil. "Tidak masalah. Pokoknya saya ingin kamu nikahi sece

    Terakhir Diperbarui : 2023-04-11

Bab terbaru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   110. Akhir Bahagia ( END)

    Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108. Penghakiman Di Dunia.

    "Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   108..Berani Berbuat, Berani Bertanggung Jawab.

    "Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   107. Menjalani Sisa Takdir.

    "Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   106. Kebahagiaan Lara.

    "Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   105. Mencicil Takdir.

    "Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   104. Berdamai Dengan Masa Lalu.

    Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   103. Kembali Ke Jakarta.

    "Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj

  • Suamiku Bukan Petani Teh Biasa   102. Musibah Baru.

    "Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas

DMCA.com Protection Status