"Mau ke mana kamu? Duduk sini dulu!" Bu Ningsih membentak Lara yang bersiap menyelinap ke kamarnya. Daripada ribut, Lara mengikuti perintah sang ibu. Ia duduk bagai robot di kursi makan.
Sikap mempertahankan diri seperti ini sudah ia praktekkan bertahun lalu. Sejak ia sadar kalau ibunya tidak mencintainya seperti ibu pada umumnya. Namun ia selalu ingat pada pesan ayahnya. Bahwa ibunya mencintainya dengan cara berbeda. Keras karena ia ingin dirinya kelak mampu melewati dunia yang lebih keras lagi. Di dunia ini tidak ada ibu yang tidak mencintai anaknya. Hanya kalimat singkat itulah yang menjadi pelipur laranya jikalau ia sedih karena diperlakukan tidak simpatik. Kalau ia tidak terus mengingat-ingat nasehat ayahnya itu, ia pasti sudah depresi sejak lama.
"Kamu itu sudah besar, Ra. Sudah dewasa. Mengapa kamu tidak malu menerima uang dari orang lain?" cibir Bu Ningsih. Kalimat tidak simpatik sang ibu membuat Lara mendongak.
"Ayah bukan orang lain, Bu. Ayah adalah orang tua Lara. Begitu juga dengan Ibu. Menerima sesuatu dari kalian berdua adalah hak Lara," bantah Lara tegas.
"Kamu tidak berhak!" Bu Ningsih berdiri dari kursi sambil menunjuk wajah Lara geram. Berani sekali anak ini.
"Kenapa tidak berhak?" Lara mengerutkan keningnya.
"Karena... karena kamu sudah besar. Harusnya kamu bisa mencari uang sendiri. Bukan selalu mengandalkan ayahmu. Ayahmu itu hanya seorang supir. Sudah tua lagi. Kamu tidak kasihan pada ayahmu?" Bu Ningsih menekan Lara dari sisi emosional. Ia tahu Lara lemah dibagian ini. Hatinya lembut dan sensitif.
"Lara kasihan, Bu. Makanya Lara ingin bekerja di kafe Tasya sepulang kuliah. Tapi Ibu tahu sendiri 'kan Ayah melarang? Lara mengajar les pun Ayah tidak setuju. Ayah bilang ia ingin Lara berkonsentrasi kuliah saja."
"Ayahmu itu memang terlalu memanjakanmu. Cepatlah tamat dan cari kerja. Balas semua biaya yang kami keluarkan untukmu. Jangan terus jadi benalu. Paham kamu? Menyusahkan orang tua saja," hardik Bu Ningsih lagi.
"Iya, Bu. Setelah skripsi Lara disetujui nanti, tinggal sidang dan wisuda. Setelahnya Lara sudah bisa bekerja, Bu."
"Baguslah kalau begitu. Sekarang cuci piring-piring kotor itu. Setelahnya kamu ke rumah utama. Gantikan tugas Ibu membantu Bu Shinta beres-beres. Ibu malas kalau cuma dijadikan jongos oleh si Shinta," tukas Bu Ningsih kesal.
Dalam diam Lara mulai bekerja. Mengisi sabun cair ke dalam wadah dan mencuci piring-piring yang kotor. Terkadang Lara heran pada ibunya. Ibunya terlihat benci pada Bu Shinta. Tetapi setiap kali diajak pindah dari paviliun dan mencari pekerjaan baru oleh ayahnya, ibunya tidak bersedia. Ia sudah tua dan terlanjur betah bekerja di sini katanya. Sikap ibunya sangat kontradiktif bukan? Tapi yah begitulah ibunya adanya. Dirinya dan sang ayah sudah pasrah menghadapi mood naik turun ibunya.
***
"Bukankah dari dulu Sesil sudah bilang kalau Sesil tidak mau dinikahkan dengan orang yang tidak Sesil kenal, Yah? Profesinya seorang petani lagi. Tidak level dengan Sesil, Yah!"
Lara yang sedianya akan berangkat ke kampus menghentikan langkahnya. Di teras Sesil tengah berseteru dengan ayahnya. Keduanya duduk di teras dengan dua mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Itu artinya kedua mobil itu masing-masing akan dikendarai oleh Sesil dan Pak Hardi.
"Kamu lihat dulu orangnya, Sesil. Bagas Antareja itu bukan petani sembarang petani. Dia adalah anak tunggal Jaya Antareja, pemilik perkebunan teh yang juga dijadikan objek wisata di Kulon Progo sana. Sedari kamu belum lahir dulu, Ayah sudah berjanji pada Pak Jaya untuk menikahkan kamu dengan Bagas, putranya."
"Itu 'kan janji, Ayah. Bukan janji Sesil. Pokoknya Sesil tidak mau, Yah."
"Kamu lihat saja dulu orangnya besok malan. Pak Jaya dan Bagas akan datang menemuimu. Setelah kamu wisuda nanti baru acara pernikahannya dilaksanakan. Jangan membuat Ayah mengingkari janji ya, Nak? Ayah dulu berhutang nyawa pada Pak Jaya."
"Tidak mau! Pokoknya Sesil tidak mau. Sesil mau berangkat ke kampus sekarang. Sesil pergi dulu, Yah. Selama Ibu tidak ada biarkan Sesil menyetir sendiri ya, Yah? Sesil janji, Sesil akan berhati-hati selama berkendara. Boleh ya, Yah?"
"Baiklah. Hati-hatilah berkendara dan pikirkan apa yang Ayah katakan tadi. Temui Pak Jaya dan Bagas besok sore."
"Nanti saja kita bicarakan lagi ya, Yah? Sesil berangkat dulu, takut terlambat. Dosen pembimbingnya galak sekali."
Lara mencuri dengar pembicaraan ayah dan anak itu. Sesil memang ia ketahui akan dinikahkan dengan anak sahabat Pak Hardi, namun Sesil menolak. Wajar, mengingat Sesil tidak pernah bertemu dengan orang yang akan dinikahkan padanya.
Sejurus kemudian Sesil terlihat melambaikan tangan pada Pak Hardi, sembari melajukan kendaraan. Bang Farhan tidak terlihat sama sekali. Ayahnya benar, Sesil pasti akan mengendarai mobil sendiri.
Lara sengaja menunggu sekian menit setelah Sesil berlalu, baru ia menampakkan diri. Tidak enak rasanya kalau Pak Hardi tahu ia menguping pembicaraan mereka berdua.
"Selamat pagi, Pak." Lara menyapa Pak Hardi.
"Pagi," sahut Pak Hardi sambil merogoh saku.
"Ini ongkosmu. Sesil ingin berangkat sendiri katanya." Pak Hardi mengeluarkan selembar uang seratus ribuan dari dompetnya pada Lara.
"Tidak usah, Pak. Kemarin Ayah sudah memberi saya ongkos," tolak Lara sopan.
"Oh, ya sudah kalau begitu." Pak Hardi memasukkan uang tersebut sembarang ke sakunya. Ia kemudian masuk ke dalam mobil yang mesinnya sudah dihidupkan. Sejurus kemudian Pak Hardi berlalu. Meninggalkan kepulan asap di belakangnya.
Sementara Lara sendiri segera memesan taksi online. Ia harus tiba tepat waktu untuk menemui dosen pembimbingnya. Lara tidak tahu bahwa esok hari suatu peristiwa besar akan mengubah hidupnya.
Lara tengah merevisi skripsi sesuai dengan permintaan dosen pembimbingnya. Sudah dua jam ini jarinya menari-nari di atas keyboard laptop. Beberapa penelitian yang telah ia rangkum, dicoret tebal-tebal oleh dosen pembimbingnya. Tugas akhir membuat skripsi ini memang sangat menguras energinya. Bolak-balik merevisi, melakukan penelitian baru dan menyusunnya dari awal, terkadang membuatnya frustasi. Namun jikalau ia mengingat tujuan akhirnya yang ingin membantu perekonomian kedua orang tuanya, rasa lelahnya menguap seketika. Semua ini demi masa depan keluarganya. "Lara, ke sini sekarang!" Teriakan sang ibu mengagetkan Lara. Karena teriakan ibunya itu bukan teriakan seperti biasanya. Ibunya memang biasa meneriakinya jikalau tidak puas akan sesuatu. Namun kali ini ada aura ketakutan dalam nada suara ibunya."Saya, Bu," sahut Lara sambil menghambur ke depan. Perasaannya tidak enak. Firasatnya mengatakan ada hal buruk yang telah terjadi. Karena ia melihat ada Pak Hardi dan Sesil juga di pavi
"Saat paling bahagia dalam hidup Ayah adalah saat kamu lahir ke dunia. Ketika tangisanmu menggema, maka yang Ayah pikirkan pertama kali adalah, bagaimana ayahmu yang sederhana ini bisa membantumu menggapai cita-cita. Ayah beritahu kamu satu rahasia. Bahwa seorang ayah tidak pernah lebih mencintai orang lain daripada anak perempuannya. Yang terakhir ini adalah rahasia kita berdua ya? Jangan beritahukan ibumu. Hehehe." Air mata Lara mengalir tak terkendali ketika teringat akan kata-kata manis yang ayahnya ucapkan. Kala itu ia mengadu pada ayahnya kalau bahwa ibunya tidak mencintainya. Ayahnya dengan kalimat apik yang mudah dimengerti oleh anak kecil menghiburnya hingga kesedihannya hilang. Bagi Lara, ayahnya adalah segalanya. Memikirkan ayahnya tidak akan ada lagi di dunia ini menggentarkannya. Ia tidak mau ayahnya mati. Ia akan melakukan apapun untuk menyelamatkan nyawa ayahnya. "Baik." Lara mengusap air matanya putus asa. Keputusannya bulat sudah. "Lara bersedia menggantikan posis
"Jalani saja takdirmu. Siapa tahu di sana kamu justru menemukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini. Sana, temui Bagas. Nanti Ibu menyusul." Bu Ningsih segera melepaskan pelukan Lara. Banyak hal yang harus ia persiapkan sehubungan dengan rencana yang telah ia susun bersama Sesil.Dengan lesu Lara menggeret koper pinjaman dari Sesil. Ia menatap seantero kamarnya sekali lagi sebelum berjalan ke rumah utama. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa ke kamar ini lagi atau malah berakhir di penjara nantinya. ********"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu. "Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil. "Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya. "Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total. "Kamu ikut Ibu dulu seb
"Kamu tadi bilang sengaja datang ke sini tanpa ayahmu, karena ingin mengajak saya berekonsiliasi menantang perjodohan ini. Kamu tidak punya cukup keberanian untuk menantang ayahmu secara terbuka ya? Makanya kamu mengajak saya untuk mengeroyok ayahmu? Saya tidak tahu harus berekspektasi apa terhadapmu." Lara membalikkan sindiran Bagas telak."Ehm... Ehm... Non Sesil, Pak Bagas, apa tidak sebaiknya berangkat sekarang? Takutnya nanti kemalaman di jalan." Bu Ningsih memotong percakapan yang mulai memanas antara Lara dan Bagas. Khusus pada Lara, Bu Ningsih memberinya tatapan mengancam. Lara ini memang keras hati. Susah sekali membungkam mulut besarnya. "Ibu benar. Baiklah, kami akan berangkat sekarang. Sepertinya Sesil sudah tidak sabar menjadi istri saya secepatnya. Kami permisi dulu ya, Bu?" Bagas beringsut dari sofa. Ia ngeloyor ke depan tanpa melirik sedikit pun pada Lara yang kesulitan berjalan dengan koper besar di belakangnya. "Kamu ini tidak bisa dibilangin ya?" Bu Ningsih menjew
Bagas menatap Lara tajam. Entah mengapa, dia melihat keraguan di mata perempuan itu meski perempuan itu terlihat berani.Namun, belum sempat membalas, Lara sudah kembali berbicara, "Tidak masalah kalau kamu belum mencintai saya. Saya berjanji, saya akan melakukan apa saja agar kelak kamu bisa mencintai saya."Apa yang terjadi, terjadilah. Lara sudah tidak peduli. Yang penting, pernikahan ini terus berjalan sampai Sesil merasa puas.Sementara itu, Bagas mengernyitkan dahi. Ia menatap Sesil dengan pandangan ganjil. Bagaimana kepribadian perempuan yang bernama Sesilia Hadinata ini? Bahasa tubuhnya terus saja berubah-ubah. "Sebenarnya saya sudah mempunyai pacar. Kami berhubungan sudah sangat lama. Masalahnya kedua orang tua kami bermusuhan. Jadi seandainya kita menikah pun, saya tidak akan pernah mencintaimu. Saya melakukan semua ini hanya karena amanah ayah saya yang sedang sakit." Bagas mencoba kembali bernegosiasi dengan Sesil. "Tidak masalah. Pokoknya saya ingin kamu nikahi sece
"Agni!" Desisan terperanjat dari mulut Bagas telah menjelaskan semuanya. Gadis ini adalah Agni Paramitha, pacar Bagas. Pacar yang tidak direstui oleh ayahnya tepatnya. Bagas melambatkan kendaraan sebelum benar-benar berhenti di depan sang gadis. Adegan selanjutnya sudah bisa Lara duga. Gadis yang kini berurai air mata itu berlari mendekati mobil. Saat Bagas keluar dari mobil, sang gadis langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Bagas. Memeluknya erat dalam sedu-sedan memilukan. Lara terkesima. Ia memang menduga akan ada adegan-adegan haru ala sinetron yang akan diperlihatkan pacar Bagas. Namun ekspektasinya jauh di bawah adegan yang cukup berani untuk ukuran dusun ini. Agni tampak begitu berani memeluk Bagas. Sementara Bagas sendiri tampak kaget dan segera menjaga jarak. Lara tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Lara hanya melihat Agni berkali-kali menatap ke arahnya dengan air muka geram. Sekonyong-konyong Agni berlari ke arahnya dan memukul-mukul kaca mobil. Di b
"Turun!" seru Bagas keras pada Sesil. Ia kesal karena Sesil masih saja duduk bengong padahal mereka telah tiba di tempat tujuan."Heh, apa?" Lara tergagap. Ia tidak mendengar kata-kata Bagas karena sepanjang jalan ia terus bergumul dengan benaknya sendiri. Makanya ia kaget saat Bagas tiba-tiba saja mengajaknya bicara."Kamu ingin terus duduk di mobil atau masuk ke dalam rumah?" Bagas kembali membentak Sesil. Moodnya yang sudah jelek karena insiden Agni tadi, membuatnya semakin kesal pada Sesil. Ia sama sekali tidak menyangka kalau rencana yang telah ia susun bersama Agni, berujung kacau seperti ini."Oh," umpatan Bagas hanya ditanggapi kata oh oleh Lara. Selanjutnya Lara turun dari mobil. Setelah berada di luar mobil, barulah Lara memandang takjub keindahan alam di sekelilingnya. Pemandangan hijau-hijau dengan semilir angin yang sejuk membelai-belai kulitnya."Indahnya ciptaanmu ya, Allah," gumam Lara lirih. Ia mengagumi suburnya tanaman teh yang terhampar bagai karpet hijau raksasa d
"Selamatkan nyawa ayah hamba ya, Allah?" Arimbi meletakkan ponsel di dada. Ia seolah-olah ingin memeluk ayahnya. "Masuk," Lara menjawab tatkala pintu kamarnya diketuk dari luar."Saya Aris, Mbak. Saya disuruh si Mbok untuk mengantarkan koper." Terdengar sahutan dari pintu. Suara seorang pria. Pantas saja orang tersebut tidak berani langsung membuka pintu kamar walau sudah diizinkan masuk. Lara beringsut dari ranjang. Setelah menyeka kedua pipinya yang lembab oleh air mata terlebih dahulu, Lara membuka pintu kamar. Terlihat seorang pria gagah berdiri di depan pintu dengan koper di sampingnya."Ini kopernya, Mbak. Mau diletakkan di mana?" tanya Aris canggung. Di hadapannya adalah calon majikannya. Ia tidak berani terlalu lama menatap wajah ayu yang tampak habis menangis di depannya. "Sini, biar saya letakkan sendiri, Mas Aris. Oh ya, nama saya Sesil," Lara memperkenalkan diri, seraya meraih troli koper di samping Aris."Salam kenal, Mbak Sesil. Saya Aris anak Mbok Sumi. Panggil saya
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha
"Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj
"Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas