"Jalani saja takdirmu. Siapa tahu di sana kamu justru menemukan kebahagiaan yang tidak kamu dapatkan di sini. Sana, temui Bagas. Nanti Ibu menyusul."
Bu Ningsih segera melepaskan pelukan Lara. Banyak hal yang harus ia persiapkan sehubungan dengan rencana yang telah ia susun bersama Sesil.Dengan lesu Lara menggeret koper pinjaman dari Sesil. Ia menatap seantero kamarnya sekali lagi sebelum berjalan ke rumah utama. Ia tidak tahu apakah ia akan bisa ke kamar ini lagi atau malah berakhir di penjara nantinya.
********
"Mbok, sini sebentar." Sesil melambaikan tangan pada Mbok Ningsih dari koridor ruang tamu."Ada apa, Non?" Bu Ningsih menghampiri Sesil.
"Ada yang ingin gue bicarakan. Rencana kita berubah," bisik Sesil perlahan. Ia takut Lara mendengar rencananya.
"Kurung Lara di kamar gue dulu, Mbok. Gue takut ntar dia kabur," bisik Sesil lagi. Bu Ningsih mengangguk. Apa yang Sesil ucapkan masuk akal. Kalau Lara kabur, rencana mereka sudah pasti gagal total.
"Kamu ikut Ibu dulu sebentar ke kamar Non Sesil." Bu Ningsih menghela lengan Lara.
"Ngapain Lara di kamar Non Sesil, Bu? Nanti kalau ada barang yang hilang, Non Sesil akan menuduh Lara lagi." Lara menahan langkahnya. Ia trauma selalu dituduh pencuri oleh Sesil saat mereka remaja.
"Sudah, jalan saja. Jangan banyak protes!" Bu Ningsih mencengkram pergelangan tangan Lara. Menariknya paksa ke kamar Sesil. Setelah Lara masuk, Bu Ningsih secepat kilat mengunci pintunya dari luar. Lala terperanjat. Mengapa ia dikunci.
"Lho, Bu. Kok Lara dikunci sih?" Lara memutar-mutar pegangan pintu. Ia panik karena dikunci seperti tawanan begini.
"Tunggu saja sebentar di situ. Ibu bicara dengan Non Sesil dulu!" hardik Bu Ningsih. Ia kemudian tergopoh-gopoh menemui Sesil yang sudah menunggu di koridor.
"Ada ada, Non? Perubahan rencana bagaimana yang Non maksud?"
"Ayah tadi baru saja menelepon. Menanyakan soal kesediaan gue menerima lamaran si petani. Gue keceplosan bilang kalo gue bersedia dinikahin kapan saja. Karena gue pikir toh yang akan menjalaninya si Lara."
"Terus?" Bu Ningsih penasaran.
"Ya terus gue paniklah. Karena ayah langsung menelepon Pak Jaya. Bilang kalo gue bersedia menerima perjodohan ini."
"Lah, berarti rencana sesuai dong, Non. Kan Lara yang akan menggantikan posisi Non di Yogya sana?" Bu Ningsih mengernyitkan kening.
"Mbok ini gimana sih? Ya nggak sama lah. Masa gue masih ada di rumah padahal Pak Jaya bilang gue udah ikut anaknya ke Yogya? Mikir, Mbok?" Sesil menunjuk kepalanya. Orang kalau tidak makan bangku sekolahan memang suka telat mikirnya.
"Oh iya ya, Non." Bu Ningsih menyadari kesalahannya. Walau Lara sudah menggantikan posisi Sesil, tapi Sesil tidak boleh ada di rumah ini. Itu artinya Sesil harus pergi juga.
"Jadi bagaimana, Non? Non akan ke mana?" Bu Ningsih kebingungan.
"Santai, Mbok. Justru ini yang gue idam-idamkan sedari dulu. Gue akan tinggal sendiri di tempat yang gue mau. Gue akan bebas lepas bagai burung lepas tanpa ada aturan ini itu dari ayah dan ibu. Gue merdeka, Mbok!" Sesil tertawa gembira. Ia akan menjalani hidup seperti yang ia inginkan.
"Jadi--jadi Non akan pergi jauh dari, Mbok?" Bu Ningsih sedih. Ia tidak mau jauh-jauh dari anak majikannya ini.
"Ya iyalah. Kalo nggak, rencana kita ini ya ketahuan. Mbok ini bagaimana sih?" Sesil memutar bola mata.
"Ayo kita ke kamar. Setelah Lara pergi, Mbok bantu gue untuk berkemas-kemas secepatnya." Sesil menarik tangan Mbok Ningsih dengan gembira. Ia sudah tidak sabar untuk keluar dari rumah di mana ia merasa bagai burung dalam sangkar emas ini.
Sementara di belakangnya, Bu Ningsih tertunduk sedih. Ia mengabdi hampir dua puluh satu tahun lamanya di rumah ini karena ingin selalu berdekatan dengan Sesil. Kalau Sesil pergi, tidak ada yang tersisa di hatinya. Karena separuh belahan jiwanya telah meninggalkannya.
***
Lara menarik napas panjang tiga kali sebelum melangkah ke ruang tamu. Dengan koper mewah pinjaman dari Sesil, Lara berjalan seraya menggeret koper. Perjalanan menantang takdirnya akan segera dimulai.
Kehadirannya disambut oleh sepasang mata tajam yang menatapnya penuh spekulasi. Sejenak Lara terkesima. Ia sama sekali tidak menyangka kalau penampakan seorang petani ndeso seperti yang dikatakan Sesil, segagah ini. Bagas mengenakan kemeja lengan panjang yang ia gulung hingga sebatas siku dan celana pantalon hitam. Alih-alih petani, penampilan Bagas malah menyerupai seorang eksekutif muda.
"Terus terang saja pada saya. Sebenarnya kamu punya cacat apa sampai kamu meminta saya menikahimu secepatnya padahal kamu tidak mengenal saya. Melihat saya pun, kamu baru kali ini bukan?"
Lara mematung. Ia tidak menyangka akan langsung diserang dalam pertemuan pertamanya dengan Bagas. Bagas tidak menyetujui perjodohan ini rupanya.
"Konon katanya, kamu adalah seorang mahasiswi tingkat akhir yang sebentar lagi menjadi seorang sarjana. Ekspektasi saya, kamu adalah seorang perempuan cerdas yang berpikiran terbuka. Yang sudah pasti akan menentang perjodohan tidak masuk akal seperti ini. Tapi kenyataannya?" Bagas mengedikkan bahu. Mengejek Lara dengan tatapan melecehkan sebelum melanjutkan kalimatnya.
"Kamu malah langsung menenteng koper meminta saya nikahi. Padahal tujuan saya ke sini tanpa ayah saya, karena saya ingin berekonsiliasi denganmu. Saya ingin mengajakmu menentang perjodohkan ini pada orang tua kita masing-masing. Ekspektasi saya terhadapmu ketinggian rupanya," dengkus Bagas muak.
Seperti ini rupanya kualitas perempuan yang ayahnya gadang-gadang sebagai perempuan cerdas yang pasti akan melahirkan anak-anak yang cerdas pula. Perempuan cerdas apa? Alih-alih menjumpai perempuan kota yang kritis dalam menyuarakan kebebasan memilih pasangan, ia malah dihadapkan para perempuan lemah putus asa bagai kerbau dicucuk hidungnya.
Cengkraman Lara pada troli koper menguat. Harga dirinya terlukai. Ia tidak terima dianggap serendah itu oleh Bagas. Perlahan Lara mengangkat wajahnya. Dengan berani ia menantang tatapan merendahkan Bagas. Sepersekian detik Bagas terhenyak. Berbanding terbalik dengan sikap pasrahnya dijodohkan, tatapan mata perempuan ini sangat garang.
"Kamu juga punya cacat apa sampai kamu mau-maunya dijodohkan dengan saya?" balas Lara dingin.
"Kamu tadi bilang sengaja datang ke sini tanpa ayahmu, karena ingin mengajak saya berekonsiliasi menantang perjodohan ini. Kamu tidak punya cukup keberanian untuk menantang ayahmu secara terbuka ya? Makanya kamu mengajak saya untuk mengeroyok ayahmu? Saya tidak tahu harus berekspektasi apa terhadapmu." Lara membalikkan sindiran Bagas telak."Ehm... Ehm... Non Sesil, Pak Bagas, apa tidak sebaiknya berangkat sekarang? Takutnya nanti kemalaman di jalan." Bu Ningsih memotong percakapan yang mulai memanas antara Lara dan Bagas. Khusus pada Lara, Bu Ningsih memberinya tatapan mengancam. Lara ini memang keras hati. Susah sekali membungkam mulut besarnya. "Ibu benar. Baiklah, kami akan berangkat sekarang. Sepertinya Sesil sudah tidak sabar menjadi istri saya secepatnya. Kami permisi dulu ya, Bu?" Bagas beringsut dari sofa. Ia ngeloyor ke depan tanpa melirik sedikit pun pada Lara yang kesulitan berjalan dengan koper besar di belakangnya. "Kamu ini tidak bisa dibilangin ya?" Bu Ningsih menjew
Bagas menatap Lara tajam. Entah mengapa, dia melihat keraguan di mata perempuan itu meski perempuan itu terlihat berani.Namun, belum sempat membalas, Lara sudah kembali berbicara, "Tidak masalah kalau kamu belum mencintai saya. Saya berjanji, saya akan melakukan apa saja agar kelak kamu bisa mencintai saya."Apa yang terjadi, terjadilah. Lara sudah tidak peduli. Yang penting, pernikahan ini terus berjalan sampai Sesil merasa puas.Sementara itu, Bagas mengernyitkan dahi. Ia menatap Sesil dengan pandangan ganjil. Bagaimana kepribadian perempuan yang bernama Sesilia Hadinata ini? Bahasa tubuhnya terus saja berubah-ubah. "Sebenarnya saya sudah mempunyai pacar. Kami berhubungan sudah sangat lama. Masalahnya kedua orang tua kami bermusuhan. Jadi seandainya kita menikah pun, saya tidak akan pernah mencintaimu. Saya melakukan semua ini hanya karena amanah ayah saya yang sedang sakit." Bagas mencoba kembali bernegosiasi dengan Sesil. "Tidak masalah. Pokoknya saya ingin kamu nikahi sece
"Agni!" Desisan terperanjat dari mulut Bagas telah menjelaskan semuanya. Gadis ini adalah Agni Paramitha, pacar Bagas. Pacar yang tidak direstui oleh ayahnya tepatnya. Bagas melambatkan kendaraan sebelum benar-benar berhenti di depan sang gadis. Adegan selanjutnya sudah bisa Lara duga. Gadis yang kini berurai air mata itu berlari mendekati mobil. Saat Bagas keluar dari mobil, sang gadis langsung mengalungkan kedua tangannya di leher Bagas. Memeluknya erat dalam sedu-sedan memilukan. Lara terkesima. Ia memang menduga akan ada adegan-adegan haru ala sinetron yang akan diperlihatkan pacar Bagas. Namun ekspektasinya jauh di bawah adegan yang cukup berani untuk ukuran dusun ini. Agni tampak begitu berani memeluk Bagas. Sementara Bagas sendiri tampak kaget dan segera menjaga jarak. Lara tidak tahu apa yang mereka berdua bicarakan. Lara hanya melihat Agni berkali-kali menatap ke arahnya dengan air muka geram. Sekonyong-konyong Agni berlari ke arahnya dan memukul-mukul kaca mobil. Di b
"Turun!" seru Bagas keras pada Sesil. Ia kesal karena Sesil masih saja duduk bengong padahal mereka telah tiba di tempat tujuan."Heh, apa?" Lara tergagap. Ia tidak mendengar kata-kata Bagas karena sepanjang jalan ia terus bergumul dengan benaknya sendiri. Makanya ia kaget saat Bagas tiba-tiba saja mengajaknya bicara."Kamu ingin terus duduk di mobil atau masuk ke dalam rumah?" Bagas kembali membentak Sesil. Moodnya yang sudah jelek karena insiden Agni tadi, membuatnya semakin kesal pada Sesil. Ia sama sekali tidak menyangka kalau rencana yang telah ia susun bersama Agni, berujung kacau seperti ini."Oh," umpatan Bagas hanya ditanggapi kata oh oleh Lara. Selanjutnya Lara turun dari mobil. Setelah berada di luar mobil, barulah Lara memandang takjub keindahan alam di sekelilingnya. Pemandangan hijau-hijau dengan semilir angin yang sejuk membelai-belai kulitnya."Indahnya ciptaanmu ya, Allah," gumam Lara lirih. Ia mengagumi suburnya tanaman teh yang terhampar bagai karpet hijau raksasa d
"Selamatkan nyawa ayah hamba ya, Allah?" Arimbi meletakkan ponsel di dada. Ia seolah-olah ingin memeluk ayahnya. "Masuk," Lara menjawab tatkala pintu kamarnya diketuk dari luar."Saya Aris, Mbak. Saya disuruh si Mbok untuk mengantarkan koper." Terdengar sahutan dari pintu. Suara seorang pria. Pantas saja orang tersebut tidak berani langsung membuka pintu kamar walau sudah diizinkan masuk. Lara beringsut dari ranjang. Setelah menyeka kedua pipinya yang lembab oleh air mata terlebih dahulu, Lara membuka pintu kamar. Terlihat seorang pria gagah berdiri di depan pintu dengan koper di sampingnya."Ini kopernya, Mbak. Mau diletakkan di mana?" tanya Aris canggung. Di hadapannya adalah calon majikannya. Ia tidak berani terlalu lama menatap wajah ayu yang tampak habis menangis di depannya. "Sini, biar saya letakkan sendiri, Mas Aris. Oh ya, nama saya Sesil," Lara memperkenalkan diri, seraya meraih troli koper di samping Aris."Salam kenal, Mbak Sesil. Saya Aris anak Mbok Sumi. Panggil saya
Waktu telah menunjukkan pukul tujuh malam. Sedari masuk diantar Mbok Sum tadi, Lara belum keluar kamar. Ia menghabiskan waktu dengan membongkar koper. Menyusun gaun-gaun mewah di dalam lemari yang rata-rata adalah milik Sesil. Lara sendiri hanya membawa beberapa celana jeans, kemeja dan kaos-kaos rumahan saja. Sesil memberikan gaun-gaunnya agar penyamarannya sebagai anak orang kaya lebih meyakinkan katanya. Tidak lucu kalau anak orang kaya pakaiannya seperti gembel. Sayangnya Lara malah tidak berani memakai gaun-gaun Sesil yang rata-rata berpotongan dada rendah itu. Lehernya kalau tidak model V neck, pasti sabrina. Sesil memang menyukai gaun-gaun yang seksi. Sepertinya gaun-gaun dari Sesil akan berakhir di dalam lemari saja.Selesai menata lemari, Lara berjalan menuju jendela. Ia kemudian membuka jendela kamarnya yang terbuat dari kayu. Seketika udara sejuk menerpa wajah dan kulit tubuhnya. Suasana malam di pedesaan ternyata begitu indah. Sayup-sayup terdengar suara jangkrik yang mem
"Pelan-pelan meletakkan piringnya, Lan. Anak gadis kok kasar kerjanya," Mbok Sum mengomeli Wulan."Namanya juga tidak sengaja, Bu. Lain kali Wulan akan pelan-pelan," cetus Wulan acuh. Kini ia meletakkan piring di depan Bagas. Berbeda dengan Lara, perlakuan Wulan pada Bagas sangat lembut dan hati-hati. "Terima kasih ya, Wulan?" Bagas mengucapkan terima kasih pada Wulan diiringi seulas senyum manis. Ia sudah menganggap Wulan seperti adiknya sendiri."Iya, Mas," ucap Wulan tersipu. Pipinya seketika merona. Sekarang Lara tahu mengapa Wulan memusuhinya. Wulan menyukai Bagas rupanya."Ini piring kesukaan Bapak." Wulan meletakkan piring di depan Pak Jaya hati-hati. Wulan tahu Pak Jaya menyukai piring ini karena dulu diberikan oleh Bu Rahmawati, almarhumah istrinya."Terima kasih ya, Wulan. Bagaimana pekerjaan di pabrik? Lancar?" Pak Jaya mengajak Wulan mengobrol. Wulan ini bekerja di kebun teh. Wulan juga sudah ia anggap seperti putrinya sendiri."Lancar, Pak. Ekspor kita keluar negeri maki
Lara duduk melamun di meja rias seraya menyisir rambut. Ia baru saja mandi setelah acara resepsi usai. Setelah ijab kabul pagi tadi, acara memang dilanjutkan dengan resepsi. Berbeda dengan pernikahan di ibukota yang rata-rata mengelar acara resepsi di gedung atau hotel-hotel mewah, di kampung ini lazimnya resepsi dilakukan di rumah mempelai. Apalagi jika mempelai mempunyai rumah atau pekarangan yang luas. Dengan tenda-tenda lebar dan dekorasi yang apik, di sinilah acara akan digelar. Kerabat, teman, tetangga akan datang berbondong-bondong memeriahkan acara. Suasana kekeluargaan di kampung ini masih sangat kental.Lara melirik pintu kamar mandi tatkala mendengar suara gemericik air. Bagas tengah membersihkan diri setelah dirinya keluar dari kamar mandi. Lara sadar. Bahwa mulai hari ini dan seterusnya, dirinya akan terikat pada Bagas. Masih segar dalam ingat Lara, tatapan penuh amarah Bagas saat cara ijab kabul tadi pagi. Bagas pasti menganggapnya penghancur masa depannya bersama Agni
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha
"Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj
"Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas