"Kamu kenapa ngomongin nasi uduk? Kenapa ngomongin jengkol? Kenapa bilang suka jengkol? Kenapa? Aku sama Papah gak suka makanan itu. Bau!"
Mulai dah, bos kampret merepet. Kalian tahu kenapa aku bilang dia bos kampret? karena bos galak itu selalu pulang malam dari kantor. Kalau dia pulang malam, aku juga pulang malam. Gak pernah tuh pulang sore apalagi masih siang. Aneh, jadi bos tapi jam kerjanya melebihi karyawan. Aku tak menanggapi ucapannya. Lebih memilih menikmati roti tawar panggang selay kacang. Ternyata rasanya sangat mantap. Jujur, baru kali ini merasakan roti panggang. Biasanya Aku makan roti tawar tanpa dipanggang. "Harusnya kamu bilang aja, gak suka jengkol. Enggak biasa ke pasar. Enggak biasa makan uduk! Sukanya makan steak, sukanya ke swalayan." Ngomel aja terus. Ya anggap aja, nyanyian di pagi hari. Aku tetap diam, sesekali tersenyum menikmati lezatnya roti tawar panggang. Ya emang norak, tapi memang beginilah aku. "Anabel! Kamu denger aku gak?" Kunyahanku seketika terhenti, menoleh padanya sembari berdehem. Kuambil botol air mineral, meneguk hingga setengah. "Awal mula yang bilang nasi uduk siapa? Kan Bos yang pertama bilang aku suka nasi uduk. Yang pertama ngomongin jengkol siapa? Kan Tante Salsa yang pertama bilang. Aku sih cuma nanggapin aja. Aku minta maaf, kalau aku ada salah." Lebih baik mengalah, lebih baik aku yang minta maaf dari pada dia terus-terusan ngomel. Lelaki yang duduk di balik kemudi itu mencebik, memalingkan wajah ke arah lain. Setelah itu, mulutnya bungkam. Ya paling ngoceh laginya setelah sampai kantor. Tapi jujur saja, aku masih penasaran, ibu kandung Sadam itu berasal dari mana? Apakah tante Salsa berasal dari keluarga terhormat seperti keluarga Adiwilaga? Atau keluarga bangsawan? Rasanya tidka mungkin kalau tante Salsa berasa dari keluarga yang sederhana atau dari kampung. Tapi, masa iya, seorang anak dari keturunan bangsawan suka jengkol? ___ Tiba di area parkir, Aku langsung mencari keberadaan sepeda motor. "Bos, motor saya mana? Kok gak ada?" Apa jangan-jangan taro di gudang?" "Tadi subuh aku udah telepon security, suruh mereka jual motormu!" "Apa?" Nih orang keterlaluan banget. Main jual motorku aja. Dia gak tau, motor itu cicilannya aku bayar dengan keringat sendiri. Aku menggigit bibir, menahan rasa sedih. Begini amat jadi orang miskin? Jadi orang yang bergantung pada orang kaya raya. Kalau bukan karena nenekku yang butuh biaya pengobatan, aku ingin berhenti kerja di sini. "Enggak usah sedih begitu! Mukamu tambah jelek. Nanti sore kita ke showroom, kamu pilih sendiri mobil yang kamu inginkan!" Seketika mendongak, tapi Bos Sadam sudah lebih dulu jalan meninggalkanku. Setengah berlari, berusaha mensejajari langkahnya. "Bos, seriusan mau beliin saya mobil? Dalam rangka apa?" Tanyaku saat kami masuk ke dalam lift. "Bonus. Karena kamu mau bertahan kerja di tempat ini selama hampir 2 tahun." Masya Allah tabarakallah, aku gak. Nyangka kalau bos Sadam mau beliin mobil. Pengen peluk dia, tapi pasti marah. Lelaki yang berdiri di sampingku tatapannya lurus ke depan. "Makasih, Bos." "Sama-sama." Wah jadi semangat kerja kalau begini. Di dalam ruangan si Bos, aku langsung menyalakan laptop, begitu pula dengannya. Kami sama-sama fokus melihat bahan materi yang nantinya akan disampaikan saat meeting. Melirik arloji, sudah jam tujuh pagi. Tidak berselang lama, suara dering handphone terdengar. Aku mengambil handphone, menerima panggilan telepon atas nama kontak, Bos Jagat. "Siapa yang telepon kamu pagi-pagi?" "Bos Jagat. Yang mau meeting sama kita nanti." "Jangan diangkat! mau ngapain dia telepon segala. Cek lagi materi presentasinya!" "Iya, Bos." *** "Selamat pagi, Bella." "Pagi, Pak Jagat." ucapku hendak menjabat telapak tangannya, namun Sadam justru menarik tanganku agar tidak menyambut uluran tangan lelaki berambut klimis itu. "Jangan salaman! Kalian bukan muhrim." Idih, amit-amit punya bos modelan kayak gini. Angkat telepon Pak Jagat gak boleh, salaman juga gak boleh. Pak Jagat tak menimpali ucapan Sadam, duduk di salah satu kursi meeting. "Anabel, duduk sini!" "Iya, Bos." Aku duduk dekat Sadam. Lelaki itu wajahnya jarang sekali terlihat senyum kalau di hadapan klien. Kadang aku meminta dirinya belajar tersenyum supaya terkesan ramah. Tapi yang ada, marah-marah, merepet kayak kampret. Usai meeting, tanpa kuduga, Pak Jagat yang usianya sebaya dengan Sadam datang menghampiri. "Bella, malam minggu nanti kamu ada acara gak?" Wah, mau ngapain nih Pak Jagat yang ramah dan murah senyum nanyain kayak gitu. Jangan-jangan dia sebenarnya naksir sama aku. "Malam Minggu besok perusahaan kami ada acara. Dia harus datang karena sekretaris saya." Bukan aku yang jawab. Tapi, bos kampret yang tiba-tiba udah berdiri di sampingku. Sorot mata Sadam begitu tajam menatap Bos Jagat. Aku yang masih duduk di antara kedua lelaki yang saling menatap tajam jadi salah tingkah. Sadam tadi bilang, ada acara perusahaan? Acara perusahaan apa? "Oh begitu. Oke, gak masalah." Pandangan Jagat beralih padaku. "Bella?" "Iya, Pak Jagat?" sahutku tersenyum tipis. "Kalau kamu ada waktu senggang, segera hubungi saya." "Gak ada waktu senggang buat dia! Dia sekarang sibuk! Kalau kamu mau ngajak kencan wanita, cari wanita lain. Jangan dia!" Pak Jagat tertawa lepas mendengar ucapan Bos Sadam. Bos aku ini emang memalukan. Posesif dan protektif banget. Enggak ada waktuku untuk menyendiri. Hampir setiap hari kecuali hari Minggu, selalu bersamanya sampe malam. Ada aja pekerjaan yang harus aku kerjakan. "Tingkahmu ini kayak pacarnya aja, Sadam. Apa kamu takut jadi pecundang lagi setelah dulu Juwita lebih memilihku?" desis Bos Jagat. Kedua mataku membeliak mendengar nama itu. Ya aku tahu, Juwita adalah mantan kekasih Sadam sejak dia sekolah SMA dulu. Tapi, aku dengar-dengar, sejak saat itu Sadam tidak mau membuka hati untuk wanita lain. "Lebih baik dibilang pecundang dari pada hidung belang. Anabel, ke ruangan saya sekarang!" Bos Sadam menarik tanganku agar menghindari Bos Jagat. Lelaki berambut klimis itu tercenung mendengar ucapan Sadam. "Anabel, jadi cewek itu jangan gampangan! Mau-maunya salaman sama si Jagat. Dia itu cowok hidung belang. Suka mainin perempuan sampe gila! Kamu tau gak, bagaimana kondisi Juwita sekarang gara-gara menjalin hubungan sama dia?" Aku tak menyangka Sadam sangat marah dengan sikapku pada bos Jagat. Padahal menurutku biasa saja. "Tau gak?" Sentaknya lagi karena aku hanya diam. "Enggak." Sadam mendekatkan diri padaku. Wajah kami hanya berjarak beberapa centi, embusan napasnya sangat aku rasakan. "Sekarang Juwita menjadi pasien rumah sakit jiwa gara-gara kelakuan si b4jingan Jagat Indragiri.""Hah? Masa sih, Bos?""Iya.""Emang Juwita diapain sampe gila begitu?" tanya Anna penasaran. "Sini, duduk kamu di sini!"Anna mengikuti langkah Sadam, duduk di sofa bersebelahan. Lelaki itu mengeluarkan sebungkus rokok, mengambil sebatang, memantiknya. Asap rokoknya sangat mengganggu. Kebiasaan Sadam, tiap kali mau cerita, pasti sambil merokok. "Aku mau cerita, kamu mau dengerin gak?" tanyanya dingin. Anna menganggukan kepala, mengubah posisi duduk lebih menghadapnya. "Gimana ceritanya, mantan pacar Bos itu mengalami gangguan jiwa."Sadam melonggorkan dasi, sorot matanya yang tajam menatap lurus ke depan. Sekian menit, terjadi keheningan. Anna sampai menarik napas panjang berulang kali menunggu cerita yang disampaikan lelaki yang tengah merokok itu. "Juwita gila gara-gara video m3svm mereka disebarluaskan. Wajah si Jagat gak dilihatin, cuma Juwita aja. Itu juga kata temenku yang lihat videonya.""Kamu juga lihat videonya?""Enggak," jawab Sadam menjentikkan abu rokok ke atas as
"Assalamu'alaikum, Tante ..., " sapa Anna saat pintu telah dibuka oleh seorang wanita cantik meski sudah tak lagi muda. "Waalaikumsalam, Anna Isabella... Tante pikir kamu gak jadi nginep.""Jadi dong, Tante.... Anna kan udah janji.""Eh, kamu pake parfum apa sih? Wanginya Tante seneng deh!"Hidung Salsa mengendus tubuh Anna. Dia memang mengkoleksi berbagai macam parfum. Dari harga 15 ribu rupiah sampai 150 juta. Yamaklum, istri seorang Damian. Apapun yang diinginkan, pasti dikabulkan. Parfum seharga 150 juta bagi Damian, bukan masalah besar. Masalah besar bagi Damian jika istri tercinta tidak bicara padanya lewat dia jam. "Dia pake parfum murah, Mah. Paling wanginya cuma satu jam doang." Baru saja Anna mau menjawab, sudah dijawab lebih dulu oleh Sadam. "Jangan diambil ati ucapannya. Dibalik nyinyirannya, ada pujian yang tersembunyi, " bisik Salsa pada Anna yang wajahnya sempat murung. "Masa sih, Tante? Kayaknya gak mungkin deh." Anna langsung mengelak ucapan Salsa. Secara nyata,
"Nikah sama Anabel? Yang bener aja, Mah!" Tanggapan Sadam tampak tak suka. Terkejut, menyugar rambut kesal. "Gak bener kenapa? Anabel itu anak yang baik, cantik, menarik lagi. Kurang apa coba? Udahlah, Dam ... lupain Juwita. Move on ...." Salsa tak henti, membujuk anak semata wayangnya agar mau menikah dengan Anna Isabella. Gadis yang selama ini menjadi sekretarisnya. "Aku belum pengen nikah, Mah. Dah ya, aku mau tidur dulu. Night, Mah."Belum sempat Salsa menanggapi ucapan Sadam, lelaki itu langsung menutup pintu kamar. Salsa hanya menghela napas berat. Meninggalkan pintu kamar Sadam, berjalan menghampiri sang suami yang menunggu di dalam kamarnya. Damian yang tengah menonton berita tanah air di televisi kamar menoleh. Salsa masuk kamar, bibirnya cemberut, terlihat kesal. "Bibirmu manyun gitu, pengen aku sosor?"Damian justru menggoda istrinya. Salsa memutar bola mata malas. Menajuhkan bibir Damian yang hendak meng3cup bibirnya. "Aku kesel sama Sadam. Masa dia belum mau nikah se
Anna terkejut mendapat perintah Sadam. Dia bingung, mau mengambilkan celana d4lam Sadam atau gak. "B-Bos ... yang bener aja, cuma cel4na dalam saya yang ngambilin?" Anna meringis, garuk-garuk kepalanya yang tak gatal."Ya sudah kalau gak mau. Keluar sana!"Anna bernapas lega. Sadam tidak memaksa seperti biasa. Gadis itu melenggang keluar kamar, berjalan ke ruang makan. Di sana Salsa dan Damian sedang menyantap sarapan. "An, Sadam susah dibanguninnya ya?" tanya Salsa melihat Anna sudah datang ke ruang makan. Anna menarik kursi, duduk dan tersenyum simpul. "Bos Sadam udah bangun, Tante.""Kok kamu sampe lama?""Itu ... Bos Sadam pengen disiapin pakaiannya.""Oohh ...." Salsa menanggapi sambil melirik suaminya yang tampak menggelengkan kepala. Tidak berselang lama, Sadam datang. Lelaki itu duduk di kursi samping Anna. Sadam mengambil roti tawar yang sudah diberi selai Kacang oleh Anna. "Sadam, nanti di pasarnya kamu nungguin di mobil aja. Gak usah ikut masuk pasar," tukas Salsa mena
Baru kali ini Salsa sangat menikmati masakan sendiri. Makan masakan favorit tidak sendirian, ada temannya. Sepertinya Anna harus, wajib, mesti, jadi istrinya Sadam. Cewek kayak gini tuh sulit dicari apalagi multitalenta. Anna bukan hanya pandai memasak masakan kampung, tetapi dia juga gadis yang cerdas. Mampu bekerja di perusahaan besar. "An, kamu mau gak jadi mantu, Tante?" Salsa sudah tak tahan ingin bertanya masalah itu pada Anna. "Hah? Mantu, Tante? Gak salah?"Gadis itu kayaknya masih gak percaya kalau Sadam jatuh hati padanya. Salsa yakin, Sadam sebenarnya sangat menyukai Anna. Kalau gak suka, mana berani Sadam bawa cewek ke rumah. Dulu, waktu pacaran sama Juwita, dia gak pernah bawa Juwita ke rumah. Salsa dan Damian hanya dikenalkan di restoran waktu Sadam ingin makan malam bersama mereka. Tapi, Salsa gak suka pada Juwita. Menurut Salsa, Juwita orangnya sombong. Memang dia lebih cantik jika dibandingkan Anna, tetapi sama sekali tidak ramah. Dia ramah saat ada Sadam saja. Kala
"Maaf, Nak. Papa gak bisa melarang mamamu pergi dengan Anna," jawab Damian lesu. Menoleh ke dalam kamar, melihat istrinya sedang mematut diri di depan cermin rias. "Ya elah, Pa ... kenapa gak bisa? Aku beneran lagi banyak kerjaan. Butuh Annabel aku, Pah. Ck, mama tuh ada-ada aja."Sadam mulai frustasi jika mengingat kembali kelakuan wanita yang telah melahirkannya. Sejak mengenal Anna, Salsa jadi sering mengganggu pekerjaan sekretaris Sadam itu. "Kamu kayak gak tau mamamu saja, Nak. Gini aja, sekarang Papa ke kantor. Papa bantuin kerjaanmu.""Enggak usah, Pa. Aku butuhnya Annabel bukan Papa." Sangat tegas, Sadam mengucapkan kalimat tersebut. Damian tidak tersinggung, ia sudah tahu betul sifat anaknya. Sadam suka ceplas-ceplos. Kadang tak peduli, apakah perasaan orang lain akan tersinggung atau tidak. Damian justru tersenyum, mengingat kembali masa mudanya ketika awal mula menikah dengan Salsa. Dia pun sama. Selalu ketus pada Salsa, selalu menghina dan mengejek Salsa. Namun, seiring
Anna sangat terkejut mendengar ajakan Sadam. Selama ini memang dia beberapa kali diajak makan di restoran, entah siang atau malam. Tapi, biasanya bersama klien atau sedang bertemu dengan klien. Kalau hanya berdua makan malam, hanya baru kali ini. "Bos, enggak salah ngomong kan?" Anna memastikan yang didengarnya. Sadam membuka kedua mata, menatap lekat gadis yang duduk bersimpuh di bawah kakinya. "Kamu pikir saya cowok plinplan?" sentak Sadam tampak marah. Anna meringis, menggelengkan kepala. Bukan maksud Anna menganggap Sadam plinplan, tapi biasanya lelaki itu sering marah-marah terus. Sekarang tiba-tiba mengajak dinner, maksudnya apa?'Apa mungkin benar, yang dikatakan tante Salsa? Kalau Bos Sadam sebenarnya suka sama aku?' Tanpa disadari, Anna tersenyum manis sambil merunduk."Kamu kenapa senyam-senyum begitu? Senyummu pahit, gak ada manis-manisnya!" Sangat ketus, Sadam mengatakan kalimat itu. Sadam bangkit dari tempat duduk, bersiap merapikan berkas-berkas dan hendak pulang. A
Salsa bergegas masuk ke dalam kamar, membuka salah satu goodie bag hasilnya belanjaannya bersama Anna. Damian masuk ke dalam kamar, mengikuti sang istri. Dahi Damian mengkerut melihat gerakan Salsa yang tampak sedang mencari sesuatu. "Sayang, kamu lagi cari apaan?" Damian menghampiri, berdiri di sampingnya. "Nyari gaun yang aku beli buat Anna."Salsa menjawab tanpa menoleh pada suaminya. Ia membongkar satu persatu goodie bag. Lalu bibirnya tersenyum ketika barang yang dimaksud, sudah ditemukan. "Eh, kamu mau ngapain?" Damian menarik lengan Salsa. "Mau nitipin gaun ke Sadam buat Anna. Aku pengen, Anna mengenakan gaun ini pas dinner nanti malam."Wajah Salsa terlihat sangat sumringah. Cekalan tangan Damian melepas, diiringi embusan napas agak kesal. "Sayang, aku kan tadi udah bilang. Kamu harus pura-pura gak tau kalau malam ini Sadam dan Anna mau dinner," jelas Damian menurunkan kedua pundaknya. Senyum yang sempat terlukis di bibir Salsa, seketika memudar. Ia baru ingat, sudah berj
Sindiran Salsa membuat Sadam tercengang, sikapnya berubah salah tingkah. Tidak setenang seperti sebelumnya. Dia benar-benar gugup. Anna melirik lelaki yang duduk di sisi. Sadam meneguk segelas air hingga tandas. "Annabel, kita berangkat sekarang!""Baik."Tanpa ingin lebih beralama-lama lagi dan penasaran akan ucapan Salsa, Sadam memutuskan segera berangkat. "Kalian mau ke kantor sekarang?" tanya Salsa menunjukkan ekspresi wajah tak berdosa ketika Sadam dan Anna mencium punggung tangannya. "I-iya, Ma," jawab Anna sembari meringis. Setelah Sadam dan anak menantunya hilang dari hadapan mata, Salsa melepaskan gamitan tangan pada lengan Damian. Damian menoleh, melihat tangan Salsa yang dilepaskan dari lengannya. "Kenapa dilepasin, Sayang?" tanya Damian menatap penuh cinta wajah wanita yang telah dinikahinya bertahun-tahun. "Sadam dan Anna udah pergi," jawab Salsa sesantai mungkin. Damian menghela napas berat, menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Jadi tadi cuma pura-pura mesra?" Da
Sepanjang malam, Anna tak bisa memejamkan kedua mata. Perutnya lapar, kedua mata tak juga terpejam. Anna menoleh pada lelaki yang tertidur memunggungi. Ingin sekali Anna memeluk tubuh Sadam, tetapi ia tak berani. Akhirnya Anna pun memiringkan tubuh, memunggungi Sadam. Bukankah harusnya Anna yang marah? Bukankah harusnya Sadam yang merasa bersalah? Kenapa mesti sebaliknya. Sebulir air mata membasahi wajah Anna. Ia menghela napas berat, berusaha sekuat hati agar tidak meneteskan air mata. Anna menarik selimut sebatas dada, namun lagi-lagi tidak bisa tertidur. Anna menyibak selimut, duduk, menoleh pada Sadam yang enggan bergemang. Kemudian, ia beranjak dari dalam kamar. Keluar, mencari makanan di dapur. Perut Anna lapar. Dia tidak mau asam lambungnya kumat. Kalau sampai itu terjadi, pekerjaan kantor akan terbengkalai. "Kamu baru makan?"Suapan Anna terhenti mendengar pertanyaan dari suara yang amat dikenali. Anna mendongak, melihat Sadam yang berdiri di sampingnya. Anna kembali meru
"Insya Allah aku sanggup, Ma. Tetapi, apa kesepakatan itu enggak akan menyinggung perasaan Sadam?" Anna tidak mau kalau suaminya berpikir bahwa ia tidak mempercayainya. Namun, sisi lain, Anna juga khawatir kalau Sadam ternyata kembali lagi menemui Juwita. "Mungkin tersinggung, tapi seenggaknya dia belajar memegang komitmen. Jujur saja, Mama kecewa denger Sadam masih menemui Juwita."Pandangan Salsa lurus ke depan. Teringat kembali sikap Juwita dahulu ketika ketahuan selingkuh oleh Salsa. Di depan Salsa, Juwita begitu pongah dan sombong mengenalkan Jagat pada dirinya. Saat itu, Salsa sangat marah dan menyuruh Sadam agar melepas Juwita. Awalnya Sadam tidak mau bahkan sempat ribut dengan Salsa. Sadam lebih membela wanita yang telah berkhianat padanya. Ternyata, Sadam mengetahui kebusukan Juwita satu Minggu setelah pertengkaran itu. Sadam menangis, meminta maaf pada Salsa karena sempat tidak percaya dan sempat lebih membela Juwita ketimbang wanita yang telah melahirkannya. Anna melihat
Anna masuk lagi ke dalam taksi. Menyuruh supir taksi melajukan kendaraannya. Kali ini Anna ingin pulang ke rumah, bisa jadi Sadam sebenarnya sudah di rumah. Tiba di halaman rumah keluarga Adiwilaga, tidak ada kendaraan pribadi suaminya. Anna turun dari taksi setelah membayar ongkos. Ia tak langsung masuk ke dalam rumah, berjalan sambil menenteng tas kerja ke bagasi. Memastikan, apakah mobil suaminya ada di bagasi atau tidak? Ternyata tidak ada. Berarti Sadam belum pulang. "Sadam kemana sih? Pergi kemana-mana kenapa enggak bilang?" gerutu Anna kesal. Menghentakkan kedua kakinya. "Anna!"Sebuah panggilan membuatnya membalikan badan. "Mama," pekik Anna tertahan. "Kamu ngapain di bagasi?" selidik Salsa, menghampiri menantunya yang berdiri di depan deretan mobil mewah. Sikap Anna salah tingkah namun ia berusaha tetap tenang. "Euu ... itu, Ma ... hm ...." Anna tidak ingin Salsa menaruh curiga kalau dirinya sedang ada masalah dengan Sadam. Anna menggigit bibir bawah, bingung menjawab.
Setelah meyakinkan Anna, Sadam kembali melajukan kendaraannya. Meski belum sepenuhnya yakin, tetapi Anna tak lagi emosi, berusaha percaya akan ucapan Sadam. Sampai di kantor, keduanya berjalan beriringan. Anna menolak menggamit lengan Sadam, memilih berjalan lebih dulu. Sadam berusaha tidak tersinggung, hanya menghela napas berat, menggelengkan kepala berulang kali. Di dalam ruangan, Anna langsung duduk di kursi meja kerja. Menyelesaikan pekerjaannya yang sempat tertunda. Sadam memerhatikan Anna cukup lama. Perasaan bersalah menyusupi hati. Sadam memejamkan kedua mata, memijat pelipis lalu berusaha fokus melakukan pekerjaannya. "Mau makan siang dulu enggak?" tanya Sadam ketika waktu sudah menunjukkan jam satu siang. Lepas salat Dzuhur tadi, Anna kembali bekerja, tidak mengajak Sadam makan siang seperti biasa. "Kalau kamu mau makan siang, makan duluan saja. Pekerjaan saya belum selesai," jawab Anna tanpa menoleh pada lelaki yang berdiri di sampingnya.Sadam tak menanggapi, berjalan
Tiba di rumah sakit jiwa, Sadam langsung berjalan menuju kamar pasien bernama Juwita Rahayu, mantan kekasih Sadam dulu. "Sadaaaaammmmm ... lepasin! Lepasin tangakuuuu ... aku pengen Sadaaaamm ... Huhuhu ... Hahahahahaha ...."Lengkingan suara tangisan dan gelak tawa keluar bergantian dari mulut wanita yang telah lama menghuni rumah sakit jiwa. Sadam menelan air liur. Tubuhnya kaku di depan jendela kaca ruangan Juwita. Tiga perawat yang berusaha menenangkan Juwita sudah kewalahan. Pandangan dokter Indira beralih pada sosok lelaki yang tinggi tegap berdiri di ambang pintu. "Juwita, Juwita, Mas Sadam sudah datang. Itu dia ... Kamu lihat ke sana!" dokter Indira memalingkan pelan wajah pasiennya ke arah pintu. Bibir pucat itu seketika melengkung, kedua mata yang mencekung membeliak lebar. "Sa-Sadam ... Sadaaaam ... Sayang ... Sadam sayangkuuu ...."Kondisi Juwita terlihat tenang. Tiga perawat mengikat kedua tangan Juwita dan juga kedua kakinya. Mereka khawatir kalau tindakan Juwita me
"Bukan urusanmu! Kerja lagi sana!"Hati Anna sangat sakit dan tersinggung akan ucapan Sadam. Seolah Anna bukanlah istrinya. Anna terdiam, tak menimpali. Seketika Anna mulai ragu akan cinta Sadam. Apa mungkin pernikahan ini hanya terpaksa?Anna membatin sepanjang melakukan pekerjaannya. Mati-matian ia menahan air mata agar tangisannya tidak pecah. Belum satu jam lalu, mereka melakukan hubungan selayak dua pasang manusia yang saling mencintai dan menyayangi. Perlakuan lembut Sadam ketika berhubungan, sangatlah berbeda dengan keseharian. Jika keseharian Sadam sering membentak dan marah-marah, ketika sedang berhubungan suaranya begitu lembut dan penuh cinta. 'Apa semua itu palsu? Apa aku hanya dijadikan pemuas n4fsunya belaka? Astaghfirullah ....' Anna mengusap wajah dengan kasar. Menarik napas panjang, lalu beranjak keluar ruangan. "Annabel kamu mau kemana?" Sadam bertanya, namun pertanyaannya tak mendapat jawaban. Anna keluar ruangan dengan wajah ditekuk. Hatinya ingin marah tapi t
Dug, dug, dug!"Sadam, Anna ... buka pintunya! Sadam ... dug, dug. dug!"Anna dan Sadam yang baru saja selesai melakukan hubungan suami istri terkejut. Bergegas turun dari tempat tidur, lalu masuk ke dalam toilet. "Bos, gak mandi dulu?" tanya Anna saat Sadam hendak membuka pintu usai mengenakan pakaian lengkap. "Kalau aku mandi dulu, nanti Papa curiga. Kamu duluan saja!" Anna tak berani membantah lagi. Dia masuk ke dalam toilet, mandi besar. Sadam mematut diri di depan cermin. Lalu keluar kamar, berjalan tenang ke pintu ruangan. "Ada apa, Pa?" tanya Sadam setelah mengenakan jas rapi. Damian menelisik penampilan anak semata wayangnya. "Kenapa pintu dikunci?""Emang dikunci?" Sadam pura-pura pilon. Mengecek handle pintu. "Pake nanya. Anna mana?"Sadam terkejut, mendapati pertanyaan papanya. Namun, Sadam berusaha tetap tenang. "Annabel ... Annabel aku suruh ke kantin. Papa ada apa ke sini? Harusnya Papa enggak usah ke kantor. Sekarang kan ada aku dan Annabel. Papa diam-diam saja
"Video apaan ini?" tanya Anna memicingkan kedua mata, menatap video yang diputar suaminya di layar laptop. "Ini sih bukan video, tapi film. Film Jepang?" Anna menoleh, menatap wajah Sadam yang berada di belakang tubuhnya. "Iya. Aku lebih suka film Jepang kayak gini. Mafia-mafia-an, driver-driver-an. Dari pada film di bioskop tadi." Sadam mengeratkan rengkuhan pada pinggang Anna. Wanita itu tak bisa berkutik, pasrah akan perlakuan Sadam yang mulai bergerilya. "Bos, tangannya bisa diem dulu gak?" "Emang kenapa?""Geli tau ...."Sadam tak peduli, meneruskan aksinya. Usai nonton film, keduanya mandi bersama. Di dalam sana, Sadam kembali memberikan nafkah batin yang entah sudah berapa kali. ***"Sayang, Sadam kenapa udah pulang dari hotel ya? Apa mereka bertengkar?" tanya Salsa ingin tahu penyebab anak tunggalnya dan menantunya pulang lebih cepat. "Kayaknya enggak. Sadam cuma kepikiran masalah kerjaan aja.""Emang kamu nyeritain masalah kerjaan kantor ke dia?" tanya Salsa sewot. Me