"Temani Aqila makan malam," kata Elang singkat pada salah satu asisten Rika.Pria itu lalu bergegas menyusul Atika naik ke lantai dua, Namun saat Elang baru tiba di anak tangga kedua, Aqila keluar dari kamar tamu memanggil Elang."Mas, bisa kita bicara sebentar?" pinta Aqila sambil berjalan menghampiri Elang. Gadis itu meraih ujung lengan kemeja Elang dan menariknya perlahan, seperti anak kecil.Elang mengalihkan pandangan sekilas ke atas, sekelebat bayangan melintas di celah pintu kamarnya yang terbuka. Tak lama, bunyi pintu yang dibanting terdengar. Elang kemudian menggangguk pada Aqila."Kita bicara di ruang kerjaku saja."Aqila tersenyum puas dan tanpa sadar mengamit lengan Elang, tetapi sigap pria itu melepaskan tangan Aqila dari lengannya dan berjalan mendahuluinya."Wah, Mas Elang benar-benar kaya raya sekarang! Seandainya Budhe Hanum masih ada, pasti Budhe akan senang melihat rumah Mas Elang yang besar ini!" celoteh Aqila bersemangat begitu memasuki ruang kerja Elang.Gadis it
Atika merasa pagi datang dengan sangat lambat. Gambaran adegan Aqila yang berlutut di hadapan Elang agar dijadikan istri kedua, membayangi pelupuk mata Atika setiap kali ia memejamkan mata. Sebab itulah, hingga jam analog menunjukkan angka tiga, Atika tidak sedetik pun jatuh ke alam mimpi. Selain itu, Atika juga tidak dapat tidur karena sejak semalam, Elang tidak kembali ke kamar. Entah bermalam dimana suaminya, Atika enggan untuk mencari tahu.Tidak, tepatnya Atika ketakutan kalau ternyata Elang sedang bersama Aqila, menghibur gadis itu atau bahkan memenuhi permintaan Aqila untuk dinikahi. Kepala Atika tiba-tiba terasa berat memikirkan kemungkinan terburuk itu. Daripada berdiam mengurung diri di dalam kamar, Atika memutuskan untuk berjalan-jalan di halaman rumah sambil menunggu matahari terbit. Sayangnya, belum sampai di halaman langkah Atika terhenti ketika mendengar bunyi benda-benda berjatuhan dari arah dapur."Kenapa mereka memasak sepagi ini?" gumam Atika sambil berjalan cepat m
"Berhenti!" pekik Aqila nyaring mengejar Atika keluar dari dapur.Atika berbalik dan menemukan wajah gadis itu sudah semerah tomat, dengan cepat Aqila berjalan mendekati Atika. Tangan kanan gadis itu kini mengacungkan sebuah pisau daging ke udara."Kalau perlu aku yang akan mengambil alih tugas Tuhan memisahkan kalian!" teriak Aqila sambil berlari siap menghunuskan benda di tangannya ke arah Atika.Atika tidak siap menerima serangan mendadak seperti ini, otaknya mendadak beku membuat tubuhnya seperti dipaku ke lantai. Atika hanya mampu memejamkan mata bersiap menerima nasib buruk yang akan menimpanya. Namun, selang beberapa detik kemudian, Atika tidak merasakan apapun. Sebaliknya, ia hanya mendengar bunyi benda besar terjatuh. Dengan hati-hati, Atika membuka mata. Di hadapannya, Aqila terkapar meringis kesakitan memegangi sikunya yang lecet sementara beberapa langkah di samping gadis itu, Elang berdiri tegak membelakangi Atika, menghadap Aqila."Mulai saat ini, jangan pernah muncul d
"Keluar! Dasar anak haram, pembawa sial! Keluar kamu, mau kamu sembunyikan dimana pun anakku, aku bisa menemukannya!"Teriakan Guntur, salah satu tetua desa yang juga ayah dari Aqila menambah suasana mencekam malam itu. Seruan serta gedoran pintu dan juga kaca jendela ikut mengiringi amukan Guntur yang mencari keberadaan putrinya. Elang yang melihat orang-orang desa mengererumuni rumahnya, sontak menepikan motor tua yang ia kendarai beberapa meter sebelumnya. Kening pria itu berkerut dalam belum menyadari bahaya yang mengintainya."Ini dia, orangnya sudah datang!" seru seorang ibu-ibu tambun penjual nasi pecel.Guntur yang berdiri paling depan dekat dengan pagar rumah Elang, merangsek berbalik arah menjauhi kerumunan dan menarik ujung kaus lusuh Elang."Kamu sembunyikan dimana putriku?""Apa maksud Bapak? Saya tidak menyembunyikan Aqila!"Sebuah tendangan keras menghantam tulang kering Elang membuat pria itu jatuh tersungkur ke tanah. Guntur lalu menginjak punggung Elang, membuat pria
Kedua mata Atika membeliak saat memahami arti permintaan Elang. "Kamu gila! Kalau ada perawat yang datang gimana?" desis Atika ngeri. "Apa masalahnya? Kita suami istri." "Justru mereka yang malu karena telah memergoki kita, itu maksudmu kan?" sambung Atika cepat memotong perkataan Elang yang pernah pria itu ucapkan di hari pertama mereka menikah. "Tapi kita sekarang ada di rumah sakit. Fasilitas umum. Gak! Aku mau tidur terpisah." Atika menunjuk extra bed di samping tempat tidur pasien. "Kamu tega, aku seorang pasien sekarang. Tanganku baru saja dijahit," ujar Elang memelas. Atika bergidik ngeri melihat sisi kekanak-kanakkan suaminya. Sosok tangguh yang sempat menangkis sebuah pisau untuknya sontak menghilang begitu saja. "Justru karena lenganmu terluka, kamu memerlukan ruang gerak yang luas. Sudah, jangan banyak mengeluh!" kata Atika tegas seraya membetulkan kembali posisi selimut hingga menutupi tubuh Elang hingga ke dada. "Tadi katanya mau mengatakan sesuatu."Elang mendesah
"Aku sudah selesai makan," kata Atika sambil beringsut menjauh dari meja makan begitu Elang tiba di ruang makan, membuat semua orang tak terkecuali Elang terperangah heran.Sudah dua hari sejak kepulangan Elang dari rumah sakit, sikap Atika berubah drastis. Kentara sekali Atika menghindari suaminya. Atika dan Elang seakan dipasang magnet dengan kutub berlawanan, dimana ada Elang maka Atika tidak mungkin ada di tempat yang sama. Bagaimana dengan di kamar tidur? Atika selalu sudah terlelap setiap kali Elang masuk ke dalam kamar dan sudah menghilang dari atas tempat tidur begitu Elang membuka mata. Istrinya itu seakan sudah bisa menduga kapan Elang akan terjaga dari tidurnya.Elang mengacak rambutnya gusar. Satu hari setelah perubahan sikap Atika, Elang berpikir keras mencari kesalahan apa yang ia perbuat hingga membuat Atika bertindak aneh seperti itu? Dan, Elang menemukan jawabannya. Perempuan manapun tidak akan ada yang suka mendengar kisah masa lalu suaminya, dan malam itu, Elang den
"Ehhem! Hp terus yang disenyumin, kenapa gak langsung disamperin aja ke kantornya aja sih, Mbak?" Bisikan Keyla yang disertai sikutan ringan di pinggang Atika, membuat perempuan itu terlonjak pelan. Hampir saja Atika lupa diri sedang berada dimana sejak menerima pesan singkat yang disertai rekaman video pendek dari Elang. Video itu menampilkan Elang yang sedang bermain piano, Atika tidak begitu paham lagu klasik apa yang sedang dimainkan oleh suaminya itu."Mbak, aku jujur ya. Seandainya aku gak lebih dulu ketemu Pak Daffa, aku sudah cinta mati sama Pak Elang gara-gara liat video ini. Akhirnya aku sadar kenapa banyak karyawati yang patah hati waktu tahu Pak Elang udah nikah sama Mbak," ucap Keyla yang tiba-tiba ikut menonton rekaman video Elang.Atika melirik rekan kerja sekilas lalu kembali melihat layar ponselnya. Meski Atika dan Elang bertemu setiap hari, tetapi benar apa kata Keyla. Melihat Elang dalam balutan kemeja putih dengan celana putih sambil memainkan piano, pria itu meng
"Terima kasih untuk informasinya, tapi aku lebih tahu seperti apa suamiku. Dia bukan pria yang seperti kamu sebutkan," kata Atika kesal dan tanpa menunggu lagi, Atika mendorong kursinya menjauh lalu berlalu meninggalkan Daffa. "Dasar laki-laki kardus! Harusnya dia bercermin sebelum menjelek-jelekkan Elang!" desis Atika sambil berjalan cepat kembali menuju ruangannya. "Mbak Tika, tunggu!" panggil Keyla dari belakang, Atika tidak menoleh dan menekan tombol ke atas di samping pintu lift. "Mbak, aku tahu Pak Daffa sudah keterlaluan bilang Pak Elang gak bertanggung jawab. Tapi apa yang Pak Daffa bilang itu benar!" Keyla menarik-narik lengan kemeja Atika pelan. Atika mengerlingkan mata kesal dan menatap bayangan mereka yang terpantul di pintu lift. Beruntung tidak ada siapa-siapa lagi di sekitar mereka, sehingga Atika tidak perlu bersikap hati-hati sekarang. "Kamu sangat menyukai Daffa, jadi apapun yang dikatakan pria itu pasti terlihat benar di matamu." "Bukan begitu, Mbak. Mbak Tika