Malam ini, Adelio membawa sebuah plastik besar. Aku tidak menyangka, apa dia sedang membujukku?Karena mengingat, aku belum memaafkannya. Adelio duduk di kasurku, memperhatikan aku yang sedang mencuci tangan. "Lo mau jajan? Gue ada banyak nih," kata Adelio memamerkannya dengan bangga. Aku tidak meresponnya, masih terfokus dengan wajahku seolah ada sesuatu yang aneh. "Lo kenapa? Kok lama banget?" lanjut Adelio, merasa bingung dengan diriku. Seketika, dia menghampiri yang melotot tidak percaya. "Jerawat!" pekikku, cemberut. Ihh menyebalkan sekali. Kenapa harus ada, jerawat di wajah mulusku ini?! Aku tidak mau! Sementara, Adelio menatap menganga heran. "Jerawat doang? Lo seribut ini?" tanya Adelio geleng kepala, aku menoleh dengan tajam. "Ini tuh, hal yang memuakkan. Wajah cantik gue jadi jelek gini!" keluhku, dengan bibir merengut ke bawah. Dengan memijit pelipisnya, Adelio menarikku duduk ke kasur. Aku tau, ini hal biasa. Tidak untuk diriku!"Nanti perawatan ya? Lo nggak perlu
"Lo maafin gue kan?" tanya Adelio, duduk di meja makan. Aku menggeleng menyuapi makanan yang ada di sana, aku masih belum siap. "Masih marah, karena gue nuduh sembarangan?" kata Adelio, memperhatikanku. "Iya, lo setega itu bilang ke gue yang anak baik ini," sahutku, menghela napas panjang. Aku memilih menyelesaikan sarapan pagi ini, aku mencuci tanganku dengan bersih. Tanpa kata-kata, aku pergi sendiri dengan perasaan tidak mood. "Bareng gue aja, entar lo ada apa-apa," kata Adelio, memperhatikanku berjalan sendiri. Aku menoleh dengan gelengen kecil. "Nggak kok, lo percaya aja sama gue."Setelah itu, aku pergi menggunakan mobil. Aku belum balik ke rumah, karena mengingat aku masih marah dengan Adelio. Tidak lama kemudian, gedung sekolah terlihat. Aku parkirkan mobil, dan saat turun banyak anak cowok mengelilingi mobilku. "Kenapa?" tanyaku ke mereka. Sekitar 6 orang dikira-kira. Mereka saling melihat satu sama lain. "Ini hadiah buat lo.""Baca ya surat gue.""Hem, ini spesial
Pulang sekolah, aku dan Adelio langsung menghadang keduanya. Adelio sudah berencana, membawa mereka ke suatu tempat. Adelio yang mengendarai mobil, membawa kami. Tiba-tiba saja, seseorang mengejar. "Adelio, mereka siapa?" kataku, melihat kaca mobil. Ada 3 motor mengejar, bertubuh besar dan tinggi. Adelio menggeleng, sementara kedua di belakang menunduk. "Cepat Adelio! Gue nggak mau tau ya!" kesalku, menabok tangannya. "Sabar Ranesya, gue yakin kita bakal aman," balas Adelio penuh kesabaran. Kami juga sudah di ikuti semenjak keluar sekolah, aku menyadari tapi belum memberi tau Adelio. Sekarang, aku yakin pasti ini yang dimaksud oleh Zara. Suasana makin mencekam, saat dua motor itu melaju bersampingan. "Ambil hp gue di tas, tolong telepon ke nomor Ayah," perintah Adelio, aku gercep melakukan yang disuruh. "Aduh mana sih," kataku gemeteran. "Namanya Ayahku tersayang," celetuk Adelio, aku menahan tawa mendengar itu. Untungnya, Ayah Liam cepat mengangkat. Aku menyodorkan ke Adel
Suasana pagi hari, sangat dingin karena sedang hujan. Adelio berdecak kesal, aku menyipitkan mata menatapnya. "Kenapa lo?" Aku bertanya, Adelio tidak membalas. "Lo nggak jawab, gue nggak mau ketemu lo ya," lanjutku, Adelio mendongak menatapku. Adelio mengeluarkan sebuah surat, dan amplop warna merah. Bibirku menarik sebelah. "Terus apa?" kataku bingung, Adelio mendengus kesal. "Gue kemaren baca nih surat, dari fans lo," balas Adelio, aku masih setia menatapnya. "Nah, urusannya apa dengan gue? Mana lo yang badmood, tapi gue kena getahnya," ungkapku kesal, dia berdecak sebal. "Fans lo, nembak tau," rajuk Adelio, aku menahan tawa. Astaga, hanya ditembak doang loh?! Sedangkan, dirinya sudah jadi suamiku. "Lo cemburu ceritanya?" kataku, Adelio mengangguk mantap. Oke, akupun membaca surat itu. Memang tertera, jika dia menyukaiku, dan ingin menjadikanku kekasihnya. Namun, tidak mungkin aku menerimanya, karena diriku sudah ada Adelio. "Lo nggak selingkuhkan sama dia?" tanya Adelio
Aku ke wc sendiri di sekolah, karena sudah kebelet. Aku juga sudah jarang, bercerita dengan Gita, dan Vivian. Merasa kurang nyaman dengan mereka, menyadari jika keduanya. Tidak setia tentang persahabatan. "Sepi ya," kataku, memasuki wc, dan menguncinya. Setelah selesai, aku ingin membukanya namun tidak bisa. "Loh, kenapa nggak bisa?" kataku panik, mana bentar lagi pulang sekolah. Siapa yang bisa membuka pintunya? Aku juga lupa membawa hp, aduhh gimana ini?"Gue harus apa coba?!" Aku menggedor pintu, berharap ada yang bisa menolongku. Apa yang aku harapkan tidak ada, aku berusaha memukul pintu, biar orang lain mendengarnya. Sungguh, aku prustasi di dalam wc. Apa aku, akan kenapa-kenapa di sini?"Astaga, gue nggak bisa keluar," keluhku, terduduk tidak peduli lagi baju telah kotor. "Aduh, gimana ini? Sekarang jam berapa pula," ucapku prustasi, mengingat jam pelajaran terakhir. Aku mengusap wajahku kasar, menghela napas panjang. Siapa pula yang melakukan ini? Sungguh, aku tidak
"Liat apa tuh!" teriak Adelio, langsung menghempaskan diri di sebelahku. Sungguh aku terkejut, menabok tangannya. Tanpa peduli keberadaan Bunda Delyna. "Kamu ini! Jangan kayak gitu lagi, Ranesya kaget karena kamu Adelio," hardik Bunda Delyna, memarahi Adelio. Sementara Adelio cemberut, dimarahi. Aku tertawa dalam hati, akhirnya ada yang mendukungku. "Bunda, kok gitu ke anak sendiri? Keliatannya malah lebih sayang Ranesya," kata Adelio, mendengus kesal. "Karena Ranesya anak Bunda," balas Bunda Delyna, memeluk diriku. Aku menjulurkan lidah kearahnya, Adelio ingin menarik Bunda Delyna. Aku menepis tidak terima. "Jangan ambil Bundaku," kataku, mendongak ke Bunda Delyna. Seketika Bunda Delyna, puk puk diriku dengan kasih sayang. Aku tersenyum lebar, melirik Adelio, dan aku mengejeknya. "Kamu anak Bunda kok!" balas Bunda Delyna, mengelus kepalaku. "Aku loh anak Bunda," rajuk Adelio, tapi diabaikan Bunda Delyna. Tawaku menyembur keluar, siapa sangka? Adelio diabaikan Bunda sendiri
Kami berdua memilih jogging, di kawasan dekat rumah Adelio. Aku ingin memakai celana pendek dimarahi Adelio. Terjadilah, baju lengan dan celana panjang. Huh! Dia ini, aku berdecak kesal diikutinya. "Lo kenapa sih?" Aku berhenti, menoleh kebelakang. Di mana Adelio, melototi orang-orang yang menatapku dalam. Padahal aku tidak peduli mereka. "Mata lo entar keluar," candaku, bersedekap dada. Adelio merangkul diriku, seolah berkata kepada mereka 'Ini punya gue, jangan ganggu deh.'Astaga, aku jadi tidak heran jika Adelio sangat pencemburu. Aku menurunkan tangannya. "Ayo, nggak usah diladeni mereka," ajakku, mulai berlari kembali. Setelah cukup letih, aku duduk di kursi taman bersamanya. Walau masih belum memaafkan, aku tidak boleh terlalu jahat. Aku masih sebaik ini emang, tidak seperti Adelio. "Lo haus?" tanya Adelio, aku menoleh lalu mengangguk. Adelio berdiri, menghadap diriku. "Gue cari air mineral dulu," kata Adelio, berpamitan denganku. Karena terlalu lama, akupun mencari
"Cepetan Adelio, bentar lagi telat!" Aku berteriak, menggedor pintu Adelio. Kemarin, memang masih di rumah keluarga Andres. Saat malam juga kami langsung pulang, mengingat besoknya sekolah. Tapi Adelio ini, malah mengajakku menonton hingga larut malam. "Ini semua, gara-gara Adelio?!" kesalku, menendang pintu pakai kaki. "Sakit," keluhku, mengelus kaki yang menyut. Bahkan, Adelio membuka pintu baru bangun tidur. Astaga! Heh, aku sudah berteriak loh ini!"Adelio! Kita mau sekolah, kenapa lo belum mandi?!" pekikku, memukul lengannya. Adelio meringis, menggaruk tengkuknya. Mengusap mata menatapku lama. "Yaudah sih, bolos aja," jawab Adelio santai. Heh! Adelio ini, mudah sekali mulutnya ngomong bolos. Sedangkan, aku ini paling rajin masuk kelas. Adelio kira, aku ini dirinya?! Harus sekolah pokoknya, aku mendorong Adelio masuk ke kamar mandi. "Lo mandi sekarang, gue nggak mau tau!" kesalku, mondar-mandir mengingat mobil berada di bengkel. Aduh, kalo tidak juga aku langsung ke sek
Akhirnya tidak ada gangguan ketiga manusia itu, malam ini kami rencananya ingin makan bakso di tempat langganan. Di mana waktu itu ada banci, semoga sekarang nggak ada. Takutnya Adelio risih dengannya. "Baksonya satu Mang!" seru Adelio dengan mengangkat tangannya berbentuk V. Mamang bakso itu hanya mengangguk, aku sangat senang berada di sini. Walaupun capek siang tadi, kan malamnya bisa berduaan kembali. Dalam suasana malam yang dingin dengan bintang bertaburan. "Baksonya enak?" tanya Adelio mendongak menatapku. Aku mengangguk dengan senyum manis. "Enak banget! Juaranya bakso ini mah.""Iya atuh Neng! Palinh enak bakso saya pastinya," sahut Mamang bakso itu dengan senang. Aku dan Adelio hanya terkekeh kecil, tapi memang seenak itu. Apalagi aku jarang ke sini, jadinya sangat rindu ya. "Kalo gitu gratisin kita dong, kan udah dipuji," goda Adelio ke Mamang bakso. Seketika gelengan Mamang bakso terlihat, aku hanya terkekeh. Orang jualan kok minta gratisan dasar Adelio. "Nggak u
Perjalanan kali ini tidak ada halangan sama sekali dari tiga orang gila itu, bahkan ini di bandara dijemput oleh keluarga kami. Aku merasa senang, mereka semua berada sini termasuk Jean. Walau hanya beberapa hari, setidaknya lebih baik cepat pulang daripada semua akan terbongkar seiring waktu. "Kalian ini!" kesal Jean menabok Adelio. Sementara hidungku ditariknya, ihh kenapa dia ini. Sok jadi Kakak pula yang jahil idih. "Sakit dodol," balas Adelio menatap sinis Jean hanya terkekeh. "Elah men gitu doang mah nggak sakit," kata Jean cengengesan. Pada akhirnya, Adelio membalasnya lebih kuat. Di mana kami menertawakan Jean terkena getahnya. "Gue pelan loh, lo balasnya kayak mau bunuh gue," kesal Jean menjauhi Adelio memilih mendekati Mama Cahaya. "Makanya, lo jadi Abang tuh waras dikit. Gue baru pulang nyari perkara lo," sahutku menatapnya sinis. Tidak merasa bersalah, Jean hanya tersenyum lebar. Dih apaan banget nih orang, untung gue sabar ya. Sementara Bunda Delyna memberi kode
Malamnya aku merenung, apa besok pulang saja? Daripada mereka bertiga mengira melakukan hal lebih dari ini. Bagaimanapun, Zara dan Gracia mengetahui. Jika kami memesan satu ruang, walau satu kamar aku pasti sedikit menjauh tidurnya dari Adelio. "Setuju nggak, kalo kita pulang aja besok?" tanyaku ke Adelio yang sedang makan dengan tenang. Yap, setelah seharian mengobrol dan tidur. Kami tidak kemana-mana lagi, karena mengetahui ketiga manusia itu akan merusuh. Adelio mendongak dan tatapan kami bertemu. "Gue ngikut aja," balas Adelio tersenyum. Aku menghela napas panjang mengingat beberapa hari ini bukannya bahagia. Tapi banyak hal yang tidak diduga aku rasakan, belum lagi Ghifari bisa-bisanya menghampiriku ke Bali. "Yaudah, gue mau besok pulang. Nggak betah di sini," balasku kembali memakan udang goreng tepung. Enak banget asli, kayak masakan Mamaku hehe. Jadi rindu mereka apalagi Jean huhu. Setelah selesai makan, kami ke ruang santai untuk menonton televisi. Sebenarnya sangat
Pada akhirnya kami berada di pantai, menikmati hari berdua. Namun, itu tidak berjalan semestinya. Karena gangguan dari ketiga gila itu masih berlanjut, inipun aku ditarik Ghifari untuk pergi berdua."Gue bakal ngajak lo ke tempat yang indah di sini," paksa Ghifari dengan wajah memelas. Aku melirik Adelio yang kini dipegang dua orang sekaligus, siapa lagi kalo Zara dan Gracia. Mereka ini, astaga! Aku dan Adelio ingin berlibur saja susah, pasti ada masalah datang. "Lepasin nggak! Gue nggak mau Ghifari," kataku mengamuk di depan banyak orang melintas. "Ini lagi kalian berdua, apa nggak sadar? Gue tuh mau berdua sama Ranesya," ucap Adelio terdengar dingin. Aku menatap Adelio menarik paksa tangannya sampai jeratan dari dua manusia itu terlepas. Adelio mendekatiku berusaha melepaskan aku dari Ghifari yang tidak mau mengalah. "Seharusnya lo jangan deketin Ranesya, dia bakal jadi milik gue." Ghifari berkata percaya diri. Aku tertawa karena menyadari, jika Ghifari terlalu berlebihan.
Aku menguak sangat lebar merasakan kehangatan luar biasa, saat aku membuka mata terdapat Adelio terlelap. Aku tersenyum lembut mengelus pipinya, mataku melotot karena menyadari kami tidur bersama. "Eh? Kok bisa sih," gumamku memperhatikan sekitar. Menyadari jika kami berada di kamarku, kejadian malam tadi hanya dikejar Adelio dan saling bercanda. Oh ya! Tidak sengaja tertidur berdua. Huh, syukurlah kukira kami melakukan hal berlebihan. "Duh, jangan bangun ya," kataku melepaskan diri dari Adelio perlahan. Aku berdiri menatap wajah Adelio yang begitu menawan, apa tidak salah Tuhan memberikan Adelio kepadaku?Bahkan, banyak dari cewek-cewek mengejarnya. Walaupun tingkah nakalnya membuat guru kesal, tapi dia adalah suami terbaik untukku. "Masak apa ya?" gumamku menuju dapur. Apa aku masak nasi goreng saja ya? Pasti enak banget, tapikan nggak ada peralatannya. Huh! Yasudahlah, aku memilih menonton tv di mana suara teleponku begitu nyaring di kamar. "Ganggu banget, ini jam 7 loh,"
Khusus hari ini, aku tidak ingin keluar karena takut bermasalah lagi dengan kedua makhluk gila itu. Membayangkan saja kejadian kemarin membuatku naik darah, huh! Apa aku buang saja ke lubang buaya sehingga tidak ingin merebut Adelio. "Lo kenapa sih remas remote itu kuat banget?" tanya Adelio menatapku bingung. Aku menggigit bibir bawah, saat melihatnya. Ya gimana lagi, aku masih sangat kesal tau!"Gapapa kok," jawabku seadanya dengan senyuman kecil. Kami berada di ruang santai menonton sebuah film romantis, adegannya begitu manis membuatku melayang. Tapi sesaat membayangkan tadi, moodku hancur seketika. Untungnya Adelio menyuapiku seperti sekarang. "Suka nggak?" tanya Adelio memberikanmu sebuah susu kotak. Aww, pagi-pagi sekali Adelio membawakan beberapa makanan entah dari mana. Aku yang baru bangun melihat Adelio tersenyum saat aku membuka mata, romantis bukan? "Ngelamun lagi?" kata Adelio membuatku tersadar. Aku hanya tersenyum kecil, memakan beberapa cemilan di atas meja.
Malam harinya, aku dan Adelio ingin pergi kencan berdua. Namun, hal tidak diduga terjadi. Di mana Zara dan Gracia, berada di tempat yang sama dengan kami. Jujur aku kadang bingung, mereka ada di mana-mana. "Kenapa Ranesya?" tanya Adelio melihatku. Aku mendengus menatap lulus, di mana Adelio mengikuti mataku. "Loh, kenapa mereka ada di sini ya?" balas Adelio begitu bingung. Pake nanya lagi, ya aku juga nggak tau loh. Mereka seolah tau, kami akan pergi kemana sampai ke restoran ini sekalipun. Berusaha mengabaikan keduanya, aku menarik Adelio ke dalam. Duduk di meja yang cukup jauh dari Zara dan Gracia. "Bentar, kita pesan dulu," kata Adelio mengangkat tangan seketika pelayan datang menghampiri kami. Sebuah buku menu, aku memilih beberapa dan sebaliknya dilakukan hal sama dengan Adelio. Pelayan itu pergi, hanya kami berdua di sini yang lain sibuk dengan urusan mereka. "Gimana rasanya liburan sekarang? Seru nggak?" tanya Adelio menatapku begitu dalam. Aku mendongak memperhatika
Berusaha melupakan Zara dan Gracia, kami lebih memilih kepantai kembali berjemur di sana. Siapa sangka, orang yang tidak aku harapkan mendekati kami mana bajunya kurang bahan. "Adelio, lo makin ganteng aja," kata Gracia melirik tubuh Adelio tanpa baju. Dih, aku menaikkan satu alis merasa aneh dengan pemandangan di mana wajah Gracia memerah. Jijik sekali, apalagi tidak lepas matanya ke Adelio. Heh! Jangan gitu please, aku sangat cemburu sialan. "Gue emang ganteng, sekarang lo berdua pergi sana," usir Adelio menurunkan kacamata lalu menaikkan kembali. "Lo berdua mau jadi lonte atau apa? Bahannya terlalu kurang, mau godain siapa?" hina Adelio tanpa menoleh ke arah mereka berdua. Aku menahan tawa, siapa mengira. Jika Adelio akan berkata begitu tanpa peduli perasaan Zara maupun Gracia. "Buat godain lo," sahut Zara mendekati Adelio. Jujur menjijikan sekali, mereka tanpa malu tersenyum amat manis dan menggoda. Iuhh, untung aku berusaha kalem ya. "Najis tau nggak!" umpat Adelio mene
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar