"Sialan, ternyata lo nyari perkara sama gue," umpatku ke Zara yang tersenyum miring. Dia mendekati kami, aku sudah tidak heran dengan Zara. Namun, masalahnya itu sejak kapan? Ghazi dan Zara kerjasama. "Gimana? Kagetkan lo?" Zara tersenyum lebar, menarik daguku biar mendongak. "Jangan lupain, gue bakal rebut Adelio dari lo. Biar lo tau, gue ini berbahaya," ucap Zara, aku menatap tajam dirinya. Zara menghempaskan daguku begitu saja, Ghazi merangkul Zara seolah teman dekat. "Heran lo? Gue bisa dekat sama Ghazi? Kita udah temenan dari kecil," ungkap Zara, mereka saling bertatapan, dan tertawa. "Gila lo berdua!" Aku mengatai mereka yang tidak peduli. "Asal lo jadi umpan juga kita bakal lakuin," kata Ghazi, ini benar-benar memiliki sifat ganda. Tadi saja bilang ingin aku jadi miliknya, aku merasa dia ingin menjebak Adelio. "Bener itu, lo tau kan kalo Adelio milik gue. Lo bisa bawa nih cewek jadi milik lo," saran Zara, aku melihat Ghazi tampak semangat. "Beneran gila kalian," sindi
Malam ini, Adelio membawa sebuah plastik besar. Aku tidak menyangka, apa dia sedang membujukku?Karena mengingat, aku belum memaafkannya. Adelio duduk di kasurku, memperhatikan aku yang sedang mencuci tangan. "Lo mau jajan? Gue ada banyak nih," kata Adelio memamerkannya dengan bangga. Aku tidak meresponnya, masih terfokus dengan wajahku seolah ada sesuatu yang aneh. "Lo kenapa? Kok lama banget?" lanjut Adelio, merasa bingung dengan diriku. Seketika, dia menghampiri yang melotot tidak percaya. "Jerawat!" pekikku, cemberut. Ihh menyebalkan sekali. Kenapa harus ada, jerawat di wajah mulusku ini?! Aku tidak mau! Sementara, Adelio menatap menganga heran. "Jerawat doang? Lo seribut ini?" tanya Adelio geleng kepala, aku menoleh dengan tajam. "Ini tuh, hal yang memuakkan. Wajah cantik gue jadi jelek gini!" keluhku, dengan bibir merengut ke bawah. Dengan memijit pelipisnya, Adelio menarikku duduk ke kasur. Aku tau, ini hal biasa. Tidak untuk diriku!"Nanti perawatan ya? Lo nggak perlu
"Lo maafin gue kan?" tanya Adelio, duduk di meja makan. Aku menggeleng menyuapi makanan yang ada di sana, aku masih belum siap. "Masih marah, karena gue nuduh sembarangan?" kata Adelio, memperhatikanku. "Iya, lo setega itu bilang ke gue yang anak baik ini," sahutku, menghela napas panjang. Aku memilih menyelesaikan sarapan pagi ini, aku mencuci tanganku dengan bersih. Tanpa kata-kata, aku pergi sendiri dengan perasaan tidak mood. "Bareng gue aja, entar lo ada apa-apa," kata Adelio, memperhatikanku berjalan sendiri. Aku menoleh dengan gelengen kecil. "Nggak kok, lo percaya aja sama gue."Setelah itu, aku pergi menggunakan mobil. Aku belum balik ke rumah, karena mengingat aku masih marah dengan Adelio. Tidak lama kemudian, gedung sekolah terlihat. Aku parkirkan mobil, dan saat turun banyak anak cowok mengelilingi mobilku. "Kenapa?" tanyaku ke mereka. Sekitar 6 orang dikira-kira. Mereka saling melihat satu sama lain. "Ini hadiah buat lo.""Baca ya surat gue.""Hem, ini spesial
Pulang sekolah, aku dan Adelio langsung menghadang keduanya. Adelio sudah berencana, membawa mereka ke suatu tempat. Adelio yang mengendarai mobil, membawa kami. Tiba-tiba saja, seseorang mengejar. "Adelio, mereka siapa?" kataku, melihat kaca mobil. Ada 3 motor mengejar, bertubuh besar dan tinggi. Adelio menggeleng, sementara kedua di belakang menunduk. "Cepat Adelio! Gue nggak mau tau ya!" kesalku, menabok tangannya. "Sabar Ranesya, gue yakin kita bakal aman," balas Adelio penuh kesabaran. Kami juga sudah di ikuti semenjak keluar sekolah, aku menyadari tapi belum memberi tau Adelio. Sekarang, aku yakin pasti ini yang dimaksud oleh Zara. Suasana makin mencekam, saat dua motor itu melaju bersampingan. "Ambil hp gue di tas, tolong telepon ke nomor Ayah," perintah Adelio, aku gercep melakukan yang disuruh. "Aduh mana sih," kataku gemeteran. "Namanya Ayahku tersayang," celetuk Adelio, aku menahan tawa mendengar itu. Untungnya, Ayah Liam cepat mengangkat. Aku menyodorkan ke Adel
Suasana pagi hari, sangat dingin karena sedang hujan. Adelio berdecak kesal, aku menyipitkan mata menatapnya. "Kenapa lo?" Aku bertanya, Adelio tidak membalas. "Lo nggak jawab, gue nggak mau ketemu lo ya," lanjutku, Adelio mendongak menatapku. Adelio mengeluarkan sebuah surat, dan amplop warna merah. Bibirku menarik sebelah. "Terus apa?" kataku bingung, Adelio mendengus kesal. "Gue kemaren baca nih surat, dari fans lo," balas Adelio, aku masih setia menatapnya. "Nah, urusannya apa dengan gue? Mana lo yang badmood, tapi gue kena getahnya," ungkapku kesal, dia berdecak sebal. "Fans lo, nembak tau," rajuk Adelio, aku menahan tawa. Astaga, hanya ditembak doang loh?! Sedangkan, dirinya sudah jadi suamiku. "Lo cemburu ceritanya?" kataku, Adelio mengangguk mantap. Oke, akupun membaca surat itu. Memang tertera, jika dia menyukaiku, dan ingin menjadikanku kekasihnya. Namun, tidak mungkin aku menerimanya, karena diriku sudah ada Adelio. "Lo nggak selingkuhkan sama dia?" tanya Adelio
Aku ke wc sendiri di sekolah, karena sudah kebelet. Aku juga sudah jarang, bercerita dengan Gita, dan Vivian. Merasa kurang nyaman dengan mereka, menyadari jika keduanya. Tidak setia tentang persahabatan. "Sepi ya," kataku, memasuki wc, dan menguncinya. Setelah selesai, aku ingin membukanya namun tidak bisa. "Loh, kenapa nggak bisa?" kataku panik, mana bentar lagi pulang sekolah. Siapa yang bisa membuka pintunya? Aku juga lupa membawa hp, aduhh gimana ini?"Gue harus apa coba?!" Aku menggedor pintu, berharap ada yang bisa menolongku. Apa yang aku harapkan tidak ada, aku berusaha memukul pintu, biar orang lain mendengarnya. Sungguh, aku prustasi di dalam wc. Apa aku, akan kenapa-kenapa di sini?"Astaga, gue nggak bisa keluar," keluhku, terduduk tidak peduli lagi baju telah kotor. "Aduh, gimana ini? Sekarang jam berapa pula," ucapku prustasi, mengingat jam pelajaran terakhir. Aku mengusap wajahku kasar, menghela napas panjang. Siapa pula yang melakukan ini? Sungguh, aku tidak
"Liat apa tuh!" teriak Adelio, langsung menghempaskan diri di sebelahku. Sungguh aku terkejut, menabok tangannya. Tanpa peduli keberadaan Bunda Delyna. "Kamu ini! Jangan kayak gitu lagi, Ranesya kaget karena kamu Adelio," hardik Bunda Delyna, memarahi Adelio. Sementara Adelio cemberut, dimarahi. Aku tertawa dalam hati, akhirnya ada yang mendukungku. "Bunda, kok gitu ke anak sendiri? Keliatannya malah lebih sayang Ranesya," kata Adelio, mendengus kesal. "Karena Ranesya anak Bunda," balas Bunda Delyna, memeluk diriku. Aku menjulurkan lidah kearahnya, Adelio ingin menarik Bunda Delyna. Aku menepis tidak terima. "Jangan ambil Bundaku," kataku, mendongak ke Bunda Delyna. Seketika Bunda Delyna, puk puk diriku dengan kasih sayang. Aku tersenyum lebar, melirik Adelio, dan aku mengejeknya. "Kamu anak Bunda kok!" balas Bunda Delyna, mengelus kepalaku. "Aku loh anak Bunda," rajuk Adelio, tapi diabaikan Bunda Delyna. Tawaku menyembur keluar, siapa sangka? Adelio diabaikan Bunda sendiri
Kami berdua memilih jogging, di kawasan dekat rumah Adelio. Aku ingin memakai celana pendek dimarahi Adelio. Terjadilah, baju lengan dan celana panjang. Huh! Dia ini, aku berdecak kesal diikutinya. "Lo kenapa sih?" Aku berhenti, menoleh kebelakang. Di mana Adelio, melototi orang-orang yang menatapku dalam. Padahal aku tidak peduli mereka. "Mata lo entar keluar," candaku, bersedekap dada. Adelio merangkul diriku, seolah berkata kepada mereka 'Ini punya gue, jangan ganggu deh.'Astaga, aku jadi tidak heran jika Adelio sangat pencemburu. Aku menurunkan tangannya. "Ayo, nggak usah diladeni mereka," ajakku, mulai berlari kembali. Setelah cukup letih, aku duduk di kursi taman bersamanya. Walau masih belum memaafkan, aku tidak boleh terlalu jahat. Aku masih sebaik ini emang, tidak seperti Adelio. "Lo haus?" tanya Adelio, aku menoleh lalu mengangguk. Adelio berdiri, menghadap diriku. "Gue cari air mineral dulu," kata Adelio, berpamitan denganku. Karena terlalu lama, akupun mencari
Di pagi hari, berbeda dari biasanya. Saat aku terbangun, Adelio sudah berada di depanku. Siapa sangka, aku melotot tidak percaya. Bahkan, Adelio mengelus puncak kepalaku. "Lo udah bangun?" tanya Adelio mengecup keningku penuh perhatian. Aku yang masih tidak menyangka hanya bisa berkedip-kedip, yaa aku kan masih terkejut. Dengan tubuhku mundur membuat Adelio terlihat bingung. "Kenapa?" Aku menggeleng cepat, berusaha berdiri dan melirik sekitaran. Asli, aku sangat malu. "Nggak kok," jawabku sedikit gugup. "Seriusan? Kenapa wajah lo langsung tegang gitu," sahut Adelio terkekeh pelan. Yah, siapa coba tidak kaget dengan tingkahnya. Kan aku sangat terkejut, dahal dia sangat jarang begini kepadaku. Paling sesuatu hal penting, atau pergi suatu tempat dia akan menghampiriku terlebih dahulu. "Eh, nggak kok cuma tadi," balasku bingung mengigit bibir bawah. Aku mendorong tubuh Adelio. "Sana gih, lo pesen aja makanan gue laper soalnya," kataku mengalihkan pembicaraan. "Lo laper? Bentar
Sore yang cerah, cocok banget jalan-jalan di pantai. Aku dengan tergesa-gesa menarik tangan Adelio untuk cepat. "Ayolah, lo jangan lama sih!" kesalku mendengus. Adelio menggeleng kepala, saat aku menoleh. Apa dia ikutan kesal denganku? Kan aku hanya tidak ingin ketinggalan ke pantai. "Pelan-pelan aja, pantainya gak berjalan itu," peringat Adelio menahan tawa. Idih, dikira lucu gitu? Aku melepaskan tangan Adelio, bersedekap dada di depannya. Bibir yang merucut kedepan seperti bebek. "Lo kok ketawa? Nggak ada yang lucu tau," hardikku menghentakkan kaki. "Dahlah, nggak jadi aja."Aku berusaha memutarkan badan untuk balik ke kamar, namun tanganku ditahan olehnya. "Mau kemana?" tanya Adelio menatapku lekat. "Gue mau ke kamar aja, lo ngeselin soalnya," kataku mengalihkan pandangan ke tempat lain. Terdengar suara kekehannya. "Gue bercanda doang, ayo kita pergi," ajak Adelio menarikku untuk ke pantai. Tidak menolak, aku hanya mengikuti langkah kakinya turun dari lift. Aku tidak ada
Selama 1 bulan, kami dikasih libur sekolah. Adelio berencana mengajak diriku ke Bali. Sungguh aku sangat senang! Siapa sih yang tidak mau kesana? Sekarang kami bersiap-siap untuk ke bandara. "Gimana, semuanya nggak ketinggalankan?" tanya Adelio melirikku memegang koper. Aku mengangguk semangat, menggandeng tangannya. "Ayok, skuy!" seruku membuat Adelio terkekeh. Kali ini kami di antar oleh supir milik keluarga Andres, karena mengetahui tidak mungkin membawanya sendiri. Saat sampai, kedua orang tua kami sudah berada di bandara. Pasti ingin memberikan salam perpisahan untuk sebulan ini. "Kalian hati-hati ya," kata Bunda Delyna memelukku dan Adelio. Sementara Mama Cahaya menangis, aku merasa geli seolah ditinggal selamanya saja. Tapi aku tahan karena menyadari, jika aku tidak menghargai kesedihan Mamaku. "Ihh, kenapa Mama nangis?" Aku memeluk Mama Cahaya, dan mengelus punggungnya. Setelah memeluk Bunda Delyna, aku beralih ke Mama Cahaya yang kini menangkup pipiku. "Jangan band
Waktu cepat berlalu, di mana aku sudah melewati ulangan ganjil. Kali ini aku berada di depan kantor untuk pengumuman raport. Banyak guru maupun orang tua berkumpul, ini saat menegangkan. Sampai pengumuman siapa yang juara di kelasku. "Seperti biasa, juara 1 didapatkan oleh Ranesya Adipurna," ucap wali kelasku. Urutan tiga maupun dua, sudah disebutkan. Aku tersenyum lebar karena mengetahui pasti aku mendapatkan peringkat pertama. "Lo pasti bisa!" kataku tanpa suara ke arah Adelio, memperhatikanku terlihat bangga. Arghh, aku sangat senang sekali. Setiap kelas memang disebut sampailah di kelas Adelio. "Untuk Bapak Ibu-ibu, ini murid yang bandel astaghfirullah. Dia juga sering banget bolos, hanya semester ini lumayan memberikan hasil memuaskan karena jarang bolos!" jelas wali kelas dengan senyum mengembang. "Semoga kalian nggak kaget, juara ke 3 diberikan kepada Adelio Andres," kata wali kelas bertepuk tangan. Adelio menganga lebar, namun didorong teman sekelasnya.
"Nanti lo nangis darah, kalo gue bisa dapatin Ranesya," ledek Rayyen terkekeh kecil. Sebelah alisku terangkat, percaya diri sekali dirinya. Apa orang gila ini, terlalu pede bisa mendapatkan sesuatu yang dia mau?"Maaf Rayyen, gue tetap sayang Adelio," sahutku membuat keduanya menoleh. "Lo hanya orang baru dalam hidup gue, sementara Adelio udah gue kenal sejak kecil cuma waktu itu berpisah aja," jelasku membuat Adelio tersenyum puas. Sebaliknya, Rayyen begitu muram karena mengetahui pernyataan yang aku berikan. Siapa yang senang, penolakan begitu jelas. Bahkan, ini di depan banyak orang. "Gue nggak akan biarin itu terjadi, selama gue masih hidup lo harus jadi milik gue Ranesya!" kata Rayyen berdiri menatapku begitu lekat. Tidak merespon, aku hanya diam karena malas untuk menyahuti perkataan Rayyen itu. "Dan gue yang akan buat lo kehilangan segalanya," timpal Adelio ikut berdiri. Tanpa segan menarik kerah Rayyen, mereka saling bertatapan begitu tajam. "Silakan! Gue akan ambil R
Aku menatap kaget mendengar lontaran Adelio itu, aku menunduk karena kelopak mataku terasa mengeluarkan buliran bening yang jatuh. Tiba-tiba saja seseorang memeluk, aku mendongak menatap tidak percaya. "Bercanda sayang, aku percaya sama kamu," kata Adelio dengan kekehan kecilnya. Aku mengusap hidung yang basah, aku mendorong dada Adelio. "Nggak usah ngeselin deh! Gue nangis ini," omelku dengan tangisan makin keras. Adelio yang ketar-ketir mendekat, mengusap pipiku yang basah. Apa dia merasa bersalah? Sehingga mendekatiku, dih ngeselin banget sumpah. "Eh, jangan nangis dong. Aku cuma bercanda doang," kata Adelio menarikku dalam pelukannya. "Tapi bercanda lo, nggak lucu tau!" kesalku memukul dada Adelio. Lebih mengesalkan di mana Adelio terkekeh pelan, apa lucunya sih? Aku di sini dituduh loh, malah dia ikut-ikutan buat aku nangis begini. "Ngapain juga lo ketawa?" tanyaku melepaskan diri dari pelukannya. "Lo aja kalo nangis makin menggemaskan," balas Adelio mencubit pipiku. A
Saat pertanyaan Vivian terlontar, aku meneguk ludah. Untungnya aku bisa menjawab semua dengan enteng. Setelah menghadapi masalah besar, mereka berdua akhirnya pulang di jam 7 malam."Gue nggak sanggup asli," keluhku ke Adelio yang duduk di ruang santai. Adelio terkekeh mengelus puncak kepalaku. "Lo pasti ketar-ketir ye kan.""Pake nanya lagi, gue beneran takut tadi," kesalku menabok lengan Adelio. Bayangkan pertanyaan Vivian itu sangat mematikan belum lagi waktu di kamar, ada satu foto ketinggalan di meja belajar. Untungnya aku bisa menyembunyikan tepat waktu, aduh ini Tuhan lagi baik sama aku sih. "Asal mereka nggak taukan? Kita bisa berhasil," seru Adelio tersenyum manis. Alah, itu juga karena aku banyak alasan. Coba Adelio ikut kasih alasan? Mungkin sudah ketauan karena jawaban kami pasti berbeda. "Iya serah lo aja deh," balasku malas. "Ehem, lagi ngapain nih peluk-peluk," sindir seseorang dengan suara nge-bas. Aku yang menyadari orang tersebut cepat bertegak, menoleh kebe
Aku tertawa mengingat kejadian pulang sekolah, sekarang aku berada di rumah memainkan ponsel. Cuma sedikit kaget di mana dalam grup, jika Gita dan Vivian ingin berkunjung ke rumah. Asli ya, aku langsung deg-degan karena mereka sudah berada di rumah orang tuaku. "Adelio, cepetan!" teriakku menggedor pintu kamar. Pintu tersebut buka, terlihat Adelio mengusap mata sepertinya baru bangun tidur. Aku tanpa berkata, menarik tangannya. Adelio terkaget-kaget dari rautnya, ingin tertawa tapi situasi sekarang lagi tidak bagus. "Kenapa lo?" tanya Adelio menarik tanganku sesaat. "Jangan banyak tanya deh, gue gini juga mau cepat ke rumah orang tua gue. Ada Gita sama Vivian di sana," ungkapku membuat Adelio sebaliknya menarikku. Eh, kok malah aku yang ditarik-tarik. Sepertinya Adelio menyadari ketar-ketir diriku. "Ayok, cuss kita harus cepat ke rumah Papa Mama," seru Adelio mendorongku ke dalam mobil. Kasar banget sih, dasar emang ya. Apa karena ingin cepat sehingga begini jadinya. Adelio
"Maksudnya apa Om?" tanya Adelio menarikku kebelakang. Senyum miring tertampil di bibirnya. "Kamukan sudah melukai Zara? Sekarang dia berada di rumah sakit," tuduh Om tua sambil mengepalkan tangan. Eh, sejak kapan please. Aku saja selalu bersama Adelio, kapan melukai Zara murahan itu? Sampai orang tua ini menuduh Adelio. "Astaga Om, aku mana pernah melukai dia. Nggak pengen soalnya, kan aku udah ada ini," kata Adelio menoleh ke arahku sebentar. Aku tersenyum kecil, saat Adelio memberitahu kalo aku adalah pacarnya. "Alasan aja kamu! Apa saya laporkan aja kamu ke kepala sekolah," kata Om tua mendekat menarik kerah Adelio. Hal gilanya, Om tua itu mengangkat dengan mudah tubuh Adelio. Aku menganga tidak percaya, setua ini tenaganya masih oke. "Jangan sembarangan ya, aku juga nggak akan ngelakuin itu karena Zara bukan siapa-siapa," papar Adelio masih berusaha sabar. Aku menggeleng, ya untuk apa bertengkar dengan orang tua? Dia tidak akan mendengarkan. Daripada mak