Rekaman video itu sangat ramai beredar. Baik di televisi, mau pun di sosial media. Banyak orang yang sudah melihatnya, tidak terkecuali dengan para pekerja di rumah Juwita. Mereka sangat terkejut dan tidak percaya, padahal selama ini Hendra tidak pernah terdengar macam-macam.Padahal, saat ini Juwita sudah mulai membaik perasaannya. Apalagi setelah kedatangan papanya dua hari yang lalu, dia percaya masalahnya dan Hendra akan ditangani baik oleh Armaja.Saat ini Juwita lebih memilih fokus mengurus kehamilannya. Meski Hendra sendiri belum menerima anak itu, dia tetap menjaganya dengan baik. Juwita tidak ingin bayinya kekurangan gizi, dia mulai mengatur pola makannya lagi.Sambil membawa gelas susu yang sudah kosong, Juwita menuruni anak tangga. Dia tidak ingin manja, sehingga segalanya diurus oleh asisten rumah tangga. Karena itu Juwita memilih banyak bergerak agar anak di dalam perutnya juga sehat.Saat memasuki dapur, terdengar para asisten sedang berbincang-bincang.“Tapi aku nggak p
Jika Juwita baru saja mengetahui tentang video itu, berbanding terbalik dengan Hendra. Dia sama sekali tak tahu apa pun, sebab kebiasaannya memang tidak terlalu tertarik akan sosial media. Hendra lebih suka menyibukkan diri dengan pekerjaan, daripada sekedar mengurusi hal yang kurang penting. Apalagi Alan belum juga bisa dia dapatkan kembali. Beberapa kali Hendra mencoba mengunjungi Lilis dan Steve di rumahnya, tapi tidak pernah bertemu dengan mereka.“Sampai kapan aku tinggal di sini, kalau masalah dengan Lilis saja nggak selesai?” kata Hendra kesal, memukul bantal dengan kasar.Sangat bosan sudah dia tinggal di kamar hotel itu. Hendra ingin semuanya segera selesai, Alan ada padanya, lalu dia akan kembali pada Juwita. Hendra memang sengaja akan pulang setelah Alan dia dapatkan kembali, agar Juwita tidak terus mencemburuinya. Tapi jika Lilis saja tidak tahu di mana rimbanya, akan sampai kapan seperti ini? Hendra bosan juga lama-lama.“Apa aku pulang saja ke rumah?” kata Hendra lagi, d
‘Saat itu, aku baru saja kembali membawa anak tiriku jalan-jalan. Asal kalian tahu, aku begitu menyayangi dan menganggapnya sebagai anakku sendiri. Ketika tiba di rumah, kulihat mereka tengah berbincang, jadi aku masih berpikir positif, mungkin dia datang untuk menjemput anaknya. Aku memberi mereka kepercayaan, membiarkan mereka berbincang-bincang tentang anak, Aku pergi mandi agar mereka tidak merasa canggung berbicara di depanku. Tapi saat aku kembali dari kamar, aku mendengar mereka membicarakan untuk rujuk, sungguh di luar dugaanku. Tentu saja aku marah mendengarnya, lalu aku menegur istriku. Tapi laki-laki itu lantas memukulku, dan kalian bisa melihat kondisi wajahku sekarang. Asal kalian tahu, aku sampai dirawat karena ini, aku hampir saja kehilangan nyawaku.’Sangat pintar dia berbicara, bahkan membawa-bawa nama Alan seakan benar sangat mencintai anak itu. Padahal, semua yang keluar dari mulutnya hanyalah kebohongan. Geram rasanya Hendra mendengar Steve yang terus saja bicara,
Saat Hendra tiba di rumah yang selama ini dia tempati bersama Juwita, dia langsung dihadang oleh satpam.“Maaf, Pak, ibu tidak mengizinkan bapak masuk,” ucap penjaga pintu pagar itu. Tampaknya Juwita sudah sangat murka dengan berita yang beredar, sampai-sampai Hendra dilarang datang ke rumahnya. Tapi meski demikian, Hendra tidak lantas menyerah.“Aku juga penghuni rumah ini, aku harus masuk. Tolong bukakan pagarnya.”Penjaga pagar itu tampak sedikit bersalah. Dia sudah mengenal Hendra hampir dua tahun lamanya, tentu tidak mudah baginya berlaku kasar di depan tuan yang dia layani. Akan tetapi, Juwita lah nyonya sebenarnya dan pemilik rumah itu. Dia tidak bisa berbuat banyak.“Pak Hendra, saya tidak bermaksud melarang bapak masuk, tapi saya harus mengikuti perintah. Saya masih sangat butuh pekerjaan ini, saya harap bapak mengerti keadaan saya.”Benar sekali. Juwita orang yang tegas dan tak ingin dibantah. Sekali satpam itu melanggar perintah, dia akan kehilangan pekerjaannya. Hendra pun
Tuuut... Tuuut....Entah sudah panggilan ke berapa ini, tapi tidak juga mendapat jawaban dari seberang sana. Acara siaran langsung itu sudah berakhir sekitar setengah jam lamanya, tapi Steve belum juga kembali. Lilis sudah tak sabar hanya menunggu dan ingin segera menanyakan apa maksud Steve melakukan semua itu.Padahal, kemarin tadi saat di rumah sakit, Lilis sudah mendapat kecaman dari para fans-nya Steve. Mereka menganggap Lilis sebagai perempuan yang tidak tahu diri, merusak karier lelaki itu dan sekarang ingin kembali pada mantan suaminya. Awalnya Lilis sangat terkejut, dan ketika melihat berita yang beredar di internet, dia langsung menanyakannya pada Steve.‘Aku tidak tahu apa-apa, Sayang. Kamu sendiri tahu, aku sakit sampai tidak sadarkan diri karena ulah Hendra. Mana aku tahu dari mana mereka mendapatkan rekaman itu!’Itu lah kata-kata Steve kemarin, dan dia berjanji akan segera menemukan orang yang menyebarkannya. Tapi tiba-tiba saja Steve menghilang dari rumah sakit, tanpa
Ponsel itu sudah dinyalakan oleh Hendra kembali, baterai sisa beberapa persen tidak akan cukup untuk bertelepon panjang dengan Juwita. Hendra tidak ingin perbincangannya nanti terputus, jadi dia langsung menyambungkan pada pengisi daya. Baru lah setelahnya dia hubungi nomor Juwita, agar segera dia selesaikan semua masalah ini.Di rumahnya, Juwita duduk seperti orang yang tidak punya semangat. Matanya menatap lurus pada televisi yang lagi-lagi membahas gosip tentang rumah tangganya. Bukan hanya nama Hendra dan Lilis yang menjadi sorotan sekarang, tapi Juwita juga mulai disebut-sebut. Publik mempertanyakan apa tindakan Juwita untuk pengkhianatan Hendra, dan apakah dia masih akan mempertahankan rumah tangganya.Kenapa publik sangat ingin tahu segalanya? Apa pun keputusan Juwita sama sekali tidak mengurangi uang di dompet mereka, kan?“Terlalu menyebalkan!” ucap Juwita, mengganti channel televisi dengan remote.Saat itu pun ponselnya berdering. Juwita melirik ke kiri, nama dan foto profil
“Hm… uang, ya? Atau hak Asuh Alan?” kata Lilis tampak seperti dia sedang berpikir, tapi kenyataannya dia tengah menertawakan Hendra sekarang. ‘Bagaimana rasanya mengemis padaku, Hendra? Apakah itu sakit? Kau pasti kesal dan marah menjatuhkan harga dirimu kan? Rasakan itu! Asal kau tahu, itu lah yang aku rasakan selama ini!’ Lilis berkata membatin, dia sangat puas saat ini, sebab Hendra lah yang berada di posisi pengemis.“Tawaranmu cukup bagus. Apakah aku harus mempertimbangkannya?” kata Lilis, dia membaringkan tubuhnya di atas ranjang, menatap langit-langit kamar yang terasa lebih indah sekarang. Mungkin karena dia sedang di posisi yang baik, sehingga semua terlihat indah di matanya.Hendra yang mendengar Lilis akan mempertimbangkannya pun sedikit memiliki semangat. Mungkin pernikahannya masih bisa diselamatkan jika Lilis mau menerima tawaran itu. Setidaknya ada satu yang bisa dipertahankan.“Katakan saja, berapa uang yang kamu minta. Jika memang Alan yang kamu inginkan, meski berat
Hancur sudah semuanya, tak ada harapan untuk Hendra bisa melewati semua masalah ini. Dia termenung memikirkan nasibnya yang—entah mengapa—sangat memuakkan ini.Juwita tak mungkin kembali, sementara Alan sudah ada di tangan Lilis sekarang. Hendra tak punya apa pun untuknya memperjuangkan kehidupan. Semua hambar, semua tak berarti, hidupnya sudah di ambang kehancuran sekarang.“Harg!” teriak Hendra, membanting tangannya di atas meja. Dia sangat kacau sampai tak bisa mengontrol emosi.Apa sih maunya hidup ini? Kenapa selalu saja tidak berpihak pada Hendra? Dia dengan bodohnya mau dijual pada perempuan lain, hanya karena istri yang tidak mau hidup pas-pasan. Demi masa depan putranya, demi membuat istrinya tidak terus di dalam kemiskinan, Hendra mengiyakan permintaan itu.Dia juga merasakan betapa sakitnya terhina di sisi Juwita, dan berusaha menunjukkan pada wanita itu bahwa dia sudah tulus mencintai. Hendra bahkan sudah berpikir merelakan putranya pada Lilis, tapi Juwita lebih percaya vi
Sejenak Hendra menunduk. Dia menatap lantai di bawah kakinya dan memikirkan pertanyaan itu. Cinta... Hendra tersenyum kecil.Tentu saja dia mencintai Juwita, dan cinta itu pula yang membuatnya selalu sabar dengan semua cobaan pernikahan mereka. Tapi Hendra tidak akan lupa bahwa cinta pula yang membuatnya menjadi suami yang terjual. Karena rasa cintanya pada Lilis dan tidak ingin istrinya bercerai, Hendra yang bodoh pun menerima pernikahan tertulis dengan Juwita.Bukankah cinta itu pula yang membuatnya menjadi menderita? Meski sangat mencintai Juwita, Hendra juga ingin mempertahankan harga dirinya.“Mencintai adalah hal yang sangat mematikan, sampai aku menjadi menantu Anda pun itu karena dulu aku mencintai mantan istriku. Jika sekali lagi aku mengalah demi cinta, bukan tak mungkin akan kehilangan harga diri lagi. Maka kuputuskan, bercerai adalah jalan yang sudah sepatutnya,” ucap Hendra dengan yakin.Juwita tidak kuasa mendengar perkataan Hendra, air matannya mengalir lebih deras oleh
Hendra mengangguk, tidak ingin mengulur waktu sehingga membuat orang-orang berharap banyak padanya. Semuanya harus diakhiri agar Juwita tidak terus merendahkannya.“Nggak mungkin,” bisik Juwita patah hati, kedua tangan memegangi kepalanya yang belum mampu menerima kenyataan. “Kamu nggak mungkin menanda tanganinya, kamu pasti berbohong.” Dia tatap suaminya dengan mata memelas, sungguh tidak Juwita harapkan benar-benar bercerai dari Hendra.“Maaf mengecewakan kamu. Tapi... kedatanganku ke sini untuk mengantarkan surat cerai itu.” Hendra mengeluarkan amplop yang Juwita kirimkan itu, dan membuka bagian yang sudah dia tanda tangani. Dia letakkan berkas itu di atas meja agar semua orang bisa melihatnya. “Aku hanya mengabulkan permintaan kamu. Dan lagi, aku rasa kita tidak mungkin meneruskan pernikahan yang sejak awal tidak sehat. Aku tidak ingin terus dikenal sebagai suami yang dibeli, maka itu memang sebaiknya kita bercerai saja.”Sebagai lelaki, Hendra punya harga diri. Meski di awal sud
Berkali-kali Juwita melirik ke pintu utama rumah orang tuanya. Duduknya tak bisa diam, bergeser setiap menit seakan tidak sabaran. Sofa yang didesain sangat empuk itu seakan tidak nyaman menjadi tempatnya. Dia melirik lagi, dan itu terus saja terulang setiap kali dia mendengar suara pergerakan seseorang di sekitarnya.Maria mengamati putrinya itu dari anak tangga, tampak penyesalan dan ragu-ragu di wajah cantik Juwi yang belakangan ini terlihat semakin kurus. Dia mendatangi putrinya dan duduk di sebelah Juwi.“Wi, tenangkan dirimu,” kata Maria, mungkin dengan ucapan itu putrinya bisa merasa lebih baik. “Pikirkan anak di kandungan kamu. Jika mamanya stres, anak kamu juga akan ikut stres di dalam sana.Mata sayu Juwi menatap mamanya ragu dan dia berkata, “Entah lah, Ma. Aku tidak bisa tenang sebelum melihat Hendra datang. Aku takut jika dia tidak benar-benar menemuiku,” katanya.Hendra memang tidak pernah berkata akan datang menemui Juwita, melainkan Armaja lah yang akan ditemui lelaki
Setelah mendapatkan bukti itu, polisi langsung memeriksanya. Benar saja, video yang Steve berikan sebagai bukti jelas adalah editan. Banyak bukti yang Armaja bawa sehingga Steve tidak bisa berkutik sekarang. Bukan hanya itu, Armaja juga berhasil menangkap pelaku yang selama ini bersembunyi di belakang Steve, sebagai orang yang mengunggah di media sosial.“Bukan saya yang bersalah, Pak! Dia yang lebih dulu memukul saya!” Steve meronta di tangan polisi. Dia terus menuduh Hendra lah yang sudah memukulnya terlebih dahulu, tapi bukti-bukti yang dibawa oleh Armaja tidak bisa dibohongi.Hendra yang masih sangat shock dengan kejadian ini, hanya bisa diam menyaksikan Armaja dan polisi menyelesaikan masalah mereka. Lelaki itu memeluk putranya erat, menenangkan Alan yang masih sesunggukan.“Dia yang memukul saya! Dia yang seharusnya ditangkap!” Steve menunjuk-nunjuk pada Hendra, sangat memuakkan. Bahkan ketika semua bukti sudah terarah padanya, lelaki itu masih saja ingin menyalahkan Hendra.And
Jalan raya itu sangat ramai oleh mobil-mobil yang berlalu lalang. Tak ada cela jika pun Hendra ingin lari dari kejaran polisi yang tengah menunggunya di luar sana. Pasrah. Hanya itu yang bisa Hendra lakukan sekarang. Dia tidak mungkin berlarian di jalanan menggendong Alan, seperti yang tadi dilakukannya. Bisa-bisa membuat Alan menjadi celaka.“Pak, bagaimana selanjutnya? Kita tidak bisa lewat, apakah kita harus menabrak mobil lainnya agar memberikan jalan?” tanya Rahmat dari bangku kemudi, dia tidak rela bosnya tertangkap begitu saja.Akan tetapi, Hendra sudah lelah. Perkataan Rahmat terlalu berisiko dan dia tidak ingin membuat masalah yang lebih besar.Dia melepaskan sebelah tangan dari punggung Alan, kemudian membuka pintu mobil itu sangat pelan.“Pak, jangan keluar. Bagaimana nasib Alan jika bapak sampai ke kantor polisi?” Rahmat masih mengingatkan.“Kita tidak mungkin membuat masalah yang lebih besar lagi, Mat. Aku tidak ingin kamu ikut ke dalam masalah ini.” Dia pun keluar dari
Taksi yang Hendra tumpangi dengan Alan pun meluncur di jalanan. Sopir taksi itu merasa iba melihat Alan yang menangis berkata takut, dia membayangkan andaikan dirinya bersama anaknya yang ada di posisi Hendra sekarang. Meski sebenarnya pak sopir juga terlihat ketakutan, wajahnya berkeringat saat melihat dua petugas polisi dari kaca spion-nya.“Bapak ini mau ke mana, toh? Saya nggak berani kalo Suria Hotel, itu terlalu jauh, takutnya dikejar sama polisi. Saya juga punya anak istri, Pak, tidak berani berurusan dengan mereka,” kata pak sopir, nadanya gemetar saat bertanya.Hendra pun tidak mungkin melibatkan orang lain dalam kasusnya. Suria Hotel terbilang jauh dari posisi mereka sekarang, sangat benar yang dikatakan sang sopir kalau petugas kepolisian itu mungkin tengah mengejarnya. Lagian, Hendra juga tidak mungkin pergi ke sana lagi, akan sangat gampang jika polisi melacaknya.Beruntung saja ponselnya terselip di saku celana Hendra, sehingga dia bisa menghubungi Rahmat untuk meminta
Ketika Hendra masih memaksa Lilis agar keluar dari mobilnya, dua mobil lainnya datang ke tempat itu. Berhenti tepat di sebelah Hendra, membuatnya bertanya-tanya siapa kira-kira orang yang datang di dalam sana. Hendra menghela napas panjang ketika melihat itu adalah Steve dan beberapa orang dengan kamera besar.Reporter lagi?Astaga... entah sampai kapan Hendra harus bertemu dengan orang-orang itu, dia sudah sangat lelah.Tidak cukup hanya Steve dan reporter saja yang datang ke sana. Tidak lebih dari dua menit, ada mobil polisi yang juga ikut parkir di halaman warga yang luas itu. Entah apa yang akan terjadi di ke depan nanti, Hendra sudah sangat lelah berpikir. Menghadapi Lilis saja sudah membuatnya kesulitan, kenapa Steve harus datang ke sini membawa reporter dan polisi?“Itu perempuan yang menghancurkan kaca mobil saya, tolong tangkap dia, Pak. Meski Lisa adalah istri saya, saya tidak terima mobil saya dirusak begitu saja,” kata Steve pada polisi, menunjuk Lilis di dalam mobil Hendr
“Jangan bawa Alan, Hendra! Kamu nggak boleh bawa dia sebelum kasih duit ke aku!”Hendra sudah berhasil merebut paksa Alan dari Lilis dan Ratna, tapi saat akan membawanya masuk ke mobil, Lilis segera menghentikan Hendra. Perempuan itu betul-betul tak merelakan Hendra pergi tanpa memberinya uang. Lilis bahkan bergantung di kaki Hendra, memegangi agar lelaki itu tidak bisa bergerak.“Kasih aku uang dulu! Kamu nggak boleh pergi dari sini sebelum ngasih aku uang!” kata Lilis terus berteriak, memeluk kaki Hendra sangat erat.Setiap kali Hendra akan melangkah, kakinya selalu ditahan oleh Lilis. Bahkan hampir saja Hendra terjatuh karena tidak bisa menjaga keseimbangan.“Lepasin, Lilis! Kamu ini jangan bikin malu!” Hendra berkata geram, orang-orang sudah berkerumun menyaksikan mereka di halaman itu. Sudah seperti suami kejam saja Hendra dengan posisi Lilis memeluk kakinya.“Nggak! Aku nggak bakal lepasin kaki kamu, sebelum kasih aku uang!” sahut Lilis semakin mempererat pelukannya di kaki Hend
Dalam kecewanya yang mendalam terhadap Steve, Lilis mencengkeram baju lelaki itu, lalu merosot perlahan-lahan. Saat itu dia mendengar deru mesin mobil di sebelahnya, dalam keputusasaan dia melihat ke kanan, berharap seseorang mungkin mendengar pertengkarannya dengan Steve. Mungkin seseorang itu bisa bersaksi untuk Lilis, bahwa semua ini sudah direncanakan Steve, dan laki-laki itu adalah alasannya bercerai dari Hendra.“He-Hendra. I-itu Hendra!” seru Lilis penuh harap. Dia berpikir Hendra bisa membantunya untuk itu.Namun, benarkah Hendra mau membantunya? Meski laki-laki itu mendengar pertengkarannya dengan Steve, Hendra tidak mungkin mau membantu Lilis. Harapan yang tadi sempat singgah, perlahan menjadi rasa takut.“Tidak! Dia tidak boleh mengambil Alan!” seru Lilis lantas berdiri. “Jangan ambil Alan! Alan milikku!”Tidak Lilis hiraukan lagi Steve yang kebingungan melihatnya, Lilis sudah berlari kembali ke dalam mobil. Dia harus menghentikan Hendra sebelum lebih dulu mengambil Alan.