"Dek kamu liat hpku?" ucap mas Bagas mengagetkanku. "Oh ini Mas," ucapku tegang sambil menyerahkan hp mas Bagas. "Ya udah aku berangkat ya," ucap mas Bagas sambil melangkah ke luar. “Eh Mas,” ucapku sambil menarik lengannya. “Ya...kenapa Dek?” jawab mas Bagas sambil membalikan badannya menghadapku. “Emm... hati-hati ya,” ucapku seraya mengulas senyum. “Ah, iyah,” jawab mas Bagas sambil menunjukan senyum terbaiknya seraya mengusap pucuk kepalaku. Mas Bagas pergi dan aku masih tak bisa berkata apa-apa.Aku masih diam mematung. Sepertinya ada yang tidak beres, apakah aku perlu buntuti mas Bagas."Adit...tolong jagain Rafif ya, mamah mau keluar sebentar," ucapku pada Adit. "Ok Mah, siap,” jawab Adit segera. Aku segera keluar mencari ojeg, mas Bagas sudah tidak keliatan tapi aku dengan yakin menuju arah rumah Ibu. Ojeg ku minta berhenti sebelum sampai di halaman rumah Ibu, benar saja di sana sedang ada tamu, dan ada satu perempuan yang menyita perhatianku. Apakah dia yang bernam
Sesampainya di rumah hancur sudah benteng pertahananku, aku menangis tapi masih ku tahan takut Adit melihatku. "Mamah kenapa?" tanya Adit masuk ke kamarku dan duduk di sebelahku. Aku masih bimbang antara ingin menceritakan pada Adit atau menutupinya, tapi jika hal ini terjadi tentu percuma juga jika sekarang aku menutupi dari Adit. "Mamah, Adit bisa jadi pendengar yang baik, ceritalah Mah, biar beban mamah bisa berkurang," ucap Adit sambil memelukku dari smping. Adit memang bukan anak-anak lagi sikap dewasanya juga sudah cukup menunjukan kalau dia anak yang tanggungjawab. "Mungkin Adit gak bisa kasih solusi terbaik, tapi dengan mamah cerita, setidaknya akan sedikit mengurangi beban mamah," ucap Adit lembut. "Dit, jika mamah sama Papah bercerai gimana?" tanyaku ragu. "Alasannya apa Mah?" ucap Adit tenang. Akhirnya ku ceritakan semua yang terjadi di rumah Ibu tadi. "Mamah yakin itu keinginan Papah?" tanya Adit. "Kenapa Adit tanya begitu,jelas-jelas Papah menyetujui kesepakatan
"Assalamualaikum ustazd" ucapku sambil mendekat ke arah Adit dan Ustadz Efendi. "Wa'alaikumussalam..." jawab ustadz dan Adit serempak sambil memandang ke arahku. "Adit sudah cerita sekilas kepada saya tentang masalah Ibu dan Bapaknya," ucap pak Ustadz. "Mohon maaf Ustadz karena kami menceritakan aib keluarga," ucapku ragu seraya duduk di atas karpet bersama mereka. "Masalahnya bukan tentang ceritanya Bu, tetapi tentang tujuan Ibu menceritakan hal tersebut,jika memang untuk mengumbar aib tentu saja salah, tapi jika untuk mencari petunjuk inshaAllah tidak salah," ucap Ustadz bijak. "Iya Ustadz, Adit juga bilang begitu kemarin,saya minta nasehatnya Ustadz," pintaku sopan. "Mohon maaf Bu, nama lengkap Bapaknya Adit siapa ya, sama nama perempuannya?" tanya Ustadz sopan. "Bapaknya Adit, Eko Bagas Antoro kalau perempuannya yang saya tau Anita, saya kurang tau nama lengkapnya Ustadz," jawabku tak kalah sopan. "Oh Iyah tidak papa,kalau begitu tunggu sebentar ya Bu saya sholat dulu sebe
"Assalamu’alaikum, Mas udah pulang." Aku segera mendekat dan mencium punggung tangan mas Bagas yang sedang duduk di ruang tamu. "Kamu dari mana Dek, udah maghrib gini baru pulang," tanya mas Bagas. "Tadi Rafif agak rewel jadi adek ajak jalan-jalan aja sampai ke masjid Mas,trus sekalian pulang bareng Adit pulang ngaji," jawabku mencari alasan. "Mas mau di buatkan kopi atau minum yang dingin-dingin aja," ucapku sambil berjalan menuju dapur. "Kopi aja Dek," jawabnya singkat. Aku segera membuat kopi tak lupa ku pakai air dari pak ustadz untuk menyeduhnya."Ini Mas kopinya, kita sholat maghrib dulu yuk Mas," ajakku pada Mas Bagas. "Kamu duluan aja Dek, aku masih capek," jawabnya beralasan. Karena Ustadz Efendi sudah menasehatiku agar tetap bersikap lembut, maka aku tidak akan memaksa Mas Bagas. Pagi harinya ku biarkan saja Mas Bagas tidak bangun untuk sholat subuh, dan aku baru sadar sepulangnya dari penjara Mas Bagas memang tidak pernah sholat.Tadinya ku pikir itu cuma karena dia
"Kok bisa ya Mas Bagas berubah, kenapa mantranya jadi gak mempan ya mbak," ucapku geram. "Gak tau lho Nis, terus sekarang gimana, apa aku memang gak bisa dapetin Mas Bagas ya," ujar mbak Ani putus asa. "Apa ada pantangan yang di langgar oleh mba Ani atau Mas Bagas sampai membuat mantranya jadi gak mempan gitu Mbak?" tanyaku berharap semua baik-baik saja. "Kayaknya enggak lho Nis, waktu itu si embah nya gak bilang ada pantangan apa-apa kok," jawab mbak Ani bingung. "Atau yang seperti itu ada masa berlakunya Mbak, apakah kita terlalu lambat dalam bertindak?" tanyaku dengan tak sabar. "Ya enggak lah Nis, setauku pelet itu gak ada masa berlakunya, kalau sudah kena ya selamanya kena lah," jawab mbak Ani. "Lha terus kenapa sekarang Mas Bagas jadi berubah gitu, apakah mbak Sari punya dukun juga buat menangkal mantranya ya?" tanyaku bingung. "Apa benar orang kayak Sari itu punya kenalan dukun hebat ya," ucap mbak Ani ragu. "Kayaknya enggak si,dari mana mbak Sari punya kenalan dukun be
Belum ada sebulan kami ngontrak rumah di pinggiran kota, selama itu Mas Bagas kerja serabutan apa aja. Alhamdulilah seminggu ini Mas Bagas bekerja sebagai kuli bangunan di proyek desa.Meskipun upahnya tidak bisa di bilang besar tapi pendapatannya jelas dan pasti. Aku akan mengumpulkan modal untuk jualan nasi rames lagi, beruntungnya aku punya anak-anak yang tidak banyak minta, mereka juga bisa makan pakai apapun lauknya. Baru sedikit merasa lega sekarang ada masalah datang lagi. "Mbak Sari kenapa gak sedikit saja mengalah demi kebahagiaan Mas Bagas, selama ini Mas Bagas sudah banyak kesusahan demi hidup bersama mbak Sari," ucap Nisa menggebu-gebu padaku. "Aku dan Mas Bagas berjuang bersama demi keluarga kami, tidak ada yang dirugikan kami sama-sama berjuang demi kami," jawabku yakin. "Tapi kalau sudah begini dan mbak Sari tetap kekeh mempertahankan pernikahan kalian, itu berarti mba Sari memberi beban berat pada Mas Bagas," bujuk Nisa tak mau nyerah. "Justru aku harus memperta
"Bu... masa calon istrinya mas Bagas spg sih, Ibu nasehatin mas Bagas dong kalo nikah ya sama perempuan yang karirnya bagus gitu," ucapku pada Ibu. "Sari kelihatan baik kok, dia pasti akan baik sama kamu juga Nis," jawab Ibu dengan pandangannya tetap lurus ke layar televisi. “Baik aja gak cukup Bu,Nisa gak cuma butuh kakak yang baik tapi juga yang bisa ngasih Nisa uang, kebutuhan Nisa kan banyak,” ucapku kesal. "Apalagi dia itu dari keluarga miskin Bu, penghasilannya juga kecil kan cuma jadi spg gitu," ucapku sambil memanyunkan bibir. "Lha memang masmu punya pangkat jabatan apa, masmu juga cuma tukang sablon to?" jawab Ibu seraya menatapku lekat. "Penghasilan mas Bagas kan besar Bu,meskipun dilihat cuma usaha sablon tapi omzetnya gede gak bisa diremehin,” ujarku semangat. “Selama ini kan mas Bagas yang memenuhi segala macam kebutuhanku," ujarku pada Ibu. "Kalo mas Bagas sama mbak Sari ya nanti uang mas Bagas habis sama mbak Sari, lha wong penghasilan mbak Sari kecil," lanjutku
"Assalamu'alaikum..., "ucap mas Bagas berbarengan dengan mbak Sari dari depan. "Wa’alaikumsalam..." aku dan Ibu menjawab. "Nisa buatin minum buat mereka," Ibu menyuruhku dan langsung berjalan keluar menyambut kedatangan mas Bagas dan mbak Sari. "Hah merepotkan.. " lirihku. "Ini teh buat Ibu dan Mbak Sari, yang ini kopi buat Mas Bagas," ucapku sambil meletakan minuman di depan mereka masing-masing. "Silahkan Mbak Mas minumnya, ini kuenya enak lho, cobain deh Mbak, " sapaku sambil menyunggingkan senyum basa-basi. Aku duduk di sebelah Ibu dan menyenggol lengan Ibu memberi kode, Ibupun mengiyakan dengan tatapan matanya. "Nak Sari yakin mau menikah dengan anak Ibu, Bagas? " tutur Ibu lembut. "InshaAllah yakin Bu... " jawab mbak Sari dengan menganggukan kepala. "Bagas ini bukan pegawai yang punya gaji bulanan lho Nak," tutur Ibu. "Saya sudah cukup mengenal mas Bagas Bu, buat Saya kepribadian mas Bagas lebih penting, uang itu bisa diusahakan bareng-bareng Bu," jawab mbak Sari sopa