"Mas Bagas,apa bos Lee masih belum bisa di hubungi?" tanya mbak Intan padaku. "Belum nih, menurut kalian aku harus gimana nih?" tanyaku meminta saran pada mbak Intan dan Andi. "Maaf ya Mas, bukannya saya mau sok menasehati,tapi seperti yang kita tahu kalau harga material itukan mahal apalagi untuk pembuatan jembatan tentu membutuhkan sangat banyak material," ucap Andi. "Jadi kalau saran saya ada uang ada barang, selama uangnya belum ada sebaiknya materialnya gak usah dikirim dulu Mas," lanjutnya. "Iya Mas sekarang saja sudah sampai ratusan juta," tambah mbak Intan. "Kalau seperti ini terus lama-lama uang modal habis, trus kita mau bayar pake apa kalau ada barang datang," ucap mbak Intan lagi. “Uang untuk gaji karyawan juga gak ada lho Mas,mereka gak akan mau tau kondisi toko tahunya setiap tanggal 1 Mas Bagas kasih gaji ke mereka,” ucap mbak Intan panjang lebar. "Masalahnya Pak Heru bilang dia sudah bayar ke bos Lee," jawabku putus asa. "Bos Lee kan tau perputaran uang di to
Seminggu berikutnya. "Aku sudah mengerahkan orang-orang kepercayaanku untuk mengurus masalah Heru itu," ucap bos Chintya. "Aku tidak bisa bertemu langsung dengannya, dan lagi meskipun aku bisa bertemu langsung kita tidak bisa menuntut karena kamu sudah tanda tangan atas nama toko," bentak bos Chintya padaku. "Aku tidak mau tau pokoknya kamu harus ganti semua kerugian toko, dan ingat kamu gak usah hubungi Lee karena kamu bisa mengganggu masa pemulihannya," ucapnya lagi seraya menunjuk mukaku. "Maaf Bos, tapi saya gak ada uang sebanyak itu Bos," ucapku memelas pada bos Chintya. "Lalu kamu mau lepas tangan dari tanggung jawabmu itu, pokoknya saya akan perkarakan masalah ini melalui jalur hukum," ancam bos Chintya. "Kamu silahkan bayar sejumlah kerugian toko atau kamu mau mendekam di penjara," ucap bos Chintya masih emosi. "Beri saya waktu Bos, saya akan usahakan uangnya segera," ucapku mengharap belas kasihan dari bos. "Ok saya tunggu," jawab bos Chintya sambil melangkah ke luar
"Assalamu'alaikum Dek," ucapku menyusul Sari di dapur. "Wa'alaikumussalam," jawab Sari kaget sekaligus bahagia sambil memelukku. "Mas kok bisa bebas padahal kan kita belum bayar uang tebusannya," ucap Sari sambil melepas pelukannya dan mencium punggung tanganku. "Ibu yang bebasin Dek" jawabku datar sambil menarik kursi dan duduk. "Kok Ibu gak bilang sama adek ya, Ibu langsung yang jemput mas?" tanya Sari sambil ikut duduk di depanku. "Sudahlah kita bersyukur saja karena mas sudah bisa pulang," jawabku masih datar. "Dek, mas mau keluar dulu ya," pamitku."Kemana mas,baru juga sampai rumah,gak kangen sama Rafif Mas, padahal kan sudah hampir sebulan Mas gak ketemu Rafif?" rengek Sari. "Kerumah Ibu," jawabku singkat. "Adek ikut Mas, adek mau berterimakasih sama Ibu," pinta Sari. "Gak usah lah biar mas aja cukup," potongku segera. "Kenapa Mas?" tanya Sari bingung. "Ya gak papa biar mas sendiri saja," ucapku sambil berlalu pergi tanpa menghiraukan ucapan Sari lagi. ***Sesampain
"Mah kok di rumah," tanya Adit sepulangnya dari main futsal. "Lha emang harus di mana? pertanyaanmu kok aneh lho," jawabku sambil senyum-senyum. "Gak di rumah eyang?" tanya Adit heran. "Emangnya kenapa harus di rumah eyang?" jawabku seraya mengernyitkan kening memandang Adit. "Tadi di rumah eyang rame, kaya lagi ada acara gitu,jadi Adit pikir Mamah juga di sana,emang acara apaan Mah?” tanya Adit lagi. "Ya mana mamah tau, mamah kan gak di sana, harusnya kamu tadi mampir, biar tau ada acara apaan," jawabku sambil mengulas senyum. Adit hanya tersenyum sambil menaikan bahunya. "Kenapa senyumnya kok gitu?" tanyaku penasaran. "Gak papa Mah lagi gak pengin ke rumah eyang, kapan-kapan aja," jawab Adit sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya ya terserah kamu aja," jawabku asal. **"Belum tidur Dek?" ucap mas Bagas saat masuk rumah. "Udah jam berapa ini Mas, kok malem banget si pulangnya,dari mana?" tanyaku seraya menegakkan posisi duduk. "Kan sudah bilang ke rumah Ibu," jawab mas Bagas
"Dek kamu liat hpku?" ucap mas Bagas mengagetkanku. "Oh ini Mas," ucapku tegang sambil menyerahkan hp mas Bagas. "Ya udah aku berangkat ya," ucap mas Bagas sambil melangkah ke luar. “Eh Mas,” ucapku sambil menarik lengannya. “Ya...kenapa Dek?” jawab mas Bagas sambil membalikan badannya menghadapku. “Emm... hati-hati ya,” ucapku seraya mengulas senyum. “Ah, iyah,” jawab mas Bagas sambil menunjukan senyum terbaiknya seraya mengusap pucuk kepalaku. Mas Bagas pergi dan aku masih tak bisa berkata apa-apa.Aku masih diam mematung. Sepertinya ada yang tidak beres, apakah aku perlu buntuti mas Bagas."Adit...tolong jagain Rafif ya, mamah mau keluar sebentar," ucapku pada Adit. "Ok Mah, siap,” jawab Adit segera. Aku segera keluar mencari ojeg, mas Bagas sudah tidak keliatan tapi aku dengan yakin menuju arah rumah Ibu. Ojeg ku minta berhenti sebelum sampai di halaman rumah Ibu, benar saja di sana sedang ada tamu, dan ada satu perempuan yang menyita perhatianku. Apakah dia yang bernam
Sesampainya di rumah hancur sudah benteng pertahananku, aku menangis tapi masih ku tahan takut Adit melihatku. "Mamah kenapa?" tanya Adit masuk ke kamarku dan duduk di sebelahku. Aku masih bimbang antara ingin menceritakan pada Adit atau menutupinya, tapi jika hal ini terjadi tentu percuma juga jika sekarang aku menutupi dari Adit. "Mamah, Adit bisa jadi pendengar yang baik, ceritalah Mah, biar beban mamah bisa berkurang," ucap Adit sambil memelukku dari smping. Adit memang bukan anak-anak lagi sikap dewasanya juga sudah cukup menunjukan kalau dia anak yang tanggungjawab. "Mungkin Adit gak bisa kasih solusi terbaik, tapi dengan mamah cerita, setidaknya akan sedikit mengurangi beban mamah," ucap Adit lembut. "Dit, jika mamah sama Papah bercerai gimana?" tanyaku ragu. "Alasannya apa Mah?" ucap Adit tenang. Akhirnya ku ceritakan semua yang terjadi di rumah Ibu tadi. "Mamah yakin itu keinginan Papah?" tanya Adit. "Kenapa Adit tanya begitu,jelas-jelas Papah menyetujui kesepakatan
"Assalamualaikum ustazd" ucapku sambil mendekat ke arah Adit dan Ustadz Efendi. "Wa'alaikumussalam..." jawab ustadz dan Adit serempak sambil memandang ke arahku. "Adit sudah cerita sekilas kepada saya tentang masalah Ibu dan Bapaknya," ucap pak Ustadz. "Mohon maaf Ustadz karena kami menceritakan aib keluarga," ucapku ragu seraya duduk di atas karpet bersama mereka. "Masalahnya bukan tentang ceritanya Bu, tetapi tentang tujuan Ibu menceritakan hal tersebut,jika memang untuk mengumbar aib tentu saja salah, tapi jika untuk mencari petunjuk inshaAllah tidak salah," ucap Ustadz bijak. "Iya Ustadz, Adit juga bilang begitu kemarin,saya minta nasehatnya Ustadz," pintaku sopan. "Mohon maaf Bu, nama lengkap Bapaknya Adit siapa ya, sama nama perempuannya?" tanya Ustadz sopan. "Bapaknya Adit, Eko Bagas Antoro kalau perempuannya yang saya tau Anita, saya kurang tau nama lengkapnya Ustadz," jawabku tak kalah sopan. "Oh Iyah tidak papa,kalau begitu tunggu sebentar ya Bu saya sholat dulu sebe
"Assalamu’alaikum, Mas udah pulang." Aku segera mendekat dan mencium punggung tangan mas Bagas yang sedang duduk di ruang tamu. "Kamu dari mana Dek, udah maghrib gini baru pulang," tanya mas Bagas. "Tadi Rafif agak rewel jadi adek ajak jalan-jalan aja sampai ke masjid Mas,trus sekalian pulang bareng Adit pulang ngaji," jawabku mencari alasan. "Mas mau di buatkan kopi atau minum yang dingin-dingin aja," ucapku sambil berjalan menuju dapur. "Kopi aja Dek," jawabnya singkat. Aku segera membuat kopi tak lupa ku pakai air dari pak ustadz untuk menyeduhnya."Ini Mas kopinya, kita sholat maghrib dulu yuk Mas," ajakku pada Mas Bagas. "Kamu duluan aja Dek, aku masih capek," jawabnya beralasan. Karena Ustadz Efendi sudah menasehatiku agar tetap bersikap lembut, maka aku tidak akan memaksa Mas Bagas. Pagi harinya ku biarkan saja Mas Bagas tidak bangun untuk sholat subuh, dan aku baru sadar sepulangnya dari penjara Mas Bagas memang tidak pernah sholat.Tadinya ku pikir itu cuma karena dia