Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi.
"Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."
Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat.
"Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat."
"Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."
Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut.
"Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"
Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang nyaris meledak.
"Aku harus minta tolong pada ayah."
Sore hari, Seyra memutuskan untuk pergi ke rumah Miranda untuk meminta bantuan kepada ayahnya.
Akan tetapi, ketika sampai di sana, Seyra disambut dengan sikap dingin dan tatapan sinis oleh Miranda__ibu tirinya.
"Mau apa kamu ke sini?" Suara Miranda terdengar tidak bersahabat disertai tatapan tajam.
"Tante, aku ingin bertemu ayah." Seyra hendak masuk begitu saja. Tetapi Miranda tentu saja tidak mengizinkan.
"Untuk apa?"
"Ibuku di rumah sakit, Tante. Dan ibu perlu dioperasi. Aku ingin pinjam uang pada ayah." Seyra berusaha berbicara dengan nada rendah, berharap istri kedua ayahnya bisa berbaik hati padanya.
"Pinjam?" Miranda tertawa, mencibir Seyra. "Memangnya kamu akan mengembalikan?"
Seyra menelan ludahnya kasar, sebelum menjawab. "Aku bisa menyicil dengan gajiku, Tante."
"Kamu pikir aku percaya?" Miranda tersenyum sinis, lalu mengangkat jari telunjuknya ke arah pintu gerbang, mengusir Seyra. "Lebih baik kamu pergi dari sini. Karena suamiku tidak akan meminjamkan uang sepeser pun untuk biaya operasi ibumu."
Seyra menggeleng, lalu meraih tangan Miranda untuk memohon kepadanya. "Tolong aku, Tante. Di dunia ini aku hanya punya ibu saja. Tante sudah merebut ayahku. Paling nggak, beri kesempatan pada ibuku untuk tetap hidup."
Miranda menyentak kasar tangan Seyra hingga terlepas. Lalu menunjuk wajah anak tirinya. "Dengar Seyra, bukan aku yang merebut ayahmu. Tapi ibumu yang dulu merebut Darwin dariku. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Nafas Miranda mulai tidak beraturan. Dia benar-benar tersinggung saat Seyra menuduhnya merebut ayahnya. Padahal dulu Miranda memang cinta pertama Darwin.
"Ada apa, Ma?" Tania muncul berdiri di samping Miranda.
"Lihatlah, ada pengemis datang meminta sumbangan." Miranda menunjuk Seyra dengan dagunya. "Dia ingin meminjam uang untuk biaya operasi ibunya."
Tania berpura-pura memasang wajah ibanya. Namun beberapa detik kemudian, Tania mengolok-olok dan menghina Seyra.
"Ya ampun, Seyra. Kasihan banget sih. Punya suami dikemanain? Kenapa nggak minta uang sama dia saja?" Tania tertawa mengejek Seyra.
"Upps ... aku baru ingat kalau suami kamu kan hanya seorang satpam. Mana mungkin dia mampu membayar biaya operasi. Untuk biaya hidup saja sulit, apalagi untuk mengeluarkan biaya yang nggak sedikit."
Tawa mengejek Tania kembali terdengar, membuat Seyra mati-matian untuk tidak menyumpal mulut saudara tirinya itu dengan sepatunya.
"Kalau nggak bisa membantu, mending diam saja. Jangan gunakan mulut busukmu untuk mencela dan menindas orang lain," ucap Seyra dengan suara geram. Kedua tangannya terkepal kuat menahan gejolak amarahnya.
"Kau ..." Tangan Tania sudah terangkat hendak menjambak rambut Seyra. Namun kemunculan Darwin yang secara tiba-tiba membuat Tania mengurungkan niatnya.
Pandangan Darwin seketika tertuju pada Seyra. "Untuk apa kamu ke sini?"
Seyra memanfaatkan kesempatan ini untuk mengutarakan maksudnya. "Ayah, ibu akan dioperasi dan butuh biaya banyak. Aku ingin meminjam uang pada Ayah."
Darwin tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arah Miranda seolah meminta persetujuannya. Miranda yang sejak dulu tidak menyukai Seyra dan ibunya, tentu saja dia menggeleng menolak untuk membantunya.
"Urusan keuangan keluarga sudah aku serahkan pada Miranda. Jadi, aku tidak bisa meminjamkanmu jika Miranda tidak mengizinkan," ujar Darwin dengan wajah datar.
"Tapi, ayah, ibu ...."
"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan ibumu. Lebih baik ikhlaskan ibumu jika memang sudah waktunya."
Kata-kata Darwin yang tidak berperasaan, membuat Seyra tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia benar-benar sakit hati dan kecewa pada seseorang yang selama ini ia panggil ayah.
Seyra mendekat, menatap dingin wajah pria paruh baya di depannya. "Dengar tuan Darwin yang terhormat, aku akan selalu mengingat kata-kata kejammu hari ini. Mulai detik ini, aku bukan putrimu lagi. Aku benar-benar menyayangkan kenapa dulu ibu bisa menikah dengan pria brengsek seperti Anda."
Suara Seyra terdengar penuh penekanan dan penegasan, bibirnya menyungging membentuk senyum sinis yang terdapat kebencian di dalamnya. "Maaf sudah mengganggu waktu kalian. Semoga di masa depan, kalian nggak akan berada di posisiku."
Dengan hati hancur dan dipenuhi perasaan dendam, Seyra memilih pergi dari rumah itu. Dalam hatinya ia bersumpah akan membalas perlakuan mereka suatu hari nanti.
Seyra memutuskan pulang ke rumah. Dia mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari buku tabungan dan barang berharga apa saja yang dimilikinya. Dia sudah tidak peduli dengan pakaiannya yang sudah berserakan di lantai.
Regan yang baru saja pulang, tampak tertegun menatap lantai kamar yang berantakan. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan wajah Seyra yang tampak sembab. Regan menduga jika gadis itu sempat menangis sebelumnya.
"Seyra, apa yang sedang kamu lakukan?"
Suara Regan berhasil menghentikan aksi Seyra. Gadis itu menoleh ke arah Regan yang tampak berdiri di ambang pintu, masih mengenakan seragam satpamnya.
Pandangan Seyra meredup saat dia berpikir jika tidak mungkin meminta bantuan pada Regan, mengingat suaminya itu hanya seorang satpam yang berpenghasilan kecil.
"Ada apa, Seyra?" tanya Regan lagi, ketika Seyra tidak kunjung merespon.
"Regan, ibu ...."
"Ibu kenapa?" Regan melangkah masuk ke dalam kamar sambil memunguti pakaian Seyra yang berantakan di lantai. Lalu menaruhnya di atas tempat tidur.
"Ibu ...." Seyra membekap mulutnya mencegah tangisnya yang hampir tumpah.
Merasa tidak tahan, Seyra akhirnya menghampiri Regan dan mencengkram pakaian pria itu.
"Regan, tolong aku sekali lagi!" Mata Seyra sudah berair. Emosinya bergejolak saat memikirkan bagaimana nasib ibunya jika dia tidak berhasil mendapatkan biaya operasi sekarang.
"Tolong aku, Regan! Tolong aku! Aku rela melayanimu seumur hidup, asalkan kamu menolong ibuku." Tubuh Seyra merosot, saat merasakan pening luar biasa menghantam kepalanya. Dia benar-benar pusing luar biasa, merasa bingung kemana lagi ia harus mencari uang untuk menutupi biaya operasi ibunya.
Regan berusaha menahan tubuh istrinya yang kini terduduk di lantai. Seharian ini Seyra melupakan makan siangnya, membuat tubuhnya lemas dan tidak memiliki tenaga. Terlebih, Seyra memiliki masalah dengan lambung.
"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil.Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya.Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan.Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya.Harusnya dia tidak melakukan itu."Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu."Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharus
Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb
Seyra kembali menatap dokumen penting hasil kerja kerasnya yang kini basah terkena tumpahan kopi. Dia merasa kesal sekaligus frustasi, karena dia tahu jika apa yang dilakukan Tania bukanlah sebuah kecelakaan. "Kenapa kau melakukan ini?" Suara Seyra pelan, namun terdengar menekan. Matanya yang sempat tertuju pada dokumen kotor di atas meja, kini perlahan menoleh ke arah Tania yang masih berdiri bersedekap di samping mejanya. "Sebenarnya apa maumu?"Tania tersenyum miring melihat kilat kemarahan di kedua mata Seyra. Dia semakin terpancing untuk membuat saudara tirinya itu meledak, hingga tanpa sadar akan membuat kesalahan. "Kamu terlalu paranoid, Seyra. Aku nggak punya alasan apa-apa. Karena itu memang murni kecelakaan."Seyra bangkit dari tempat duduknya, dan kini berdiri berhadapan langsung dengan Tania. Dia masih mengamati wajah licik saudara tirinya itu, lalu berkata dengan nada tajam. "Aku tahu kau sengaja melakukan itu. Jika kamu memiliki kemampuan, harusnya tidak perlu memakai c
"Berhenti, Seyra!" Aldo berusaha menghadang langkah Seyra yang kini tampak berniat melangkah keluar dari gedung perusahaan. Pria itu tidak menyangka jika masalah yang sempat terjadi membuat Seyra memilih untuk mengundurkan diri."Mau apa lagi?" Amarah masih menguasai diri Seyra. Ekpresinya tampak tegas dan keras. Tatapannya terlihat menantang seolah ada dendam dan luka yang tersembunyi di dalam diri gadis itu."Jangan mengambil tindakan gegabah! Aku tahu kamu marah karena masalah tadi. Tapi tidak seharusnya kamu mengundurkan diri," ucap Aldo, terdengar seperti membujuk. Dia tidak mungkin membiarkan Seyra keluar begitu saja dari perusahaan. Terlebih gadis itu memiliki kemampuan yang cukup diandalkan."Lagi pula mencari pekerjaan di luaran sana begitu sulit. Jadi pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," lanjutnya, masih berusaha mempengaruhi Seyra agar mengurungkan niatnya.Seyra masih menatap Aldo, menatap wajah pria yang pernah singgah di hatinya. Cukup lama. Jujur saja sampa
Seyra mengerjapkan matanya saat sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamarnya. Dia masih bergeming di atas tempat tidur, merasa tidak perlu terburu-buru untuk bangun atau melakukan rutinitas seperti biasanya.Namun, ketukan pintu kamar membuat Seyra terpaksa bangkit, walaupun sebenarnya dia merasa enggan meninggalkan tempat tidurnya."Seyra, kenapa jam segini baru bangun? Nanti kamu terlambat bekerja," tegur Ratih, saat pintu kamar terbuka.Seyra berniat ingin berbicara jujur pada ibunya. Namun setelah berpikir sejenak, dia takut jika ibunya khawatir jika dirinya tidak memiliki pekerjaan. Dia tidak ingin membebani ibunya dan membuatnya cemas memikirkannya."Iya, Bu. Aku akan segera bersiap-siap." Pada akhirnya Seyra memilih untuk tidak jujur. Dia berencana akan melamar pekerjaan dan berharap menemukan keberuntungannya hari ini."Ya sudah, nanti ibu siapkan bekal ya."Seyra mengangguk. Kemudian saat ibunya pergi, dia segera membersihkan diri dan bersiap-siap memakai kemeja kantor
Regan masih diam, meski saat ini mendapat serangkaian tatapan dingin dan menuntut dari para anggota rapat. Dia masih berdiri di ujung meja dengan tatapan tegas dan mempertahankan wajah datarnya."Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh lagi. Pengelolahan yang lebih baik dan strategi yang lebih agresif, akan memberikan hasil yang maksimal dan jauh melebihi ekspetasi kita," ucap Regan, dengan matanya menyapu ke sekitar."Lalu, langkah apa yang akan Anda ambil?" Salah satu direktur senior melemparkan pertanyaan. Dia ingin mengetahui langkah apa yang akan dilakukan Regan untuk melaksanakan rencana tersebut.Regan meletakkan kedua tangannya di ujung meja. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Matanya tertuju pada direktur senior yang sempat melemparkan pertanyaan barusan. "Pertama, kita akan memperluas jangkauan pasar kita. Kita akan masuk ke pasar internasional dan meningkatkan pangsa pasar kita di dalam negeri.""Bagaimana kita bisa melakukan
Ratih sadar jika pertanyaannya menghancurkan suasana hati putrinya yang sedang baik. Harusnya dia tidak bertanya seperti itu dan membuat wajah putrinya menjadi murung. Jika saja kata-kata sebelumnya bisa ditarik kembali, maka Ratih akan melakukan hal tersebut.Ratih menghela napas, lalu meletakkan satu tangannya di atas tangan Seyra yang berada di atas meja. Dia masih mengamati wajah murung itu. Kemudian berkata dengan lembut. "Maafkan, Ibu."Seyra membalas tatapan ibunya, menatap wajah yang kurus dan terlihat pucat. Ibunya sudah banyak memikul beban selama ini. Jadi dia tidak ingin membuat ibunya merasa bersalah, hanya karena pertanyaan barusan."Ibu nggak perlu minta maaf," balas Seyra sambil tersenyum lembut. Dalam sekejap dia mengubah ekspresi wajahnya kembali ceria karena tidak ingin membuat ibunya merasa tertekan."Aku akan mengambil mangkok ke dapur. Ibu tunggu di sini ya!" Seyra berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain. Dia tidak ingin suasananya menjadi canggung dan merasa
Hari-hari berlalu begitu cepat dan berjalan seperti semestinya. Regan berdiri di depan jendela besar kantornya, memandang gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kejauhan. Wajahnya yang tampan terkena sinar matahari, membuatnya tampak anggun dan berkilau di pagi yang cerah.Di dalam kepalanya, berbagai pikiran dan hal-hal penting lainnya bergelut satu sama lain.Istrinya, yang dinikahi beberapa minggu lalu tidak sempat terbesit di pikirannya. Regan terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang kerap menuntut perhatian dan energinya. Hingga melupakan seseorang yang setiap waktu menunggu kabar darinya.Pintu kantor terbuka tiba-tiba, menghentikan lamunannya. Seorang asisten bernama Tama melangkah masuk dengan langkah lebar berhenti tepat di belakangnya. Dengan tatapan serius, Tama memberitahukan informasi pada Regan tentang sesuatu yang kurang menyenangkan."Tuan, orang kita mencurigai adanya kasus penggelapan dana di salah satu cabang perusahaan Osvaldo."Regan membalikkan tub