Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi.
"Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."
Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat.
"Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat."
"Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."
Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut.
"Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"
Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang nyaris meledak.
"Aku harus minta tolong pada ayah."
Sore hari, Seyra memutuskan untuk pergi ke rumah Miranda untuk meminta bantuan kepada ayahnya.
Akan tetapi, ketika sampai di sana, Seyra disambut dengan sikap dingin dan tatapan sinis oleh Miranda__ibu tirinya.
"Mau apa kamu ke sini?" Suara Miranda terdengar tidak bersahabat disertai tatapan tajam.
"Tante, aku ingin bertemu ayah." Seyra hendak masuk begitu saja. Tetapi Miranda tentu saja tidak mengizinkan.
"Untuk apa?"
"Ibuku di rumah sakit, Tante. Dan ibu perlu dioperasi. Aku ingin pinjam uang pada ayah." Seyra berusaha berbicara dengan nada rendah, berharap istri kedua ayahnya bisa berbaik hati padanya.
"Pinjam?" Miranda tertawa, mencibir Seyra. "Memangnya kamu akan mengembalikan?"
Seyra menelan ludahnya kasar, sebelum menjawab. "Aku bisa menyicil dengan gajiku, Tante."
"Kamu pikir aku percaya?" Miranda tersenyum sinis, lalu mengangkat jari telunjuknya ke arah pintu gerbang, mengusir Seyra. "Lebih baik kamu pergi dari sini. Karena suamiku tidak akan meminjamkan uang sepeser pun untuk biaya operasi ibumu."
Seyra menggeleng, lalu meraih tangan Miranda untuk memohon kepadanya. "Tolong aku, Tante. Di dunia ini aku hanya punya ibu saja. Tante sudah merebut ayahku. Paling nggak, beri kesempatan pada ibuku untuk tetap hidup."
Miranda menyentak kasar tangan Seyra hingga terlepas. Lalu menunjuk wajah anak tirinya. "Dengar Seyra, bukan aku yang merebut ayahmu. Tapi ibumu yang dulu merebut Darwin dariku. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."
Nafas Miranda mulai tidak beraturan. Dia benar-benar tersinggung saat Seyra menuduhnya merebut ayahnya. Padahal dulu Miranda memang cinta pertama Darwin.
"Ada apa, Ma?" Tania muncul berdiri di samping Miranda.
"Lihatlah, ada pengemis datang meminta sumbangan." Miranda menunjuk Seyra dengan dagunya. "Dia ingin meminjam uang untuk biaya operasi ibunya."
Tania berpura-pura memasang wajah ibanya. Namun beberapa detik kemudian, Tania mengolok-olok dan menghina Seyra.
"Ya ampun, Seyra. Kasihan banget sih. Punya suami dikemanain? Kenapa nggak minta uang sama dia saja?" Tania tertawa mengejek Seyra.
"Upps ... aku baru ingat kalau suami kamu kan hanya seorang satpam. Mana mungkin dia mampu membayar biaya operasi. Untuk biaya hidup saja sulit, apalagi untuk mengeluarkan biaya yang nggak sedikit."
Tawa mengejek Tania kembali terdengar, membuat Seyra mati-matian untuk tidak menyumpal mulut saudara tirinya itu dengan sepatunya.
"Kalau nggak bisa membantu, mending diam saja. Jangan gunakan mulut busukmu untuk mencela dan menindas orang lain," ucap Seyra dengan suara geram. Kedua tangannya terkepal kuat menahan gejolak amarahnya.
"Kau ..." Tangan Tania sudah terangkat hendak menjambak rambut Seyra. Namun kemunculan Darwin yang secara tiba-tiba membuat Tania mengurungkan niatnya.
Pandangan Darwin seketika tertuju pada Seyra. "Untuk apa kamu ke sini?"
Seyra memanfaatkan kesempatan ini untuk mengutarakan maksudnya. "Ayah, ibu akan dioperasi dan butuh biaya banyak. Aku ingin meminjam uang pada Ayah."
Darwin tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arah Miranda seolah meminta persetujuannya. Miranda yang sejak dulu tidak menyukai Seyra dan ibunya, tentu saja dia menggeleng menolak untuk membantunya.
"Urusan keuangan keluarga sudah aku serahkan pada Miranda. Jadi, aku tidak bisa meminjamkanmu jika Miranda tidak mengizinkan," ujar Darwin dengan wajah datar.
"Tapi, ayah, ibu ...."
"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan ibumu. Lebih baik ikhlaskan ibumu jika memang sudah waktunya."
Kata-kata Darwin yang tidak berperasaan, membuat Seyra tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia benar-benar sakit hati dan kecewa pada seseorang yang selama ini ia panggil ayah.
Seyra mendekat, menatap dingin wajah pria paruh baya di depannya. "Dengar tuan Darwin yang terhormat, aku akan selalu mengingat kata-kata kejammu hari ini. Mulai detik ini, aku bukan putrimu lagi. Aku benar-benar menyayangkan kenapa dulu ibu bisa menikah dengan pria brengsek seperti Anda."
Suara Seyra terdengar penuh penekanan dan penegasan, bibirnya menyungging membentuk senyum sinis yang terdapat kebencian di dalamnya. "Maaf sudah mengganggu waktu kalian. Semoga di masa depan, kalian nggak akan berada di posisiku."
Dengan hati hancur dan dipenuhi perasaan dendam, Seyra memilih pergi dari rumah itu. Dalam hatinya ia bersumpah akan membalas perlakuan mereka suatu hari nanti.
Seyra memutuskan pulang ke rumah. Dia mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari buku tabungan dan barang berharga apa saja yang dimilikinya. Dia sudah tidak peduli dengan pakaiannya yang sudah berserakan di lantai.
Regan yang baru saja pulang, tampak tertegun menatap lantai kamar yang berantakan. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan wajah Seyra yang tampak sembab. Regan menduga jika gadis itu sempat menangis sebelumnya.
"Seyra, apa yang sedang kamu lakukan?"
Suara Regan berhasil menghentikan aksi Seyra. Gadis itu menoleh ke arah Regan yang tampak berdiri di ambang pintu, masih mengenakan seragam satpamnya.
Pandangan Seyra meredup saat dia berpikir jika tidak mungkin meminta bantuan pada Regan, mengingat suaminya itu hanya seorang satpam yang berpenghasilan kecil.
"Ada apa, Seyra?" tanya Regan lagi, ketika Seyra tidak kunjung merespon.
"Regan, ibu ...."
"Ibu kenapa?" Regan melangkah masuk ke dalam kamar sambil memunguti pakaian Seyra yang berantakan di lantai. Lalu menaruhnya di atas tempat tidur.
"Ibu ...." Seyra membekap mulutnya mencegah tangisnya yang hampir tumpah.
Merasa tidak tahan, Seyra akhirnya menghampiri Regan dan mencengkram pakaian pria itu.
"Regan, tolong aku sekali lagi!" Mata Seyra sudah berair. Emosinya bergejolak saat memikirkan bagaimana nasib ibunya jika dia tidak berhasil mendapatkan biaya operasi sekarang.
"Tolong aku, Regan! Tolong aku! Aku rela melayanimu seumur hidup, asalkan kamu menolong ibuku." Tubuh Seyra merosot, saat merasakan pening luar biasa menghantam kepalanya. Dia benar-benar pusing luar biasa, merasa bingung kemana lagi ia harus mencari uang untuk menutupi biaya operasi ibunya.
Regan berusaha menahan tubuh istrinya yang kini terduduk di lantai. Seharian ini Seyra melupakan makan siangnya, membuat tubuhnya lemas dan tidak memiliki tenaga. Terlebih, Seyra memiliki masalah dengan lambung.
"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil.Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya.Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan.Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya.Harusnya dia tidak melakukan itu."Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu."Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharus
Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb
Seyra kembali menatap dokumen penting hasil kerja kerasnya yang kini basah terkena tumpahan kopi. Dia merasa kesal sekaligus frustasi, karena dia tahu jika apa yang dilakukan Tania bukanlah sebuah kecelakaan. "Kenapa kau melakukan ini?" Suara Seyra pelan, namun terdengar menekan. Matanya yang sempat tertuju pada dokumen kotor di atas meja, kini perlahan menoleh ke arah Tania yang masih berdiri bersedekap di samping mejanya. "Sebenarnya apa maumu?"Tania tersenyum miring melihat kilat kemarahan di kedua mata Seyra. Dia semakin terpancing untuk membuat saudara tirinya itu meledak, hingga tanpa sadar akan membuat kesalahan. "Kamu terlalu paranoid, Seyra. Aku nggak punya alasan apa-apa. Karena itu memang murni kecelakaan."Seyra bangkit dari tempat duduknya, dan kini berdiri berhadapan langsung dengan Tania. Dia masih mengamati wajah licik saudara tirinya itu, lalu berkata dengan nada tajam. "Aku tahu kau sengaja melakukan itu. Jika kamu memiliki kemampuan, harusnya tidak perlu memakai c
"Berhenti, Seyra!" Aldo berusaha menghadang langkah Seyra yang kini tampak berniat melangkah keluar dari gedung perusahaan. Pria itu tidak menyangka jika masalah yang sempat terjadi membuat Seyra memilih untuk mengundurkan diri."Mau apa lagi?" Amarah masih menguasai diri Seyra. Ekpresinya tampak tegas dan keras. Tatapannya terlihat menantang seolah ada dendam dan luka yang tersembunyi di dalam diri gadis itu."Jangan mengambil tindakan gegabah! Aku tahu kamu marah karena masalah tadi. Tapi tidak seharusnya kamu mengundurkan diri," ucap Aldo, terdengar seperti membujuk. Dia tidak mungkin membiarkan Seyra keluar begitu saja dari perusahaan. Terlebih gadis itu memiliki kemampuan yang cukup diandalkan."Lagi pula mencari pekerjaan di luaran sana begitu sulit. Jadi pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," lanjutnya, masih berusaha mempengaruhi Seyra agar mengurungkan niatnya.Seyra masih menatap Aldo, menatap wajah pria yang pernah singgah di hatinya. Cukup lama. Jujur saja sampa
Seyra mengerjapkan matanya saat sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamarnya. Dia masih bergeming di atas tempat tidur, merasa tidak perlu terburu-buru untuk bangun atau melakukan rutinitas seperti biasanya.Namun, ketukan pintu kamar membuat Seyra terpaksa bangkit, walaupun sebenarnya dia merasa enggan meninggalkan tempat tidurnya."Seyra, kenapa jam segini baru bangun? Nanti kamu terlambat bekerja," tegur Ratih, saat pintu kamar terbuka.Seyra berniat ingin berbicara jujur pada ibunya. Namun setelah berpikir sejenak, dia takut jika ibunya khawatir jika dirinya tidak memiliki pekerjaan. Dia tidak ingin membebani ibunya dan membuatnya cemas memikirkannya."Iya, Bu. Aku akan segera bersiap-siap." Pada akhirnya Seyra memilih untuk tidak jujur. Dia berencana akan melamar pekerjaan dan berharap menemukan keberuntungannya hari ini."Ya sudah, nanti ibu siapkan bekal ya."Seyra mengangguk. Kemudian saat ibunya pergi, dia segera membersihkan diri dan bersiap-siap memakai kemeja kantor
Regan masih diam, meski saat ini mendapat serangkaian tatapan dingin dan menuntut dari para anggota rapat. Dia masih berdiri di ujung meja dengan tatapan tegas dan mempertahankan wajah datarnya."Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh lagi. Pengelolahan yang lebih baik dan strategi yang lebih agresif, akan memberikan hasil yang maksimal dan jauh melebihi ekspetasi kita," ucap Regan, dengan matanya menyapu ke sekitar."Lalu, langkah apa yang akan Anda ambil?" Salah satu direktur senior melemparkan pertanyaan. Dia ingin mengetahui langkah apa yang akan dilakukan Regan untuk melaksanakan rencana tersebut.Regan meletakkan kedua tangannya di ujung meja. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Matanya tertuju pada direktur senior yang sempat melemparkan pertanyaan barusan. "Pertama, kita akan memperluas jangkauan pasar kita. Kita akan masuk ke pasar internasional dan meningkatkan pangsa pasar kita di dalam negeri.""Bagaimana kita bisa melakukan
Ratih sadar jika pertanyaannya menghancurkan suasana hati putrinya yang sedang baik. Harusnya dia tidak bertanya seperti itu dan membuat wajah putrinya menjadi murung. Jika saja kata-kata sebelumnya bisa ditarik kembali, maka Ratih akan melakukan hal tersebut.Ratih menghela napas, lalu meletakkan satu tangannya di atas tangan Seyra yang berada di atas meja. Dia masih mengamati wajah murung itu. Kemudian berkata dengan lembut. "Maafkan, Ibu."Seyra membalas tatapan ibunya, menatap wajah yang kurus dan terlihat pucat. Ibunya sudah banyak memikul beban selama ini. Jadi dia tidak ingin membuat ibunya merasa bersalah, hanya karena pertanyaan barusan."Ibu nggak perlu minta maaf," balas Seyra sambil tersenyum lembut. Dalam sekejap dia mengubah ekspresi wajahnya kembali ceria karena tidak ingin membuat ibunya merasa tertekan."Aku akan mengambil mangkok ke dapur. Ibu tunggu di sini ya!" Seyra berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain. Dia tidak ingin suasananya menjadi canggung dan merasa
Hari-hari berlalu begitu cepat dan berjalan seperti semestinya. Regan berdiri di depan jendela besar kantornya, memandang gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kejauhan. Wajahnya yang tampan terkena sinar matahari, membuatnya tampak anggun dan berkilau di pagi yang cerah.Di dalam kepalanya, berbagai pikiran dan hal-hal penting lainnya bergelut satu sama lain.Istrinya, yang dinikahi beberapa minggu lalu tidak sempat terbesit di pikirannya. Regan terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang kerap menuntut perhatian dan energinya. Hingga melupakan seseorang yang setiap waktu menunggu kabar darinya.Pintu kantor terbuka tiba-tiba, menghentikan lamunannya. Seorang asisten bernama Tama melangkah masuk dengan langkah lebar berhenti tepat di belakangnya. Dengan tatapan serius, Tama memberitahukan informasi pada Regan tentang sesuatu yang kurang menyenangkan."Tuan, orang kita mencurigai adanya kasus penggelapan dana di salah satu cabang perusahaan Osvaldo."Regan membalikkan tub
"Maaf," kata Seyra pelan. "Maafkan aku. Aku benar-benar tidak bermaksud meragukanmu." Seyra menyentuh lengan Regan dan mengusapnya lembut, membuat tubuh pria itu yang sempat menegang, kini tampak lebih rileks.Satu tangan Regan terangkat dan menyentuh tangan Seyra yang masih berada di lengannya. Dia menggenggamnya dan meremasnya pelan. "Aku harap kamu selalu percaya denganku."Seyra mengangguk, lalu tersenyum. "Aku percaya padamu."Regan mengembuskan napas lega. Di melepaskan tangan Seyra dan beralih menatap ke depan, fokus menyetir.Seyra membenarkan posisi duduknya menghadap ke depan, menatap jalanan yang cukup lengang. Setelah beberapa menit terdiam, akhirnya Seyra kembali bersuara, merasa penasaran dengan wanita yang akan dijodohkan dengan Regan."Regan, wanita yang duduk di dekat kakekmu tadi adalah wanita yang sempat aku temui di butik," kata Seyra sambil memperhatikan ekspresi Regan dari samping. "Aku tidak menyangka jika dia ternyata ... wanita yang dipersiapkan kakek untukmu.
Regan memasang wajah tenang, tanpa terpengaruh dengan suara keras dan kemarahan Bastian. Dia hanya melirik sekilas ke arah wanita yang duduk di sofa tidak jauh dari kakeknya. Dia cukup mengenal wanita itu dan sekarang dia tahu alasan kenapa kakeknya menyuruh cepat-cepat pulang."Kakek, kami datang ke sini dengan maksud baik. Kami hanya ingin memberitahukan jika kami sudah menikah," kata Regan dengan suara rendah, tanpa ada campuran nada emosi."Menikah?" Suara Bastian terdengar marah. "Apa kalian pikir aku akan memberikan restu untuk hubungan kalian?" Dia menggeleng pelan, matanya menyorot tajam pada Regan yang masih berdiri tenang sembari menggandeng tangan Seyra."Jangan berpikir mendapat restu dariku setelah kau menikahi wanita seperti dia!" Bastian menunjuk Seyra yang saat ini tampak menegang di pijakannya.Melihat tatapan tajam Bastian yang tertuju ke arahnya, tanpa sadar Seyra meraih lengan Regan, seolah mencari perlindungan pada suaminya itu."Regan," bisik Seyra pelan, membua
Regan dan Seyra baru saja memasuki butik. Mereka berdua langsung berkeliling untuk mencari pakaian yang cocok. "Seyra, kamu pilihlah pakaian sesukamu. Aku akan menunggumu di sana." Regan menunjuk sofa yang berada di pojok ruangan.Seyra mengangguk. "Apa kamu tidak memilih pakaian?" Dia menunjuk deretan pakaian pria pada Regan. "Tidak perlu. Pakaianku sudah banyak," balas Regan sambil tersenyum."Baiklah." Seyra langsung mulai mengelilingi deretan pakaian yang tersusun rapi di rak. Sementara itu, Regan duduk di sofa yang nyaman di sudut ruangan, sembari membaca majalah mode yang ada di meja kecil.Seyra sibuk memilih-milih pakaian yang sesuai dengan selera dan kebutuhannya. Ia mencoba beberapa gaun, blus dan rok yang ia rasa cocok untuk dipakai dalam berbagai acara."Sepertinya gaun itu bagus." Seyra merasa tertarik dan mendekati gaun itu. Saat ia mengambil sebuah gaun yang dia suka, ia melihat seorang wanita cantik dengan rambut panjang tersusun rapi, sedang memegang gaun yang sama
Seorang wanita cantik dengan tubuh semampai dan langkah anggun memasuki kediaman Osvaldo. Tubuhnya yang sempurna dibalut oleh gaun dan aksesoris berkelas. Dia dijemput oleh seorang pelayan yang membawanya ke ruang keluarga.Wanita itu melangkah dengan mata yang berkeliling, mengamati setiap sudut ruangan yang terlihat megah dan klasik. Lukisan-lukisan tua bergaya renaissance menghiasi dinding. Sementara furniture mewah mencipkatan suasana yang begitu hangat dan nyaman.Di pojok ruangan, wanita itu melihat Bastian yang duduk dengan santainya, menyusuri halaman dari sebuah buku klasik.Sang pelayan mendekat, dan berkata dengan sopan. "Tuan Besar, ada Tamu untuk Anda."Bastian mengangkat kepala dan melihat ke arah wanita cantik itu. Senyum lembut terukir di wajahnya, lalu menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Selamat datang, Lily. Bagaimana kabarmu?" sapa Bastian, menyebut nama wanita cantik itu. "Aku baik, Kek," balas Lily sambil tersenyum manis.Kemudian Bastian mempersilahka
Matahari pagi mulai menerobos lewat cela-cela korden, membuat cahaya hangat memancar dengan lembut ke dalam ruangan. Seyra menggeliat di dalam pelukan Regan, merasa tubuhnya remuk akibat sentuhan ganas suaminya sepanjang malam. Dia tidak menyangka jika Regan begitu bergairah, seolah tidak mempedulikan kebutuhan istirahatnya.Namun meskipun lelah, Seyra tidak bisa menahan senyum saat melihat wajah tampan Regan dari jarak sedekat ini. Dia bisa menikmati semua bagian-bagian wajah pria itu yang tampak sempurna di matanya."Selamat pagi." Regan membuka mata perlahan dan tersenyum hangat pada istrinya.Seyra membalas sapaan Regan dengan bibir cemberut. "Gara-gara kamu, sekarang aku sulit bangun dari tempat tidur."Regan terkekeh pelan. Kedua tangannya semakin erat mendekap Seyra. "Kalau begitu, tidak usah bangun. Kita bisa menghabiskan waktu sepanjang hari di dalam kamar."Seyra mencubit perut kotak-kotak Regan dengan kesal. "Kalau seperti itu, aku bisa-bisa mati di tempat tidur. Kamu tida
Atmosfer ketegangan melingkupi ruangan itu. Terlebih melihat wajah seorang Nyonya Pratama yang tampak mengeras, begitu tidak bersahabat. Tania secara refleks menundukkan kepala saat tatapan tajam Mira seolah ingin mengulitinya. Hubungan dia dan Aldo, belum diketahui oleh Mira. Karena Mira menginginkan Aldo menikah dengan keluarga terpandang dan bersih dari skandal."Tunggu apa lagi! Sekarang keluar!" perintah Mira dengan suara tegas.Tania terhenyak di pijakannya. Dia sedikit mengangkat wajahnya untuk melihat ekspresi Mira yang tidak bersahabat. "Sekali lagi saya minta maaf, Nyonya."Mira hanya menanggapinya dengan wajah dingin. Dia mengibas-ngibaskan tangannya, menyuruh Tania untuk segera keluar.Tania menatap sebentar ke arah Aldo yang hanya diam, tanpa berusaha menahan atau membelanya. Dengan tatapan kecewa, Tania berbalik dan segera keluar dari ruangan itu. Saat sampai di meja ruangannya, ia membuka genggaman tangannya, menatap testpack yang menunjukkan garis dua. Padahal Tania b
Aldo sedang sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka dengan keras. Mira muncul dengan raut wajah masam dan langsung membanting tasnya di atas meja.Aldo yang sedang fokus memeriksa laporan, tersentak kaget melihat tindakan ibunya. Dia menatap ibunya yang kini duduk di kursi depan meja kerjanya. "Mama kenapa?"Mira menatap tajam Aldo dan menjawab dengan suara yang sedikit tinggi. "Aku tadi bertemu dengan Seyra. Dia mempermalukan mama di toko perhiasan. Aku tidak menyangka, Seyra yang dulunya terlihat sopan dan lembut, kini berubah menjadi kurang ajar dan menghina mama."Wajah Aldo langsung berubah serius ketika mendengar nama Seyra disebut oleh ibunya. Dia menghentikan aktivitasnya sejenak, dan fokus memandang ibunya dengan penuh rasa penasaran. "Seyra? Mantan kekasihku? Apa yang dia lakukan, Ma?"Mira menghela napas panjang sebelum menceritakan kejadian di toko perhiasan tadi. Tentu saja dia melebih-lebihkan kejadian yang sebenarnya, agar Aldo semakin memb
Tatapan sang manajer beralih ke arah Seyra. Matanya bergulir dari atas hingga ke bawah, meneliti penampilan wanita itu. Dia bisa menebak, jika Seyra hanyalah seorang pekerja kantoran."Maaf, Nona. Mungkin lebih baik Nona mengalah. Masih banyak perhiasan model lain di toko ini. Biarlah Nyonya ini yang memiliki perhiasan itu," ucap sang manajer, berusaha masih menjaga kesopanannya."Tidak bisa. Saya yang akan tetap membeli perhiasan ini. Harusnya Anda bersikap profesional," kekeh Seyra pada pendiriannya. Dia tidak sudi menyerahkan perhiasan pilihannya pada orang yang sudah berulang kali menghinanya."Saya mohon, jangan dipersulit! Nona lebih muda. Harusnya Nona bisa mengalah." Manajer itu masih berusaha keras membujuk Seyra.Bila saja yang menginginkan perhiasan itu adalah orang lain, mungkin Seyra akan mau mengalah. Namun Mira sudah menginjak-injak harga dirinya, bahkan menghina ibunya dengan keji, tentu saja Seyra tidak mungkin terima dan mau mengalah, meski Mira lebih tua darinya.Se
"Tidak. Saya yang lebih dulu memilih perhiasan itu. Jadi saya lebih berhak dari Nyonya. Anda tidak bisa ambil barang yang bukan milik Anda." Seyra tidak akan mengalah. Sudah cukup dia dihina dan direndahkan di hari pernikahan. Kali ini dia harus membalas penghinaan itu dan tetap mempertahankan harga dirinya. Dia tidak akan membiarkan Mira menginjak-injak dan mempermalukan dirinya untuk kedua kalinya.Pelayan berusaha memberi pengertian pada Mira. "Maaf, tapi aturan kami adalah barang akan diberikan kepada pelanggan yang lebih dulu memilihnya.""Ini tidak adil!," ucap Mira dengan marah. "Aku tidak mau tahu, pokoknya aku mau kalung itu sekarang juga.""Tapi, Nyonya ...." Mira mengangkat tangannya, menyuruh sang pelayan untuk diam.Kemudian tatapan tajam Mira tertuju pada Seyra yang masih tidak gentar menghadapinya. "Kamu pasti hanya menggertak. Kamu pasti tidak sanggup membayar kalung itu kan?""Saya sanggup," balas Seyra yakin.Mira mengerang kesal. Dia tidak menyangka jika Seyra masi