Share

Bab 4 Tolong aku, Regan!

Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi.

"Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."

Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat. 

"Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat."

"Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."

Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut.

"Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"

Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepalanya yang nyaris meledak.

"Aku harus minta tolong pada ayah."

Sore hari, Seyra memutuskan untuk pergi ke rumah Miranda untuk meminta bantuan kepada ayahnya.

Akan tetapi, ketika sampai di sana, Seyra disambut dengan sikap dingin dan tatapan sinis oleh Miranda__ibu tirinya.

"Mau apa kamu ke sini?" Suara Miranda terdengar tidak bersahabat disertai tatapan tajam.

"Tante, aku ingin bertemu ayah." Seyra hendak masuk begitu saja. Tetapi Miranda tentu saja tidak mengizinkan.

"Untuk apa?" 

"Ibuku di rumah sakit, Tante. Dan ibu perlu dioperasi. Aku ingin pinjam uang pada ayah." Seyra berusaha berbicara dengan nada rendah, berharap istri kedua ayahnya bisa berbaik hati padanya.

"Pinjam?" Miranda tertawa, mencibir Seyra. "Memangnya kamu akan mengembalikan?"

Seyra menelan ludahnya kasar, sebelum menjawab. "Aku bisa menyicil dengan gajiku, Tante."

"Kamu pikir aku percaya?" Miranda tersenyum sinis, lalu mengangkat jari telunjuknya ke arah pintu gerbang, mengusir Seyra. "Lebih baik kamu pergi dari sini. Karena suamiku tidak akan meminjamkan uang sepeser pun untuk biaya operasi ibumu."

Seyra menggeleng, lalu meraih tangan Miranda untuk memohon kepadanya. "Tolong aku, Tante. Di dunia ini aku hanya punya ibu saja. Tante sudah merebut ayahku. Paling nggak, beri kesempatan pada ibuku untuk tetap hidup."

Miranda menyentak kasar tangan Seyra hingga terlepas. Lalu menunjuk wajah anak tirinya. "Dengar Seyra, bukan aku yang merebut ayahmu. Tapi ibumu yang dulu merebut Darwin dariku. Aku hanya mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku."

Nafas Miranda mulai tidak beraturan. Dia benar-benar tersinggung saat Seyra menuduhnya merebut ayahnya. Padahal dulu Miranda memang cinta pertama Darwin.

"Ada apa, Ma?" Tania muncul berdiri di samping Miranda.

"Lihatlah, ada pengemis datang meminta sumbangan."  Miranda menunjuk Seyra dengan dagunya. "Dia ingin meminjam uang untuk biaya operasi ibunya."

Tania berpura-pura memasang wajah ibanya. Namun beberapa detik kemudian, Tania mengolok-olok dan menghina Seyra.

"Ya ampun, Seyra. Kasihan banget sih. Punya suami dikemanain? Kenapa nggak minta uang sama dia saja?" Tania tertawa mengejek Seyra.

"Upps ... aku baru ingat kalau suami kamu kan hanya seorang satpam. Mana mungkin dia mampu membayar biaya operasi. Untuk biaya hidup saja sulit, apalagi untuk mengeluarkan biaya yang nggak sedikit."

Tawa mengejek Tania kembali terdengar, membuat Seyra mati-matian untuk tidak menyumpal mulut saudara tirinya itu dengan sepatunya.

"Kalau nggak bisa membantu, mending diam saja. Jangan gunakan mulut busukmu untuk mencela dan menindas orang lain," ucap Seyra dengan suara geram. Kedua tangannya terkepal kuat menahan gejolak amarahnya.

"Kau ..." Tangan Tania sudah terangkat hendak menjambak rambut Seyra. Namun kemunculan Darwin yang secara tiba-tiba membuat Tania mengurungkan niatnya.

Pandangan Darwin seketika tertuju pada Seyra. "Untuk apa kamu ke sini?"

Seyra memanfaatkan kesempatan ini untuk mengutarakan maksudnya. "Ayah, ibu akan dioperasi dan butuh biaya banyak. Aku ingin meminjam uang pada Ayah."

Darwin tidak langsung menjawab. Dia menoleh ke arah Miranda seolah meminta persetujuannya. Miranda yang sejak dulu tidak menyukai Seyra dan ibunya, tentu saja dia menggeleng menolak untuk membantunya.

"Urusan keuangan keluarga sudah aku serahkan pada Miranda. Jadi, aku tidak bisa meminjamkanmu jika Miranda tidak mengizinkan," ujar Darwin dengan wajah datar.

"Tapi, ayah, ibu ...."

"Aku sudah tidak ada urusan lagi dengan ibumu. Lebih baik ikhlaskan ibumu jika memang sudah waktunya."

Kata-kata Darwin yang tidak berperasaan, membuat Seyra tidak bisa mengendalikan amarahnya. Dia benar-benar sakit hati dan kecewa pada seseorang yang selama ini ia panggil ayah.

Seyra mendekat, menatap dingin wajah pria paruh baya di depannya. "Dengar tuan Darwin yang terhormat, aku akan selalu mengingat kata-kata kejammu hari ini. Mulai detik ini, aku bukan putrimu lagi. Aku benar-benar menyayangkan kenapa dulu ibu bisa menikah dengan pria brengsek seperti Anda." 

Suara Seyra terdengar penuh penekanan dan penegasan, bibirnya menyungging membentuk senyum sinis yang terdapat kebencian di dalamnya. "Maaf sudah mengganggu waktu kalian. Semoga di masa depan, kalian nggak akan berada di posisiku."

Dengan hati hancur dan dipenuhi perasaan dendam, Seyra memilih pergi dari rumah itu. Dalam hatinya ia bersumpah akan membalas perlakuan mereka suatu hari nanti.

Seyra memutuskan pulang ke rumah. Dia mengobrak-abrik isi lemarinya untuk mencari buku tabungan dan barang berharga apa saja yang dimilikinya. Dia sudah tidak peduli dengan pakaiannya yang sudah berserakan di lantai.

Regan yang baru saja pulang, tampak tertegun menatap lantai kamar yang berantakan. Namun bukan itu yang menjadi fokusnya. Melainkan wajah Seyra yang tampak sembab. Regan menduga jika gadis itu sempat menangis sebelumnya.

"Seyra, apa yang sedang kamu lakukan?"

Suara Regan berhasil menghentikan aksi Seyra. Gadis itu menoleh ke arah Regan yang tampak berdiri di ambang pintu, masih mengenakan seragam satpamnya. 

Pandangan Seyra meredup saat dia berpikir jika tidak mungkin meminta bantuan pada Regan, mengingat suaminya itu hanya seorang satpam yang berpenghasilan kecil.

"Ada apa, Seyra?" tanya Regan lagi, ketika Seyra tidak kunjung merespon.

"Regan, ibu ...."

"Ibu kenapa?" Regan melangkah masuk ke dalam kamar sambil memunguti pakaian Seyra yang berantakan di lantai. Lalu menaruhnya di atas tempat tidur.

"Ibu ...." Seyra membekap mulutnya mencegah tangisnya yang hampir tumpah.

Merasa tidak tahan, Seyra akhirnya menghampiri Regan dan mencengkram pakaian pria itu. 

"Regan, tolong aku sekali lagi!" Mata Seyra sudah berair. Emosinya bergejolak saat memikirkan bagaimana nasib ibunya jika dia tidak berhasil mendapatkan biaya operasi sekarang.

"Tolong aku, Regan! Tolong aku! Aku rela melayanimu seumur hidup, asalkan kamu menolong ibuku." Tubuh Seyra merosot, saat merasakan pening luar biasa menghantam kepalanya. Dia benar-benar pusing luar biasa, merasa bingung kemana lagi ia harus mencari uang untuk menutupi biaya operasi ibunya.

Regan berusaha menahan tubuh istrinya  yang kini terduduk di lantai. Seharian ini Seyra melupakan makan siangnya, membuat tubuhnya lemas dan tidak memiliki tenaga. Terlebih, Seyra memiliki masalah dengan lambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status