"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"
Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil. Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya. Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan. Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya. Harusnya dia tidak melakukan itu. "Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu." Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharusnya Seyra tidak menuntut lebih. "Mau ke mana?" Regan menoleh ke arah pintu saat melihat Seyra hendak pergi membawa sertifikat tanah. "Aku akan ke rumah pak Baron untuk meminjam uang." Seyra menoleh sekilas ke arah Regan, lalu kembali melanjutkan langkahnya. Regan mengejar langkah Seyra. Dia meraih pergelangan tangannya saat gadis itu akan mencari taksi. "Tunggu, Seyra! Apa kamu akan menggadaikan sertifikat rumah itu?" Regan menunjuk dokumen penting di tangan istrinya. Seyra mengangguk lemah. "Nggak ada pilihan lagi, Regan. Aku benar-benar bingung harus mencari di mana uang sebanyak itu. Tabunganku nggak cukup. Apalagi sebagian sudah dipakai untuk biaya pernikahan kemarin." Matanya merunduk, dia menarik tangannya dari genggaman Regan. Ketika ada taksi melintas, Seyra hendak mengangkat tangannya, berusaha menghentikan kendaraan tersebut. Namun Regan mencegahnya dan menyuruh taksi yang sempat berhenti untuk kembali melajukan kendaraannya. "Aku akan membantumu." Seyra menoleh cepat, mengerutkan alisnya. "Kamu yakin?" Regan mengangguk. "Lebih baik kamu kembali ke rumah sakit untuk menemani ibumu. Aku akan mencari biayanya." Seyra menggeleng pelan. "Aku nggak ingin ngrepotin kamu." Regan menghela napas kesal. Meski mereka sudah menikah, dia tahu jika Seyra masih menganggapnya sebagai orang asing. Dan hal itu tentu saja sedikit menyinggungnya. "Seyra, dengarkan baik-baik!" Regan memegang kedua bahu Seyra, menatap intens ke arahnya. "Aku tahu kamu terpaksa menikahiku. Tapi bagaimana pun juga, sekarang aku adalah suamimu. Sudah menjadi kewajibanku untuk membantumu." "Tapi ... dari mana kamu akan mendapatkan uang itu?" Wajah Seyra tampak penasaran. Dia merasa tidak yakin jika Regan akan mendapatkan biaya operasi dalam waktu singkat. "Kamu nggak perlu tahu. Yang terpenting ibu kamu segera di operasi." Regan melepas kedua tangannya dari bahu Seyra. Perhatiannya teralihkan saat mendengar suara dering ponsel dari saku celana. Dia segera mengambilnya. Namun saat melihat nama pemanggil tertera di layar, dia segera melangkah menjauh dari Seyra. "Ada apa?" Regan mengangkat panggilan itu saat merasa jika Seyra tidak akan mendengar pembicaraannya. "Tuan Regan, ada masalah. Anda harus segera kembali," ucap seseorang di sebrang sana. Regan tidak langsung merespon. Matanya sesekali melirik ke arah Seyra yang tampak memperhatikannya. "Tuan, apa Anda masih di sana?" Suara di seberang sana kembali terdengar saat Regan tidak kunjung memberi jawaban. "Sebelum aku kembali, lakukan sesuatu untukku!" "Apa, Tuan?" "Segera ke rumah sakit. Urus segala administrasi atas nama pasien Ratih Almahira." Regan mengakhiri panggilannya ketika sudah memberi tugas pada seseorang di seberang sana. "Siapa yang menghubungimu?" Regan segera menurunkan ponselnya saat tiba-tiba Seyra sudah berdiri di sampingnya. Dia menyimpan kembali benda pipih itu, lalu menjawab. "Dia temanku yang kebetulan akan membantu kita." "Jadi dia yang akan meminjamkan uang?" Regan mengangguk. Kemudian menarik Seyra untuk masuk ke dalam rumah. "Lebih baik kamu makan. Kebetulan aku sempat membeli makanan saat pulang kerja." Seyra tidak banyak protes. Setelah makan dan membersihkan diri, barulah dia kembali ke rumah sakit bersama Regan. Begitu sampai di sana, dia melihat ibunya yang langsung digeret masuk ke dalam ruang operasi. Seyra tidak menyangka jika Regan akan mendapat biaya operasi secepat itu. Tak lama operasi ibunya berhasil. Seyra menghembuskan nafas lega. Tanpa sadar ia memeluk Regan saking bahagianya. "Terima kasih, Regan. Lagi-lagi kamu menjadi penolongku," kata Seyra tersenyum tulus. Dia benar-benar bersyukur karena dipertemukan pria sebaik Regan. Dalam hatinya ia berjanji akan menjalani rumah tangganya dengan serius dan menjadi istri sepenuhnya bagi pria itu. Regan mengangguk, ikut merasa lega melihat wajah Seyra tidak semendung sebelumnya. "Seyra, karena ibumu sudah selamat, sekarang aku harus pulang," ucap Regan tiba-tiba. "Pulang?" Seyra mengernyit bingung. Namun sedetik kemudian ia tersenyum. Mungkin yang dimaksud Regan adalah pulang ke rumah pria itu. "Kamu mau pulang ke rumahmu?" tanya Seyra memastikan. Regan mengangguk sambil melepas pelukan Seyra. Lalu mengeluarkan sebuah kartu bank dan meletakkannya di telapak tangan gadis itu. "Pinnya tanggal pernikahan kita." Seyra menunduk, terpaku menatap kartu bank di telapak tangannya. Gadis itu menggeleng pelan. Ia tidak bisa menerima ini setelah sudah banyak merepotkan pria itu. Namun saat ia mengangkat kepalanya hendak mengembalikan kartu itu, Seyra sudah tidak mendapati Regan di sampingnya. "Ke mana dia?" Pandangan Seyra berkeliling, menelisik satu per satu orang-orang di sekitarnya. Saat matanya menangkap punggung pria itu dari kejauhan, gadis itu langsung berlari mengejar Regan hingga sampai depan lobi rumah sakit. Seyra kehilangan jejak suaminya. Ia hanya melihat sebuah mobil mewah yang baru saja meninggalkan teras rumah sakit. "Kenapa cepat sekali menghilangnya?" Mata Seyra masih berkelana ke sekitar, berusaha mencari sosok Regan. Namun sudah beberapa menit berlalu, ia tidak menemukan pria itu. Ketika dia ingin menghubunginya lewat ponsel, dia baru sadar jika tidak memiliki nomor suaminya. "Kenapa aku berlebihan begini?" Seyra mengusap wajahnya, lalu menghela nafas kasar. "Aku yakin besok Regan akan kembali. Dia hanya pulang ke rumah sebentar. Mungkin saja dia ingin menemui orang tuanya untuk memberitahukan tentang pernikahannya." Seyra tersenyum. Dia memukul kepalanya sendiri saat berpikir terlalu jauh. "Dia pasti kembali," gumamnya, lalu memutuskan kembali ke ruang rawat untuk menunggu ibunya sadar. Akan tetapi, sudah lewat beberapa hari, Regan tidak menampakkan diri. Bahkan saat ibu Seyra sudah pulang dari rumah sakit, pria itu masih saja tidak terlihat. Seyra memutuskan untuk bertanya pada orang kantor. Tetapi mereka mengatakan jika Regan sudah mengundurkan diri. "Apa? Bagaimana bisa?" Mendadak Seyra pusing luar biasa saat mengetahui informasi tersebut. "Kenapa Regan nggak ngomong sama aku?" Seyra memejamkan matanya sejenak. Entah mengapa ia mempunyai firasat jika pria itu meninggalkannya. Dia memang belum mencintai pria itu. Namun dia tidak mengharapkan jika pria itu pergi begitu saja.Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb
Seyra kembali menatap dokumen penting hasil kerja kerasnya yang kini basah terkena tumpahan kopi. Dia merasa kesal sekaligus frustasi, karena dia tahu jika apa yang dilakukan Tania bukanlah sebuah kecelakaan. "Kenapa kau melakukan ini?" Suara Seyra pelan, namun terdengar menekan. Matanya yang sempat tertuju pada dokumen kotor di atas meja, kini perlahan menoleh ke arah Tania yang masih berdiri bersedekap di samping mejanya. "Sebenarnya apa maumu?"Tania tersenyum miring melihat kilat kemarahan di kedua mata Seyra. Dia semakin terpancing untuk membuat saudara tirinya itu meledak, hingga tanpa sadar akan membuat kesalahan. "Kamu terlalu paranoid, Seyra. Aku nggak punya alasan apa-apa. Karena itu memang murni kecelakaan."Seyra bangkit dari tempat duduknya, dan kini berdiri berhadapan langsung dengan Tania. Dia masih mengamati wajah licik saudara tirinya itu, lalu berkata dengan nada tajam. "Aku tahu kau sengaja melakukan itu. Jika kamu memiliki kemampuan, harusnya tidak perlu memakai c
"Berhenti, Seyra!" Aldo berusaha menghadang langkah Seyra yang kini tampak berniat melangkah keluar dari gedung perusahaan. Pria itu tidak menyangka jika masalah yang sempat terjadi membuat Seyra memilih untuk mengundurkan diri."Mau apa lagi?" Amarah masih menguasai diri Seyra. Ekpresinya tampak tegas dan keras. Tatapannya terlihat menantang seolah ada dendam dan luka yang tersembunyi di dalam diri gadis itu."Jangan mengambil tindakan gegabah! Aku tahu kamu marah karena masalah tadi. Tapi tidak seharusnya kamu mengundurkan diri," ucap Aldo, terdengar seperti membujuk. Dia tidak mungkin membiarkan Seyra keluar begitu saja dari perusahaan. Terlebih gadis itu memiliki kemampuan yang cukup diandalkan."Lagi pula mencari pekerjaan di luaran sana begitu sulit. Jadi pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," lanjutnya, masih berusaha mempengaruhi Seyra agar mengurungkan niatnya.Seyra masih menatap Aldo, menatap wajah pria yang pernah singgah di hatinya. Cukup lama. Jujur saja sampa
Seyra mengerjapkan matanya saat sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamarnya. Dia masih bergeming di atas tempat tidur, merasa tidak perlu terburu-buru untuk bangun atau melakukan rutinitas seperti biasanya.Namun, ketukan pintu kamar membuat Seyra terpaksa bangkit, walaupun sebenarnya dia merasa enggan meninggalkan tempat tidurnya."Seyra, kenapa jam segini baru bangun? Nanti kamu terlambat bekerja," tegur Ratih, saat pintu kamar terbuka.Seyra berniat ingin berbicara jujur pada ibunya. Namun setelah berpikir sejenak, dia takut jika ibunya khawatir jika dirinya tidak memiliki pekerjaan. Dia tidak ingin membebani ibunya dan membuatnya cemas memikirkannya."Iya, Bu. Aku akan segera bersiap-siap." Pada akhirnya Seyra memilih untuk tidak jujur. Dia berencana akan melamar pekerjaan dan berharap menemukan keberuntungannya hari ini."Ya sudah, nanti ibu siapkan bekal ya."Seyra mengangguk. Kemudian saat ibunya pergi, dia segera membersihkan diri dan bersiap-siap memakai kemeja kantor
Regan masih diam, meski saat ini mendapat serangkaian tatapan dingin dan menuntut dari para anggota rapat. Dia masih berdiri di ujung meja dengan tatapan tegas dan mempertahankan wajah datarnya."Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh lagi. Pengelolahan yang lebih baik dan strategi yang lebih agresif, akan memberikan hasil yang maksimal dan jauh melebihi ekspetasi kita," ucap Regan, dengan matanya menyapu ke sekitar."Lalu, langkah apa yang akan Anda ambil?" Salah satu direktur senior melemparkan pertanyaan. Dia ingin mengetahui langkah apa yang akan dilakukan Regan untuk melaksanakan rencana tersebut.Regan meletakkan kedua tangannya di ujung meja. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Matanya tertuju pada direktur senior yang sempat melemparkan pertanyaan barusan. "Pertama, kita akan memperluas jangkauan pasar kita. Kita akan masuk ke pasar internasional dan meningkatkan pangsa pasar kita di dalam negeri.""Bagaimana kita bisa melakukan
Ratih sadar jika pertanyaannya menghancurkan suasana hati putrinya yang sedang baik. Harusnya dia tidak bertanya seperti itu dan membuat wajah putrinya menjadi murung. Jika saja kata-kata sebelumnya bisa ditarik kembali, maka Ratih akan melakukan hal tersebut.Ratih menghela napas, lalu meletakkan satu tangannya di atas tangan Seyra yang berada di atas meja. Dia masih mengamati wajah murung itu. Kemudian berkata dengan lembut. "Maafkan, Ibu."Seyra membalas tatapan ibunya, menatap wajah yang kurus dan terlihat pucat. Ibunya sudah banyak memikul beban selama ini. Jadi dia tidak ingin membuat ibunya merasa bersalah, hanya karena pertanyaan barusan."Ibu nggak perlu minta maaf," balas Seyra sambil tersenyum lembut. Dalam sekejap dia mengubah ekspresi wajahnya kembali ceria karena tidak ingin membuat ibunya merasa tertekan."Aku akan mengambil mangkok ke dapur. Ibu tunggu di sini ya!" Seyra berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain. Dia tidak ingin suasananya menjadi canggung dan merasa
Hari-hari berlalu begitu cepat dan berjalan seperti semestinya. Regan berdiri di depan jendela besar kantornya, memandang gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di kejauhan. Wajahnya yang tampan terkena sinar matahari, membuatnya tampak anggun dan berkilau di pagi yang cerah.Di dalam kepalanya, berbagai pikiran dan hal-hal penting lainnya bergelut satu sama lain.Istrinya, yang dinikahi beberapa minggu lalu tidak sempat terbesit di pikirannya. Regan terlalu sibuk dengan urusan bisnis yang kerap menuntut perhatian dan energinya. Hingga melupakan seseorang yang setiap waktu menunggu kabar darinya.Pintu kantor terbuka tiba-tiba, menghentikan lamunannya. Seorang asisten bernama Tama melangkah masuk dengan langkah lebar berhenti tepat di belakangnya. Dengan tatapan serius, Tama memberitahukan informasi pada Regan tentang sesuatu yang kurang menyenangkan."Tuan, orang kita mencurigai adanya kasus penggelapan dana di salah satu cabang perusahaan Osvaldo."Regan membalikkan tub
Regan baru saja memasuki bar. Kedua kakinya melangkah pelan saat berjalan di antara kerumunan orang-orang yang sedang menikmati suasana malam. Dengan mata yang tajam, dia mengedarkan tatapan ke sekelilingnya mencari sosok Robert yang sering menjadi partner berpestanya.Setelah beberapa saat, matanya akhirnya menemukan Robert yang duduk di pojok ruangan, disertai oleh seorang wanita cantik yang menyertainya.Dengan langkah lebar, Regan berjalan menuju meja Robert. Wajahnya yang menonjol dan tubuhnya yang sempurna, menarik perhatian beberapa wanita di sekitarnya. Para wanita itu menatapnya kagum, lapar dan penuh damba. Bahkan beberapa dari mereka mencoba untuk merayu, menggoda, serta menawarkan diri untuk bergabung dengannya.Namun, Regan hanya menanggapinya dengan wajah dingin, menyingkirkan tangan-tangan nakal yang mencoba meraba-raba tubuhnya. "Jangan menggangguku!" Suaranya terdengar rendah. Namun mampu membuat wanita itu mundur perlahan.Dari tempat duduknya, Robert tersenyum lebar