Siang hari, kantor begitu ramai dan sibuk. Suara mesin fotokopi serta telepon yang berdering menambah kegaduhan di ruangan itu. Seyra tampak sibuk di depan layar komputer dengan ke sepuluh jari-jarinya yang bergerak cepat di atas keyboard. Sudah satu tahun dia bekerja sebagai staf marketing di perusahaan Pratama Corp, atas rekomendasi Aldo.
"Seyra, tolong kamu antarkan dokumen laporan tentang hasil kampanye dan aktivitas pemasaran ke ruang direktur," ucap Nadia, salah satu rekannya. Seyra menghentikan aktivitasnya. Wajahnya terangkat menatap rekan kerjanya yang berdiri di seberang bilik mejanya. "Kenapa kamu nggak antarkan sendiri saja?" Rasanya Seyra sangat malas jika dia harus bertemu dengan sang direktur. Entah mengapa ia merasa jika Nadia seolah sengaja melakukan itu. "Nggak bisa. Aku sibuk banget. Buruan sana!" Nadia melempar dokumen hingga mendarat tepat di atas meja Seyra. Seyra berdecak. Meski begitu, ia mengambil dokumen tersebut dan membawanya ke ruang manajer. Langkahnya semakin memelan, saat ia tidak melihat Tania berada di meja kerjanya. Seyra mengendikkan bahunya. Mungkin saja wanita itu sedang ada tugas di luar kantor. Namun saat mendekati pintu ruangan direktur, Seyra merasa seperti ada sesuatu yang tidak beres. Dan ketika matanya menatap ke cela-cela pintu, ia melihat Aldo yang sedang menindih Tania di atas meja. Mereka berdua saling berciuman dengan mesra dan panas. Sesuatu yang harusnya tidak terjadi ketika pria itu baru saja berusaha menyakinkan dirinya. Pemandangan itu tentu saja membuat Seyra merasa panas. Bagaimana pun juga masih ada rasa cinta di hati Seyra untuk pria itu. Hubungan mereka sudah cukup lama. Tidak mudah bagi Seyra untuk melupakan kekasihnya itu. Dengan hati-hati, Seyra membuka pintunya dengan pelan. Dia sudah menyiapkan ponselnya untuk mengambil gambar pengkhianatan Aldo dan kakak tirinya. "Seyra." Aldo panik dan segera menarik tubuhnya dari atas tubuh Tania. Pria itu segera menghampiri Seyra, berusaha ingin menjelaskan. Namun Tania menahan lengannya, mencegahnya untuk mendekat ke arah Seyra. "Jadi ini alasan kamu sebenarnya nggak datang ke acara pernikahan kita?" Dengan sekuat tenaga Seyra menahan rasa cemburunya ketika melihat tangan Tania melingkar erat di lengan Aldo. "Seyra, aku bisa menjelaskan ini." Aldo melepas kedua tangan Tania dari lengannya. Tetapi saat pria itu hendak maju, Seyra mengangkat telapak tangannya, melarang Aldo untuk mendekat. "Nggak perlu," ujar Seyra dengan tatapan tajam. "Aku nggak butuh penjelasan apa pun darimu. Mau kamu selingkuh dengan dia atau pacaran sama dia, aku sudah nggak peduli." Aldo tidak menyerah. Meski sudah dilarang, pria itu tetap mendekati Seyra. "Kalau kamu nggak peduli sama aku, kenapa kamu datang ke sini? Kamu pasti berubah pikiran dan ingin kembali padaku kan?" Seyra berdecih lalu membuang wajahnya ke arah lain. Dia benar-benar merasa muak melihat tingkat kepercayaan diri Aldo yang teramat tinggi. "Jangan salah paham. Aku hanya ingin mengantar dokumen ini. Tapi sayangnya aku harus menyaksikan pemandangan menjijikkan kalian." Seyra membanting dokumen di tangannya ke atas meja. Lalu menatap Aldo dan Tania secara bergantian. "Harusnya kalian melakukannya di ranjang hotel bukan di meja kantor." Tidak ingin berlama-lama, Seyra melangkah keluar dari ruangan pengap itu. Namun belum sempat Seyra membuka pintu, Aldo meraih pergelangan tangannya. "Tunggu, Seyra!" "Mau apa lagi?" Seyra menyentak keras tangan Aldo hingga terlepas. Dan ketika pria itu hendak kembali meraih tangannya, Seyra segera menjauhkannya. "Seyra, aku dan Tania nggak memiliki hubungan apa-apa. Aku hanya serius denganmu saja." Tidak bisa menjangkau tangannya, Aldo memegang kedua bahu Seyra. "Cukup, Aldo! Aku nggak peduli. Aku sudah menikah dengan Regan. Jadi mulai sekarang jangan ganggu aku lagi." Aldo kesal saat Seyra menyebut nama Regan. Ia benar-benar merasa buruk dan tersaingi saat Seyra lebih memilih seorang satpam dibanding dengan dirinya. "Aku tahu kamu terpaksa menikah dengannya, hanya untuk membalasku. Kamu menjadikan dia sebagai tameng untuk menyelamatkan harga dirimu." Dalam hati, Seyra membenarkan ucapan Aldo. Dia menikahi Regan hanya semata untuk menyelamatkan harga dirinya dan juga membalas keluarga Aldo yang sempat mempermalukannya di depan para tamu. Namun Seyra tentu saja tidak akan mengakui itu. "Aku nggak peduli apa yang kamu katakan. Yang jelas saat ini aku sudah menjadi istri Regan. Apa pun pekerjaannya, setidaknya dia lelaki yang bertanggung jawab dan lebih baik ketimbang kamu." Seyra melepas paksa kedua tangan Aldo dari bahunya. Buru-buru Seyra melangkah cepat berusaha menghindari Aldo yang masih mengejarnya. Saat tangan Aldo hendak kembali meraih pundak Seyra, ada tangan besar lain yang mencegahnya. "Jangan ganggu dia!" Regan mencengkram tangan Aldo dan nyaris mematahkan tulangnya. "Lepaskan!" Aldo berusaha melepaskan tangan Regan. Namun cengkeraman Regan semakin kuat seolah ingin meremukkan tulang-tulangnya. "Hei, satpam, berani sekali kamu melakukan ini padaku. Apa kamu ingin aku tendang?" Aldo menatap Regan dengan tatapan tajam. Namun, Regan tidak terpengaruh sama sekali. Sorot matanya dingin dan terlihat misterius. "Aku peringatkan untuk tidak mengganggu Seyra lagi, atau kamu akan menyesal," ucap Regan dengan makna tersirat. "Apa maksudmu? Kamu berani mengancamku?" Nada suara Aldo terdengar mencibir. "Jangan konyol! Kamu ini hanya seorang satpam tapi sudah berlagak seperti seorang bos besar. Justru kamu yang akan menyesal karena aku akan memecatmu." Aldo tertawa mencemooh Regan. "Kau akan menjadi pengangguran dan pria tidak berguna." Regan hanya menyeringai tajam, tersenyum misterius seolah apa yang diucapkan Aldo barusan hanya lelucon semata. "Terserah." Satu kata itu mampu membungkam mulut Aldo dan memperjelas jika Regan tidak peduli sama sekali jika nantinya dia kehilangan pekerjaan. Regan menghempaskan tangan Aldo dengan kasar. Lalu melenggang pergi setelah memastikan Seyra sudah aman. Di sisi lain, Seyra baru saja sampai di meja kerjanya. Gadis itu kembali melakukan pekerjaannya, sambil menggerutu panjang lebar. "Kamu kenapa si, Ra? Dari tadi ngomel-ngomel mulu seperti nenek-nenek saja." Nadia yang berada di meja bilik bersebrangan dengan Seyra, tampak berkomentar ketika rekan kerjanya itu tidak berhenti menggerutu. "Lain kali jangan suruh aku buat ngantar laporan ke ruang direktur," ucap Seyra dengan kekesalan yang terpancar jelas di wajahnya. "Kenapa? Belum move on atau masih sakit hati karena masalah kemarin?" Nadia tampak tertawa saat Seyra melotot ke arahnya. "Atau baru nyesel karena sudah nikah sama satpam?" Seyra berdecih, memilih mengabaikan ejekan rekan kerjanya. Di tengah fokus pekerjaannya, mata Seyra menangkap ponselnya yang bergetar di samping komputer. Dengan cepat ia mengangkat panggilan saat nomer ibunya tertera di layar. Begitu mendengar suara di seberang sana, wajah Seyra berubah panik dan pucat. "Ibu ..."Seyra langsung menuju rumah sakit setelah mendengar kabar ibunya dirawat di sana. Dia menutup mulutnya ketika dokter mengatakan jika ibunya harus segera dioperasi."Kami harus segera mengangkat tumor ganas di dalam lambung pasien. Jika tidak, kondisi pasien terancam."Seyra menggeleng kuat saat mendengar kabar itu. Dia tidak menginginkan ibunya dalam kondisi berbahaya. Apa pun yang terjadi ibunya harus selamat. "Tolong saya, Dok! Lakukan apa pun agar ibu saya selamat.""Kalau begitu, silahkan ke ruang administrasi."Seyra berlari menuju ke ruang administrasi. Ketika ia menanyakan soal biaya operasi, lututnya seketika lemas. Dia nyaris ambruk seolah tidak sanggup menopang tubuhnya. Biaya yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Dia tidak memiliki tabungan yang cukup untuk membayar biaya operasi tersebut."Ya, Tuhan, ke mana aku harus mendapatkan uang sebanyak itu?"Seyra berjalan lesu ke arah kursi panjang yang berada di taman rumah sakit. Wajahnya menunduk dengan kedua tangan memegangi kepa
"Regan, ibu akan dioperasi dan membutuhkan biaya yang nggak sedikit. Bisakah kamu menolongku?"Dengan wajah basah, Seyra memohon pada Regan. Dia sadar apa yang dilakukan saat ini adalah hal gila. Mana mungkin Regan memiliki uang sebanyak itu untuk membantu operasi ibunya. Sementara pekerjaan dia hanya seorang satpam yang memilki gaji kecil.Seyra hanya mencari peruntungan saja di tengah kekalutannya.Regan hanya terdiam, mengamati wajah Seyra yang tidak berhenti mengeluarkan bulir kristal. Gadis itu tampak kacau dan sangat menyedihkan.Melihat keterdiaman Regan, Seyra mengira jika pria itu merasa keberatan. Dia berpikir jika sudah salah meminta bantuan padanya.Harusnya dia tidak melakukan itu."Maaf, Regan. Aku benar-benar nggak tahu diri. Harusnya aku nggak membebanimu."Seyra mengusap kasar wajahnya. Dia memaksakan senyum, lalu bangkit berdiri. Dia sadar apa yang dilakukannya saat ini benar-benar memalukan. Pria itu sudah menyelamatkan harga dirinya saat pernikahan kemarin. Seharus
Tidak seorang pun yang tahu tentang keberadaan Regan. Sudah beberapa hari ini pria itu tidak menampakkan diri. Seyra pun mulai putus asa dan merasa bingung harus mencari suaminya itu di mana. Dia tidak memiliki nomor ponsel, apalagi mengetahui tempat tinggal pria itu. Seyra merasa cemas. Meskipun pernikahan mereka tidak didasari oleh cinta, seharusnya Regan tidak meninggalkannya begitu saja tanpa kabar. Waktu berlalu tanpa kejelasan. Sampai akhirnya, saat Seyra pulang kerja, Ratih tampak menegurnya ketika melintasi ruang tengah. "Seyra!" Langkah Seyra terhenti. Dia menoleh ke arah ibunya yang saat ini duduk di kursi kayu sambil menatap ke arahnya. "Apa yang sebenarnya terjadi dengan Regan?" Sejak kemarin wanita paruh baya itu terdiam, selain karena kondisinya masih lemah, dia juga tidak ingin ikut campur dalam rumah tangga putrinya. Namun melihat kejanggalan dan kecemasan dalam raut wajah putrinya, tentu saja dia tidak tahan untuk menanyakan penyebabnya. "Mengapa sudah beb
Seyra kembali menatap dokumen penting hasil kerja kerasnya yang kini basah terkena tumpahan kopi. Dia merasa kesal sekaligus frustasi, karena dia tahu jika apa yang dilakukan Tania bukanlah sebuah kecelakaan. "Kenapa kau melakukan ini?" Suara Seyra pelan, namun terdengar menekan. Matanya yang sempat tertuju pada dokumen kotor di atas meja, kini perlahan menoleh ke arah Tania yang masih berdiri bersedekap di samping mejanya. "Sebenarnya apa maumu?"Tania tersenyum miring melihat kilat kemarahan di kedua mata Seyra. Dia semakin terpancing untuk membuat saudara tirinya itu meledak, hingga tanpa sadar akan membuat kesalahan. "Kamu terlalu paranoid, Seyra. Aku nggak punya alasan apa-apa. Karena itu memang murni kecelakaan."Seyra bangkit dari tempat duduknya, dan kini berdiri berhadapan langsung dengan Tania. Dia masih mengamati wajah licik saudara tirinya itu, lalu berkata dengan nada tajam. "Aku tahu kau sengaja melakukan itu. Jika kamu memiliki kemampuan, harusnya tidak perlu memakai c
"Berhenti, Seyra!" Aldo berusaha menghadang langkah Seyra yang kini tampak berniat melangkah keluar dari gedung perusahaan. Pria itu tidak menyangka jika masalah yang sempat terjadi membuat Seyra memilih untuk mengundurkan diri."Mau apa lagi?" Amarah masih menguasai diri Seyra. Ekpresinya tampak tegas dan keras. Tatapannya terlihat menantang seolah ada dendam dan luka yang tersembunyi di dalam diri gadis itu."Jangan mengambil tindakan gegabah! Aku tahu kamu marah karena masalah tadi. Tapi tidak seharusnya kamu mengundurkan diri," ucap Aldo, terdengar seperti membujuk. Dia tidak mungkin membiarkan Seyra keluar begitu saja dari perusahaan. Terlebih gadis itu memiliki kemampuan yang cukup diandalkan."Lagi pula mencari pekerjaan di luaran sana begitu sulit. Jadi pikirkan baik-baik sebelum mengambil keputusan," lanjutnya, masih berusaha mempengaruhi Seyra agar mengurungkan niatnya.Seyra masih menatap Aldo, menatap wajah pria yang pernah singgah di hatinya. Cukup lama. Jujur saja sampa
Seyra mengerjapkan matanya saat sinar mentari pagi menerobos tirai jendela kamarnya. Dia masih bergeming di atas tempat tidur, merasa tidak perlu terburu-buru untuk bangun atau melakukan rutinitas seperti biasanya.Namun, ketukan pintu kamar membuat Seyra terpaksa bangkit, walaupun sebenarnya dia merasa enggan meninggalkan tempat tidurnya."Seyra, kenapa jam segini baru bangun? Nanti kamu terlambat bekerja," tegur Ratih, saat pintu kamar terbuka.Seyra berniat ingin berbicara jujur pada ibunya. Namun setelah berpikir sejenak, dia takut jika ibunya khawatir jika dirinya tidak memiliki pekerjaan. Dia tidak ingin membebani ibunya dan membuatnya cemas memikirkannya."Iya, Bu. Aku akan segera bersiap-siap." Pada akhirnya Seyra memilih untuk tidak jujur. Dia berencana akan melamar pekerjaan dan berharap menemukan keberuntungannya hari ini."Ya sudah, nanti ibu siapkan bekal ya."Seyra mengangguk. Kemudian saat ibunya pergi, dia segera membersihkan diri dan bersiap-siap memakai kemeja kantor
Regan masih diam, meski saat ini mendapat serangkaian tatapan dingin dan menuntut dari para anggota rapat. Dia masih berdiri di ujung meja dengan tatapan tegas dan mempertahankan wajah datarnya."Kita semua tahu bahwa perusahaan ini memiliki potensi besar untuk berkembang lebih jauh lagi. Pengelolahan yang lebih baik dan strategi yang lebih agresif, akan memberikan hasil yang maksimal dan jauh melebihi ekspetasi kita," ucap Regan, dengan matanya menyapu ke sekitar."Lalu, langkah apa yang akan Anda ambil?" Salah satu direktur senior melemparkan pertanyaan. Dia ingin mengetahui langkah apa yang akan dilakukan Regan untuk melaksanakan rencana tersebut.Regan meletakkan kedua tangannya di ujung meja. Tubuhnya sedikit condong ke depan. Matanya tertuju pada direktur senior yang sempat melemparkan pertanyaan barusan. "Pertama, kita akan memperluas jangkauan pasar kita. Kita akan masuk ke pasar internasional dan meningkatkan pangsa pasar kita di dalam negeri.""Bagaimana kita bisa melakukan
Ratih sadar jika pertanyaannya menghancurkan suasana hati putrinya yang sedang baik. Harusnya dia tidak bertanya seperti itu dan membuat wajah putrinya menjadi murung. Jika saja kata-kata sebelumnya bisa ditarik kembali, maka Ratih akan melakukan hal tersebut.Ratih menghela napas, lalu meletakkan satu tangannya di atas tangan Seyra yang berada di atas meja. Dia masih mengamati wajah murung itu. Kemudian berkata dengan lembut. "Maafkan, Ibu."Seyra membalas tatapan ibunya, menatap wajah yang kurus dan terlihat pucat. Ibunya sudah banyak memikul beban selama ini. Jadi dia tidak ingin membuat ibunya merasa bersalah, hanya karena pertanyaan barusan."Ibu nggak perlu minta maaf," balas Seyra sambil tersenyum lembut. Dalam sekejap dia mengubah ekspresi wajahnya kembali ceria karena tidak ingin membuat ibunya merasa tertekan."Aku akan mengambil mangkok ke dapur. Ibu tunggu di sini ya!" Seyra berusaha mengalihkan perhatian ke hal lain. Dia tidak ingin suasananya menjadi canggung dan merasa