"Pa, mana mungkin Zea menemani Pak Gior. Sedangkan, semua bahan sudah saya siapkan. Lagi pula --" Gior mengangkat telapak tangannya agar Aleta berhenti bicara.Masih dengan kebingungannya tapi Zea tak peduli dengan Aleta. Zea terus memandang Farhat yang kebingungan dengan keputusan dari Pak Gior. Aleta masih saja protes, tapi Gior bisa membuat dia bungkam dengan mengancam pemotongan gaji atau dengan pemberhentian dadakan. "Ayo, Zea. Kamu sedang apa di sini?" tanya Gior. "Tunggu Pak, ada yang mau saya bicarakan dengan mantan kekasih saya." Zea menghampiri Farhat."Kamu tahu, aku bersyukur karena kamu memutuskan untuk menikah dengan Dara karena saat ini aku bebas bisa menikah dengan siapa pun dan jika aku mau, Pak Gior pun bisa aku rebut hatinya dengan cara sama seperti Dara." Seulas senyum terlempar dari bibir Zea.Mungkin dia dulu sangat takut jika Farhat telah meninggalkannya. Namun, saat ini tidak. Bahkan, kini dia bisa memanfaatkan semuanya. Membalas dendam dengan cara memprofok
"Ada apa ini?" tanya Pak Mansyur. Besannya datang ke perusahaannya karena ucapan Farhat yang mengatakan jika Zea sekarang menjadi wanita murahan. Karena Zea, kontrak perusahaan ayah Farhat harus batal bekerja sama dengan perusahaan Pak Gior. "Anak kamu, Zea sudah membuat kami kehilangan kontrak dengan Pak Gior. Kenapa dia bisa melakukan hal yang sangat menjijikan. Sudah memiliki suami, masih mendekati bosnya," ujar Pak Abdullah. Pak Mansyur tidak paham dengan apa yang di maksud besannya. Apa yang di lakukan Zea, dia hanya tahu sang anak memang bekerja di perusahaan Gior dan itu tahu dari Sella. Namun, tidak mungkin jika bawahan bisa membuat Pak Gior membatalkan semua kontrak Pka Abdullah."Tidak mungkin Zea seperti itu? Zea punya suami, mana mungkin dia bersama dengan Pak Gior." Pak Mansyur sedikit berpikir, nama Gio menantunya dengan Gior atasan Zea hampir sama. Namun dia menggeleng, tidak mungkin dia orang yang sama. Akan tetapi, keanehan uang 1 M yang dibayarkan oleh Gio kala i
"Mas, kamu lagi di mana?" tanya Zea penasaran. Tapi sayangnya Sabungan telepon itu terputus. Zea mencoba kembali menghubungi sang suami, tapi malah tidak aktif. Begitu kesal rasanya, dan penasaran kok bisa namanya malah menjadi sama dengan nama sang bos."Gio? Gior?" Kembali di bermonolog dan memikirkan hal yang dia rasa tidak mungkin. Nama itu memang sama dan hanya berbeda akhiran. "Nama bisa salah, tapi orang mana bisa salah. Mas Gior memiliki tanda di wajahnya, dan Pak Gior itu ... ah kenapa aku jadi memikirkan dia. Memang sih dia tampan, tapi aku harus setia." Jika bisa video call mungkin hal itu yang akan di lakukan olehnya. Terdengar jelas jika ada yang memanggilnya dengan panggilan Bos Gior. Atau dia salah dengar? Namun, gegas dia memastikan sang bos berada di mana dan langsung menuju ruangan Pak Gior. "Eh, Zea kamu mau ke mana?" tanya Aletta. "Ke ruangan Pak Bos lah." Zea menjawab cepat. Dia tak peduli bagaimana raut wajah sang sekertaris bos itu. "Pak Gior enggak ada. E
"Pak Gior, tunggu." Zea mengejar sang bos. Saat itu Gio berhenti dengan hati tidak tenang. Zea menghampiri dirinya sebab masih rada penasaran dengan apa yang terjadi tadi. Kecurigaan saat dia menelepon sang suami. "Ada apa?" Gio terlihat sangat dingin. Zea menjadi ragu mendekat atau bertanha. Apalagi Arga pun seolah-olah juga ingin tahu sedang apa dirinya. "Heh, Zea. Cuma kamu loh yang enggak sopan sama Pak Gior. Kamu naksir dia?" Arga tahu sang bos sekarang sedang tidak tenang menghadapi Zea. "Eh maaf Pak. Enggak begitu, saya cuma --" "Sini saya kasih tahu." Agra menarik Zea menjauh dari Gior. Gior memperhatikan sang asisten, jujur saja kesal saat dia menarik tangan istrinya. Namun, sepertinya Agra akan menyelamatkannya hari ini dari banyak pertanyaan Zea. Zea mencoba melepaskan tangan Arga dari lengannya. Dirinya merasa risih, apalagi saat bersirobok dengan netral Gio yang terlihat marah. "Pak, ih jangan padang saya. Ada apa sih?""Kamu jangan dekat-dekat dengan Pak Gior. D
"Apa enggak bisa lahiran normal saja?" tanya Farhat dengan memijit pelipisnya. Rasanya belum hilang pening di kepalanya kini sudah menerima gempuran baru. Nominal harga yang fantastis untuk melahirkan membuat dirinya pusing. Apalagi habis kehilangan 3 kontrak penting sekaligus. "Kok kamu bilang begitu? Kan aku bilang takut melahirkan, jadi aku maunya lahiran SC aja. Lagian sama aja kan?" Dara mulai bertanya-tanya ada apa sebenarnya. Farhat mengusap wajah kasar. Lalu menatap sang istri dengan penuh iba. Memang sebagai seorang suami dirinya ingin memberikan yang terbaik untuk istrinya, apapun ingin ia berikan, tapi sekarang posisinya dirinya baru saja terkenal masalah besar. Ia hanya ingin istrinya sabar saja dia tengah berusaha untuk membalikkan finansial mereka semua seperti sedia kala walaupun memang dirinya belum mengetahui harus dengan cara apa. "Aku habis kehilangan kontrak kerja. 3 kontrak sekaligus karena Zea." Farhat menoleh ke arah Dara. Dirinya benar-benar merasa begitu s
"Ngurus kepentingan saya, ngerti kamu?" Zea menunduk malu, lalu bersikap seolah-olah tak terjadi apa pin. "Eh iya. Ya sudah." Zea menjawab ragu. Zea masuk ke ruangan sang bos. Keinginannya bertanya tentang kontrak kerja sang mantan pun sepertinya bisa ditanyakan saat inj. "Pak, saya mau tanya kenapa Pak. Gior membatalkan kontrak kerja bersama dengan perusahaan Pak Abdullah? "Gior menatap Zea yang seperti ketakutan. Namun bagaimana juga harus di tanyakan. "Bukannya kamu bilang jangan terima si farhat? Harusnya senang dong, bisa balas dendam bukan?"Zea kaget lalu kembali menatap ke arah sang bos. "Balas dendam apa? kok Pak bos bisa bicara hal itu?" tanya Zea. Gior pun terdiam, lupa jika dia salah bicara. " Bukannya dia hampir melecehkan kamu?"Zea mengangguk, dia ingin berterima kasih tapi takut dengan tatapan Gior seperti itu. "Sudah keluar saja kamu, jangan ganggu saya lagi.""Ba-baik." Zea gegas keluar dari ruangan Zio, pantas saja Dara mengamuk. tiga kontrak yang dibata
Selesai meeting, Aleta menghampiri Zea. Lalu seperti biasa ada aja yang di lakukan Aleta. Dirinya merasa begitu sangat kesal, mengapa Zea yang orang baru justru ia harus mendapatkan tempat dalam perjalanan ke luar kota ini. Seharusnya dirinya saja yang menemani sang atasan untuk pergi. Rasanya ia sudah benar-benar begitu sangat muak sekali, ia takut jika sampai tempatnya justru tergeser."Kamu itu tidak pantas untuk ikut keluar kota, anak baru saja sudah songong seperti ini."Aleta menatap sinis ke arah Zea. Kali ini Zea tak mau diam saja, dirinya pun memutar kata untuk membuat kesal Aleta. Cukup sekali Aleta mempermainkannya, ia tidak mau jika sampai rekan kerjanya itu semakin berbuat semena-mena. Selama ini ia diam karena dirinya menganggap sikap sikap Aleta akan berubah, tetapi sayangnya justru adatnya semakin keterlaluan saja."Kamu marah sama Pak Gior saja. Jangan sama aku, ngerti enggak?" Dea langsung saja menjawab perkataan dari Aleta yang benar-benar begitu sangat menyebalkan
Saat keluar toilet lagi- lagi dia masih merasa jengkel. Apalagi saat bertemu dengan Gior sang bos. Karena bosnya itu dirinya menjadi bahan gunjingan karyawan-karyawan yang lain, rasanya benar-benar begitu sangat menyebalkan sekali. Zea melewati saja saat Gior berhadapan dengannya. Tanpa tersenyum apalagi menyapa ia benar-benar merasa begitu sangat kesal. "Zea tunggu mau ke mana?" tanya Gior dirinya merasa begitu sangat heran mengapa justru dia melewatinya begitu saja. Tidak menyapa atau hal lainnya. Gior menarik lengan Zea hingga membuat netra Zea membulat. "Pak Gior, lepas!" Zea berbicara cukup keras sekali. Ia benar-benar merasa begitu sangat emosi dengan apa yang dilakukan oleh sang atasan. "Iya saya lepas. Kamu ke ruangan saya cepat sekarang!" Gior cukup terkejut karena Zea berani membentaknya seperti itu. Lalu ia pun langsung saja memberikan perintah. "Mau apa?" tanya Zea. "Kamu kenapa si uring-uringan? Bukannya kamu harusnya senang sudah bisa balas dendam dan ikut ke l