"Salah kamu jadi resepsionis pak Gior. Kamu tahu di sini hanya aku yang boleh dekat dengan dia!" Zea tertawa, lucu baginya melihat Aleta yang berbicara seperti itu. Dirinya bekerja hanya untuk mencari uang bukan untuk menggoda sang bos. Lagi pula dirinya juga sudah memiliki suami bukan, walaupun memang suaminya tidak tampan, tetapi ia tidak akan pernah menghianati suaminya. Cukup dirinya saja yang merasakan perselingkuhan itu, ia tidak mau orang lain merasakan bagaimana sakitnya diselingkuhi. Gio walaupun lelaki itu tidak tampan dan juga tidak bergelimang harta, tetapi ia berjanji untuk setia. Dirinya tidak akan pernah menghianati janji suci yang sudah diikrarkan oleh keduanya. Mungkin sekarang hanya suaminya lah yang menjadi sandaran ternyaman untuk dirinya, ayahnya tak peduli padanya, kasih sayangnya sudah hilang mungkin di mata ayahnya sekarang ia memang tidak berguna sama sekali. "Aku sudah memiliki suami. Jadi jangan takut," ungkap Zea. Zea menatap sinis ke arah Aletta. Dia m
Zea kembali ke mejanya, sembari mengingat sang suami. Dirinya mencoba menghubunginya tapi ponselnya tidak aktif.Dirinya benar-benar merasa begitu sangat kesal, karena memang suaminya itu sangat sulit untuk dihubungi. Apakah bosnya terlalu galak sampai-sampai suaminya Tidak bisa memegang ponsel ataupun mengaktifkan ponselnya."Kenapa sering sekali tidak aktif. Sesibuk itukah Mas Gio?" Dua kali sudah mencoba dan hasilnya nihil, akhirnya ia memilih untuk menetralkan diri lagi. Ia menghela nafas begitu sangat panjang begitu sangat lelah sekali akhir-akhir ini.Zea kembali berkutat dengan pekerjaannya. Dia tidak mau memikirkan apa pun selain urusan kantor. Namun, perlakuan Gior sang bos selalu membuatnya kesal. Dan takut. "Fokus-fokus Zea, kamu di sini untuk bekerja bukan untuk memikirkan yang tidak tidak!"Iya benar-benar merasa begitu sangat bingung, dirinya juga sangat lelah. Mengapa sih dirinya tidak pernah merasa nyaman di tempat kerja ataupun di rumah. Jika kedua tempat itu tidak
"Ada apa sih, Ma?" Pak Mansyur yang sejak tadi di telepon sang istri pun sudah sampai di rumah. lelaki yang usianya sudah tidak muda itu pun merasa begitu sangat heran tanda kumat karena istrinya terus saja menelpon dan meminta pulang. Melihat wajah istrinya pun langsung saja membuat ia merasa heran.Wanita berbaju hitam itu menghampiri suaminya dan menarik ke dalam kamar. dirinya tidak bisa berpikir sendirian maka dari itu ia langsung saja menghubungi suaminya, bu Layla benar-benar merasa begitu sangat pusing ia tidak mau jika harus mengorbankan anak kandungnya, lebih baik mengorbankan Anak Tiri yang tidak tahu diri itu.Pak Mansyur semakin bingung dengan apa yang sedang terjadi dengan istrinya "Ada apa, sih Ma?" tanya Pak Mansyur.Pak Mansyur sudah benar-benar merasa begitu sangat bingung, dirinya lelah lalu melihat tingkah istrinya yang aneh. Membuatnya merasa kembali berdenyut nyeri kepalanya."Juragan Teh datang. Dia minta untuk menikahi Zea atau Sella untuk menjadi istri ke 4
"Makanya jadi perempuan jangan sombong, Zea. Pas dilamar juragan teh ditolak, malah milih sama pria miskin dan jelek. Susah sendiri kan sekarang?” "Bayangkan coba kalau punya anak. Pasti di mukanya ada tompel juga, kayak bapaknya.” “Lah, iya. Aduh.” Tawa berkumandang. “Mendingan juragan teh waktu itu. Meski tua, tapi kan dia kaya.” “Bener. Yang ini juga, meski miskin, harusnya ganteng gitu. Paling nggak enak dilihat. Bukannya cupu dan lusuh begini.” “Kayaknya benar kata tetangga. Si Zea diguna-guna, makanya mau sama suaminya.” “Heh, guna-guna juga butuh duit. Suaminya kan miskin!” Zea hanya diam saja sembari menyiapkan nasi untuk Gio, suaminya. Ia mencoba tidak memedulikan ocehan ibu tiri dan kedua saudara sambungnya, sekalipun ia tahu dengan pasti bahwa mereka tengah mengejek sang suami yang baru saja menikahinya dua minggu yang lalu. Pernikahan Zea memang termasuk dadakan dan tiba-tiba. Ia pun sebenarnya belum terlalu lama mengenal Gio. Hanya saja, pria itu pernah menyelamatka
"Atau apa, Bu?" "Kupaksa Gio Menceraikan kamu dan kamu harus menikah dengan juragan teh!" Sang ibu mengancam Zea. Zea meremas ujung baju. Dia merasa jengkel dan kesal. Apa yang ibunya katakan membuat dirinya geram. "Bu, cukup! Apa salah aku? Kalian kenapa selalu memperlakukan aku tidak baik. Kalian pilih kasih, harusnya aku yang mendapatkan kasih sayang." Sebuah tamparan mengenai pipi Zea, Bu Layla tidak suka jika anak sambungnya ibu membantahnya. Untuk apa membicarakan kasih sayang jika tidak ada keuntungan. "Tampar saja lagi, aku sudah kebal. Bahkan, aku merelakan calon suami aku untuk Dara. Hanya karena Dara menyukai dia." "Heh, jaga mulut kamu! Farhat itu cintanya sama Dara. Lagi pula keluarga Farhat itu enggak suka sama kamu yang enggak berpendidikan. Dara lulusan S1, berpendidikan. Jauh sama kamu yang lulusan SMA doang," ujar Bu Layla. Zea tersenyum miris sembari memegangi pipinya yang merah. Lucu sekali ibu sambungannya itu, mentertawakan hal yang memang sudah d
"Non, ngapain di sini?" tanya Bi Romlah. "Biasa Bi, mereka kalau enggak nyuruh aku sehari aja kayanya enggak bisa. Apalagi Ibu, senang banget bikin aku repot." Zea menggerutu kesal. "Yang sabar, Non." Zea hanya tersenyum, dia senang berada di dekat Bi Romlah. Asisten pribadi di rumahnya yang sudah dianggap seperti ibu kandung. Bahkan, dulu saat dia sakit Bi Romlah yang merawatnya. "Aku juga enggak tahu kenapa nasib aku kaya gini." Sembari memotong sayur, Zea terus meluapkan isi hatinya. Terlebih saat semua orang mengejek suaminya yang katanya jelek dan hanya kuli bangunan. Zea paham, suaminya jauh dari kata tampan. Dia pun menyadari, tapi setidaknya jangan menghina. "Eh, Zea keluar dulu. Bantuin di depan, tuh ibu nya Farhat sebentar lagi datang." "Bu, di sini belum kelar," tolaknya. "Cepat sudah." Ditariknya Zea ke ruang tamu, dia melihat suaminya pun sudah ada di sana membantu ayahnya menyapu dan mengepel. "Aduh, Bang ngapain si," ujar Zea yang langsung m
Pagi-pagi sekali Zea sudah membuat sarapan , Gio memintanya membuatkan bekal telur ceplok dan nasi karena katanya hari ini ada pekerjaan pagi-pagi sekali. Dia tidak mau membuat suaminya kelaparan pagi hari dan sepertinya pekerjaan Gio akan sangat melelahkan. Zea sejak malam sudah membawa telur satu butir ke kamar agar tidak di sembunyikan oleh Ibu sambungnya atau siapa pun yang ada di rumah itu. Pengalaman yang pernah ada, di rumah sendiri seolah-olah dia yang sendang menumpang di rumah itu. "Non, masih pagi tumben?" Bibi bertanya heran. "Mas Gio meminta aku membuatkan dia telur dadar, mau bawa ke tempat kerjanya. Mungkin ada ngerapiin rumah." Zea tersenyum sembari mengambil minyak untuk menggoreng. Melihat Zea yang seperti bukan di rumahnya sendiri, Bibi merasa iba. Harusnya Zea itu menjadi Nona yang hanya duduk dan dilayani. Namun, semua berakhir saat ibunya meninggal dan ayah kandungnya membawa ibu sambung yang menyeramkan seperti Bu Layla. "Heh, Zea. Kamu lagi ngapain
Zea bingung dengan suaminya, mungkin Gio tidak mau dirinya terlalu lelah dengan pekerjaan baru. Namun, Zea mencoba menangkan suaminya jika dirinya akan baik-baik saja dan tidak lelah. Demi mendapatkan tambahan uang, bahkan agar tidak di hina terus menerus. Jika dia bekerja di tempat bagus pun mungkin gaji akan lebih besar. "Mas, kenapa?" Zea bertanya karena melihat wajah Gio yang berbeda. "Eh, enggak. Kaget aja, bukannya itu kantor besar, kamu mau melamar mau menjadi apa?" tanya Gio. Sedikit masam, Zea pun malah terdiam. Mendengar ucapan suaminya membuat dia sadar jika memang gedung besar itu tempat orang pintar dan berpendidikan tinggi. Mungkin, dirinya hanya pantas menjadi SPG di mall saja. atau buruh cuci Seperi yang sering di katakan oleh keluarganya. Zea tidak jelek, hanya saja mereka selalu meremehkannya. "Kok masam, maksud Mas enggak merendahkan kamu. Tapi, hanya bertanya apa ada lowongan juga buat Mas. Kali aja Mas yang kerja kamu tetap jaga toko di mall," ujar Gio.