SUAMI WARISAN
09 – ORANG KAYA BARU
Jadi begini rasanya jadi Orang Kaya Baru.
Rengganis tersenyum dalam hati saat ia menerima pesan balasan dari Ibu Pemilik Kontrakan.
Makasih, Neng Anis, transferannya udah diterima. Silakan masuk lagi ke dalam rumah – Ibu Kontrakan.
Biasanya Rengganis memilih untuk masuk ke dalam rumahnya di malam hari, agar tidak ada tetangga yang melihat dan menyapanya. Tapi kali ini berbeda, ia bergegas pergi ke rumahnya dengan mengendarai sepeda motor baru.
Saat melaju di dalam gang sempit yang penuh dengan anak-anak yang bermain, Rengganis sedikit kesulitan mengendarai motornya, maklum masih baru, jadi masih kagok. Dia takut menabrak atau menggores motornya yang masih gres.
Bocah-bocah yang tidak punya tempat untuk bermain itu berlarian di sepanjang jalan sempit dan padat. Orang berjalan lalu lalang sementara Rengganis berusaha berkonsentrasi untuk berkendara. Ya ampun, hendak masuk ke dalam rumah kontrakannya saja susahnya minta ampun.
“Eh, Neng Anis! Baru pulang, Neng? Dicariin tuh sama si Ibu!”
Duh, Rengganis meringis di balik helmnya. Betuk badannya yang khas sangat dihapal oleh ibu-ibu gang sempit yang sudah mengenalnya selama tiga tahun mengontrak rumah di lingkungan itu.
Siapa juga yang tidak menyadari keberadaannya? Rengganis praktis menghabiskan jatah ruang untuk dua kali orang dewasa.
Belum sempat Rengganis menyahut sapaan tetangganya, ibu yang doyan gosip itu melanjutkan, “Wah, motor baru ya, Neng? Kinclong bener!”
Kali ini Rengganis menjawabnya dengan senyuman lebar dan balas menyahut, “Iya, dong, Bu. Alhamdulillah ada rejeki kebeli motor baru.”
Tidak berselera melanjutkan obrolan, Rengganis kembali melaju meninggalkan tetangganya. Dia berseru pada anak-anak itu, “Awas, awas! Mau lewat!”
Bagaikan Nabi Musa yang membelah Laut Merah, Rengganis meluncur membelah kerumunan anak-anak yang badungnya minta ampun itu. Jiwa mereka yang bebas dan hasrat untuk bermain terkendala oleh terbatasnya ruang bermain anak, tapi mereka tidak habis akal, gang-gang sempit yang berkelok-kelok di antara lautan gedung pencakar langit mereka jadikan tempat bermain; main bola sepak, lompat tali sampai petak umpet. Apa saja jadi, yang penting berkeringat dan teriak-teriak.
Kadang kala, saking berisiknya, Rengganis sampai harus mengungsi ke café untuk menyelesaikan gambar rancangannya. Pulang setelah diusir dengan halus oleh pelayan café, yang berdoa dalam hati semoga si Mbak gendut ini beli lebih banyak camilan di kemudian hari.
Tapi dasar Rengganis adalah seorang desainer yang bokek, dia hanya memesan segelas besar latte dan sepotong Tiramisu. Jika lapar, diam-diam dia akan mencuil potongan roti yang ia seludupkan di tasnya.
Ah, kalau diingat masa-masa suram itu Rengganis ingin menangis rasanya. Tapi sekarang keadaannya sudah berbeda. Situasi keuangannya yang seringkali sulit kini bisa ia lewati. Buktinya, dia bisa melunasi utang-utangnya.
Sekarang dia bisa leluasa masuk ke dalam rumah kontrakannya tanpa rasa bersalah karena menunggak bayaran.
Malah, dia bisa melenggang dengan motor barunya.
Rengganis merasa sedikit lebih percaya diri saat ia memarkirkan motornya di depan teras. Dia menghembuskan napas puas sambil melepaskan helm-nya. Setelah mengaitkan helm di atas spion, tiba-tiba saja Rengganis terdiam.
Rasanya ada yang kurang.
Perasaannya mengatakan ada yang terlewat.
Tapi apa?
Rengganis mengecek perlengkapannya; tas, dompet, kunci, ponsel. Semua ada.
Lalu apa yang kurang?
Rengganis celingukan sendiri, mengamati dirinya sendiri. Tingkahnya yang seperti orang kehilangan sesuatu menarik perhatian orang yang lewat depan rumahnya.
“Neng, lagi nyari ape?” seorang ibu bertubuh gempal, hampir mirip dengannya, melongok dari balik pagar yang tingginya di bawah dagu.
Rengganis mendongak, “Oh, Bu Entun… lagi nyari yang enggak ada, Bu.”
“Lah?” Bu Entun yang campuran orang Betawi dan Sunda ini membelalakkan matanya, mendadak saja silau dengan kemilau motor baru Rengganis, “motor baru, Neng. Keren, tuh!”
Lagi-lagi Rengganis hanya bisa tersenyum, kedua tangannya sibuk menepuk-nepuk kantung celananya, memastikan ia tidak kehilangan sesuatu.
“Nyari kunci rumah, Neng? Tuh, ada di tangannya.” ujar Bu Entun yang berusaha membantu Rengganis pada misinya mencari sesuatu yang hilang.
“Oh,” Rengganis membuka telapak tangannya, dia menatap kunci itu dan tertegun.
Kunci rumah?
Rengganis menatap rumah kontrakannya. Sepertinya bukan ke sini seharusnya dia pergi.
Sumpah, suer, Demi Tuhan! Seharusnya dia tidak ke sini!
Tapi ke mana?
Sebuah suara menggema dalam ingatannya.
“Saya ingin pertemuan kita menjadi pertemuan yang sempurna.”
“Aaahhh…!” seru Rengganis keras. Bu Entun sampai terlonjak saking kagetnya.
Seraut wajah muncul dalam kepalanya, disusul kemudian kalimat yang samar-samar berdenging di telinganya.
“Saya juga tidak ingin situasinya seperti ini. Jadi lebih baik, kita ulangi sekali lagi.”
Kampret! Sialan!
Rengganis misuh-misuh dalam hati, ia bergegas memakai kembali helm-nya. Gerakannya yang buru-buru memundurkan motornya keluar dari halaman yang sempit – hanya sepetak tanah yang muat untuk satu buah motor – membuat Bu Entun jadi ikutan heboh.
“Eh, Neng, mau kemane? Bentar lagi Ashar!”
Ashar! Benar, kemarin dia sampai di lokasi sekitar Azan Ashar. Sekarang malah dia baru jalan pas Ashar.
Ah, benar-benar sial. Dia bisa kemalaman di jalan!
Rengganis menyalakan motornya, dia duduk di atas jok yang langsung melesak menahan beban berat badannya.
“Bu, saya jalan dulu, ya…! Salamlekum!” Rengganis melambai pada Bu Entun dan melajukan motornya kembali mengarungi lautan anak-anak di gang sempit itu.
“Eh, iya, Neng, ati-ati di jalan!” Bu Entun terbengong melihat tingkah tetangganya yang aneh itu. Beliau bergumam, “ah, padahal mau ngajakin makan seblak bareng!”
*
Bisa dibilang Rengganis telah resmi jadi Orang Kaya Baru berkat tambahan nominal di rekeningnya yang kini ikutan menggendut seperti tubuhnya.
Tapi saking iritnya, Rengganis belum berani untuk membeli mobil dengan uang warisannya. Lagipula dia belum punya SIM A.
Rengganis sudah cukup puas dengan kendaraan barunya. Motor keluaran terbaru yang ia pacu dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan menuju perbatasan Bogor-Sukabumi.
Setengah perjalanan, perutnya berkeriuk minta diisi. Rengganis menepikan motornya di depan sebuah warung Mie Ayam. Dia mengecek jam tangannya, masih ada waktu untuk mengganjal perut. Semoga saja dia bisa sampai di rumah warisannya sebelum matahari tenggelam.
Tukang Mie Ayam menyambutnya dengan sukacita, “Pesen berapa mangkok, Neng?”
Rengganis duduk di salah satu kursi plastik dan menjawab sambil lalu, “Dua, Bang. Sayurnya yang banyak.”
“Ashiaaapp…!” Tukang Mie Ayam bergegas membuatkan pesanan bagi pelanggan barunya.
Sementara itu Rengganis membuka ponselnya. Matanya melirik penunjuk waktu, tanggal 5 jam 16.35 WIB.
Ih, tuh ‘kan bener. Balik lagi ke tanggal 5!
Ada apaan sih sama tanggal 5?
Nih cowok beneran psycho ya, sampai-sampai ngulang-ngulang waktu kaya orang kurang kerjaan! gerutu Rengganis sebal. Bisa kurus gue kalau diputer-puter begini!
“Mbak, mau minum apa?” pertanyaan dari asisten Tukang Mie Ayam mengagetkan Rengganis.
“Eh, ada apa aja?”
“Banyak, Mbak. Aer kobokan juga ada, hehe…”
Kurang ajar, hari ini nyebelin banget. Keluhnya dalam hati.
“Es campur ada?”
“Ada.”
“Jus jeruk ada?”
“Ada, dong!”
“Alpukat?”
“Kocok ‘pukat asooyy…!”
“Teh Botol?”
“Yuhu~”
“Ya udah deh, Es teh manis enggak pake gula!”
“Lah?”
“Bikin dua, ya!” perintah Rengganis sambil mengulum senyumnya. Rasain lu, emangnya enak dikerjain!
Tukang Mie Ayam ikut-ikutan terkekeh sambil menaruh semangkuk porsi Mie Ayam di meja depan Rengganis, “Yang satunya lagi mau pake ceker, Neng?”
“Pake dong, Mang!” seru Rengganis heboh, tangannya menarik sepasang sumpit dari baki sendok. Dia tersenyum senang saat mengaduk mie dengan limpahan potongan ayam yang aromanya menggugah selera.
Kali ini, Rengganis tidak akan mengirit. Khusus untuk makanan, dia tidak pernah bisa irit!
*
SUAMI WARISAN10 – Pertemuan yang SempurnaSenja kala turun perlahan, untaian kidung dari kicauan burung-burung yang terbang rendah dari satu pohon ke pohon lain membelai sukma.Mata Rengganis memandang berkeliling. Secara teknis, ini pertama kalinya ia melangkahkan kaki di rumah ini, tapi sebenarnya dia sudah pernah ke sini.Dua kali malah.Tapi setiap kali suasananya terasa berbeda; yang pertama terasa mencekam, yang kedua terasa membingungkan dan yang sekarang, dia berharap semuanya berjalan lancar kali ini.Rengganis mengalihkan pandang dari suasana di luar teras saat langkah-langkah kaki terdengar mendekat. Punggungnya menegang, ditariknya tulang belakangnya hingga berdiri tegak.Rengganis bersiap-siap akan kedatangan orang itu.“Nyai.”Panggilan itu terdengar akrab di telinganya. Ini hari ketiga pengulangan waktu tanggal 5. Sekali lagi lelaki ini membawanya memutar waktu, ia akan mem
SUAMI WARISAN 11 – Rahasia Sehidup-Semati Sebuah kelebatan di halaman depan teras menarik perhatiannya. Narendra membuka matanya, kedua tangannya masih memegangi wajah Rengganis yang larut dalam ciuman mereka. Dia mengerjap dan bayangan itu menjelma menjadi seseorang. Narendra tersentak. Refleks, dia melepaskan ciumannya. Sebelah tangannya menarik Rengganis mendekat padanya dengan sikap protektif. Perempuan itu kaget saat Narendra menariknya ke dalam pelukan. Tangan Narendra yang besar dan hangat memegangi kepalanya. Walau kebingungan, Rengganis tetap tak bergerak, dia bisa merasakan perubahan atmosfer dalam ruangan, juga sikap dari Narendra. Semua otot-ototnya menegang, lelaki itu berdiri tegak dengan sikap sempurna. “Sampurasun ….” Tubuh Rengganis tersentak, semua bulu romanya menegang, jantungnya bertalu-talu di dada. Suara itu melayang memasuki gendang telinganya dan membuat semua sar
SUAMI WARISAN12 – Sang Manusia Abadi“Tunggu. Tunggu.”Rengganis mengangkat tangannya meminta time-out. Dia merogoh kantong celananya dan mengeluarkan ponsel.Sial!Sinyalnya hanya ada dua bar.Rengganis mencoba membuka aplikasi mesin pencarian dan mengetik ‘Linggabuana Wisesa Kerajaan Sunda’Kakinya mengetuk-ngetuk lantai sementara ia menunggu website memuat hasil pencariannya. Matanya melirik Narendra yang terlihat tenang. Rengganis menggeleng-geleng sambil memegangi ponselnya erat-erat.Maksudnya lelaki ini datang dari masa lalu?Apa saat ini dia yang pergi ke masa lalu?Rengganis mengangkat kepalanya dan menoleh ke jendela. Senja sudah sepenuhnya turun, digantikan oleh pekatnya malam. Suara binatang malam sayup-sayup terdengar dari balik tembok. Semilir angin berhembus dari kisi-kisi jendela yang dibiarkan terbuka.Prabu Linggabuana
SUAMI WARISAN 13 – Kidung Sunda Setelah kenyang dengan bakakak ayam juga informasi yang mengejutkan dari Narendra, Rengganis terduduk di ruang baca yang lebih mirip perpustakaan. “Ini ruang kerja Nirmala.” ujar Narendra sambil menaruh segelas teh panas di atas meja. Iya, dia pernah ke sini sebelumnya. Rengganis mendongak, memerhatikan sekeliling. Sepanjang mata memandang, dia melihat deretan buku di mana-mana. Bau kulit sampul buku bercampur dengan kertas lama menggantung di udara. Menciptakan aroma nostalgia. Rengganis menghirup aroma itu dalam-dalam. Dia suka segala sesuatu yang punya nilai sejarah. Dia suka kain tua, perabotan tua, buku tua, lelaki yang lebih tua …. matanya mengerling pada Narendra. Lelaki ini jauh dari kata tua. Sama sekali tidak tua. Tidak ada kerutan, tidak ada gelambir, tidak ada uban. Tubuhnya tegap, kulitnya kencang, ototnya liat. Tidak akan ada yang menyangka kalau Naren
SUAMI WARISAN14 – Pesta DadakanSaat kaget, tubuh biasanya akan bereaksi dengan memunculkan gejala seperti jantung berdebar, keringat dingin, napas cepat dan pendek, mata terbelalak atau bahkan pingsan.Reaksi ini sekarang dirasakan oleh Rengganis. Tapi untungnya dia tidak sampai pingsan.Otaknya perlahan menyatukan puzzle-puzzle yang bertebaran, berusaha menyatukan keping demi keping puzzle menjadi gambaran yang jelas.Narendra dari Pajajaran adalah orang dari masa lalu; seorang patih di Kerajaan Sunda, seorang manusia yang bersemedi tapi tidak mencapai moksha, seorang lelaki yang bertanggung jawab atas kehidupan alam di sekitarnya. Gunung, sungai, danau dan hutan yang mengelilingi rumah ini berada dalam pemeliharaannya.Dia bukan sembarang manusia.Dia bukan seorang lelaki biasa.“Nyai.” Panggilan Narendra menarik Rengganis dari alam bawah sadarnya, dia mengerjap kaget, berjengit saat Narendra
SUAMI WARISAN15 – Tukang TipuTiga jam sudah berlalu, tapi para cewek-cewek ini belum ada tanda-tanda hendak pergi.Rengganis gemas, dia mengecek jam tangannya. Jarum jam menunjukkan hampir tengah malam. Musik masih berdentam dan mereka tidak berhenti mengoceh.Rengganis keluar dari kamarnya dan melihat pemandangan khas pesta anak muda. Musik disetel dengan volume keras, gelas-gelas minuman cola tersebar di mana-mana, mangkuk camilan, asbak rokok dan bungkus permen berantakan di atas meja.Beberapa orang duduk bergerombol; di ruang tamu, ruang TV, meja makan sampai dapur. Rengganis mencari-cari di sekeliling ruangan, tapi tidak menemukan Narendra sama sekali. Dia sampai pergi ke halaman belakang yang sepi. Tidak ada batang hidung sang Patih Kerajaan Sunda.Huh, Patih macam apa yang malah memanfaatkan anak-anak ingusan ini?Mereka harus segera enyah dari sini, pasti para orang tua mereka cemas anak gad
Suami Warisan 16 – Kehilangan Energi “Nyai, Nyai. Tolong dengar dulu ….” Narendra tergopoh-gopoh sambil meringis mengikuti langkah Rengganis yang berderap menuju ruang tengah. Sebelah tangannya memegangi selangkangannya yang masih berdenyut-denyut. “Nyai, maafkan saya ….” Rengganis menghentikan langkahnya tiba-tiba hingga Narendra hampir menabrak punggungnya. Untung saja lelaki itu cepat menahan langkahnya. Refleks, dia berdiri sambil menutupi selangkangannya dengan sikap protektif. Dia berdiri tegak, waspada terhadap amukan dari perempuan gendut yang punya stok kekuatan otot ini. “Kamu tau enggak apa sebutan bagi kelakuan kamu tadi?” tanya Rengganis sambil menyipitkan matanya. “A… pa?” tanya Narendra, dia sengaja mengedarkan pandangannya kecuali menatap Rengganis yang sepertinya semakin lama semakin menggembung oleh amarah. “Pedofil!” seru Rengganis keras membuat Narendra terlonjak dari posisinya. “Apa?”
Suami Warisan17 – Tur Rumah WarisanMeja makan sudah siap.Narendra sedang duduk menunggu di meja makan saat Rengganis datang ke ruangan.Dia tersenyum. Sudut matanya berkerut dan manik matanya bercahaya. Lelaki itu terlihat tampan dan segar.“Good morning,” sapa Rengganis sambil menarik kursi dan duduk, matanya memandang hidangan di atas meja. Saat ini dia cukup lapar, semalam energinya terkuras gara-gara marah-marah.“Silakan dicoba, Nyai.” ujar Narendra sambil mendorong piring-piring makan. Sarapan yang disediakan kali ini cukup sederhana; nasi uduk dan lauk pendampingnya.Tanpa banyak bicara, Rengganis langsung menyendok makanannya. Di dalam pikirannya, dia sibuk berpikir.Sementara Narendra ikutan sibuk mengintip isi kepala perempuan itu. Mereka makan dalam diam, sampai akhirnya Rengganis bergumam, “Siapa yang masak?”“Huh?” Narendra menoleh. Dia b
KEKASIH AKHIR PEKAN Sekuel of Suami Warisan by Serafina Di umurnya yang telah menginjak angka 25 tahun, Sasikirana belum pernah pacaran. Dulu dia bersekolah di rumah karena sering berpindah-pindah hingga membuatnya kesulitan untuk bersosialisasi. Namun sekarang, Sasi seorang kurator galeri seni yang andal. Suatu hari, Sasi diminta Direktur Galeri untuk membuat pameran seorang pelukis misterius. Sasi berhasil menemukan alamatnya di pedesaan yang terpencil. Di sana dia bertemu sang pelukis. Tak disangka, di pertemuan pertama mereka, lelaki itu malah menawarinya untuk jadi kekasihnya setiap akhir pekan. Apakah Sasi menerima tawarannya? “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu jadi kekasihku setiap akhir pekan?” -SNIPPET KEKASIH AKHIR PEKAN- “Aku tau kamu kesepian, aku juga. Jadi maukah kamu menjadi kekasihku setiap akhir pekan?” Sasi memandang lelaki yang berdiri di ha
SUAMI WARISAN 175 – Sailendra [TAMAT] -EMPAT TAHUN KEMUDIAN- Diri kita bisa pulih sekaligus merasa hancur di waktu yang bersamaan. Pulih adalah perjalanan yang melibatkan penerimaan atas diri selagi kita hancur, berbenah kemudian membangun kembali diri kita. Waktu menjadi satu-satunya obat bagi Rengganis. Menit berganti jam, kemudian hari berubah jadi minggu sampai tak terasa tiga tahun sudah berlalu. Bayi mungil itu kini tumbuh menjadi balita yang menggemaskan. Celotehannya menceriakan ruangan, derap langkah kakinya menggemakan keriuhan yang hanya berjeda ketika dia memejamkan mata. “Gimana kabarnya?” pertanyaan itu tidak pernah alpa ditanyakan Mahesa setiap kali dia menelepon Rengganis. “Baik.” Rengganis tersenyum sambil melirik lelaki kecilnya yang berlarian di sekeliling ruangan “makasih kadonya, ya. Dia seneng banget…” Terdengar tawa Mahesa di seberang telepon, “Ya, begitu liha
SUAMI WARISAN 174 – Lembaran Baru Gemuruh guntur terdengar di kejauhan. Kilatan cahaya memantul di atas kaca jendela. Rengganis buru-buru menutup tirai jendela, udara terasa pengap ketika awan hitam menggumpal di atas langit Jakarta. Bayinya terbangun, matanya yang bulat mengerjap-ngerjap sementara badannya bergerak-gerak gelisah. Rengganis tersenyum kemudian mengangkat bayinya dari boks “Cup, cup, Sayang …. Kaget, ya?” Bayinya tak banyak menangis. Hanya sesekali gelisah dan merengek ketika popoknya basah. Dia begitu tenang, begitu mirip dengan ayahnya. Rengganis menimang-nimang bayinya, matanya lekat memandangi setiap inci wajah bayi lelaki yang paling tampan itu. Semakin dilihat, semakin terlihat jelas kemiripan antara buah hatinya dan Narendra. Hidungnya …. Matanya …. Caranya menatap mengingatkannya pada lelaki itu. Bayi yang baru berusia beberapa bulan itu bagaikan pinang dibelah dua dengan lelaki yan
SUAMI WARISAN173 – Terputus KutukanMak Saadah yang sudah renta masih mampu naik ke gunung untuk mencari kayu bakar. Tubuhnya yang kurus terbakar matahari tidak pernah meninggalkan gunung yang selama ini menjadi sumber penghidupannya.Walaupun anak-anaknya kerap kali mengingatkan untuk berhenti mencari kayu bakar karena di rumah sudah ada kompor gas, namun Mak Saadah tidak menghiraukan omongan anak-anaknya. Ada kesenangan sendiri berada di hutan gunung.Hidup di desa yang berubah sangat cepat membuat Mak Saadah kewalahan. Cucu-cucunya tidak mau diajak ke kebun apalagi ke hutan, mereka lebih senang diam di rumah dengan hapenya, bermain game dan marah-marah jika kuotanya habis.Daripada pusing mendengar cucu dan menantunya bertengkar soal kuota internet yang tak dimengerti olehnya, Mak Saadah memilih pergi ke hutan. Perasaannya mengatakan bahwa di sana ada sesuatu yang sedang menunggunya.“Mau kemana, Mak?” tan
SUAMI WARISAN 172 – Perpisahan & Kebenaran Tak pernah sekalipun terlintas dalam benak Rengganis – begitu pun dengan orang tuanya – bahwa dia akan bercerai secepat ini, padahal pernikahan mereka masih seumur jagung. “Tapi masih mending lu, Kak. Daripada Kim Kardashian yang cuma nikah 72 hari.” Maya berusaha membesarkan hati Rengganis, namun tidak mempan. Rengganis masih mellow. Dulu dia memang berniat untuk menceraikan Mahesa dan memilih Narendra, namun sekarang Narendra tak tentu rimbanya. Dia ingin marah, namun tidak tau diarahkan kemana amarahnya itu. Sejak kepulangannya dari RS, kemudian tinggal kembali di kamarnya, tak sehari pun Rengganis melewatkan sehari tanpa menangis. Papa dan Mama jadi serba salah. Mereka sudah berusaha menghibur Rengganis, namun masih suka mendengar isak lirih anaknya itu di malam hari. Walau pada pagi dan siang harinya Rengganis bisa menutupi kesedihannya, tapi di malam ya
SUAMI WARISAN171 – Binasa-FLASHBACK-Mobil yang dikendarai Narendra seolah tidak punya rem. Lelaki itu melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi, terburu-buru seperti dikejar setan.Dia keluar dari rumah sakit, terus masuk ke tol kemudian ngebut menuju hutan. Menurunkan kecepatan jika lalu lintas padat, namun setiap ada kesempatan, Narendra terus menginjak gas.Sang Akang baru berhenti ketika sampai di depan rumah warisan.Lelaki itu masuk ke dalam rumah, menaruh beberapa barang di kamarnya, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.Kali ini dia pergi menuju hutan. Masuk ke dalam, terus ke tengah, meleburkan diri di antara rapatnya pepohonan. Tanpa bekal, tanpa persiapan. Hanya baju yang melekat di badan.Ingatannya yang masih segar menjadi modalnya untuk menyusuri jalan setapak yang dahulu mudah dia susuri. Sekarang, setelah kekuatannya menghilang, Narendra hampir kehabisan napas untuk mencapai tujuan.
SUAMI WARISAN170 – Hiduplah, Berbahagialah Beberapa saat yang lalu, di ruang operasi ….Sekelompok orang yang terdiri dari dokter utama, dokter anestesi, asisten dan perawat mengelilingi meja operasi.Tubuh Rengganis tergolek di atasnya. Tak sadarkan diri namun sedang berjuang untuk melahirkan bayinya.Sementara itu di balik kaca jendela, berdesakan dokter-dokter muda yang menonton proses kelahiran. Mereka mengamati setiap tindakan dengan cermat, tak lupa mencatat untuk laporan.Semua orang gugup, juga bersemangat.“Coba perhatikan tekanan darahnya, kelihatannya normal, kaya orang tidur gitu, ya?” bisik seorang calon dokter spesialis, dia menyenggol temannya agar melihat angka yang menunjukkan tekanan darah Rengganis.“Iya, luar biasa. Kekuatan seorang perempuan yang melewati masa kritis kemudian melahirkan dalam keadaan koma. Ini jarang banget di Indonesia!”&ld
SUAMI WARISAN 169 – Kelahiran -Beberapa Bulan Kemudian- “Pa, uangnya masih ada untuk biaya lahiran Rengganis?” tanya Mama dengan suara khawatir. Papa yang baru saja masuk ke kamar dengan handuk terlilit di pinggangnya mengangguk, “Masih banyak. Cukup untuk biaya Rengganis lahiran dan biaya hidup mereka.” Terdengar helaan napas lega dari Mama yang duduk di atas ranjang. Di sekitarnya tersebar tagihan rumah sakit, laptop dan kalkulator. Mama sedang sibuk menghitung biaya rumah sakit Rengganis dan biaya hidup mereka. “Untung saja si Narendra ini ngasih uang ya, Pa. Kalau enggak, aduh… Mama enggak tau apa jadinya nasib Rengganis sama bayinya.” Mama membetulkan letak kacamatanya kemudian menyipit memandang layar monitor laptop “ini gimana sih bikin rumusnya?” Papa membuka pintu lemari untuk mengambil baju. Pikirannya melayang kembali pada peristiwa sepeninggal Narendra. Kondisi Rengganis
SUAMI WARISAN 168 – Satu Menit Saja Sepeninggal Papa, Narendra menunggu dengan jantung berdebar sampai waktu bezuk tiba. Dia duduk di kursi panjang, terpisah dari orang-orang yang juga menunggui anggota keluarga mereka yang dirawat di ICU. Lelaki itu tertunduk memandang kedua tangannya di atas lutut. Matanya terpejam sementara bibirnya komat-komit. Pak Wawan yang penasaran dengan sosok lelaki yang terasa familiar itu tidak bisa lepas memandangi Narendra. Lelaki paruh baya yang mendengar cerita mengenai keributan tempo hari yang melibatkan keluarga Rengganis dan Narendra, tidak habis pikir kenapa lelaki yang bukan suami wanita yang terbaring koma di ICU itu bertahan terus di RS sementara lelaki yang katanya suaminya malah datang dan pergi dengan penampilan perlente. Seakan tenang-tenang saja dengan keadaan istrinya yang sedang koma. “Sepertinya cerita mereka lebih daripada perselingkuhan biasa…” gumam Pak Wawan tanpa sada