"Kamu menyuruhku tidur di lantai?" tanya Langit pada istrinya. Posisinya saat ini, Langit terduduk di atas peraduan. Sedangkan Rintik masih berbaring seraya menatap wajah suaminya. Tak lama, Rintik membuang pandangan ke arah lain dan kembali membelakangi Langit."Tentu saja. Itu sudah menjadi kesepakatan kita."Langit tidak habis pikir dengan ucapan Rintik. Ia kira dengan adanya ibu di rumahnya akan menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Tetapi Langit salah. Rintik tetap pada pendiriannya bahwa mereka tidak bisa tidur dalam satu ranjang. Akhirnya Langit mengalah. Ia mengambil sebuah selimut tebal dari dalam lemari dan menggunakannya sebagai alas tidur.***"Kenapa kamu, Nak? Wajahmu kusut sekali?" tanya Sasmi pada putranya ketika melihatnya baru sd aja keluar dari kamar. Rintik yang sudah berada di meja makan ikut menoleh ke arah suaminya."Tidak apa-apa, Bu. Hanya kurang tidur saja," jawab Langit asal."Loh? Kok bisa kurang tidur?"Rintik dan Langit sempat beradu pandang sesaa
“Coba deh, kalian pikir. Jika yang terjadi seperti apa yang diceritakan oleh Rintik, artinya pengemudi mobil itu memang sengaja menabrak Rintik. Atau opsi lain pengemudi itu sedang mabuk," tutur Angel seraya memandang kedua sahabatnya secara bergantian.Langit dan Rintik mencerna ucapan Angel yang penuh kemungkinan. “Jika memang benar hal itu disengaja, siapa dan kenapa dia melakukannya? Apa orang itu memiliki sebuah dendam terhadapku?” tanya Rintik.Angel mengedikkan bahunya menanggapi pertanyaan Rintik. Kemudian berkata, “Jika demikian, hanya ada satu orang yang patut di curigai." Pandangan Langit beralih pada istrinya, begitu juga sebaliknya“Apa itu mungkin?” Langit merasa tidak yakin dengan ucapan sahabatnya itu.“Apa yang tidak bisa dilakukan oleh wanita ular sepertinya?” Angel menatap sepasang suami istri itu secara bergantian. “Merebut suamimu saja dia bisa,” gumam Angel yang dapat didengar oleh Rintik. Ia tidak mengatakannya dengan lantang karena menjaga perasaan Langit.Rin
Kedua pria yang tengah berseteru itu menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan berpenampilan modis itu berjalan menghampiri kedua pria itu. Tentu saja dengan sorot mata tajam.Langit merasakan jika akan ada perdebatan yang akan terjadi dengan datangnya ibu dari Reka. Ia berniat untuk segera meninggalkan tempat itu."Jadi karena wanita itu?" Suara Margaret menggema di seluruh koridor. Benar saja, yang Langit takutkan terjadi. Margaret menatap putranya dengan wajah penuh emosi.Pandangan Margaret dialihkan pada Langit. Kemudian berjalan mendekat pada pria itu."Untuk apa kamu terus menyeret putraku untuk bertemu dengan wanita itu. Bukankah kalian sudah menikah? Lagipula menantuku akan segera melahirkan. Reka harus menemani istrinya yang sedang berjuang untuk memberikanku seorang cucu. Urus saja wanita itu sendiri–""Saya tidak pernah menyeret putra anda untuk bertemu dengan istri saya. Saya juga mampu mengurus istri saya dengan baik. Untuk apa melibatkan orang yang tidak
Rintik dan Langit menoleh ke asal suara. Mereka sudah berada di depan rumah sakit dan menunggu mobil jemputan mereka.Langit dan Rintik menatap dua orang wanita dengan sebuah kereta bayi tengah menatap mereka dengan tatapan sinis. Rintik meminta Langit untuk menurunkannya. Rintik mencoba berdiri meski tertatih. Langit merangkul pinggang Rintik untuk membantu keseimbangan Rintik."Kalian pikir dunia ini milik kalian? Di tempat umum mesra-mesraan seperti orang tidak tahu malu saja," sinis Margaret pada keduanya.Iren menatap keduanya dengan tatapan sinis lalu berkata, " Kalian pikir hanya kalian saja yang bahagia? Lihat! Aku dan Mas reka juga bahagia. Karena anak kami telah lahir. Benarkan, Mami? ucap Iren meminta pembenaran dari ibu mertuanya."Tentu saja. Setelah sekian lama menantikan seorang cucu, akhirnya semua itu terwujud. Lihat, betapa cantiknya cucuku ini."Bersamaan dengan itu, sebuah mobil sedan hitam muncul di hadapan mereka. Rintik paham betul siapa pemilik dari mobil terse
Jika terus-terusan seperti ini aku tidak tahan, Mih!" keluh Iren pada ibu mertuanya ketika wanita itu berkunjung."Semua aku yang kerjakan. Pekerjaan rumah, bayi. Semuanya! Mas Reka hanya pulang untuk berganti pakaian lalu pergi lagi." Iren meluapkan kekesalannya pada ibu mertuanya."Ya, memang seperti itu jika menjadi seorang ibu. Kamu harus–""Lama-lama aku stress Mih. Apalagi kalau anak ini menangis. Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang. Membuatku sakit kepala."Margaret menggendong bayi yang baru berusia beberapa hari itu. Merasa bahagia karena keinginannya memiliki seorang cucu sudah terwujud."Ren, sepertinya anakmu lapar ingin minum susu. Cepat susui sebelum menangis," pinta Margaret pada menantunya."Tidak bisa, Mih. Buatkan saja susu formula. Ada di meja sana," ucap Iren dengan nada kesal."Lebih baik diberi asi daripada susu fo–""Itu juga susu termahal yang aku beli. Aku tidak mau bentuk tubuhku berubah hanya karena menyusui bayi. Aku tidak mau jika nanti Mas Reka meli
"Aku tahu jika itu sulit, tapi setidaknya kamu juga harus berusaha. Kamu harus tahu, tidak ada pria sebaik Langit."Kata-kata itu selalu terngiang dalam pikiran Rintik. Ucapan Angel tentang penilaiannya terhadap langit. Sejujurnya, Rintik pun tidak memungkiri hal tersebut. Langit memang pria yang baik meski banyak cerita di masa lalunya.Ia masih duduk termenung menunggu kepulangan suaminya. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda pria itu kembali."Apa aku telepon saja?" Rintik menimbang-nimbang ingin menghubungi Langit untuk menanyakan kabarnya. Seharian ini Langit tidak memberikan kabar apapun pada Rintik. Tidak seperti biasanya.Belum sempat Rintik menekan ikon hijau pada nama kontak Langit, sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Dan Rintik tahu jika mobil itu adalah milik suaminya. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke belakang membentuk sebuah lengkungan."Kamu belum tidur? Kamu menungguku?" tanya Langit ketika memasuki rumah dan mendapa
"Apa kamu menginginkannya?" bisik Langit di telinga Rintik. Meski sempat ragu, Rintik mengangguk dan mereka masih saling tatap. Langit kembali mencium bibir Rintik, dan Rintik pun membalasnya. Ciuman-ciuman itu memunculkan kembali gairah panas di tubuh mereka kembali. Langit melingkarkan kaki Rintik di pinggangnya, kemudian membawanya menuju tepi kolam. Langit beralih pada leher jenjang Rintik dan meninggalkan gigitan-gigitan kecil hingga wanita itu sedikit mendesah. Tangan Langit mencoba membuka dress yang Rintik kenakan. Begitu pun sebaliknya. Lalu mereka masuk kamar dan menjatuhkan diri diatas ranjang.***Langit mengecup kening Rintik yang masih malu-malu setelah penyatuan mereka selesai. Hujan pun masih betah dalam kungkungan langit kelabu pulau Bali. Menambah suasana syahdu diantara mereka. Langit tersenyum sebelum ia kembali mengecup kening wanita dalam pelukannya itu.Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, akhirnya Langit mendapatkan Rintik seutuhnya. Buah kesabaran hatinya.
"Apa?" tanya Rintik dengan mata terpejam. Ia bersandar pada kursi pesawat agar merasa nyaman dalam penerbangannya pulang ke Jakarta."Tentang kamu yang memanggilku Sayang di–"Rintik membuka matanya lalu menoleh pada suaminya. "Kenapa? Aku juga bisa memanggilmu Sayang setiap hari jika kamu mau," ucapnya kemudian kembali memejamkan matanya."Benarkah? Kamu mau memanggilku Sayang jika di rumah?" tanya Langit dengan antusias."Kenapa tidak? Sudahlah. Aku mau istirahat, aku lelah," ucap Rintik dengan wajah memelas. Langit tersenyum lalu mengusap pucuk rambut sang istri.Ia teringat jika dirinyalah yang membuat Rintik kelelahan. Hari ini, Langit cukup puas dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Dan untuk kedepannya, ia juga berharap hubungan mereka berdua semakin berkembang dan baik-baik saja. Langit meraih jemari istrinya, kemudian mengecupnya mesra.***"Aku dengar kalian dari Bali kemarin?" tanya Janar pada sepupunya. Yang dijawab anggukan dari wanita itu. Janar menatap cangkir kopi ya