Kedua pria yang tengah berseteru itu menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan berpenampilan modis itu berjalan menghampiri kedua pria itu. Tentu saja dengan sorot mata tajam.Langit merasakan jika akan ada perdebatan yang akan terjadi dengan datangnya ibu dari Reka. Ia berniat untuk segera meninggalkan tempat itu."Jadi karena wanita itu?" Suara Margaret menggema di seluruh koridor. Benar saja, yang Langit takutkan terjadi. Margaret menatap putranya dengan wajah penuh emosi.Pandangan Margaret dialihkan pada Langit. Kemudian berjalan mendekat pada pria itu."Untuk apa kamu terus menyeret putraku untuk bertemu dengan wanita itu. Bukankah kalian sudah menikah? Lagipula menantuku akan segera melahirkan. Reka harus menemani istrinya yang sedang berjuang untuk memberikanku seorang cucu. Urus saja wanita itu sendiri–""Saya tidak pernah menyeret putra anda untuk bertemu dengan istri saya. Saya juga mampu mengurus istri saya dengan baik. Untuk apa melibatkan orang yang tidak
Rintik dan Langit menoleh ke asal suara. Mereka sudah berada di depan rumah sakit dan menunggu mobil jemputan mereka.Langit dan Rintik menatap dua orang wanita dengan sebuah kereta bayi tengah menatap mereka dengan tatapan sinis. Rintik meminta Langit untuk menurunkannya. Rintik mencoba berdiri meski tertatih. Langit merangkul pinggang Rintik untuk membantu keseimbangan Rintik."Kalian pikir dunia ini milik kalian? Di tempat umum mesra-mesraan seperti orang tidak tahu malu saja," sinis Margaret pada keduanya.Iren menatap keduanya dengan tatapan sinis lalu berkata, " Kalian pikir hanya kalian saja yang bahagia? Lihat! Aku dan Mas reka juga bahagia. Karena anak kami telah lahir. Benarkan, Mami? ucap Iren meminta pembenaran dari ibu mertuanya."Tentu saja. Setelah sekian lama menantikan seorang cucu, akhirnya semua itu terwujud. Lihat, betapa cantiknya cucuku ini."Bersamaan dengan itu, sebuah mobil sedan hitam muncul di hadapan mereka. Rintik paham betul siapa pemilik dari mobil terse
Jika terus-terusan seperti ini aku tidak tahan, Mih!" keluh Iren pada ibu mertuanya ketika wanita itu berkunjung."Semua aku yang kerjakan. Pekerjaan rumah, bayi. Semuanya! Mas Reka hanya pulang untuk berganti pakaian lalu pergi lagi." Iren meluapkan kekesalannya pada ibu mertuanya."Ya, memang seperti itu jika menjadi seorang ibu. Kamu harus–""Lama-lama aku stress Mih. Apalagi kalau anak ini menangis. Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang. Membuatku sakit kepala."Margaret menggendong bayi yang baru berusia beberapa hari itu. Merasa bahagia karena keinginannya memiliki seorang cucu sudah terwujud."Ren, sepertinya anakmu lapar ingin minum susu. Cepat susui sebelum menangis," pinta Margaret pada menantunya."Tidak bisa, Mih. Buatkan saja susu formula. Ada di meja sana," ucap Iren dengan nada kesal."Lebih baik diberi asi daripada susu fo–""Itu juga susu termahal yang aku beli. Aku tidak mau bentuk tubuhku berubah hanya karena menyusui bayi. Aku tidak mau jika nanti Mas Reka meli
"Aku tahu jika itu sulit, tapi setidaknya kamu juga harus berusaha. Kamu harus tahu, tidak ada pria sebaik Langit."Kata-kata itu selalu terngiang dalam pikiran Rintik. Ucapan Angel tentang penilaiannya terhadap langit. Sejujurnya, Rintik pun tidak memungkiri hal tersebut. Langit memang pria yang baik meski banyak cerita di masa lalunya.Ia masih duduk termenung menunggu kepulangan suaminya. Padahal waktu sudah menunjukan pukul 11 malam. Tapi belum juga ada tanda-tanda pria itu kembali."Apa aku telepon saja?" Rintik menimbang-nimbang ingin menghubungi Langit untuk menanyakan kabarnya. Seharian ini Langit tidak memberikan kabar apapun pada Rintik. Tidak seperti biasanya.Belum sempat Rintik menekan ikon hijau pada nama kontak Langit, sebuah mobil masuk ke halaman rumahnya. Dan Rintik tahu jika mobil itu adalah milik suaminya. Tanpa sadar, sudut bibirnya tertarik ke belakang membentuk sebuah lengkungan."Kamu belum tidur? Kamu menungguku?" tanya Langit ketika memasuki rumah dan mendapa
"Apa kamu menginginkannya?" bisik Langit di telinga Rintik. Meski sempat ragu, Rintik mengangguk dan mereka masih saling tatap. Langit kembali mencium bibir Rintik, dan Rintik pun membalasnya. Ciuman-ciuman itu memunculkan kembali gairah panas di tubuh mereka kembali. Langit melingkarkan kaki Rintik di pinggangnya, kemudian membawanya menuju tepi kolam. Langit beralih pada leher jenjang Rintik dan meninggalkan gigitan-gigitan kecil hingga wanita itu sedikit mendesah. Tangan Langit mencoba membuka dress yang Rintik kenakan. Begitu pun sebaliknya. Lalu mereka masuk kamar dan menjatuhkan diri diatas ranjang.***Langit mengecup kening Rintik yang masih malu-malu setelah penyatuan mereka selesai. Hujan pun masih betah dalam kungkungan langit kelabu pulau Bali. Menambah suasana syahdu diantara mereka. Langit tersenyum sebelum ia kembali mengecup kening wanita dalam pelukannya itu.Akhirnya, setelah sekian lama menunggu, akhirnya Langit mendapatkan Rintik seutuhnya. Buah kesabaran hatinya.
"Apa?" tanya Rintik dengan mata terpejam. Ia bersandar pada kursi pesawat agar merasa nyaman dalam penerbangannya pulang ke Jakarta."Tentang kamu yang memanggilku Sayang di–"Rintik membuka matanya lalu menoleh pada suaminya. "Kenapa? Aku juga bisa memanggilmu Sayang setiap hari jika kamu mau," ucapnya kemudian kembali memejamkan matanya."Benarkah? Kamu mau memanggilku Sayang jika di rumah?" tanya Langit dengan antusias."Kenapa tidak? Sudahlah. Aku mau istirahat, aku lelah," ucap Rintik dengan wajah memelas. Langit tersenyum lalu mengusap pucuk rambut sang istri.Ia teringat jika dirinyalah yang membuat Rintik kelelahan. Hari ini, Langit cukup puas dengan apa yang terjadi dalam hidupnya. Dan untuk kedepannya, ia juga berharap hubungan mereka berdua semakin berkembang dan baik-baik saja. Langit meraih jemari istrinya, kemudian mengecupnya mesra.***"Aku dengar kalian dari Bali kemarin?" tanya Janar pada sepupunya. Yang dijawab anggukan dari wanita itu. Janar menatap cangkir kopi ya
"Rin," panggil Langit pada sang istri. Wanita yang tengah duduk di ruang tengah dan sibuk dengan ponselnya itu menoleh pada asal suara. "Ya?" Rintik menatap Langit dan pandangannya mengikuti pria yang tengah berjalan menghampirinya. Lalu duduk di sampingnya."Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu," ujar Langit dengan nada ragu. "Apa?" Lalu wanita itu meletakkan ponsel miliknya di atas meja. Badannya sedikit di serongkan agar berhadapan dengan Langit."Begini, ini hanya sebuah permintaan saja. Jika kamu tidak menyetujuinya, aku tidak akan memaksa." Langit menjeda kalimatnya sejenak. Melihat bagaimana ekspresi yang ditunjukkan oleh Rintik sebelum ia melanjutkan kata-katanya."Bagaimana kalau kamu berhenti bekerja? Biar aku saja yang bekerja dan menafkahimu. Karena kamu adalah istriku. Bagaimana?"Rintik membeku sesaat. Menelaah arah bicara Langit. Kemudian wanita itu meraih tangan suaminya dan di genggamnya. Lalu berkata, "Bagaimana kalau setelah aku selesaikan pekerjaanku? Aku tida
"Kamu menamparku?" ucap Iren dengan memegangi pipinya yang terasa amat panas. Rasanya ia tidak percaya jika suaminya berani menamparnya. "Itu supaya kamu sadar posisimu!" hardik Reka dengan nafas yang masih menderu. Sudah habis kesabarannya dalam menghadapi sikap Iren yang menurutnya sangat di luar nalar."Kenapa? Kamu akan melaporkannya pada mami? Laporkan saja! Bukankah itu yang selalu kamu lakukan? Aku juga tidak peduli. Bila perlu aku sendiri yang akan mengatakannya langsung pada mami!" imbuh Reka."Aku tidak akan terintimidasi oleh ancamanmu lagi. Sekarang terserah padamu. Aku tidak peduli!"Bulir bening keluar begitu saja dari netra Iren. Ia merasa kecewa dengan pria yang menjadi suaminya. Bukan pernikahan seperti ini yang ia harapkan. Ia pikir dengan menikah dengan orang kaya, kehidupannya akan menjadi bahagia. Tapi ternyata ia salah memilih orang.Dengan emosi yang masih tersimpan di dada, Iren pergi meninggalkan Reka. Dia mengendarai mobilnya menuju rumah. Sumpah serapah mew