Kamu menyuruh mami diam?!” seru Margaret pada putranya. Yang membuat Reka menghela nafas berat.“Bukan begitu–”“Mami tahu! Kamu tidak terima kan, kalau kami membicarakan wanita itu? Sebenarnya, wanita itu beri kamu apa? Sampai-sampai kamu mati-matian membelanya. Padahal kalian sudah bercerai. Dan kamu sudah memiliki istri lagi,” potong Margaret. Ia merasa kesal dengan sikap anaknya.“Mungkin wanita itu pakai ilmu hitam, Mih,” sergah Iren. Karena ucapannya iu, ia mendapat tatapan tajam dari Reka.Ditambah Margaret membenarkan ucapan dari menantunya itu. “Benar. Sepertinya begitu.” Margaret mendekat kearah dimana putranya berdiri. “Mungkin kamu harus mandi air suci atau semacamnya,”Ucapan ibunya lantas membuat Reka menganga tak percaya. “Mami ini bicara apa? Tidak masuk akal!” Reka kembali duduk di kursinya. Membiarkan perasaan kesal tetap menyelimutinya.“Supaya kamu terbebas dari Rintik itu. Supaya dia tidak mengganggu hidupmu lagi!”“Mami cukup! Perasaanku maupun Rintik, kami sama
Langit dan Rintik membeku sesaat ketika melihat siapa yang datang ke rumah mereka. Tapi berbeda dengan dengan tamu yang datang. Ia tersenyum sumringah mendapat sambutan dari tuan Rumah."Kamu–"Tanpa menunggu dipersilakan, ia nyelonong begitu saja masuk ke dalam rumah. Membuat sepasang suami istri itu sama-sama mengerutkan keningnya."Aku tidak tahu jika kamu memiliki rumah seperti ini? Berapa angsuran setiap bulannya?" tanya Iren seraya memindai setiap sudut ruang tamu."Ada perlu apa kamu datang kemari?" tanya Langit merasa tidak suka dengan kehadiran Iren yang menurutnya sangat tidak sopan.Iren terlihat menyunggingkan senyum. Kemudian berkata, "Kenapa memangnya? Aku hanya ingin mengucapkan selamat untuk kalian.""Sebaiknya kamu pergi dari sini! Kami tidak menginginkan kehadiranmu!" seru Langit lagi."Jangan begitu terhadap tamu yang mempunyai niat baik. Aku datang untuk mengucapkan selamat loh. Juga untuk memberi kalian amplop–""Kamu hanya tamu tak diundang. Kami juga tidak mempe
"Kenapa?" tanya Langit ketika melihat Rintik membeku dan pipinya bersemu merah."Hah? Tidak."Dengan berlari kecil, Rintik berlalu meninggalkan meja makan dan sarapannya yang belum selesai."Mau kemana? Sarapanmu belum di habiskan!" seru Langit pada sang istri. Namun, Rintik tak mengindahkan seruan Langit dan tetap pada tujuannya menuju kamar. Ia tidak mau jika Langit melihat dirinya salah tingkah hanya karena ucapan manis Langit.Melihat tingkah istrinya, Langit menarik ujung bibirnya hingga tercipta sebuah senyuman. Perasaan sedikit puas karena membuat Rintik tersipu malu dengan ucapannya."Pelan-pelan, Lang. Kamu pasti bisa menaklukkan hati Rintik," gumam pria berlesung pipit itu dengan mantap.***"Kenapa, Bu? Ngelamun saja? Takutnya tersandung nanti?" tegur salah satu karyawannya yang melihatnya berjalan sambil melamun."Hah? Eh, hanya–" Rintik menjeda ucapannya seraya mencari alasan yang tepat untuk diberikan pada Ratih. "Pekerjaan. Sedang banyak pekerjaan," lanjutnya.Yang dib
Apa?" tanya Rintik ketika melihat raut wajah Langit yang gelisah."Ibu! Ibu datang ke rumah!" seru Langit pada Rintik dengan nada khawatir."Hah?!" Kekhawatiran itu segera menular pada Rintik. Ia ikut merasa panik dengan berita kedatangan ibu Langit yang notabene adalah ibu mertuanya."Tenang. Berpikir," ucap Langit mencoba menenangkan istrinya."Begini saja, aku pergi jemput ibu. Kamu bereskan barang-barangku di kamar sebelah. Dan pindahkan ke kamar utama," pinta Langit pada Rintik."Kenapa dipindah?" tanya Rintik dengan polosnya.Langit terdiam sesaat mendengar jawaban Rintik. Kemudian ia mengatakan, "Kamu mau ibu tahu kalau kita tidak tidur dalam satu kamar? Lalu jawaban apa yang akan kita berikan pada ibu jika beliau bertanya kenapa kita tidur terpisah? Karena kita berpura-pura, seperti itu?"Mendengar penuturan Langit, membuat Rintik memasang wajah tidak suka. "Tapi tidak mungkin kita tidur satu ranjang–""Lalu kita harus bagaimana?" Rintik terdiam mendengar pertanyaan Langit. "
"Kamu menyuruhku tidur di lantai?" tanya Langit pada istrinya. Posisinya saat ini, Langit terduduk di atas peraduan. Sedangkan Rintik masih berbaring seraya menatap wajah suaminya. Tak lama, Rintik membuang pandangan ke arah lain dan kembali membelakangi Langit."Tentu saja. Itu sudah menjadi kesepakatan kita."Langit tidak habis pikir dengan ucapan Rintik. Ia kira dengan adanya ibu di rumahnya akan menjadi awal yang baik bagi hubungan mereka. Tetapi Langit salah. Rintik tetap pada pendiriannya bahwa mereka tidak bisa tidur dalam satu ranjang. Akhirnya Langit mengalah. Ia mengambil sebuah selimut tebal dari dalam lemari dan menggunakannya sebagai alas tidur.***"Kenapa kamu, Nak? Wajahmu kusut sekali?" tanya Sasmi pada putranya ketika melihatnya baru sd aja keluar dari kamar. Rintik yang sudah berada di meja makan ikut menoleh ke arah suaminya."Tidak apa-apa, Bu. Hanya kurang tidur saja," jawab Langit asal."Loh? Kok bisa kurang tidur?"Rintik dan Langit sempat beradu pandang sesaa
“Coba deh, kalian pikir. Jika yang terjadi seperti apa yang diceritakan oleh Rintik, artinya pengemudi mobil itu memang sengaja menabrak Rintik. Atau opsi lain pengemudi itu sedang mabuk," tutur Angel seraya memandang kedua sahabatnya secara bergantian.Langit dan Rintik mencerna ucapan Angel yang penuh kemungkinan. “Jika memang benar hal itu disengaja, siapa dan kenapa dia melakukannya? Apa orang itu memiliki sebuah dendam terhadapku?” tanya Rintik.Angel mengedikkan bahunya menanggapi pertanyaan Rintik. Kemudian berkata, “Jika demikian, hanya ada satu orang yang patut di curigai." Pandangan Langit beralih pada istrinya, begitu juga sebaliknya“Apa itu mungkin?” Langit merasa tidak yakin dengan ucapan sahabatnya itu.“Apa yang tidak bisa dilakukan oleh wanita ular sepertinya?” Angel menatap sepasang suami istri itu secara bergantian. “Merebut suamimu saja dia bisa,” gumam Angel yang dapat didengar oleh Rintik. Ia tidak mengatakannya dengan lantang karena menjaga perasaan Langit.Rin
Kedua pria yang tengah berseteru itu menoleh ke sumber suara. Seorang wanita paruh baya dengan berpenampilan modis itu berjalan menghampiri kedua pria itu. Tentu saja dengan sorot mata tajam.Langit merasakan jika akan ada perdebatan yang akan terjadi dengan datangnya ibu dari Reka. Ia berniat untuk segera meninggalkan tempat itu."Jadi karena wanita itu?" Suara Margaret menggema di seluruh koridor. Benar saja, yang Langit takutkan terjadi. Margaret menatap putranya dengan wajah penuh emosi.Pandangan Margaret dialihkan pada Langit. Kemudian berjalan mendekat pada pria itu."Untuk apa kamu terus menyeret putraku untuk bertemu dengan wanita itu. Bukankah kalian sudah menikah? Lagipula menantuku akan segera melahirkan. Reka harus menemani istrinya yang sedang berjuang untuk memberikanku seorang cucu. Urus saja wanita itu sendiri–""Saya tidak pernah menyeret putra anda untuk bertemu dengan istri saya. Saya juga mampu mengurus istri saya dengan baik. Untuk apa melibatkan orang yang tidak
Rintik dan Langit menoleh ke asal suara. Mereka sudah berada di depan rumah sakit dan menunggu mobil jemputan mereka.Langit dan Rintik menatap dua orang wanita dengan sebuah kereta bayi tengah menatap mereka dengan tatapan sinis. Rintik meminta Langit untuk menurunkannya. Rintik mencoba berdiri meski tertatih. Langit merangkul pinggang Rintik untuk membantu keseimbangan Rintik."Kalian pikir dunia ini milik kalian? Di tempat umum mesra-mesraan seperti orang tidak tahu malu saja," sinis Margaret pada keduanya.Iren menatap keduanya dengan tatapan sinis lalu berkata, " Kalian pikir hanya kalian saja yang bahagia? Lihat! Aku dan Mas reka juga bahagia. Karena anak kami telah lahir. Benarkan, Mami? ucap Iren meminta pembenaran dari ibu mertuanya."Tentu saja. Setelah sekian lama menantikan seorang cucu, akhirnya semua itu terwujud. Lihat, betapa cantiknya cucuku ini."Bersamaan dengan itu, sebuah mobil sedan hitam muncul di hadapan mereka. Rintik paham betul siapa pemilik dari mobil terse