Apa maksudnya menanyakan itu padaku? Sedangkan aku sendiri tidak paham dengan yang dimaksud tersebut. Bahkan aku juga tidak yakin sekarang. "Apa maksudnya?" "Tidak usah berbohong padaku, katakan yang sebenarnya!" Aku sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Hubungan antara aku dengan dirinya memang kurang baik. "Katakan semuanya Lisa. Suami kamu dekat dengan orang-orang yang ada di perusahaan suamiku bukan?" kata Handi dengan nada yang sedikit memaksa. Aku sendiri pun tidak tahu harus menjawab apa sekarang. Jujur saja aku sendiri pun tidak tahu hubungan antara Mas Giora dengan orang yang dimaksud. "Aku tidak tahu. Memangnya kenapa kalau suami kamu dipecat, sampai menyalahkan suamiku." "Manager perusahaan membela suami kamu. Asal kamu tahu, gara-gara itu aku dipecat." "Itu karma untuk kalian berdua, siapa suruh menghina suamiku. Kalau kamu dipecat jangan salahkan aku atau suamiku!" kataku dengan penuh penekanan dan hendak akan pergi. "Sombong kamu, Lisa
"Hahaha Lisa, kamu tidak tahu kalau sebenernya suami kamu adalah...." Belum sempat orang itu mengatakan yang sebenernya. Sudah terdengar suara ketukan pintu. "Iya," kataku dengan nada panik. Aku membuka pintu dan melihat Mas Giora yang rupanya masuk ke dalam. "Mas Giora." Aku melihat kearah ponselku ketika ucapan orang tersebut tadi terpotong karena aku ada Mas Giora masuk. Orang itu langsung mematikan sambungan teleponnya. Sialan dia mau mengatakan apa sebenarnya? Aku sendiri pun malah dibuat heran sekarang. "Mas sudah pulang." Mas Giora hanya mengangguk sambil melirik kearah sekelilingku. Ada apa dengan Mas Giora sebenarnya? Apa dia merasa curiga kalau aku berselingkuh dari dirinya. "Kamu tadi ngobrol dengan siapa?" tanya Mas Giora padaku. Gawat, Mas Giora pasti curiga ketika aku tadi ditelepon oleh orang misterius itu. Apa aku harus memberitahu dia sekarang. Sebenernya aku juga penasaran dengan jati diri Mas Giora yang disembunyikan. "Tadi ada yang menelp
Mas Giora menatapku dengan serius. Sebenernya aku masih penasaran dengan musuh yang dimaksud oleh Mas Giora. Tetapi aku tidak berani bertanya padanya. "Lisa, untuk sementara ponsel kamu aku ambil.""Kok gitu, Mas.""Lebih baik kamu menggunakan ponselku dulu saja."Mas Giora memberikan ponselnya padaku. Kita jadi tukeran ponsel sekarang. Sepertinya alasannya karena memang orang itu. "Baiklah kalau begitu," aku hanya menerima ponselnya saja.Sebelum akhirnya Mas Giora berdiri dan dia menuntun aku untuk ikut masuk bersama dengan dirinya ke kamar. "Lebih baik kita ke kamar sekarang," ajak Mas Giora. Aku hanya mengangguk menuruti keinginan dirinya saja. Memang lebih baik jika memang kita pergi ke sana. Kita berdua akan pergi dari sini dan itu sukses membuat aku merasa senang."Baiklah."Aku hanya menuruti keinginan dari Mas Giora saja. Sampai akhirnya kuta bedua memutuskan untuk pergi dari sini. Kami juga sudah melakukan sesuatu yang baik untuk sekarang. Aku masuk ke dalam kamar dan Ma
Aku tengah menyapu halaman rumah karena memang sangat kotor sekali. Setelah semuanya terlihat sangat bersih dan daun-daun juga sudah aku bakar. Tiba-tiba Martin datang menghampiriku. Laki-laki itu tidak pernah bosan datang ke sini. "Untuk apa kamu ke sini? Ingin menagih hutang?" balasku kepadanya. "Sombong sekali kamu Lisa. Apa kamu tidak tahu kalau suamimu sudah membayar semua hutangmu?" ujar Martin. Aku sedikit terkejut ketika mengetahui fakta kalau Mas Giora sudah membayar semua hutangnya. "Dia sudah membayar semuanya?" Itu bukan suaraku yang terkejut, tetapi suara orang yang ada dibelakangku. Aku menoleh kearah belakang. "Ibu.""Bahkan ibumu saja terkejut Lisa. Dari mana suami kamu bisa mendapatkan uang itu?" tanya Martin padaku. Aku sendiri pun tidak bisa menjawab semuanya dengan baik. Bahkan aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang. "Lisa, katakan yang sebenarnya terjadi?" tanya ibuku yang juga penasaran. "Aku tidak tahu!" Jawabku yang memang tidak tahu dengan hal ini
Ibunya Tomas dan ibuku sekarang sudah pergi. Aku masih penasaran dengan yang dikatakan oleh ibunya Tomas. Apa benar Mas Giora yang sudah membunuh Adrian. Kalau aku bertanya pada Mas Giora, pasti dia tidak akan menjawab. Sampai aku teringat dengan Serin. Aku yakin kalau dia juga tahu sesuatu. Aku harus menghubungi dia sekarang. Siapa tahu kalau memang Serin tahu sesuatu. Mengingat Serin adalah kekasih dari Tomas. "Hallo Serin.""Hallo, Lisa. Kamu menggunakan nomor telepon dari Giora."Aku belum menceritakan semuanya pada Serin kalau memang aku tengah berganti ponsel dengan Mas Giora. Semuanya aku lakukan memang demi kebaikan aku. "Iya, aku sengaja menggunakan ponsel Mas Giora karena memang dalam ponselku ada orang yang mengirim pesan ancaman.""Pesan ancaman? Siapa yang berani mengancam kamu, Lisa?" tanya Serin yang sepertinya ikut marah juga. "Aku juga tidak tahu, tetapi Mas Giora kenal dengan orang tersebut. Suaranya seperti laki-laki dan aku tidak tahu dia siapa," kataku member
Pagi yang cerah untukku, melihat Mas Giora yang masih tidur terlelap dalam diam. Aku mengelus wajahnya karena memang manis. "Lisa, aku masih mengantuk."Suara serak dari Mas Giora begitu sangat manis. Aku membenarkan baju yang memang sempat tersikap oleh Mas Giora. "Ayo bangun Mas, kita harus ganti perban kamu. Memangnya kamu tidak kerja hari ini?" tanyaku pada Mas Giora. "Aku tidak bekerja."Mas Giora hanya mengatakan itu sambil menutupi wajahnya dengan selimut. Dia memang terasa sangat manis sekali. "Yaudah kalau begitu, aku akan membuat sarapan dulu."Akhirnya aku memutuskan untuk mandi dengan cepat, setelah itu aku pergi ke dapur untuk membuat sarapan. Melihat bumbu yang memang sudah sedikit. Sepertinya aku harus berbelanja nanti ke pasar. Mengajak Mas Giora mungkin akan menyenangkan, terlebih dia libur dan pasti ada banyak waktu untukku. Aku juga senang dengan hal ini. Mengambil terlur dan membuat omlet, tidak lupa aku membuat juga minuman untuk Mas Giora. Sampai tiba-tib
"Ada polisi." Semua orang ada di sini, termasuk dengan Martin yang memegangi tangan Mas Giora, kini malah merasa ketakutan. "Kenapa dia ke sini?" ujar Yanto yang kini merasa heran. Semua warga yang ada di sini pun jadi ketakutan. Sampai tak lama kemudian, polisi ini beratnya kepada Wita dan Hani yang kebetulan ada di sana. "Permisi." "Ada apa yah?" "Kami dari pihak kepolisian, ingin menangkap saudara Andreas Giora karena sudah melalukan pembunuhan terhadap saudari Adrian Alvares Sanjaya." Semua orang yang ada ada di tempat ini terkejut mendengar berita ini, bahkan aku tidak mengerti kalau semuanya akan jadi seperti ini. "Wah, rupanya ada yang lebih parah dari sini yah." "Dia seorang pembunuh rupanya," kata Wita sambil tertawa dengan puas. Aku melirik kearah Mas Giora yang kini sudah ditangkap oleh pihak kepolisian, aku berusaha untuk mencegahnya. "Mas Giora, kamu tidak benaran membunuh kan?" tanyaku pada Mas Giora. Mas Giora hanya menggelengkan kepalanya,
Aku menatap kearah Serin dengan pandangan serius. Apa maksudnya mengatakan kalau istrinya Adrian menginginkan suamiku. "Maksud kamu apa Serin?" tanyaku. "Kamu tidak tahu, Lisa? Atau kamu pura-pura tidak tahu. Istrinya Adrian selalu datang ke rumah sakit ketika suaminya di rawat, dia melakukan itu karena ada Giora di sana juga."Aku tengah mencerna apa yang dikatakan oleh Serin barusan. Kemudian aku teringat waktu itu juga sempat melihat Nia ada di sana. Mungkin saja dia juga punya hubungan. "Jadi maksud kamu, mereka ketemu di rumah sakit itu? Tetapi waktu itu aku juga melihat Nia ada di sana. Nia juga suka dengan suamiku." Serin melihat kearahku dengan sekilas. Sebelum akhirnya dia mengatakan sesuatu. "Jangan bilang kalau Giora tidak memberitahumu?""Apa?" tanyaku menaikan sebelah alis heran. "Kamu tidak tahu istrinya Adrian siapa?" tanya Serin sambil melirik kearahku. Aku hanya menggelengkan kepala karena memang tidak tahu istrinya Adrian itu siapa, yang aku tahu kalau istrinya
Mas Giora berdiri tegak di depan Nia, dengan tatapan tajam yang cukup membuat suasana menjadi tegang. Suara tawa dan bisikan yang sempat mengiringi pembulian terhadapku mulai mereda. Aku merasa sesuatu yang berat mulai hilang, seperti beban yang sudah lama mengganggu.Aku menatapnya dari kejauhan, jantungku berdebar tak karuan. Tadi, ketika dia membelaku, aku merasa seperti ada yang melindungi, seperti aku tidak sendirian menghadapi dunia yang keras ini. Tetapi aku tahu, dia tidak harus melakukannya. Tidak perlu, sebenarnya. Aku bisa menghadapinya sendiri. Namun, meskipun begitu, rasa terima kasihku tidak bisa dibendung."Mas. Aku baik-baik saja." Ucapku dengan suara yang tenang, meskipun hati masih berdebar hebat. Aku tahu apa yang dia lakukan untukku, dan aku benar-benar menghargainya.Mas Giora melirikku sekilas, matanya seakan-akan mengerti perasaan yang sedang aku alami. "Lisa, kamu bisa kembali ke ruangan kerjamu." Suaranya datar, tetapi penuh perhatian.Aku hanya mengangguk den
Waktu istirahat telah tiba, rasanya lelah sekali karena banyak sekali yang harus aku kerjakan sekarang. Walaupun semuanya bukan tugasku, tetapi aku mengerjakan semuanya dengan baik. "Seharusnya kamu tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh mereka untuk mengerjakan tugas ini, apalagi ini bukan bagian kamu," kata Yuna yang ikut membelaku. "Iya gak papa."Aku mengatakan itu karena memang merasa masih baru. Tidak menyangka kalau mereka akan menyuruh aku mengerjakan banyak sekali pekerjaan. "Kamu terlalu baik. Tadi Hana juga malah menyuruh kamu seperti itu.""Yaudah lebih baik kita ke kantin yuk, aku lapar. Kamu tahu tempatnya kan?" tanyaku pada Yuna. "Aku tahu, kalau begitu ikut aku," ajak Yuna sambil menarik tanganku. Aku hanya mengikutinya saja dengan sekilas. Bersama dengan Yuna yang kini membantuku dengan baik. Sampai tak lama kemudian, kita berdua berada di tempat kantin kantor. "Ini kantin kantor?" tanyaku melihat dengan seksama. "Iya, tempat ini memang sedikit bagus. Kamu
Mas Giora kini tengah berada di dekatku. Sebenernya aku ingin memikirkan sesuatu untuk sekarang. Bahkan aku tidak yakin kalau hal ini akan terjadi padanya. "Kamu sudah siap Lisa?" tanya Mas Giora yang kini menatap kearah diriku dengan sekilas. Aku melihat kearah cermin dan melihat penampilan diriku. Terlihat sangat cantik dan begitu elegan, aku senang karena bisa berada di dekatnya seperti ini. "Aku sudah siap.""Kalau begitu, ayo kita berangkat bersama," ajak Mas Giora. Aku berpikir sejenak, tidak mau jika jadi bahan gosip orang lain. Terlebih semua orang juga tidak tahu hubungan aku dengan Mas Giora sudah menikah. "Eh tidak usah Mas, aku akan berangkat sendiri saja.""Loh kenapa?" tanya Mas Giora yang terlihat kebingungan karena aku menjawab seperti itu. Tetapi aku punya alasan sendiri dengan hal ini. "Aku tidak mau kalau ada rumor tentangku nanti. Lagian ini adalah hari pertama aku masuk ke kantor Mas," kataku berusaha menjelaskan. "Baiklah, jika itu yang kamu mau." Aku te
Malam sudah larut, dan aku masih menunggu di ruang tamu dengan gelisah. Setiap detik terasa begitu lama. Perasaan cemasku semakin menggelora setelah mendengar perkataan Nia tadi pagi. Kata-katanya seperti terngiang-ngiang dalam pikiranku, menambah kecemasan yang sudah menggunung."Kenapa, Mas Giora belum pulang juga?" aku bergumam dengan nada kesal, meskipun sebenarnya aku tak tahu harus berkata apa. Wajahku terasa tegang, tubuhku tidak bisa diam. Entah mengapa, hatiku terasa berat.Tak lama kemudian, suara klakson mobil terdengar di luar rumah. Hati yang tadinya cemas kini sedikit lega. Aku buru-buru berdiri dan melangkah ke pintu dengan harapan yang muncul kembali. Setelah beberapa detik, aku melihat Mas Giora keluar dari mobil. Matanya menangkap pandanganku yang sudah menunggunya dengan penuh harap. Aku tak bisa menahan senyum, meski dalam hatiku masih ada kekhawatiran yang belum reda.Mas Giora hanya tersenyum kecil dan berjalan mendekat. Namun, aku bisa melihat kelelahan di wajah
Aku memikirkan sesuatu, sampai pada akhirnya aku teringat. Bisa-bisanya aku berpikir seperti ini. Tetapi apa yang dikatakan oleh pembantu itu memang mencurigakan. Sampai pada akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Serin. Siapa tahu kalau wanita itu bisa membantuku untuk menyelidiki kasus ini. "Hallo Serin.""Ah Lisa, tumben sekali kamu menghubungiku.""Kamu sedang sibuk Serin?" tanyaku padanya. "Tidak, memangnya kenapa?" tanya Serin yang penasaran sepertinya. "Kamu bisa ke rumahku sekarang, kebetulan ada hal yang ingin aku bicarakan denganmu," kataku padanya. "Baiklah, mempeng masih siang. Aku akan datang ke sana. Tunggu aku," ujar Serin. "Iya siap. Kalau begitu aku tutup dulu."Akhirnya aku memutuskan untuk mematikan sambungan telepon. Ada rasa yang membuat aku bahagia, setidaknya semuanya sesuai dengan keinginan diriku. Setelah menelepon Serin, aku berjalan menuju ruang keluarga, tempat di mana banyak kenangan tertanam. Aku duduk di sana, memandangi bingkai foto yang berse
Aku sudah rapi dengan pakaian yang kukenakan, tetapi hatiku gelisah. Mas Giora belum juga kembali, dan aku merasa ada yang tidak beres. Ke mana dia pergi? Aku mencari-cari tanda keberadaannya, namun tidak menemukannya. Aku turun ke bawah, mencoba mencari jawaban.Dengan langkah yang cepat, aku mendekati salah satu pelayan yang sedang sibuk di ruang tamu. "Apa ada yang melihat Mas Giora?" tanyaku, berusaha tetap tenang meski kecemasan mulai merayapi pikiranku.Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menjawab, "Tadi beliau keluar bersama Tomas, Nyonya."Aku menahan napas sejenak, mencoba mencerna kata-katanya. "Apa dia bilang akan pergi ke mana?" tanyaku, rasa penasaran yang tak terelakkan membuatku bertanya lebih lanjut.Pelayan itu menggelengkan kepala dengan raut wajah kebingungan. "Tidak, Nyonya. Beliau tidak bilang akan ke mana."Aku menunduk, merasa sedikit lega sekaligus khawatir. Tidak ada petunjuk, hanya ketidakpastian. Mengapa dia tidak memberi tahu ke mana tujuannya? Apakah itu ha
Aku menatap Mas Giora sekilas, bingung dan tercengang dengan pernyataan yang baru saja keluar dari mulutnya. Tidak pernah aku bayangkan bahwa dia akan berpikir sejauh ini. Bahkan, aku sendiri masih merasa seperti ada yang salah dan sulit untuk memahaminya."Tomas, coba kamu jelaskan!" kataku, suaraku sedikit meninggi, tak bisa menyembunyikan kekesalan yang mulai mengalir dalam darahku.Namun, sebelum Tomas bisa merespon, Mas Giora mendekat dan menarik tanganku dengan lembut. Aku terdiam sejenak, merasa hangatnya pelukan yang tiba-tiba menyelimuti tubuhku."Maafkan aku, Lisa. Sebenernya semuanya ini adalah permintaanku. Aku tidak mau kalau sampai Tomas ketahuan kaki tanganku selama ini," ujar Mas Giora. "Jadi kamu juga ikut adil," kataku mendengus. Tomas juga ikut menjelaskan semuanya padaku. "sebenernya ini permintaan suamimu."Mas Giora melihat ke arah diriku kembali, dia terlihat meminta maaf padaku dengan sekilas. "Maafkan aku Lisa. Aku tidak bermaksud untuk berbohong padamu.""B
Mobil yang kami tumpangi tiba-tiba berhenti di depan sebuah gerbang besar yang terbuat dari besi tempa. Di balik gerbang itu, terbentang perumahan yang begitu sangat mewah, setiap rumah tampak seperti istana dengan halaman yang luas, tertata rapi, dan pepohonan tinggi yang menambah kesan anggun. Suasana begitu tenang, seolah-olah waktu berhenti di sini. Aku terkejut, tak bisa menahan mata yang melirik ke segala arah."Ini rumah siapa?" tanyaku, suaraku terdengar sedikit tergetar saat melihat sebuah rumah megah di ujung jalan, berdiri tegak dengan desain modern yang dipadu dengan elemen klasik. Sekilas, rumah itu memancarkan kekayaan dan kemewahan yang luar biasa.Aku menoleh ke arah Mas Giora yang duduk di sampingku, sedikit bingung. Tidak mungkin ini rumah Mas Giora, kan? Aku selalu mengenalnya sebagai sosok yang sederhana, tidak pernah berbicara tentang rumah seperti ini. Hati aku berdebar-debar, perasaan ingin tahu menggebu.Mas Giora tersenyum tipis, tidak banyak bicara. Dia kemud
Aku tersenyum puas melihat Mas Giora berjalan mendekat. Rasanya seperti beban berat yang telah lama aku pikul akhirnya terlepas. Dia datang tepat pada waktunya, menyelamatkanku dari pernikahan yang tak pernah aku inginkan. Setidaknya kini aku bisa merasa sedikit lega. "Mas Giora..." aku menyebut namanya dengan suara yang bergetar, penuh harapan. Namun, sebelum Mas Giora bisa menjawab, suara keras Martin menyela. "Lisa dan keluarganya masih memiliki hutang padaku! Aku tidak akan membebaskan dia begitu saja!" Tangannya mencekal erat pergelangan tanganku, membuatku sedikit terkejut dan merasa terjebak kembali dalam jaringnya. Dengan wajah tenang dan penuh keyakinan, Mas Giora berdiri di hadapanku. Tanpa ragu, dia menatap Martin dan berkata, "Aku akan membayarnya." Nada suaranya tegas, tanpa ada keraguan sedikit pun. Pernyataan itu bukan hanya tentang uang atau kewajiban. Ada sesuatu yang lebih, sebuah janji untuk membebaskan aku dari belenggu yang tak terlihat, dan aku bisa merasakan