Pagi menyapa segarnya raga yang sudah lumayan merasa lega setelah menjalani perjalanan yang cukup melelahkan kemarin. Ketukan pintu membuatku bergegas mengikat rambutku dan menutupnya dengan kain labuh berwarna abu. Aku melangkah cepat menuju pintu. Ceklek... Pintu rumahku terbuka, senyumanku melengkung saat mata bersitubruk dengan tamu yang berdiri tepat di depan mata. "Paman, Tante," ucapku, akupun meraih tangan mereka dan mencium punggung tangannya. Aku merasa bimbang saat tante tiba-tiba menarik tangannya dengan kasar. "Silakan masuk Paman, Tante!" Aku mempersilakan. Wajah angkuh tante sangat menonjol, jauh berbeda dengan ekspresinya tadi malam waktu di rumah Mas Adji. Aku berusaha melayani mereka dengan baik. "Paman, Tante. Mau minum apa?" tanyaku lembut. "Tidak perlu," sambar tante dengan ekspresi yang buruk. "Kami ke sini cuman buat ngasih tau kamu sesuatu ya, Nay. Dengerin!" sambung tante. Sekilas aku menilik ke arah paman, dia hanya diam seribu bahasa sedari tadi. "
"Andin!" Tiba-tiba saja mama berteriak dan memecah keheningan. Aku bergegas menuju kamar mama dengan perasaan khawatir. "Mama," ucapku saat melihat mama yang sedang berdiri di kamarnya. "Mama, ada apa?" tanyaku panik dan cemas. "Nay, Andin." Mama menangis seraya menyerahkan kepadaku ponselnya. Sepertinya dia baru saja menerima panggilan telepon sehingga membuatnya begitu histeris. Aku mengambil ponsel tersebut dan menempelkan ke telinga. "Hallo! ini siapa. Hallo!" Ternyata panggilan sudah usai tiga dua menit yang lalu. Panggilan dari nomor yang tidak dikenal. "Nay, Andin, Nay." Mama selalu menyebut nama kak Andin. "Iya, Ma. Ada apa, Kak Andin kenapa? Tadi siapa yang telpon?" Mama masih saja menangis dan menyebut nama Kak Andin. Aku tidak bisa mendesak dan memaksanya berbicara untuk menjawab semua pertanyaanku, aku memeluk mama dan mengelusnya pelan. "Ma, istighfar Ma. Istighfar." Aku terus memeluk mama dengan erat sampai suara isakannya berkurang. "Ma," panggilku seraya mele
'Nay, kamu lagi sibuk?' tanya Mas Adji dari balik telpon. Aku mematung. 'Aku harus jawab apa?,' gumamku dalam hati. 'Nay. Hallo. Aku cuman mau ngajak kamu sama mama ke pantai, liburan.''Iya, Mas. Anu, kalau boleh tahu perginya sama siapa saja?' 'Cuman kita bertiga ditambah sama Aher, gimana?' 'Tapi, aku tanya sama Mama dulu ya.' 'Tentu, Nay. Silakan!' 'Tunggu sebentar!' Aku merasakan kebingungan. Antara ingin ikut dengan ajakan Mas Adji atau tidak. Aku masih teringat dengan ancaman tante serta telepon tak dikenal masuk ke ponsel mama. "Ma," panggilku. Mama duduk di bibir ranjang. Di tangannya ada foto berbingkai yakni toko Kak Andin waktu masih kecil. "Iya, Nay. Ada apa?" Mama segera menyeka air matanya dan menaruh foto berbingkai itu ke bawah bantal. "Ma. Ini Mas Adji ngajakin kita buat ke pantai. Mama mau ikut?" tanyaku lembut. "Ke pantai? Ide yang sangat manis. Silakan kamu pergi sama Adji. Mama tinggal di rumah saja." "Tinggal? Kalau Mama nggak ikut, Naya juga nggak
Hatiku masih terasa tidak karuan, namun sebisa mungkin aku menutupi rasa ketakutan ini degan benar agar maa tidak merasa semakin khawatir. Aku Naya,Kanaya yang tidak betah bisa berada di bawah ancaman ini sekarang merasaketaakutan. Tidak, sepertinya ini bukanlah aku. ''Nay, kamu kenapa? Apa ada yang sakit?’’ tany Mas Adji. ‘’Enggak Mas, aku baik-baik saja.’’ ‘’Kalau ada apa-apa kamu bilang ya sama aku!’’Anggukan pelan aku berikan. ‘’Sekarang, mari kita menikmati kehidupan ini!’’ Bersenang-senang, namun entah mengapa hatiku sangat sulit untuk merasakan kesenangan ini. Aher dan Mas Adji tentunya bahagia saja, karena mereka tidak mengetahui apapun tentang kegundahan hatiku dan mama kala ini. '’Mama?’’ Aku baru saja menyadari akan ketidak hadiran mama setelah dia pamit untuk ke tandas beberapa menit yang lalu. ‘’Mas!’’ teriakku memanggil Mas Adji yang sedang merendam badannya di pantai. Mas Adji sontak saja keluar dari air, mendatangiku.‘’Nay, ada apa?’’ tanya Aher dan
Kami telah berusaha mengelilingi sekitaran pantai yang juga dibantu oleh para petugas, namun hasilnya nihil. Mama masih belum ditemukan. “Mas, gimana ini, Mas?” tanyaku. “Nay. Mama bawa handphone nggak? Kita coba hubungin nomornya, siapa tahu kita dapat titik terang.”“Oh iya, Mas. Aku lupa kalau mama bawa handphone. Tunggu, aku coba hubungin. Semoga aja diangkat.” “Iya, Nay.” Dengan tangan yang gemetar aku mengeluarkan ponselku dari dalam tas kecilku. Mungkin ini adalah harapan terakhir bagiku. “Ma, angkat telpon Naya Ma. Ma, Naya khawatir,” ucapku serta menelpon mama berulang kali yang tidak ada kudapati jawaban. (Hallo) (Ma, Mama di mana? Mama jangan takut) (Takut kenapa, Nay? Mama nggak kenapa-napa. Ini Mama di rumah) (Apa? Di rumah?) Aku nggak habis pikir dengan jawaban mama yang teramat santai itu. Seperti tidak ada dosa dari tutur katanya, sedangkan kami di sini mati-matian nyariin dia. (Kok bisa, Ma. Mama pulang pakai apa? Kok nggak bilang sama kita?)
“Mama beneran nggak terjadi apa-apa?” tanyaku lebih serius saat Mas Adji sudah melenggang pergi dari rumah kami. Mama diam tanpa menjawab pertanyaanku, hentakan nafasnya lambat namun lebih keras dari biasanya. “Sudah ah, Nay. Mama mau istirahat.” Mama meninggalkanku sendirian di ruang depan, melenggang pergi menuju kamarnya yang langsung dia tutup pintunya. “Aku yakin, ada sesuatu yang terjadi pada mama.” *** Shalat sudah mulai rutin aku tunaikan, yang dimulai hanya dua waktu kini telah sempurna menjadi lima waktu. Perut kini kian membesar dan masa iddah juga hampir berakhir. Dering telepon dari dalam kamar membuatku bergegas pergi mendatangi. Belum sempat aku melihat layar ponselku, deringnya telah berhenti terdengar. ‘’Nomor yang sama yang waktu itu menghubungi mama,’’ gumamku setelah melihat riwayat panggilan. Aku mnggenggam ponselku. Kuambil laptop yang telah lama tidak menyala dari dalam almari. Setelah kabel charger mengisi daya, monitor mulai bercahaya. Kutekan beberapa a
"Mama di mana?" Aku masih berusaha mencari keberadaan mama. Tenagaku rasanya masih sangatlah lemah hingga membuat pergerakan yang sangat pelan, pun demikian tak membuatku menyerah untuk mencari mama karena dialah satu-satunya yang aku punya. "Nay," panggil Aher dari arah belakangku. Aku berhenti berjalan, membalikkan badan dan Aher nampak setengah berlari ke arahku. "Nay, kamu mau kemana? Kamu lagi sakit, ayok kembali!" ujar Aher. "Her, aku mau nyari mama." "Nyari ke mana? Hah? Emang kamu tahu mama kamu di mana?" tanya Aher. Aku menggelengkan kepala. Aher berdecit pelan. "Sudah kita kembali ke kamar ya, mama kamu lagi di toilet, mungkin sudah ke ke kamar inapmu sekarang, nah gimana kalau dia panik kamu nggak ada di sana?" Aku kembali ke ruang inap dengan Aher. Saat Aher membuka pintu dan aku masuk, ternyata mama dan Mas Adji sudah berada di sana begitu juga sosok yang cukup mengejutkanku. "Ma, mama baik-baik saja?" tanyaku langsung dengan keadaan cemas. "Dari mana berdua-dua
Mama kembali datang ke kamar karena Mas Adji harus pulang sekarang, sudah hampir tengah malam dan cukup lama dia menemaniku di sini. "Aku tinggal ya, Nay. Nanti kalau ada perlu kamu tinggal telepon aku." Mas Adji berbicara sangat lembut kepadaku. "Iya, Mas. Makasih sudah ditemenin." Bagaimanapun kami sekarang tiada ikatan lagi, tidaklah pantas jika Mas Adji menemaniku di sini semalaman. "Ma, Adji pamit pulang." Mas Adji mencium punggung tangan mama. Mantan istri memang ada, sedangkan mantan mertua itu tidak ada. Mas Adji tetap menganggap mama sebagai orang tuanya juga sama seperti waktu kami hidup seatap. "Hati-hati ya, Dji. Kamu jangan khawatirin Naya, Mama pasti jagain dia di sini." "Iya, Ma." Aher tiba-tiba muncul setelah mengetuk pintu. "Mari!" ujar Aher menjemput Adji untuk pulang. Mas Adji melenggang pergi meninggalkanku dan mama di sini. Padahal, aku tak ingin dia pergi namun apalah daya memang seharusnya begini. Mama hanya diam seribu bahasa, mungkin dia masih kesal
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua