Setelah Tante melenggang pergi meninggalkan kami berdua. Aku menatap ke arah Aher yang sedari tadi menundukkan kepalanya. "Her," panggilku pelan."Apa lagi, Nay?" ujarnya. "Sekarang lebih baik kita kembali ke kamar inap, kamu harus istirahat!" titahnya. "Tapi, Her. Aku perlu jawaban atas yang tadi." "Nggak ada, sekarang cepetan kita kembali. Nanti aku dimarahin sama Adji gara-gara kamu nggak mau nurut gini." Aku menekuk wajahku, dengan terpaksa aku harus mengikuti apa yang Aher katakan. Aher seperti menghindar atas pertanyaan mengenai tante, kulihat juga wajahnya berubah menjadi pucat saat berhadapan dengan tante, dan anehnya lagi menurutku, mengapa tante tidak bersikap munafik di depan Aher seperti dia bersikap baik di depan Mas Adji dan yang lain bukankah dia tahu kalau Aher adalah orang terdekat Mas Adji. Aku duduk di ranjang seraya melamun. Dawai pintu terdengar mendecit tanda ada seseorang yang akan memasuki ruangan ini. Pintu terbuka menampakkan sosok yang telah membukanya
"Maafin Tante, Dji. Tante nggak becus jagain Naya." "Udah, Tante. Tante nggak perlu minta maaf. Tante nggak salah sama sekali kok. Malah Adji berterimakasih banget sama Tante, untung Tante datang tepat waktu. Kalau nggak pasti udah terjadi sesuatu sama Naya."Aku baru saja sadarkan diri. Terdengar isakan tangis di dekatku disertai rintihan suara yang menjengkelkan itu. Usapan lembut menyapa ubun-ubunku. Perlahan kubuka mata dan kudapati wajah mama yang sedang mengusap ubun-ubunku dengan lembut. "Ma," panggilku. Seketika serentak semua yang ada di ruangan ini berdiri dan menatapku."Naya," jawab mama. Matanya sembab, tangannya juga terasa sangat dingin bahkan ingin gemetar. "Nay, kamu sudah sadar." Mas Adji menghampiriku. Diikuti oleh tante yang lumayan membuatku trauma. "Mas," ucapku. "Kamu kenapa, Nay. Cerita sama aku!" Mas Adji menatapku lembut. "Nay," ucap tante seraya memegang kakiku yang terbalut selimut. "Jangan! Jangan mendekat! Pergi!" Entah mengapa aku tak bisa menah
"Nay, kamu sudah jauh lebih tenang?" Mas Adji telah kembali menemuiku. "Sudah, Mas. Maaf tadi aku bikin semua orang khawatir." "Bukan salah kamu kok. Sudah, kamu sekarang jangan mikirin yang aneh-aneh ya, banyakin istirahat. Kalau ada yang mau kamu ceritain, ceritain ke aku. Aku siap dengerin semuanya, ya." Mas.Adji memang energi positif bagiku, hanya dengan melihatnya saja sudah menyejukkan jiwaku apalagi bila mendengar suara lembutnya yang penuh kasih sayang itu. Mama telah keluar dari ruangan, katanya ada sesuatu yang dia lupakan di rumah. Sebenarnya itu hanya sebuah alasan pada Mas Adji, apa boleh buat mama punya jalan hidupnya sendiri yakni ingin membebaskan Kak Andin dari penjara. Aku masih penasaran dengan apa yang diminta Tante pada mama, tapi aku tak boleh membebani pikiranku terlalu jauh. Kondisiku benar-benar lemah, kasihan bayi yang ada di dalam perutku jika aku terus-terusan begini. "Mas, aku boleh pulang hari ini?" tanyaku. Mas Adji duduk pada kursi disamping ranja
Kak Kusuma mulai memulai ceritanya tentang Pritta. "Waktu itu, waktu pertama aku bertemu dengannya, Pritta." Flash back moment... Jauh sebelum aku bertemu dengan kak Kusuma.Kusuma tengah duduk di coffe shop dan menikmati secangkir kopi americano seraya menatap layar laptopnya. Di meja yang berbeda, Pritta juga tengah menikmati kopinya. Sepertinya, Pritta tengah menunggu seseorang. Terlihat ia beberapa kali mengecek sekelilingnya dan kemudian menatap layar ponselnya secara berulang. Kusuma baru satu pekan di Indonesia karena sejak kecil ia tinggal bersama kakek neneknya di Belanda. Kusuma kembali ke Indonesia tak lain untuk mencari seseorang yakni saudara kembarnya, Adji. Segala informasi ia cari dari paman dan tantenya yang dahulu merawat Adji. Adji telah lama keluar dari rumah paman dan tantenya, hingga akhirnya dia menikahiku. "Permisi, Pak. Boleh saya minta tolong?" Pritta telah berdiri di hadapan meja Kusuma. Kusuma lantas saja berdiri kemudian dengan senang hati mengiyakan
"Aku dan Pritta menjadi semakin akrab sejak itu. Aku sudah menikah dan ia berhasil merebut kebahagiaan rumah tanggaku dengan taktik liciknya itu." Kusuma mengepalkan tangannya sambil bercerita. "Pritta mempertemukan aku dengan Adji, waktu itu Adji sedang mendagang sayurannya kepada ibu-ibu komplek. Aku tak bisa menahan air mata haruku saat melihatnya sehat bugar."Kali ini Mas Adji yang menceritakan kejadiannya bertemu dengan Pritta. "Saat itu aku sedang menjaja sayurku. Tiba-tiba seorang perempuan datang dan bertanya-tanya soal sayuranku. Ialah Pritta, pertanyaan menjalar dengan alamat serta statusku.""Sayang banget loh masih muda malah jualan sayur kayak gini. Mas bisa loh dapet pekerjaan yang jauh lebih layak." Adji tersenyum menanggapi. "Tidak ada yang salah kan jadi penjual sayur? Yang penting kan halal." "Bener juga sih. Tapi kalau aku lihat-lihat nih ya Mas kayaknya Mas ini mirip banget sama seseorang. Eh bener lah, sembilan puluh sembilan persen mirip loh. Cuman beda di
Usaha Mas Adji berjalan lancar dengan segenap usaha, doa dan bantuan saudaranya, Kusuma. Bukan hanya itu, Pritta bahkan juga dapat jatah andil daam hal ini karena Mas Adji harus menepati janjinya pada Pritta. Ada beberapa persyaratan yang Pritta ajukan pada Mas Adji dan semua itu disanggupi oleh Mas Adji. Itulah ia, Mas Adji selalu menepati janji-janjinya kepada siapapun. ''Kamu masih ingat kan dengan perjanjian kita di awal?'' ujar Pritta setelah sudah tak berada di hadapan Kak Kusuma. ''Tentu saja, Mbak. Aku nggak akan ngelupain janjiku. Lagi Pun ini adalah hal yang sangat luar biasa di hidup kami. Sekali lagi terimakasih.''''Baiklah, syarat yang pertama kamu nggak boleh bilang ke Kusuma tentang perjanjian ini. Yang kedua, kamu nggak boleh ngasih tahu siapapun tentang usaha bisnis kamu sama keluarga atau pun temen-temen kamu. Biarkan orang-orang mengira jikalau usaha ini pure hak milik Kusuma. Gimana? Untuk dua hal ini kamu sanggup?''''Tentu, aku terima kedua syarat ini.''''Bag
Setelah beberapa hari dirawat di rumah sakit, akhirnya hari ini aku bisa pulang kembali ke rumah. Tapi bukan untuk menetap, melainkan aku pulang untuk mengemas barang-barangku sesuai janjiku pada Mas Adji. Aku mengelus perutku sembari duduk di kursi. Ini demi anak kami. Pula dengan aku tinggal di rumah Mas Adji, tante tak akan bisa mencoba untuk melukai kami lagi. Di sana adalah tempat paling amat untukku, bayiku dan juga mama. "Nay, boleh mama bicara sama kamu." Mama datang menghampiriku. "Iya, Ma. Bicara saja!" jawabku. Mama menarik kursi hingga tepat berada di depanku dan ia pun duduk di kursi itu. Lengkungan senyuman tergambar pada bibir manisnya, kemudian mama mengambil kedua tanganku. "Nay, mama mau ngomong kalau mama nggak ikut kamu ke tempatnya Adji." "Ma," ucapku. "Nay, dengerin mama. Kamu jangan khawatirkan mama, mama baik aja kok di sini sendirian.""Tapi, Ma." "Tantenya Adji nggak bakalan ngelukain mama, percaya sama mama. Kamu harus ke sana, Nay karena dengan di s
Selesai berkemas, Mas Adji datang menjemputku. "Kenapa mama nggak ikut?" tanya Mas Adji setelah aku memberitahunya. Mama pun mengatakan alasannya. Mas Adji menanggapi dengan lembut dan ia menerima alasan mama dan menghargai keputusan mama. "Adji, mama mau minta tolong sama kamu, boleh?" "Tentu, Ma. Tentu boleh." "Mama minta tolong, jagain Naya. Jaga dia sebaik yang kamu bisa, jaga dia dari orang-orang sekitarnya sekalipun orang terdekatmu."Aku memicingkan mataku. "Orang terdekat, Ma?" "Maksud mama, pada siapa pun. Kita kan nggak tahu bagaimana perasaan orang lain terhadap kita. Naya adalah orang asing di keluargamu, dia belum pernah hidup berbaur dengan mereka. Bantu Naya agar tidak tersalah dalam bersikap, beritahu ia apa yang baik dan tidak untuk dikerjakan." "Mama benar, Adji pasti akan melakukan yang terbaik semampu Adji, Ma. Do'akan Adji, Ma." ***Setelah berpamitan dengan mama, aku ikut Mas Adji berangkat menuju rumahnya. "Nay, gimana keadaan kamu sekarang? Sudah lebi
Kembali Pov Naya"Jadi, sejak saat itulah Dina sangat membenciku. Aku sudah berusaha untuk menjelaskan semuanya padanya namun dia tidak mau sama sekali mendengarkan aku, bahkan surat dan pesanku tiada yang diterima olehnya. Ia selalu menganggap ku sebagai pembunuh Nia. Aku sama sekali tidak menyalahkannya karena ia tidak tahu apa yang telah terjadi. Aku tetap menganggapnya seperti sahabatku dulu.""Jadi, ternyata mama bukan pembunuh ibu?" Mama mengangguk. Aku langsung memeluk mama erat. "Maafin sikap Naya barusan, Ma. Naya sudah lancang marahin mama.""Nggak apa, Naya. Mama yang harusnya minta maaf sama kamu karena sudah menyembunyikan ini selama ini." "Sinta." Panggil seseorang dari jarak yang tidak jauh dari kami. "Tante." Mas Adji menyahut. Ternyata ada Tante Dina di sini. "Sinta, aku sudah denger semuanya. Maafin aku selama ini aku sudah salah menilaimu." Ternyata Tante Dina sedari tadi mengikuti kami. Dia juga sudah mendengar cerita mama akan apa yang sebenarnya terjadi p
Pov Mama (Sinta) Flash backMalam itu. Kilat dan petir saling bersahutan, namun hujan belum menyapa bumi. Aku sedang kerepotan karena Andin kecil sedang demam tinggi, sedangkan Mas Budi tiada ketemukan di mana pun ruangan rumah. Andin kecil merengek menangis tanpa henti. Aku prustasi, aku melihat ponsel satu ponsel Mas Budi yang tergeletak di atas meja karena dia mempunya dua buah ponsel. Kulihat ia sedang asyik dengan telponnya di teras rumah. Aku pun mendekat dan tanpa sengaja aku mendengar percakapannya meski tidak mendengar suara lawan bicaranya. Seketika badanku luruh saat Mas Budi menyebut nama Nia.'Apa? Nia istriku akan melahirkan malam ini? Aku akan segera ke sana sekarang. Dina, tolong jagain Nia. Secepatnya aku bakalan ke sana.' Mas Budi menutup ponselnya kemudian berbalik arah dan dia melihat keberadaanku. "Sayang, sejak kapan kamu di situ?" tanyanya. "Mas, apa bener yang aku dengar kalau kamu dan Nia?" "Mas Budi mengajakku masuk ke dalam rumah. "Mas jawab pertanya
Kepalaku di atas paha mama, mama mengusap lembut suraiku. Sudah sangat lama tidak seperti ini, sering kulihat Kak Andin terlihat sangat nyaman dengan mama sperti ini bahkan sampai usia dewasanya. "Ma, dulu waktu mama ketemu sama ayah gimana ceritanya? Naya penasaran loh. Pasti kisah mama sama ayah sangat romantis."Seketika jemari mama berhenti mengusap suraiku. Aku mengangkat kepalaku dari paha mama. Sempat kulihat mama menyeka air matanya. "Mama kenapa. Naya salah ngomong? Maa fin Naya Ma!" ucapku panik. Pasti mama sedih karena teringat sosok ayah. "Tidak apa, Nay. Mama nggak kenapa-napa kok. Besok kamu sudah boleh pulang kata dokter. Mama sudah izin sama Adji buat bawa kamu ke makam ayahmu. Kamu mau?" Aku menahan tangis dengan melengkungkan bibirku ke bawah. Aku pun mengangguk kemudian memeluk mama erat. "Mau, Ma. Sudah sangat lama Naya nggak jenguk makam ayah. Naya rindu sama ayah." Malam yang sendu. Mama memintaku untuk segera tidur beristirahat. Mama sibuk menata barang-ba
Kembali ke masa kiniPov NayaAku hanyut dalam menyimak cerita flash back dari Tante Dina. "Jadi maksud tante, mama bukan ibu kandungku?" tanyaku setelah menyimak dengan jelas cerita tante Dina. Ia mengangguk seraya menyeka air matanya yang cukup lama mengalir ke pipinya. "Nggak mungkin. Tante pasti bohongin aku, kan? Tante cuman mengada-ngada cerita." Aku menolak kenyataan yang mungkin hanya cerita bualan dari Tante Dina. "Dan satu lagi, soal pembunuhan itu suatu hal yang nggak wajar, itu nggak mungkin. Mama itu orang yang baik. Tante nggak akan bisa menghasut aku untuk membenci mama, nggak akan bisa. Bagaimanapun mama adalah orang tua Naya." Aku hendak beranjak meninggalkan Tante Dina. "Terserah kamu mau percaya atau tidak, aku hanya ingin menyampaikan semua rahasia yang telah Sinta simpan selama dua puluh empat tahun lamanya. Sekarang tugasku cuman satu, yaitu membalaskan dendam Nia." Tante Dina mendahuluiku, ia beranjak meninggalkanku dengan perasaan hatiku yang menggantung.
Masih dengan pov Tante Dina. Hujan mengguyur bumi dengan derasnya malam ini. Aku kesulitan mencari taksi dan sejenisnya. Di bawah guyuran hujan, aku terpaksa menerobosnya karena rasa tak enak hati ini benar-benar membuatku tak bisa tenang. Hujan memperlambat langkahku. Dentuman sambaran petir semakin berseru berbaur dengan semakin derasnya air hujan yang menyapa bumi. Sebagian jalanan gelap dikarenakan lampu jalan yang mati. Semuanya tidak membuatku goyah sama sekali. "Nia, kamu baik-baik saja kan?" gumamku. "Sinta nggak mungkin melakukan hal buruk sama sahabat yang sudah menolongnya. Benar kan, Sinta?" Aku berbicara sendiri. Tapi kenapa nada bicara Sinta terdengar seperti menahan emosi, suaranya tertekan di dalam. Aku sangat mengenal karakter kedua sahabatku itu, nada bicara mereka dengan suasana hati mereka tidak bisa dibohongi, itu murni. Beruntungnya aku, disaat seluruh pakaian bahkan badanku basah kuyup, ada seseorang yang baik hati yang mau menumpangkan mobilnya untukku. "
Ada rasa yang tidak nyaman, sangat tidak nyaman yang membuatku tidak tenang saat aku meninggalkan rumah sakit, meninggalkan Nia bersama Budi. Tapi, mau bagaimana lagi aku juga tak ingin terjadi sesuatu pada suamiku meskipun ia miskin dan penyakitan namun tetap saja aku mencintainya, dia adalah suamiku satu-satunya. Suamiku, Mas Yusran sudah dibawa tetangga ke rumah sakit. Kalau terlambat sebentar saja bisa membuat nyawanya melayang. Dokter mengobati suamiku cukup lama, aku tak bisa duduk diam di liar ruangan. Kedua pikiran yang tidak mengenakkan ini membuatku sangat tidak nyaman. Pintu ruangan terbuka, dokter telah keluar dari ruangan suamiku. Tanpa jeda, aku langsung menghampirinya dan menanyakan bagaimana keadaan suamiku. "Dok, gimana keadaan suami saya Dok? Dia baik-baik aja, kan?" tanyaku panik. "Alhamdulillah, Pak Yusran dibawa ke rumah sakit tepat waktu. Ibu tenang saja, dan banyak berdoa. Sekarang suami ibu perlu banyak istirahat dulu." Dokter pun meninggalkan aku. Aku masu
"Sampai kapan pun, aku nggak akan bisa cinta dengan perempuan lain selain kamu, Sayang." Budi mengecup kening Nia. Sebulan setelah menikah, kabar gembira datang. Sinta sedang mengandung. Kabar bahagia itu sebenarnya adalah kabar paling menyakitkan bagi seorang perempuan yang merelakan suaminya dengan perempuan lain. "Aku selalu bersama Nia, membantunya berobat sampai ia sembuh. Aku yakin, dia pasti sembuh. Pengobatan tidak sebentar, memakan waktu yang sangat lama namun Nia tidak pernah menyerah. Saat mendengar kabar jika Sinta telah melahirkan seorang putri, keadaan Nia membaik. Aku tidak tahu seperti apa kuatnya hati Nia, aku tidak mengerti bagaimana ia sangat kuat menelan pahitnya kecemburuan." "Setelah Sinta melahirkan, Budi semakin jarang pulang ke rumah untuk menemui Nia. Aku semakin prihatin dengan keadaan Nia, namun Nia seratus persen percaya pada suaminya." "Nia, hari ini kamu harus ke rumah sakit lagi buat periksa sama dokter. Gimana, Budi pulang hari ini?" Nia menggengg
"Siapa dia, siapa orang yang ada dalam foto tersebut?" tanyaku. "Ia Nia. perempuan berambut sebahu yang cantik dan lemah lembut. Aku, Nia dan Sinta ibumu dulunya tiga sekawan." Aku terperanjat. "Apa, tiga sekawan?" ujarku tak percaya. "Benar. Sejak sekolah, kami bertiga selalu bersama. Hingga akhirnya waktu kelulusan SMP kami bertiga terpisah, aku pindah ke kota yang jauh dari sini. Tinggalah Nia dan Sinta, mereka tetap bersama. Setelah puluhan tahun aku kembali ke kota ini, namun aku sudah tidak pernah bertemu dengan mereka karena aku telah hidup dalam rumah tanggaku." Suara Tante tiba-tiba berubah, sepertinya ia menahan tangisnya. "Sekian lamanya, aku merindukan mereka namun apalah daya aku malu jika harus bertemu mereka dengan kondisi menyedihkanku, aku tak bisa berbuat apa-apa karena aku menikah dengan lelaki miskin yang tidak berguna. Kehidupan kami susah, aku menikah di umur yang terbilang masih muda dan aku harus menanggung betapa beratnya kehidupan rumah tangga yang tidak
"Enak banget ya kamu numpang hidup mewah sama keponakanku." Tante duduk di sofa dengan santai. Aku memilih untuk tak menanggapi, rasanya berada di sini membuatku terbakar raga dan hati. Aku bersiap untuk melenggang pergi meninggalkannya sendiri."Eh, mau ke mana kamu?" cegat tante. "Mau istirahat Tante, Mas Adji bilang Naya harus istirahat di kamar sekarang." "Enak aja. Nggak bisa gitu dong. Sini dulu, pijitin kaki aku!" Tante menepuk-nepuk kakinya. "Cepetan!""Nggak mau, pijit saja sendiri." Aku melanjutkan langkah kakiku."Oke, kamu mau aku melakukan hal yang tidak-tida ke ibumu?" ancamannya membuatku kembali berhenti. Aku membalikkan badanku cepat. "Jangan berani melukai mama, Naya nggak akan segan-segan melakukan hal buruk pada tante." "Coba aja kalau bisa. Heh, emangnya kamu bisa apa?" "Naya bisa bilang ke polisi kalau tante mencoba melakukan pembunuhan.""Kata siapa, mana buktinya? Oh, kamu mau kakak sama ibumu celaka, gitu? Kalau kamu mau, aku bisa eksekusi mereka berdua