"Kamu harus memberi tahuku sebenarnya dia siapa?" Hana bertanya kembali. "Aku tidak yakin kalau dia hanyalah anak dari tukang kebun Julia. Pasti itu bohong juga, kan?"
Wajah Green semakin muram. "Soal Jack, apa itu penting?"
"Tentu saja. Bukankah dia sudah menolong kita? Dia pahlawan kita, Green! Kalau tadi Jack tidak sedang berada di sana, aku yakin pria gila itu sudah membuat kita berdarah-darah! Aku sangat bersyukur karena dia ada di sana?" Hana sedikit melompat seperti penggemar baru.
Green menelan ludahnya. Dia tidak senang mendapati Hana seperti itu, mengagumi pria lain. "Apa kamu tidak berpikir kenapa dia ada di sana?"
"Bukankah kamu bilang kebetulan?" Walaupun menurut Hana itu kecil kemungkinannya tetapi bisa saja itu memang kebetulan.
"Kapan aku bilang bahwa itu kebetulan?" Suara Green tampak sedikit tidak sabar.
"Memang tidak ada. Tapi t
Selamat membaca, Readers! ^^ ❤️ (◠‿◕)
Menjelang malam, Albert menelepon pihak yang ia suruh untuk menculik Green. "Kenapa kalian tidak memberikan laporan apa pun padaku?" tanyanya dengan kening mengerut. "Maafkan kami, Tuan. Tuan Muda Green memiliki pengawalan yang ketat. Kami sulit untuk bergerak." Pengawalan? "Apa maksudmu?" "Tuan Muda Green memiliki pengawal yang licin, dan.... dan... banyak, tidak hanya satu.. Mereka melumpuhkan kami satu per satu, Tuan," ucap pria itu dengan suara tercekat. "Apa kau tahu siapa mereka, siapa di balik semua ini?" tanya Albert tak sabar. Dia sungguh terkejut mendengar hal itu. "Kami tidak tahu, Tuan. Maafkan kami karena tidak bisa menjalankan tugas dengan baik." "Dasar bodoh!" umpat Albert. Setelah selesai melakukan panggilan, dia memijit pelipisnya yang berdenyut. Dia merasa ini s
Kemarin malam, Hana meminta Green menunjukkan uang yang ia miliki tetapi Green mengatakan, "Percaya padaku, Hana." Hana hanya bisa mengatupkan mulutnya. Dia tidak mau membuat Green tersinggung jika ia lebih mendesaknya. Kesannya dia sama sekali tidak percaya pada Green. Padahal Hana meminta seperti itu agar dia merasa lega. Alhasil, hingga siang ini rasa tidak tenang terus mengganggunya. Bahkan saat ini jantung Hana sudah berdebar dengan kencang dengan pikiran bercampur aduk. "Kami berdua benar-benar ada di sini sekarang! Uang itu, uang itu pasti ada!" seru Hana dalam hati meyakinkan dirinya sendiri. Dia menoleh menatap Green yang tampak tenang. Dia juga melirik Jack yang berdiri di belakang mereka. "Ini...Ini tidak akan menjadi lelucon yang memalukan, kan? Tidak mungkin! Green begitu yakin. Uang itu pasti ada! Iya uang itu pasti ada! Tidak mungkin tidak ada! Kami bahkan sudah melangkah kemari dengan pasti! Tapi jika uang itu memang ada,
Semua menatap Erina. Lalu Rudy dan Gerry ikut-ikutan melihat layar perangkat Erina. Benarkah nama Green yang tertera di sana? Benarkah Green sendiri yang membayarnya?"Bukankah.....namamu Green Assa? Kenapa....di sini bernama.....Green Williams?" tanya Erina dengan rasa bingung. Tetapi tetap kebingungan utamanya adalah dari mana Green mendapat uang sebanyak itu?"Mungkin Nenek salah baca," ucap Marcell. "Setahuku namanya memang Green Assa.""Tidak, Nenek tidak salah baca, Marcell," jawab Erina.Marcell diam. Walaupun sedikit tidak enak mendengar nama yang sama yaitu Williams. Marcell hanya berpikir bisa saja itu hanya kebetulan sama. Yang ia pertanyakan kenapa namanya berubah? Atau memang nama asli Green adalah Green Williams?"Di sini tertera Green Williams. Siapa sebenarnya nama kamu?" tanya Rudy pada Green. Kali ini dia berbicara tanpa nada membentak.Gree
Tanpa berkata-kata Marcell langsung berdiri dan keluar dari ruangan itu. Baginya tidak ada seorang pun yang perlu dihormati di ruangan itu. Jadi untuk apa dia berbasa-basi permisi pada mereka? "Marcell?" Ketiga orang tersebut terkejut melihat Marcell pergi begitu saja tanpa pamit. "Rudy, susul dia!" seru Erina. Rudy segera menyusul keluar. "Nak Marcell. Kenapa kamu langsung keluar tanpa berucap apa pun? Maafkan jika suasana membuatmu tidak nyaman. Hal ini sungguh tidak terduga," ucap Rudy begitu dia mencegat Marcell. "Dasar penjilat," gumam Marcell tetapi mampu didengar oleh Rudy. "Apa?" ucap Rudy terkejut. Marcell tidak berkata apa-apa lagi. Dia langsung meninggalkan Rudy di sana. Rudy sungguh tidak nyaman mendengarnya. Tetapi kemudian ia segera masuk ke dalam ruangan. Dia mendengar Green sedang berbicara. "Kalian memang ke
"Green Williams," gumam Hana dengan mata terpejam saat ia merendam tubuhnya di bathtub yang berisi air hangat bercampur dengan minyak esensial murni.Beberapa hari ini adalah hari yang luar biasa bagi Hana. Dimulai dari hari ketika ia bertemu dengan Green yang ternyata masih hidup dan dalam keadaan sehat. Dan hari ini, dia adalah pemilik sah dari PT. Andalan Winata. Hana tidak pernah membayangkan hal ini sebelumnya.Namun yang mengganggu pikiran Hana saat ini adalah nama asli Green yang sekarang adalah Green Williams. Karena nama itu, Hana tidak bisa mencegah pikirannya untuk tidak mengaitkan Green dengan Marcell."Apa mereka memiliki hubungan? Pertama, wajah mereka begitu mirip. Kedua, Green mampu membeli perusahaan besar seolah itu bukan apa-apa.""Tetapi sikap Marcell sendiri seolah dia tidak memiliki hubungan sama sekali dengan Green.""Hufft...membingungkan!" Hana menghela n
"Jadi, kamu masih memiliki keluarga kandung?" tanya Anton. "Iya, Pa." "Jadi, di mana mereka sekarang? Papa ingin bertemu secepatnya dengan keluargamu!" sahut Anton kembali. Keluarga Green pastilah orang hebat, itu sebabnya Green bebas menggunakan uang dengan jumlah yang besar! "Iya, Mama juga ingin bertemu langsung dengan mereka, Green. Pertemukanlah kami dengan mereka," timpal Jihan tak kalah bersemangat dari suaminya. "Baiklah, Pa, Ma. Kebetulan keluargaku akan datang dari luar negeri malam ini, jadi besok aku bisa mempertemukan kalian," ucap Green. Tadi Reyhans memang sudah mengabari Green bahwa dia akan datang ke negeri ini malam ini juga. Dan Reyhans meminta Green untuk membawa kepadanya cucu menantu perempuannya itu besok. Mulut Hana terbuka mendengarnya. Ternyata lebih cepat dari yang ia bayangkan! Hana mendadak gugup.
Begitu Marcell pergi meninggalkan mansion, Sally dan Albert mulai berdebat."Albert, berita apa ini sebenarnya? bukankah kamu berencana membereskan Green? Tetapi sekarang dia malah memakai nama keluargamu bahkan mampu membeli PT. Andalan Winata! Begitukah cara kamu membereskannya?" ucap Sally penuh rasa curiga. Matanya bahkan mulai berkaca-kaca. Dia melangkah mundur menjauhi Albert."Aku tahu.....Aku tahu.....Dalam hatimu yang paling dalam kamu sebenarnya sangat mencintai anak itu! Kau sudah menipuku! Kau berbohong, Albert!" teriak Sally dengan suara keras. Dia bahkan sempat berpikir bahwa suaminya mungkin akan membunuh Green. Tetapi apa sekarang yang terjadi? Suaminya sungguh keterlaluan!Albert melangkah maju mendekat pada Sally dan memegang erat kedua sisi lengannya. "Sally, tolong berpikirlah dengan jernih! Untuk apa aku repot-repot bertanya pada Marcell tentang kejadian tadi siang kalau aku memang sudah tahu? Justru
Sementara itu, Gerry dan Rudy tampak murung bekerja. Mereka sudah tidak memiliki ruang pribadi sendiri untuk bekerja. Rasanya mereka begitu malu, sungguh sangat malu saat karyawan-karyawan itu menatap mereka! Beginikah yang dirasakan kakak mereka, Anton, saat jabatannya sebagai direktur utama dicabut? Tetapi keadaan mereka jauh lebih mengenaskan sekarang, bahkan putra-putra mereka berstatus pengangguran saat ini dan masih dirawat di rumah sakit. *** "Bohong! Kau berbohong!" seru Reynaldi saat Ghania menceritakan kejadian kemarin siang pada kakaknya itu. "Aku lagi sakit! Jangan kau membuat kabar aneh yang membuatku marah!" "Untuk apa aku berbohong? Green memang membeli PT. Andalan Winata kemarin siang," tegas Ghania sambil bersedekap. Rey diam. "Dari mana? Dari mana dia mendapat uang sebanyak itu? Itu uang yang banyak sekali! Ghania, kau sudah gila! Aku tidak percaya padamu!"
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be