"Untuk sementara tinggallah di rumah. Jangan ke mana-mana." Seorang lelaki paruh baya memperhatikan baik-baik keseluruhan tubuh Green yang sudah diobati. Dia adalah suami dari Mirna Wati, bibi pengasuh Green. Namanya, Budianto Assa. Mereka memiliki seorang anak laki-laki berusia 12 tahun bernama Rafa Assa.
"Terima kasih, Paman," ucap Green. Dia mencoba berbaring perlahan. Seluruh tubuhnya sakit sekali karena kejadian tadi sore. Beruntung setelah hampir lima belas menit tertidur di lantai lapangan basket di sekolah itu, Green akhirnya memiliki tenaga untuk beranjak dari sana dan berjalan pulang.
"Rafa, tetaplah di sini temani kakakmu. Kalau ada sesuatu segera telepon Ayah. Ayah harus berangkat kerja sekarang untuk shift malam. Ibumu akan pulang satu jam lagi."
"Iya, aku akan menemani Kak Green. Ayah tenang saja."
Budianto Assa pun pergi berangkat bekerja menuju bengkel mobil tempat dia bekerja.
***
Melihat Green tidur, Rafa segera bersiap-siap untuk sholat karena sudah Maghrib. Rafa memang anak yang sholeh dan juga tampan. Kedua orang tuanya mendidik dia dengan sangat baik.
Selesai sholat, Rafa kembali menghampiri Green.
"Apa Kak Green ingin minum?" tanya Rafa sambil menatap bibir Green yang memucat. Green menggeleng dan tersenyum kecil. Sementara Rafa menatapnya dengan wajah sedih.
"Rafa, apa kamu tak bosan menjagaku terus?" tanya Green dengan suara rendah.
"Kenapa bosan? Aku tak pernah merasa bosan kok, Kak." Rafa naik ke ranjang, duduk menghadap Green yang sedang berbaring.
"Karena aku, keseharianmu sepulang sekolah hanya berada di sampingku saja. Bahkan ketika aku mandi, kamu terpaksa harus menungguiku di dekat ruang kamar mandi," tutur Green.
"Mau bagaimana lagi, Kak? Nanti kalau penyakit Kakak kumat dan tidak ada yang melihat, bisa-bisa..." Rafa tak melanjutkan kata-katanya. Ibunya mengatakan padanya, jika Green kumat dan tak ada yang menolong, Green bisa saja meninggal.
"Kamu pasti ingin bermain ke luar dan melakukan kegiatan-kegiatan yang kamu suka kan, Rafa? Karena aku, kamu jadi tidak bisa bebas," ucap Green dengan rasa menyesal.
"Kadang aku memang ingin bermain. Tapi tidak apa-apa kok, Kak. Lagian aku sudah terbiasa seperti ini."
Tap tap tap... Suara langkah kaki. Rafa menoleh ke sumber suara. "Itu pasti Ibu!" tebak Rafa. Tepat saja, Mirna, ibunya Rafa langsung masuk ke kamar mereka.
"Green! Kamu tidak apa-apa?" Mirna bergegas memeriksa tubuh Green. Mulai dari wajah, tangan, dan akan membuka bajunya.
"Um, Bi. Aku sudah diobati paman. Bibi tidak usah repot-repot lagi memeriksa," tolak Green. Mirna menghela nafas berat.
"Sudah berapa kali Bibi katakan, kamu tunggu saja paman atau bibi untuk menjemput dan mengantarmu pulang. Kenapa kamu keras kepala, Green?" ucap Mirna cukup kesal.
"Maafkan aku, Bibi. Aku hanya tidak ingin terlalu merepotkan," jawab Green.
"Kalau di sekolah, masih ada guru yang memperhatikan. Tapi kalau kamu kumat di tengah jalan, bagaimana?" tanya Mirna seraya mencengkeram pergelangan tangan Green.
"Mulai sekarang, aku tidak perlu diawasi, Bi. Rafa juga tak perlu menjagaku lagi. Seandainya kumat, biarkan saja aku mati," ucap Green dengan nada datar. Dia sudah lelah menjalani hidupnya yang sulit.
"Apa? Tuan Williams dan Nyonya sudah menitipkanmu pada Bibi. Meminta Bibi untuk merawatmu. Bibi akan menjagamu selamanya," ucap Mirna. Albert Williams adalah ayah kandung Green. Dan Mirna Wati adalah seorang tenaga kerja wanita (TKW) di luar negeri. Keluarga Williams adalah majikannya waktu itu. Kedua orang tua Green sangatlah sombong. Sampai-sampai mereka tega membuang Green hanya karena mengidap penyakit yang mereka rasa cukup memalukan, ditambah lagi waktu itu Green tampak seperti anak idiot.
"Mereka sudah membuangku. Mereka malu mempunyai anak yang penyakitan. Bibi tidak perlu mengindahkan kata-kata mereka lagi." Suara Green terdengar getir. Mirna sempat tertegun mendengar kata-katanya. Walaupun Mirna tidak menjelaskan alasan orang tua Green menitipkan Green padanya tetapi Green ternyata bisa menyimpulkan alasannya dengan benar.
"Mereka tidak membuangmu. Mereka masih mengirimkan uang untuk kebutuhanmu dan keluarga kita," ucap Mirna.
"Sejak aku dititipkan pada Bibi, sejak itulah mereka sudah membuangku," jawab Green.
"Bukan begitu, Green..."
"Dan sejak saat itulah aku dan mereka tidak pernah sedetik pun berkomunikasi," sela Green kemudian. Air mata Mirna sudah muncul di pelupuk mata. Sejak bayi, Green ada dalam perawatannya. Kasih sayang yang tulus dari hatinya mengalir begitu cepat seraya waktu berlalu pada Green.
"Bibi menyayangimu Green, Paman dan Rafa juga. Kamu tahu jelas akan hal ini. Jadi tolong jangan berbicara yang aneh-aneh tentang kehidupanmu. Jangan katakan kalau kamu ingin mati. Jangan menyerah Green," ucap Mirna menasehati dan mencoba menguatkannya. Green hanya tersenyum kecut mendengar kata tulus bibinya.
"Makasih, Bibi. Aku tahu kalian menyayangiku," jawabnya.
"Oleh karena itu, aku tak ingin merepotkan kalian lagi karena aku menyayangi kalian juga. Selain itu, untuk apa aku hidup? Untuk menderita? Untuk disiksa orang-orang? Aku sama sekali tidak punya tujuan hidup. Selama penyakit sialan ini menggerogotiku, aku tidak akan bisa punya cita-cita," ucap Green di dalam hatinya.
"Teman-teman sekolahmu yang melakukan ini?" tanya Mirna menebak.
"Iya, Bi. Seperti biasanya. Tidak apa-apa," jawab Green.
"Bibi akan melaporkan mereka, dan kamu akan Bibi pindahkan dari sekolah itu," putus Mirna.
"Terserah Bibi saja. Tapi jika aku pindah, mungkin aku akan tinggal kelas lagi. Mengulang lagi untuk tahun ini," ucap Green pasrah.
"Tidak masalah. Bibi hanya ingin membuatmu aman."
"Bibi.. Kejadian yang sama akan terulang lagi. Aku akan dibully lagi," ucap Green. Bibinya menggigit bibir. Sejak lama dia ingin menyekolahkan Green di sekolah khusus, tapi itu sama saja menyakiti hati Green. Seolah Green adalah anak yang cacat. Selain itu, biaya sekolahnya juga cukup mahal, Bibi dan Pamannya tak akan mampu menyekolahkannya di sana. Sementara orang tua Green sebenarnya sudah tidak mengirim uang lagi. Tidak tahu kenapa. Tetapi bibinya merahasiakan ini semua darinya. Dia tidak mau Green merasa tidak nyaman karena telah menyusahkan mereka.
***
Beberapa hari telah berlalu, Bibi Mirna telah menuntut sekolah itu, dan anak-anak yang membullynya hanya mendapat hukuman skorsing saja. Bibi dan pamannya tidak mempunyai uang, bagaimana bisa mereka menuntut lebih daripada itu?
Hari ini, Green pergi ke sekolah itu untuk terakhir kalinya. Dia akan mengambil barang-barangnya yang tersisa di loker sekolah.
"Green?" Suara lembut menyapa ketika Green sibuk mengeluarkan sisa barangnya dari loker. Green menoleh dan memandangnya dalam diam.
"Ghania?" gumamnya dalam hati.
Gadis itu mendekat. "Aku dengar kamu akan pindah dari sekolah ini. Apa benar?"
"Iya, aku akan pindah," jawab Green dengan nada tenang.
"Aku sedih mendengarnya, Green. Kenapa harus pindah?" tanya Ghania.
Green diam sejenak, lalu berkata, "Bukankah kamu jijik padaku?"
Deg.. Mata Ghania terbuka lebar, sedikit terkejut akan pertanyaan Green barusan. Apa jangan-jangan waktu itu Green mendengarnya?
"Apa kamu....mendengarnya waktu itu?" tanyanya ragu.
"Iya, aku mendengarnya," jawab Green. "Akan lebih baik kalau kamu bersikap apa adanya saja, daripada bersikap ramah seperti ini, Ghania."
"Karena itu lebih sangat menyakitkan untukku," sambungnya dalam hati.
"Kamu salah paham. Sebenarnya..." Ucapan Ghania terhenti begitu saja ketika dia mendengar suara langkah kaki.
Tap tap tap tap.. Beberapa siswa dan siswi mendekati mereka. Sial.. Kenapa mereka tiba-tiba ada di sini? Ghania menggigit bibirnya.
"Sebenarnya Ghania bersikap ramah padamu hanya sebatas karena ia adalah siswi teladan di sekolah kita. Sebenarnya pemikirannya terhadapmu sama saja seperti pemikiran kami. Iya kan, Ghania?" celetuk seorang siswi dengan tatapan remeh yang ditujukan pada Green. Ghania diam tak menanggapi.
"Hahahaha." Suara tawa memenuhi ruang itu.
"Jangan-jangan kamu berpikir Ghania menyukaimu, Green? Ck, penyakitmu telah membuat otakmu korslet ya?" ucap seorang siswa menimpali sambil tertawa, membuat suasana menjadi riuh. Sementara Green hanya diam saja memandangi mereka berbicara.
"Ghania, kenapa diam sih dari tadi? Apa jangan-jangan kamu memang menyukainya ya?" ucap seorang siswi mencoba menggoda dengan nada mengejek. Ghania diam tak menjawab.
"Aaahh.. Ternyata Ghania memang menyukainya. Wah, dasar! Hahahaha," celetuk mereka kembali.
Wajah Ghania merah menahan marah bercampur malu. Dia merasa terjepit. "Apa-apaan sih kalian?" bentaknya. "Mana mungkin aku suka pada Green! Saat penyakitnya kumat, aku juga...." Ghania berhenti melanjutkan. Tanpa sadar ia berbicara dengan suara keras, membuat suasana menjadi hening seketika. Ghania adalah bagian dari keluarga Winata, jangan sampai nama Winata tercoreng karena kedekatannya dengan lelaki bodoh dan penyakitan.
"Juga apa? Juga jijik maksudnya ya?" celetuk seseorang. Semua kembali tertawa.
"Jika Ghania tetap diam berarti itu memang benar!" seru yang lain. Green menatap Ghania, tetapi Ghania tetap diam.
"Astaga, sepertinya Green berharap Ghania menyangkalnya!"
"Mana mungkin!"
Green menelan ludahnya dengan susah payah. "Aku sudah tidak punya urusan lagi di sini," ucap Green tiba-tiba, lalu beranjak pergi dari ruang itu.
"Hah..! Tidak seru!" ucap seseorang dari mereka begitu Green pergi. Mereka pun bubar begitu saja. Sementara Ghania berdiri mematung di sana.
Bersambung..

Menjelang siang, Green berjalan perlahan memasuki gang menuju rumah. Suasana hatinya semakin memburuk karena kejadian di sekolah yang barusan dia alami. Dia hendak membuka pintu memasuki rumah, tetapi dia terhenti karena mendengar paman dan bibinya sedang berbicara dan tampaknya serius. "Sekolah khusus bagaimana maksudmu? Apa Green siap sekolah di situ?" tanya Budianto seolah tak setuju. "Harus siap. Ini demi masa depannya. Aku tak ingin dia dibully lagi. Kasihan dia," jelas Mirna Wati pada suaminya. "Bagaimana dengan biaya?" tanya suaminya. Suasana hening beberapa saat setelah Budianto menanyakannya. Sementara Green yang berada di luar ruangan, sedikit mengerutkan dahi. "Tuan Williams jarang mengirim uang. Dan bahkan sudah lewat setahun ini, dia tidak pernah mengirim uang lagi, kan? Kita tak akan sanggup menyekolahkan Green di sekolah khusus," ucap Budianto kemu
Hai, apa kabarmu? Kuharap sehat-sehat saja. Saat ini aku sudah berada di Ibukota. Kamu sudah tahu kan alasanku jauh-jauh datang kemari? Iya benar, itulah tujuanku. Apa kamu kecewa akan keputusanku? Sudah kuduga, kamu orang yang baik. Harusnya kamu tidak perlu memedulikan orang sepertiku. Sayang sekali, sepertinya kamu orang yang penuh rasa simpati, sehingga sulit untuk tidak peduli. Untuk mengurangi rasa bersalahku padamu, aku akan menjelaskanmu akan beberapa hal yang ada dalam pikiranku. Yang pertama, jika aku bertahan hidup, aku hanya akan menjadi beban seumur hidup bagi Paman, Bibi dan juga Rafa. Dan yang kedua, saat aku mati, aku terbebas dari segala penderitaan. Dunia ini kejam, sama sekali tidak ada tempat untuk orang lemah sepertiku. Maka dari itu, aku akan pergi untuk selamanya. *** Green melangkah perlahan. Ternyata tidak sulit mencari jembatan layang di ibukota. Lokas
Sebuah mobil bewarna hitam melaju kencang. Di mobil itu bunyi ponsel sedari tadi terus berdering membuat sang empunya merasa kesal. Si pengemudi mencari tempat untuk menghentikan mobilnya. Begitu berhenti, ia melihat siapa yang menelepon. "Papa?" gumamnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Pa," sapa Hana. "Hana, kenapa kamu malah membawa mobil Papa? Kan kamu bisa diantar sama supir," ucap Anton, ayah dari Hana. "Iya, Pa. Tadi aku buru-buru," jawab Hana sambil melirik ke kursi belakang, di sana ada kue dan minuman. "Apa kamu sudah sampai di tempat acara?" tanya Anton Winata memastikan. Hari ini akan ada acara peluncuran film oleh Williams Entertainment, salah satu perusahaan milik Williams Global Corporation. Dan Hana akan menjadi pasangan Marcell Williams di sana. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga Winata, karena Marcell Williams adalah cucu kandung dari Reyhans Williams, pemilik Williams Global Corporation.
Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa.""Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu."Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.Krek, tap, krek, tap.."Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.Krek, tap, krek, tap.."Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-a
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be