Menjelang siang, Green berjalan perlahan memasuki gang menuju rumah. Suasana hatinya semakin memburuk karena kejadian di sekolah yang barusan dia alami. Dia hendak membuka pintu memasuki rumah, tetapi dia terhenti karena mendengar paman dan bibinya sedang berbicara dan tampaknya serius.
"Sekolah khusus bagaimana maksudmu? Apa Green siap sekolah di situ?" tanya Budianto seolah tak setuju.
"Harus siap. Ini demi masa depannya. Aku tak ingin dia dibully lagi. Kasihan dia," jelas Mirna Wati pada suaminya.
"Bagaimana dengan biaya?" tanya suaminya. Suasana hening beberapa saat setelah Budianto menanyakannya. Sementara Green yang berada di luar ruangan, sedikit mengerutkan dahi.
"Tuan Williams jarang mengirim uang. Dan bahkan sudah lewat setahun ini, dia tidak pernah mengirim uang lagi, kan? Kita tak akan sanggup menyekolahkan Green di sekolah khusus," ucap Budianto kemudian.
Deg!
Mata Green melebar seketika, sewaktu mendengar bahwa ternyata orang tuanya sudah lama tidak mengiriminya uang. Bahkan sudah setahunan tidak mengirim? Bukankah bibinya waktu itu mengatakan bahwa orang tuanya masih mengirim uang? Ternyata bibinya menutupi hal ini darinya.
"Kita..kita bisa mencari pekerjaan tambahan, Mas. Ayolah. Green sudah seperti anak kita sendiri." Mirna mencoba membujuk suaminya.
Budi menghela nafas. "Mirna, aku menyayangi Green seperti putraku sendiri. Kamu sendiri tahu itu. Tetapi kita masih punya Rafa. Masa depan Rafa, kita juga harus pikirkan. Akan banyak biaya keluar untuk Rafa. Teman-teman Rafa sudah mengikuti pelajaran tambahan, sementara Rafa, dia harus pulang hanya untuk menjaga Green. Bagi aku itu tak masalah. Tetapi pikirkanlah sedikit tentang Rafa. Rafa anak kandung kita," ucap Budianto.
"Kasihan Green. Aku ingin dia punya masa depan yang cerah. Tetapi, membuatnya lulus dari SMA saja kenapa begitu sulit?" Mirna mulai menangis. Green yang mendengar isi hati bibinya hanya bisa menundukkan kepala. Tanpa mendengar tanggapan pamannya, Green langsung pergi. Dia sudah tak ingin mendengar lanjutannya lagi. Dia memutuskan untuk kembali keluar. Berjalan tanpa arah.
Walaupun sebelumnya Green mengatakan bahwa orang tuanya membuangnya, tetapi sebenarnya hati kecilnya masih mencoba berkeras untuk menghibur dirinya sendiri. Bukankah orang tuanya mengiriminya uang? Itu berarti orang tuanya masih peduli padanya, masih memikirkan dirinya walau hanya sedikit saja. Berulang-ulang hati Green meneriakkan hal itu sewaktu dia pupus dan berkecil hati untuk menguatkan dirinya menjalani hidup yang sangat berat ini. Tetapi, kenyataan bahwa orang tuanya ternyata jarang dan belakangan sama sekali tidak mengiriminya uang, apalagi alasan yang membuat Green harus bertahan?
Hati Green menangis. Kesedihan yang mendalam terpatri jelas di wajahnya.
***
Setelah menulis surat, hari itu juga Green melakukan perjalanan yang jauh. Saat ini dia berada di bus menuju ibukota. Tempat yang cukup jauh dari kota tempat ia tinggal saat ini. Semakin jauh, semakin baik. Kali ini, dia sudah memutuskan untuk mengakhiri hidupnya di sana. Sudah lama terbersit keinginannya untuk mengakhiri hidup. Dan tampaknya hari ini sudah mencapai puncaknya.
Green memejamkan mata mengingat masa lalunya ketika berumur hampir lima tahun. Ingatan samar-samar, tetapi sanggup menorehkan luka yang menganga di jiwanya.
Flashback
Suara tangis menggema. "Bibi, aku tidak mau di sini. Kamarku kan di atas. Kenapa aku di sini? Aku rindu Mama. Mama.. Mama..." Green kecil menangis sesenggukan. Bagaimana bisa dia dipindahkan dari kamarnya yang nyaman penuh mainan, ke kamar bibi pengasuhnya? Sudah beberapa hari ini dia berada di sini. Dan rasa rindunya pada ibu dan ayahnya sudah tak tertahankan lagi.
"Tuan muda Green, anak baik.. Sabar ya, Sayang. Tuan muda kan lagi sakit makanya di sini dulu biar Bibi rawat," ucap Bibi Mirna dengan nada bergetar mencoba menenangkan. Sesungguhnya hati Mirna juga sakit melihat Green disisihkan seperti ini.
"Aku tidak mau.. Aku mau sama Mama. Mama... Mama..." Bagi siapapun yang mendengarnya, tangis Green sungguh menyayat hati. Hal ini juga yang membuat Bibi Mirna lengah.
"Bibi ambilkan minum ya. Jangan nangis lagi , Tuan muda," bujuk Mirna. Dengan hati yang sedih, Mirna berjalan meninggalkan kamar. Kasihan Green sudah lelah menangis. Tetapi saat itu juga, Green dengan tubuhnya yang kecil, sedikit lemah, berlari secepat yang dia bisa. Rumah itu sangat besar, dia terus berlari berupaya mencapai tangga. Green menaiki tangga hendak menuju kamar ibunya.
"Tuan muda, berhenti, nanti bisa jatuh." Mirna mengejar pelan dari belakang karena takut Green semakin kencang berlari dan akhirnya jatuh. Bertepatan Sally Williams, ibu dari Green, keluar dari kamar, dan Green langsung memeluk erat pinggang ibunya dengan tangannya yang mungil.
"Mama... Aku rindu Mama. Mama.." Green menangis sejadi-jadinya. Nyonya Sally Williams terkejut bukan main melihat Green ada di hadapannya, memeluknya dengan erat.
"Bibi! Apa-apaan kau! Kenapa Green bisa di sini? Bawa dia ke belakang!" titahnya.
"Mama..." Green kecil semakin getir, mempererat pelukannya. Tetapi pelukannya sedikit pun tak dibalas oleh ibunya.
"Maaf, Nyonya. Tuan muda sangat merindukan Nyonya." Mirna mencoba membujuk Sally.
"Saya bilang bawa dia ke belakang!" Nyonya Williams dengan kasar melepas lengan mungil Green yang semula melingkar erat di pinggangnya. Seketika itu juga pelukan Green terlepas, sampai-sampai Green jatuh terjungkal. Mata Bibi Mirna melebar seketika menyaksikan kejadian itu. Sementara Green semakin keras menangis sampai terbatuk-batuk.
Sebenarnya Sally bukanlah ibu kandung Green. Ibu kandung Green bernama Alicia Williams. Dia adalah menantu perempuan yang sangat disayangi oleh Tuan Besar Reyhans Williams, pemilik perusahaan besar ternama, Williams Global Corporation. Sayangnya Alicia meninggal ketika melahirkan Green. Lalu Albert Williams, putra dari Reyhans, memutuskan untuk menikah lagi dan ia menikahi Sally. Tuan besar Reyhans tidak menyukai Sally karena sikap Sally yang angkuh. Tetapi Albert, putranya, terlalu keras kepala untuk diberi nasehat. Albert tetap menikahi Sally karena Sally sangatlah cantik di matanya.
Bibi Mirna secepat kilat membantu Green kecil untuk berdiri, dan hendak segera menggendongnya.
"Ada apa ini?" Tuan Albert Williams memandang tajam pada Mirna. Sementara Green masih terbatuk-batuk sambil menangis. Tapi walaupun terbatuk-batuk, Green kecil yang juga merindukan papanya, mencoba bersuara pendek-pendek karena nafasnya yang tak beraturan.
"Papa.. Papa, uhuk, uhuk, Papa..." tangis Green sambil mengulurkan kedua tangannya ingin menggapai ke atas, ke arah ayahnya, berharap ayahnya akan menggendongnya.
Sejenak Tuan Williams diam membisu melihat anaknya. Lalu kemudian dia berkata, "Kau bukan putraku. Aku tidak punya anak yang penyakitan." Matanya menatap dingin pada Green lalu kemudian mengarahkan pandangannya pada Bibi Mirna.
"Kau, sekali lagi kau membiarkan Green keluar dari sana, aku akan memecatmu dan membuat keluargamu melarat. Paham?" titahnya tak terbantahkan. Tetapi Bibi Mirna yang tak mampu lagi melawan hati nuraninya yang selalu meronta melihat kekejaman ini, akhirnya membuka suara.
"Maafkan saya, Tuan Williams. Selama ini walau Tuan Muda Green sakit, Tuan selalu menyayanginya. Bagaimana bisa sekarang Tuan tak mengakuinya? Sejak adik laki-lakinya lahir, Tuan jadi seperti ini. Tuan muda Green berhak mendapat kasih sayang dari Tuan. Kasihanilah dia, Tuan. Ingat! Tuan Muda Green adalah anak kandung Tuan juga!"
Plakk!! Sebuah tamparan melayang. Mirna memegang pipinya yang terasa panas ditampar oleh Tuan Albert.
"Berani sekali kau mengguruiku!" bentak Tuan Albert Williams.
Mirna menggigit bibir. Apakah sama sekali tidak tersisa rasa kasih sayang dari orang tua Green? Bagaimana bisa mereka sekejam ini? Hanya lantaran malu punya anak yang penyakitan. Apakah kesombongan telah sama sekali membutakan hati orang tuanya?
Flashback Off
Green kembali membuka matanya. Ingatan masa lalu yang menyesakkan dadanya, menguasai seluruh pikirannya saat ini.
Bersambung..

Hai, apa kabarmu? Kuharap sehat-sehat saja. Saat ini aku sudah berada di Ibukota. Kamu sudah tahu kan alasanku jauh-jauh datang kemari? Iya benar, itulah tujuanku. Apa kamu kecewa akan keputusanku? Sudah kuduga, kamu orang yang baik. Harusnya kamu tidak perlu memedulikan orang sepertiku. Sayang sekali, sepertinya kamu orang yang penuh rasa simpati, sehingga sulit untuk tidak peduli. Untuk mengurangi rasa bersalahku padamu, aku akan menjelaskanmu akan beberapa hal yang ada dalam pikiranku. Yang pertama, jika aku bertahan hidup, aku hanya akan menjadi beban seumur hidup bagi Paman, Bibi dan juga Rafa. Dan yang kedua, saat aku mati, aku terbebas dari segala penderitaan. Dunia ini kejam, sama sekali tidak ada tempat untuk orang lemah sepertiku. Maka dari itu, aku akan pergi untuk selamanya. *** Green melangkah perlahan. Ternyata tidak sulit mencari jembatan layang di ibukota. Lokas
Sebuah mobil bewarna hitam melaju kencang. Di mobil itu bunyi ponsel sedari tadi terus berdering membuat sang empunya merasa kesal. Si pengemudi mencari tempat untuk menghentikan mobilnya. Begitu berhenti, ia melihat siapa yang menelepon. "Papa?" gumamnya, lalu mengangkat telepon. "Halo, Pa," sapa Hana. "Hana, kenapa kamu malah membawa mobil Papa? Kan kamu bisa diantar sama supir," ucap Anton, ayah dari Hana. "Iya, Pa. Tadi aku buru-buru," jawab Hana sambil melirik ke kursi belakang, di sana ada kue dan minuman. "Apa kamu sudah sampai di tempat acara?" tanya Anton Winata memastikan. Hari ini akan ada acara peluncuran film oleh Williams Entertainment, salah satu perusahaan milik Williams Global Corporation. Dan Hana akan menjadi pasangan Marcell Williams di sana. Ini adalah kesempatan yang sudah ditunggu-tunggu oleh keluarga Winata, karena Marcell Williams adalah cucu kandung dari Reyhans Williams, pemilik Williams Global Corporation.
Green menutup matanya. Siap-siap untuk meloncat ke bawah. "Selamat tinggal Paman, Bibi, Rafa.""Hei! Jangan!" teriak seorang gadis. Seketika Green menoleh ke sumber suara. Otaknya belum bisa mencerna akan apa yang terjadi di sekitarnya.Green melihat seorang gadis berlari kencang ke arah tiang pembatas. Deg.. Mata Green melebar melihat gadis itu melesat dengan cepat pada tiang. Gadis itu melepas sepatunya lalu memanjat tiang itu."Jangan!" teriaknya lagi membuat Green sedikit membuka mulut tanpa kata. Green terperangah melihat gadis itu yang mulai memanjat.Krek, tap, krek, tap.."Tunggu. Jangan lompat! Dengarkan aku dulu!" teriak gadis itu dengan nyaring sambil masih tetap memanjat. Green segera melangkah lalu menunduk melihat gadis yang masih memanjat itu.Krek, tap, krek, tap.."Kamu jangan kemari! Jangan memanjat lagi. Aku tidak apa-a
Seluruh tubuh Hana bertumpu sepenuhnya pada Green yang memeluknya erat. Rasa takut yang berlebihan memang bisa membuat seseorang menjadi hilang tenaga apalagi jika rasa takut itu berlangsung agak lama. Bahkan ada orang yang sampai terkena serangan panik dan sampai mengalami pingsan karena rasa takut yang berlebihan. Masih di posisi yang sama, Hana mencoba perlahan berdiri dengan benar, mengatur keseimbangannya di dalam pelukan Green. Deg, deg... Jantung Green sedikit berdetak lebih kencang. Di usianya yang sudah 21 tahun, inilah pertama kalinya Green memeluk tubuh seorang gadis. Itu pun tidak sengaja. Dan rasanya... rasanya sampai membuat mata Green melebar cukup lama. • • Setelah mampu menyeimbangkan diri, gadis itu mendongak menatap wajah Green dengan kedua tangannya masih memegang kedua bahu Green. Green sedikit melonggarkan pelukannya, dan menunduk menatap wajah gadis itu. Green mengerjapkan kedua matan
Hana sedikit berjalan lebih cepat sambil menarik tangan Green, sementara Green terlihat seperti anak kecil yang dituntun oleh mamanya, dia hanya mengikuti gerak langkah Hana ke mana pun gadis itu berjalan. Tetapi kemudian Hana berhenti. Dia menatap Green."Ada apa?" tanya Green penasaran.Hana menghela nafas. "Sepatuku ketinggalan di bawah tiang itu," ucap Hana sedikit mendengus. Green langsung melihat kaki Hana yang telanjang lalu menoleh ke belakang. Ternyata mereka sudah berjalan sedikit jauh dari tiang itu."Aku akan mengambilnya. Tunggulah di sini." Green melepas tangan Hana."Tidak." Hana kembali menggenggam tangan Green. "Kita sama-sama saja. Ayo."Hana menarik kembali tangan Green. Green mengernyitkan kening, sepertinya dia mulai sadar akan interaksi mereka yang cukup aneh. Pikiran Green yang tadinya sempat kacau balau, sepertinya mulai terjalin.Sesa
"A-Apa yang kau lakukan?" Wajah Green memerah. Green tidak pernah bersentuhan dengan perempuan. Jadi, apa yang dilakukan gadis itu terasa intim baginya. Berbeda dengan pelukan yang tidak disengaja sewaktu di bawah tiang tadi. Saat ini, Hana memeluknya dengan sengaja. Tangan Green bergerak cepat memegang lengan Hana, ingin segera melepas pelukan gadis itu dari lehernya. Tetapi tubuh gadis itu tiba-tiba bergetar, membuat Green berhenti bergerak. Gadis itu melonggarkan pelukannya tetapi masih melingkarkan tangannya di leher lelaki itu dan kembali mendongak menatap Green. Green membalas tatapannya dan terkejut mendapati gadis itu mengeluarkan air mata. Dia menangis? "Kamu kenapa?" tanya Green bingung, rasa keterkejutan cukup terkesan dari warna suaranya. Hana melepas pelukannya dari Green. Ia kembali duduk secara normal dan menunduk. Hana mulai sedikit terisak, membuat Green semakin bingung. &nbs
Siang itu, di kediaman keluarga Assa."Ayah! Ibu!" Baru saja Rafa keluar rumah, tiba-tiba langsung kembali masuk sambil berteriak memanggil kedua orang tuanya."Ada apa Rafa?" Budi dan Mirna menatap anaknya khawatir."Ini ada surat sama ponsel Kak Green di dekat pintu." Rafa memberikannya pada papanya."Apa ini?" Cepat-cepat Budi membaca isi secarik kertas itu."Paman, Bibi dan Rafa. Mulai detik ini, berhentilah mengkhawatirkanku. Jangan mencariku. Aku pergi dan akan mencoba hidup dengan lebih baik. Aku tak ingin menyusahkan kalian lagi. Usiaku sudah 21 tahun. Aku sudah dewasa, dan aku akan hidup mandiri. Terimakasih untuk segala rasa sayang yang telah kalian berikan untukku."Green Assa.Tangan Budi gemetar membacanya. Mirna yang ikut membacanya, langsung memegang dadanya."Tidak mungkin!" gumam M
Hana menyalakan mobilnya, dan di saat itulah dia ingat bahwa mobilnya mengalami mogok. Dia menatap Green."Mobilku tidak bisa menyala. Aku tidak begitu paham soal mobil.""Aku...juga tidak begitu paham tapi biar aku periksa sebentar," ucap Green agak ragu. Dia lalu memeriksanya. Green sedikit memahami mesin lantaran Paman Budi adalah karyawan bengkel mobil dan motor, dan Green terkadang suka membantu pamannya jika lembur.••Hana menghela nafas berat. Dia kembali teringat pada Marcell. Semua rencana gagal begitu saja. Marcell pasti akan marah padanya. Papanya juga pasti akan marah. Ini semua karena mobil ini mogok. Tidak, tidak. Bukan semata karena mobil saja. Ini karena dia mampir ke rumah Sartika. Hana kemudian melirik makanan dari Sartika yang ia letakkan begitu saja di belakang, di kursi penumpang. Sepertinya makanan itu akan ia makan saja bersama Green. Hana sudah merasa lapar
Halo, novel Suami Tak Sempurna sudah tamat.Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua Readers. Terima kasih karena Readers sekalian selalu mendukung novel ini dengan memberikan Vote, komentar dan ulasan bintang 5. Dukungan Readers membuat saya bersemangat untuk menulis.Untuk kelanjutan Green dan Hana, apakah ada kelanjutan lagi, Itu saya masih belum bisa memutuskannya. Saya harap Readers sekalian yang berharap buku baru untuk lanjutan, tidak merasa kecewa. Alasannya karena saya masih mau berfokus untuk menulis novel "Terlambat Mencintai Lisa." Dan novel baru lagi yang berjudul Kematian Tagis Sang Putri (yang ini novel fantasi, masih lama lagi dirilis karena outline belum saya buat).Sekali lagi, saya mengucapkan terima kasih. Semoga Readers sekalian sehat selalu. ^^ ❤️
"Rafa, lihat pengantin sudah tiba!" seru Sartika dengan riang.Sartika memeluk Hana. "Kamu cantik sekali, Hana.""Terima kasih, Sartika. Kamu juga cantik hari ini," balas Hana tersenyum hangat."Waw! Kak Green sudah persis seperti pangeran!" seru Rafa dengan tatapan takjub. Green tersenyum lebar mendengarnya."Kamu bisa saja, Rafa!" ucap Green sambil mengusap pelan rambut Rafa. Karena rambut Rafa sangat rapi hari ini."Kak Hana juga seperti tuan putri!" seru Rafa ketika matanya beralih pada Hana."Rafa kamu juga sangat tampan memakai tuxedo itu!" puji Hana.Rafa tersenyum malu saat giliran dirinya yang dipuji."Rafa, kamu pasti akan menjadi pemuda yang tampan ketika besar nanti," ucap Reyhans memuji dengan tulus."Terima kasih, Kek. Kakek juga sellau tampan!" ucap Rafa tersenyum manis sambil mengacungkan jempol. Reyhans, Anton, Jihan, kedua orang tua Rafa, dan juga Sartika, terkekeh melihat tingkah lucu Rafa."Rafa adalah anak yang baik!" ucap Anton. Budi dan Mirna tersenyum manis men
Setelah peristiwa pembelian PT. Andalan Winata lalu disusul di mana perusahaan itu dengan mudahnya kembali stabil, keluarga besar Winata selalu mencoba berbagai cara untuk bisa berkomunikasi dengan Green dan Hana. Mereka sungguh penasaran pada Green!Saat Anton memberi tahu mereka siapa Green sebenarnya, jantung mereka seolah meletup mendengarnya. Mereka semakin menggebu-gebu dan tak sabar ingin bertemu dengan Green dan Hana, tetapi mereka sulit melakukannya. Mereka mencoba mendesak Anton dan Jihan berulang kali tetapi hasilnya nihil. Anton dan Jihan sama sekali tidak mau bekerja sama dengan mereka.Pernah sekali peristiwa Shila mencoba datang ke kampus Williams, tetapi tidak menemukan mereka. Itu karena Green dan Hana memang sengaja menghindarinya. Begitu pula dengan Ryan, saat patah tulangnya baru sembuh, ia langsung mencoba mendekati mereka di kampus, tetapi sekali lagi mereka dengan mudahnya menghilang dari pandangannya. Itu bukanlah sesuatu yang sulit bagi Jack agar keluarga besa
"Kamu menjengukku lagi?" ucap Marcell pada Green. Dia tidak menyangka Green menjenguknya lagi."Kenapa? Apa kamu bosan melihat wajah kakakmu ini?" tanya Green tersenyum menggoda."Iya, aku bosan," jawab Marcell berbohong. Dia malah memakan kue kesukaannya yang baru saja dibawa oleh Green. Green terkekeh pelan.Mereka lalu bercengkerama dan akhirnya menyingung soal Reyhans, kakek mereka berdua."Apa kamu pernah melihat Kakek semarah waktu itu? Kamu pasti tahu sendiri bahwa Kakek biasanya selalu mampu menjaga emosinya. Dia selalu bersikap tenang dan berwibawa. Tetapi melihat keadaanmu seperti ini, Kakek lebih menunjukkan emosinya. Tahu kenapa? Itu karena kakek menyayangimu, Marcell.""Aku tidak percaya," jawab Marcell."Ini hanya pendapatku saja," balas Green. "Apa kamu tahu? Di hari kamu kecelakaan, Kakek sampai di Singapura saat sore hari. Tetapi begitu mendengar kamu kecelakaan, dia langsung kembali ke sini malam itu juga untuk melihat keadaanmu di rumah sakit. Kakek kita sudah tua,
Hana : Veronika, apa kamu tahu Marcell kecelakaan kemarin malam? Dia dirawat di Williams Hospital.Veronika : Aku tahu. Tapi apa benar dokter memvonis Marcell akan lumpuh seumur hidup?Hana : Iya, itu benar. 🥺 Tapi di dunia selalu ada keajaiban. Maksudku, tidak ada yang mustahil, bukan? Apa kamu berniat menjenguk Marcell besok?Veronika tampak ragu menjawabnya. Besok adalah hari Minggu, itu adalah waktu yang cocok untuk mengunjungi Marcell.Veronika : Aku akan mengunjunginya besok.Hana : Baguslah. Jam berapa kamu akan datang?Veronika tidak membalasnya lagi.***"Kamu sendirian?" tanya Green ketika dia dan istrinya masuk ke ruang rawat Marcell. Marcell yang sedang melamun agak terkejut melihat mereka."Ada perawat," jawab Marcell datar. Sally baru saja keluar untuk membawa pakaian ganti dari rumah. Sementara Albert sibuk mengurus mini market barunya."Kami membawa makanan kesukaanmu," ucap Green sambil membuka isi makanan yang ia bawa."Dari mana kamu tahu aku suka itu?" tanya Marcel
Begitu melihat Reyhans, Marcell segera memalingkan wajahnya. Reyhans mendesah melihat tingkah cucu bungsunya itu."Marcell, kamu mau makan, Sayang?" tanya Sally dengan suara lembut."Tidak," ucapnya tegas.Reyhans membuka suara. "Marcell, karena kamu terbiasa berbalapan mobil, akibatnya kamu menjadi sepele dalam berkendara. Benar-benar hobi yang konyol. Lihat sekarang keadaanmu. Kepalamu dijahit dan kakimu lumpuh. Teruslah kamu menjadi cucu pemberontak. Mana tahu nasibmu menjadi lebih bagus," sarkas Reyhans. Green dan Hana saling memandang. Menurut Hana, ini bukanlah waktu yang tepat untuk memarahi Marcell. Marcell saat ini butuh dihibur. Tetapi Kakek Reyhans sudah tidak bisa membendung rasa kecewanya.Marcell mengeraskan rahangnya dengan tangan mengepal. Dia benci mendengar ucapan kakeknya. Dia benci hobi yang sangat dia cintai, diejek dan dicerca seperti itu."Kakek," ucap Green sambil menghampiri kakeknya. "Kecelakaan Marcell itu karena dia mabuk. Ini sebenarnya tidak berhubungan de
Mata Sally melebar mendengarnya. Apa yang dikatakan Albert benar adanya. Sally lalu berkata, "Sebelumnya Robert tidak tahu akan keadaan kita. Itu sebabnya dia masih bermain judi dan terlibat hutang lagi. Sekarang dia sudah benar-benar tahu keadaan kita, dia berjanji tidak akan lagi berbuat seperti itu. Ini akan menjadi terakhir kalinya. Dia sangat terkejut, bahkan bersimpati akan keadaaan kita. Aku belum pernah mendengar Robert berbicara begitu dewasa seperti itu. Aku yakin kali ini dia bersungguh-sungguh.""Hahahaha..!" Albert tergelak mendengarnya. "Keluarga intimu adalah aku dan Marcell, bukan Robert! Kita kritis sekarang. Kau malah ingin memberikannya uang lagi. Di mana otakmu!" bentak Albert."Tapi dia adalah kakak kandungku! Dia dalam keadaan berbahaya sekarang. Bisa-bisa dia dibunuh kalau tidak membayar hutang dengan segera. Aku yang salah, harusnya aku memberi tahunya tentang keadaan kita.""Dia berbohong! Tanpa kau beri tahu pun dia pasti sudah tahu. Berita keluarga Williams b
"Benarkah itu?" tanya Alex dengan wajah terkejut serasa tak percaya atas apa yang baru saja ia dengar dari putrinya. Evelyn juga bereaksi yang sama dengan suaminya."Iya, jadi Green adalah cucu sulung Tuan Besar Reyhans Williams," ucap Veronika menandaskan. "Saat aku menyimak pembicaraan mereka berdua, kudengar tampaknya Tuan Besar Williams sudah memutuskan untuk memberikan seluruh hartanya pada Green, Pa.""Apa kamu yakin? Sepertinya Tuan Besar Williams belum membuat pengumuman terkini tentang siapa yang akan menjadi ahli waris selanjutnya di muka umum," ucap Alex."Ya, itu kan bisa belakangan, Pah," sahut Evelyn. Alex mengangguk pelan."Kalau memang Green yang akan menjadi ahli waris, maka Keluarga Winata benar-benar sangat mujur!" Alex tampak merasa cemburu. "Hmmm, pantas saja PT. Andalan Winata yang jelas-jelas sudah bangkrut, tiba-tiba dalam sekejap sudah kembali berjaya." Alex mendengkus tak senang.Veronika mengangguk. "Iya, Papa benar. Tapi Papa jangan iri begitu. Tidak baik,
"Hana, apa kamu serius ingin menjodohkan mereka?" tanya Green begitu mereka memasuki kamar peraduan mereka."Kenapa? Apa kamu keberatan?" tanya Hana curiga."Sama sekali tidak. Biasa saja," jawab Green apa adanya."Aku pikir kamu sedih, karena jika mereka jadian, Julia tidak mungkin bersikap manja padamu lagi," ketus Hana, membuat Green mengangkat alisnya sedikit heran."Sedih? Justru aku senang jika dia berhenti bersikap seperti itu," tanggap Green langsung."Masa? Kalau begitu kenapa kamu tidak mengingatkannya waktu dia terus bersikap seperti itu?" ucap Hana dengan mata melotot. Green agak terkejut melihatnya."Apa kamu marah karena dia seperti itu?" tanya Green curiga. Green sempat berpikir bahwa Hana tidak pernah marah karena pada akhirnya Hana mungkin sudah menganggap tingkah Julia sebagai hal biasa yang ternyata tidak perlu dihiraukan."Tentu saja aku marah. Kamu sendiri saja marah tadi saat aku memuji Jack. Apa kamu pikir aku tidak marah melihat Julia yang selama berhari-hari be