"Aku sudah menelepon Hana, sebentar lagi dia akan kemari," ucap Gerry lalu menyimpan ponselnya.
"Baguslah," jawab Erina. "Anton, mungkin Gerry dan Rudy telah membuat kekeliruan, tetapi coba kamu pikir dengan jujur, apa mungkin hal ini sama sekali tidak berkaitan dengan putusnya Hana dengan Marcell? Bukankah harusnya Tuan Albert memberikan peringatan terlebih dahulu sebelum memutuskan kerja sama? Tetapi lihat sendiri, dia langsung membuang kita! Pasti ada kebencian di sana!"
Anton tampak mengerutkan kening. Walaupun dia selalu membantah perkataan Rudy dan Gerry soal keluarga Williams yang membalas dendam, tetapi sebenarnya waktu itu dia juga mengkhawatirkan hal yang sama ketika Hana hendak meminta putus dari Marcell. Tetapi melihat Marcell tetap bersikap baik pada Hana setelah diputuskan, pikiran itu perlahan menghilang.
"Itu tidak benar," ucap Anton tetap kukuh.
Mereka terus berdebat, hingga akhirnya
Brak! Erina menggebrak meja, membuat semua orang beralih menatapnya. "Hana! Ada apa denganmu! Jadi kamu tega membiarkan keluarga besar Winata hancur hanya demi percintaanmu dengan pemuda penyakitan ini?" Erina sungguh marah. Perusahaan sudah mau bangkrut dan cucu perempuannya itu masih tetap saja keras kepala. Hana mengerutkan bibirnya. "Nenek bilang 'hanya demi percintaan'? Apa Nenek tidak sadar? Kalau Green tidak mencintaiku, dia tidak akan mungkin tanpa ragu masuk ke dalam bus yang sebentar lagi pasti akan masuk ke jurang yang dalam hanya untuk menyelamatkanku! Gara-gara rasa cinta Green padaku, itulah yang membuat nyawaku selamat! Jadi Nenek masih bilang itu 'hanya demi'? Apa jangan-jangan nyawaku tidak begitu penting bagi Nenek?" ucap Hana menyudutkan. "Aku tidak bermaksud seperti itu!" sangkal Erina dengan cepat. "Tentu saja nyawamu berharga bagi Nenek. Tetapi perusahaan saat ini sedang
Jihan, Bibi Felisa, Ryan dan Shila baru saja datang ke rumah sakit saat melihat Green mencengkeram kepalan tangan Rey dan seketika memutarnya hingga Rey merasa kesakitan. Mata mereka melebar dengan mulut terbuka. "Bukankah dia Green?" Ryan bertanya dengan wajah linglung. "Iya benar, Kak! Green ternyata masih...." Shila menutup mulutnya. "Tapi kenapa dia bisa kuat begitu?" Sementara Jihan dan Felisa hanya tercengang dalam diam. "Aw! Lepaskan, Bangsat!" teriak Rey sedari tadi sambil memukul-mukul tangan Green dengan cemas, dan sedetik kemudian Green melepasnya. Hana terkejut melihat hal itu, begitu pula yang lainnya. "Apa yang terjadi dengan Green selama dua bulan ini?" tanya Hana di dalam hati dengan perasaan takjub. Jack di sudut tersembunyi, tersenyum kecut. "Aku hanya mengajarkan hal yang sangat dasar pada bos kecil tetapi
Keluarga Winata menatap Green dengan tatapan permusuhan. Mereka jelas menyalahkan Green atas sakitnya Nyonya Besar Erina. Saat semua orang sibuk secara bergantian masuk ke ruang rawat untuk melihat Erina, Hana menarik tangan Green untuk duduk di bangku panjang yang sedikit jauh dari ruang itu. "Green, apa yang barusan kamu lakukan? Kenapa kamu berani-beraninya berkata begitu? Setelah kupikir-pikir, kamu pasti punya alasan kenapa bisa dengan percaya diri berkata seperti itu. Katakan padaku, apakah ada sesuatu?" Hana merasa penasaran. Green lebih dari dua bulan menghilang, tetapi sekarang keadaannya justru jauh lebih baik daripada sebelumnya. Green tidak selemah dulu, yang jika didorong langsung terjatuh, dan tentunya sama sekali tiba bisa mengelak pukulan, apalagi menangkisnya! Green lalu menjawab, "Bukankah kamu pernah mengatakan padaku kata-kata wali kelas kita dulu bahwa salah satu peratura
Marcell berjalan ke arah Veronika berlari, tetapi dia kehilangan jejak."Di mana dia?" Keningnya mengerut. "Sial!" umpatnya. Marcell tidak memiliki nomor Veronika, dan dia tidak berniat bertanya pada siapa pun.Setengah jam kemudian, dia tanpa sengaja melihat sosok Veronika sedang santai memakan kuaci sambil duduk di kursi panjang pinggir lapangan satu. Marcell semakin kesal melihatnya lalu menghampirinya dan menangkap lengannya, membuat Veronika terkesiap."Kamu di sini ternyata? Gara-gara kamu, kita kalah jadinya!" bentak Marcell menyalahkan."Aku minta maaf, Marcell. Aku cuma merasa syok, karena tadi itu....tadi itu.....itu adalah ciuman pertamaku," ucap Veronika dengan suara memelan di akhir kalimat. Wajahnya menunduk dan sudah kembali memerah."Tidak usah berlebihan! Lebih baik kita selesaikan ini. Nih, giliranmu yang meminta tanda tangan. Masih ada lima nama lagi." Marcell
Hari sudah malam saat Hana dan Green sampai di rumah. Mereka berdua kini berada di dalam kamar Hana. Green tersenyum saat mendapati pigura foto pernikahan mereka masih tetap ada di tempatnya, di atas meja belajar Hana. Sementara wajah Hana tampak khawatir. "Green, bagaimana masalah Rey? Ini bahkan sudah malam. Tidak ada terdengar kabar sama sekali tentang keadaan pekerjaan mereka. Apa Jack berhasil meyakinkan pihak perusahaan Williams dengan rekaman itu?" "Iya, Jack merekam kejadian tadi dengan jelas saat Rey dan Ferdinand membully-ku. Aku yakin perusahaan Williams akan percaya." "Tapi aku tidak yakin, Green. Tidak segampang itu! Apa Julia ikut campur dalam masalah ini?" Jika Julia ikut campur mungkin saja berhasil. Mungkin saja perempuan yang bernama Julia memiliki koneksi yang baik dengan perusahaan Williams. Begitulah pemikiran Hana walaupun sebenarnya dia tidak suka terlalu ba
Anton menggenggam tangan putrinya dan menuntunnya ke sofa dan duduk bersisian dengannya di ruang kerja itu. "Ada apa, Pa?" Hana melihat wajah Anton sudah mulai berubah serius. Anton menghela napas pelan. "Sebenarnya Papa sangat bersedih melihat nasib perusahaan kita. Perusahaan Winata cepat atau lambat akan bangkrut kalau tidak segera mendapat modal yang besar. Ujung-ujungnya untuk menghindari lebih banyak kerugian, kita terpaksa harus menjual perusahaan itu. Seandainya kamu masih memiliki hubungan dengan Marcell, Papa tidak akan ragu melayangkan surat permohonan PT. Andalan Winata agar Williams Global Corporation memberi kita kesempatan untuk kembali menjalankan perjanjian kontrak. Ada kemungkinannya jika Marcell membicarakannya dengan serius pada papanya, pihak mereka akan menyetujui permintaan itu." Kening Hana mengerut mendengarnya. "Apa maksud Papa? Tadi siang Papa mengatakan di depan ke
Green tampak menggeliat pelan di bawah tetapi dia sama sekali tidak berniat untuk bangun. Dia justru semakin membenamkan dirinya di dada istrinya. Dia masih ingin menikmati aroma lembut wanitanya.Ini sungguh memabukkan!"Green? Kamu sudah bangun?" Tiba-tiba suara Hana terdengar.Mendengar suara itu, Green mendadak diam, tak bergerak. Dia berpura-pura tidur karena masih sangat betah berada di posisi seperti itu. Tadi saat dia terbangun, dia mengira Hana masih tidur, itu sebabnya dia berani menggeliatkan badannya.Hana mendengkus tersenyum melihat tingkah lucu Green. Kucing jantan liar kini berubah menjadi seekor anak kucing manja, yang sedang menempel di dada induknya."Aku tahu kamu sudah bangun, Green. Lebih baik kita bersiap-siap ke kampus. Kemarin kita meninggalkan kampus sesuka hati kita."Green mendongak menatap Hana. "Bisakah kita libur hari ini? Aku h
"Kamu sendiri tahu kan Jihan, betapa malunya aku menghadapi orang-orang selama bekerja di sana setelah jabatanku dicabut. Ini sungguh terlalu menyakitkan karena perusahaan yang kujaga dengan segenao hidupku akan berakhir dengan cara yang tragis. Rencananya kami akan mencoba menjual 70 % saham perusahaan sebelum nilai saham semakin merosot. Entah mama akan mengizinkan. Kalau tidak segera dijual, kerugian perusahaan akan berkali-kali lipat, dan hutang akan menumpuk. Kami juga sedang menjual rumah mama." "Apa?" Mata Jihan melebar. "Terpaksa kami melakukannya. Uang hasil penjualan rumah akan sedikit menstabilkan perusahaan agar nilainya tidak cepat merosot sebelum dijual." Jihan mendesah. Pantas saja suaminya selalu saja murung. "Di mana mama akan tinggal? Tentu mama akan tinggal di sini kan?" tebak Jihan. Anton adalah anak tertua, jelas Erina kemungkinan besar akan tinggal di rumah mereka. "Itul