“Minta maaf? Bahkan aku ingin melemparkannya ke sarang buaya,” balas Echa sambil menatap Berry dengan tatapan berani.Lagi-lagi Hesti tercengang. Wajahnya berkeringat dingin, “Echa, sadar! Jangan teruskan kegilaanmu!”Berry mengepalkan tangannya kuat-kuat, “Sepertinya kamu perlu dikasih pelajaran Echa.” Berry melangkah maju menghampiri Echa dengan wajah merah padam, tapi langkahnya mendadak terhenti kala melihat seorang laki-laki yang berdiri di samping Echa tampak menatapnya dengan aura dingin yang begitu mengerikan.“Satu helai saja kamu menyentuh istriku, aku tidak jamin kamu bisa pulang malam ini,” ucap Niko–dingin.Tak mau kalah, Berry mengintimidasi lelaki itu, “Kamu tahu siapa aku, ‘kan? Jika kamu ingin selamat, jangan ikut campur. Kalau perlu serahkan istrimu kepadaku!”Niko menjawabnya dengan tatapan mematikan, dan itu sudah cukup membuat Berry gentar.Di titik ini, Echa memasang senyuman sopan, lalu mengangkat ponsel di tangannya, “Semua omonganmu terekam di sini.”seketika
“Mama?” Mata Echa terfokus pada layar ponsel. Dia seketika kesal.Dia kemudian mengangkat telepon itu, “Apa lagi, Ma?” “Mama ada di perumahan Grand Asri. Cepat keluar. Yang mana rumah temannya?”Echa menghembus napas-kesal, “Ngapain sih, Ma? Apa yang perlu dibicarakan lagi? Sudah kubilang aku nggak akan menerima tawaran Berry.”“Mama nggak perlu sama kamu. Mama ingin bicara 4 mata dengan suami sampahmu itu. ”“Apa yang mau–”“Jangan banyak ngomong. Di mana rumahnya?”“Aku tinggal di rumah no 23, sebelah timur,” jawab Echa dengan nada malas.Tak lama kemudian, Niko berjalan ke arah pintu rumahnya yang diketuk berulang kali. Saat pintu terbuka, dia melihat Hesti berdiri dengan tatapan kebencian. Dia menjulurkan tangannya kepada sang mertua tapi tidak dihiraukan sama sekali.Bahkan Hesti tiba-tiba menepis tangan Niko sambil berkata, “Nggak usah sok ramah.”“Ma, ada apa Mama malam-malam ke sini?” tanya Echa sambil berjalan mendekat. Nada bicaranya kentara jelas tidak suka dengan kedatang
Echa mencoba melupakan kejadian buruk kemarin malam. Hari ini dia dan suaminya berangkat kerja bersama dengan penuh semangat.Sesampai di WARA Corp, mereka bertemu dengan Yono dan Dito yang sedang memegang sebuah maps cokelat.“Rapi banget pakai jas dan dasi segala. Mau melamar kerja? Haha percuma nggak bakalan diterima,” ejek Dito.“Aku saranin ngelamar di posisi ob aja biar peluang diterimanya lebih besar,” sambung Yono dengan tatapan meremehkan. Kemudian kedua orang itu tertawa keras.Niko menghiraukan, tapi tidak dengan Echa. Dia sangat gatal untuk membungkam mulut mereka.“Oh, ya? Teman yang kalian remehkan ini nggak perlu melamar kerja lagi. Teman kalian yang hina-hina ini sudah menjadi asisten direktur WARA Corp.”Dito dan Yono terdiam sejenak, tapi seperkian detik berlalu tawa mereka kembali terdengar keras.“Aduhhh Kak Echa ini bisa aja. Jangan segitunya dong ngebela suaminya,” ejek Dito.“Staff akuntan masih logis. La ini asisten direktur, ya nggak logis sama sekali. Terlalu
“Niko, mana minumannya?! Si lelet ini, bisa kerja gak, sih? ” Lengkingan suara sang Nyonya seketika memenuhi rumah, membuat pria 20 tahunan itu berjalan cepat menuju ruang tamu sambil membawa nampan dengan tiga gelas di atasnya.Selalu seperti ini, Hesti akan memarahinya tanpa ampun jika tidak sesuai keinginan wanita itu. Padahal, Niko awalnya melamar menjadi sopir di rumah ini untuk membiayai kuliahnya sendiri di kampus yang kebetulan sama dengan Echa–anak Nyonya Hesti. Tapi, perlahan jobdesknya justru terus bertambah akibat sang Nyonya. “Maaf, barusan aku masih meracik minuman, Nyonya,” ucap Niko sembari memindahkan gelas ke atas meja untuk nyonya rumah dan kedua temannya yang baru saja pulang dari acara arisan Ibu-ibu sosialita itu. “Ck! Mau kupecat kamu?”“Udahlah, Hes. Kamu hebat loh bisa menemukan pembantu multitalenta kayak dia!” Salah satu teman sosialita Hesti berbicara. “Penurut kayak seekor anjing,” sambung yang lain dengan nada sarkas. “padahal dia ganteng sih. Tubuh
Pikiran Niko seketika kosong. Dengan gagap dia menjawab, “Ka-kakek-ku? A-abraham?”“Benar.” Danish mengangguk. “Kakek Pak Niko adalah pengusaha dan tokoh bisnis yang sangat disegani di seluruh dunia. Beliau adalah pendiri Bakhi Group, yang memiliki nilai pasar terbesar di dunia. Semua aset yang dimiliki Pak Abraham, termasuk yang ada di Indonesia sekarang adalah milik Pak Niko. Anda bisa mengambil alih posisi Kakek anda kapan pun anda mau.”Niko tersentak. Dia membayangkan warisan yang akan dia terima. Namun, dia tersadar dan menggelengkan kepala.“Tidak, aku tidak mau!” Niko menjawab tanpa keraguan.“Kenapa?” tanya Danish.“Waktu orang tuaku meninggal, dia tidak merawatku. Dia malah membuangku. Dan sekarang kamu memberitahuku kalau dia kakekku? Lucu! Lucu sekali!” Danish sudah menyangka Niko akan menolak tawaran itu.“Pak Abraham tidak membuang anda. Beliau dulu sengaja mengirim anda ke salah satu asrama putra di kota ini agar anda selamat dari marabahaya,” jelas Danish.Kening Nik
“Mulai detik ini kamu aku pecat!” teriak Echa begitu lantang. Karena masalah yang menimpa keluarganya, untuk pertama kalinya Echa tidak bisa berpikir jernih. Niko jelas merasa heran melihat Echa tidak seperti biasanya, “Maaf, Nona. Apakah Nona tersinggung dengan perkataanku barusan? Sungguh, aku tulus ingin membantu Nona.” “Diam kamu, Niko! Kamu mau menertawakan keterpurukan keluargaku, ‘kan?!” Echa benar-benar tidak terkendali. “Di mana hatimu? Tiga tahun kamu hidup dari belas kasih keluargaku. Dan ini balasanmu? Oh aku tahu … kamu sengaja cari gara-gara biar aku memecatmu? Kamu pikir aku sudah nggak mampu lagi membayar gajimu? Gitu, ‘kan?!” Niko menggelengkan kepala. Rupanya wanita itu telah salah paham. “Tidak, Nona. Aku–” sayangnya saat Niko ingin menjelaskan, wanita itu kembali berteriak penuh amarah. “Turun, kamu! Aku nggak sudi melihatmu lagi!” “Nona–” Niko benar-benar tidak diberi kesempatan untuk bersuara. Terlebih lagi Echa semakin tak terkendali dalam berucap, “Kamu
“Aku akan menikah dengan pembantuku, Niko Pram.”Usai menyetujui penawaran itu, Echa langsung melangkah pergi tanpa pamitan. Hatinya benar-benar hancur, merasa hidupnya sudah berakhir. Dia terpaksa mengorbankan masa depannya demi menyelamatkan nyawa Papanya.Sarah dan Tessa tersenyum penuh kemenangan. “Dengan begini, keluarga mereka tidak akan pernah bangkit meski Om Fikram pulih.”Tampak sekali, keduanya tidak sabar ingin menyaksikan penderitaan Echa dan keluarganya di hari-hari berikutnya.Sementara itu, di tempat lain, Niko sedang berdiri di dekat tembok dan menatap nyalang pada teman-temannya yang menertawakan dirinya. Fenomena ini sudah tak asing baginya. Selama 4 tahun kuliah, cibiran dan hinaan sudah biasa dia dapatkan.“Dasar anak yatim! Aku masih heran, kenapa kamu bisa sampai lulus dari kampus elit ini, padahal kamu cuma pembantu rumah tangga.” Aldi menatap Niko dengan pandangan mengejek.“Mungkin dia ada pekerjaan sampingan jadi gigolo,” sahut Dito yang disambut tawa keras
“Dasar bego! Kamu tuh harusnya bersyukur. Tinggal cium sepatunya Aldi, masa depanmu bakalan lebih baik.” Seorang wanita tiba-tiba menimpali, “4 juta loh, jauh lebih besar dibandingkan ngebabu di keluarganya kak Echa.” Niko menatap nyalang pada teman-temannya, “Masa depan tidak ada yang tahu. Jangan suka menghina orang lain, mungkin saja orang yang kalian hina masa depannya jauh lebih baik dari kalian!” Ucapan Niko malah disambut tawa keras dengan tatapan menghina dari teman-temannya. “Memotivasi diri sendiri itu penting, tapi sadar diri itu jauh lebih penting,” ucap Aldi penuh ejekan. “Atau kemiskinan telah membuatmu jadi punya gejala gangguan jiwa?” Mereka kembali tertawa. Sayangnya, mereka salah besar mengira Niko kali ini diam saja. Mood-nya sudah buruk akibat pertengkarannya dengan Echa tadi. Belum lagi, wanita tadi membawa-bawa keluarga wanita itu. “Apa kalian tidak bosan melakukan hal ini kepadaku?” “Bosan? Tidak ada kata bosan untuk membully makhluk sampah sepertimu.”