Pagi menjelang, tepatnya pukul tujuh lewat lima belas menit. Sassi telah bangun dari tidurnya.
"Kamu nggak tidur, Di?" tanya Sassi saat melihat Abdi yang masih sibuk menatap laptop."Sudah bangun?" jawab Abdi sambil melemparkan senyuman."Sarapanlah dulu. Petugas rumah sakit telah membawakannya untukmu," ucap Abdi. Ia kemudian berjalan menghampiri Sassi.Sassi bangun dan duduk bersandar di tepi ranjang. Ia hanya menatap berbagai makanan yang berada di atas nampan."Aku nggak ingin makan, Di," ucap Sassi."Makan sajalah. Supaya kau cepat sembuh dan bisa kembali memasak. Aku sudah lama nggak makan masakanmu," ujar Abdi yang mencoba menyuapi Sassi.Sassi membuka mulut dengan terpaksa, saat ini Abdi sama sekali tidak dapat ditolak."Minumlah obatnya," perintah Abdi lagi."Jadi bagaimana, Di? Kamu mau kan bantu aku?" tanya Sassi."Kau harus sehat dulu sebelum memikirkan hal lain. Kesehatanmu lebih penting," jawab Abdi tak peduli dengan pertanyaan Sassi.Sassi memalingkan wajahnya saat Abdi memberikan obat."Kalau kamu nggak jawab, aku nggak mau minum obat," ucap Sassi.Abdi menatap Sassi. Padahal suaranya saja terdengar sangat lemah, batin Abdi."Apa yang bisa kamu lakukan dengan kondisi lemah seperti ini?" tanya Abdi dengan nada tegas."Tugasmu saat ini hanya berjuang untuk sehat kembali! Masalah lain, biar aku yang urus," tambah Abdi."Kalau begitu, kamu mau membantuku kan?" tanya Sassi kembali serius. Kemudian ia mengambil obat dari tangan Abdi dan segera meminumnya.Abdi hanya dapat menarik napas panjang. Dalam otaknya berkelebat berbagai macam masalah yang harus ia selesaikan. Namun, hal yang terpenting saat ini adalah melindungi Sassi. Ia harus berhati-hati menghadapi Sassi karena kondisinya sangat labil."Aku pergi ke kantin sebentar, kau beristirahatlah," ujar Abdi."Ya. Nggak lama lagi, aku pasti tertidur. Salah satu alasan yang membuatku malas meminum obat," ucap Sassi."Bersabarlah dengan maksimal, Sas."Abdi pergi keluar ruangan setelah merapikan selimut Sassi.Semalaman ia memeriksa semua hal yang berkaitan dengan Ganendra. Baik itu tentang keluarga dan juga tentang perusahaan milik Ganendra. Hal itu membuat Abdi merasa sangat lapar.Kantin rumah sakit terletak di bagian belakang. Abdi mempercepat langkahnya. Mungkin ia akan berbelanja beberapa makanan siap santap yang dapat ia makan di ruangan.Abdi terus berjalan keluar melewati lobi ruangan VVIP. Di depan pintu masuk, pandangan Abdi tertuju pada dua orang suster yang sedang berjalan berpapasan dengannya. Tidak ada yang istimewa sebenarnya, kedua suster itu sama seperti yang lain, berseragam dan juga bermasker.Abdi tersadar saat kedua suster itu menunduk sangat dalam karena pandangan yang Abdi berikan. Sepertinya matanya terlalu mengintimidasi kedua suster itu. Di saat seperti ini, Abdi memang mudah curiga pada siapa saja.Abdi meneruskan langkahnya hingga ia sampai di depan kantin rumah sakit. Sambil melihat-lihat menu, Abdi memeriksa kantong celananya.'Sial. Dompetku tertinggal," umpat Abdi dalam hati."Jadi mau pesan apa, Bang?" tanya seorang pemuda penjaga kantin kepada Abdi."Nanti deh. Dompet saya ketinggalan," ucap Abdi.Tanpa menunggu lama, Abdi segera kembali ke ruangan. Kali ini, ia mempercepat langkahnya. Sampai di depan ruangan, Abdi berjumpa dengan seorang suster yang hendak masuk ke ruangan Sassi."Pagi, Pak Abdi," sapa suster itu."Pagi, Suster Anita," jawab Abdi sambil melihat nama yang tertera di seragam Anita.Abdi segera membuka pintu dengan pelan agar tidak menimbulkan derik. Abdi tidak ingin menganggu istirahat Sassi. Suster Anita terkejut karena melihat ada dua orang suster lainnya di dalam ruangan Sassi."Kalian siapa?" tanya Anita.Kebingungan Anita menular kepada Abdi. Suster yang berada di dalam juga terlihat terkejut. Satu di antaranya segera menarik tangannya menjauh dari selang infus dan menyembunyikan sesuatu."Apa yang kalian bawa?" tanya Anita."Jadwal pemberian obat pagi untuk pasien ini telah selesai. Sekarang saatnya untuk melakukan pengecekan kondisi umum pasien, dan itu tugas saya," ujar Anita lagi.Melihat hal itu, kedua suster asing itu saling beradu pandang. Abdi dengan cepat menghampiri salah satu suster asing yang berada di dekatnya. Namun tanpa diduga, suster itu menyerang Abdi secara tiba-tiba.Anita berteriak keluar, memanggil petugas keamanan.Abdi sadar, mereka adalah suster yang ia lihat di pintu masuk lobi tadi dan kedua suster asing ini adalah suster gadungan. Seragam mereka berbeda detailnya dengan seragam Anita.Abdi berhasil menghindar dari serangan yang mengincar lehernya. Saat Abdi disibukkan mengatasi serangan, suster asing lainnya mencoba menyuntikkan sesuatu kepada Sassi melalui selang infus.Abdi segera melempar tubuh suster asing yang pertama menyerang dirinya ke dinding, kemudian ia melompat ke arah suster asing lainnya. Abdi berhasil menggagalkan aksi penyuntikan suster asing itu.Abdi segera membuang suntikan tersebut.Melihat aksi mereka gagal, kedua suster itu segera berlari keluar ruangan. Abdi mengejar dan berhasil menangkap bahu suster asing yang mencoba menyuntik Sassi hingga suster itu terjatuh.Suster itu bangkit dan memberikan perlawanan. Abdi balas menyerang, walau pun ia sengaja menahan kekuatan karena yang ia hadapi adalah seorang perempuan.Suster asing itu cukup gesit, beberapa kali ia berhasil menghindar dari Abdi dan mendaratkan pukulan telak di dada Abdi.'Ternyata, dia perempuan terlatih,' batin Abdi.Abdi pun tak lagi menahan serangannya. Beberapa kali tendangannya berhasil mengenai tubuh lawannya. Hingga akhirnya, Abdi berhasil merampas masker yang suster asing itu pakai.Abdi semakin terkejut saat melihat wajah suster asing tersebut."Indri?" tanya Abdi dengan nada tak percaya.Suster asing lainnya tiba-tiba muncul, kemudian menarik tangan rekannya dan segera melarikan diri."Di, apa yang terjadi?" tanya Sassi dengan suara sedikit bergetar.Sassi terbangun karena mendengar keributan yang terjadi dalam ruang inapnya. Sassi bertambah bingung saat membuka mata, ia melihat Abdi berkelahi dengan dua orang suster."Kau baik-baik saja, Sas?" tanya Abdi."I-iya ... aku baik-baik saja. Kamu? Kenapa dengan suster-suster itu?" tanya Sassi yang duduk bersandar di atas ranjang, masih diliputi rasa takut."Di sini, Pak!" ucap Anita yang muncul di pintu ruangan dengan napas tersengal-sengal.Tiga orang petugas keamanan muncul di belakang Anita. Abdi langsung menghampiri mereka. Rasa marah menyelimuti diri Abdi. "Mana manajer kalian? Bagaimana bisa pasien VVIP mendapat ancaman pembunuhan seperti ini?" tanya Abdi sambil mencengkeram kerah baju salah satu petugas keamanan."Kami mohon maaf atas ketidaknyamanannya, Pak. Kami akan perbaiki semuanya," ucap salah seorang petugas keamanan."Nggak perlu!" bentak Abdi sambil melepaskan cengkeraman tangannya dengan kasar."Lebih
Ganendra berjalan bolak balik di dalam ruang kerjanya. Pagi tadi, ia berangkat ke rumah sakit mendapati bahwa Sassi sudah keluar dari sana dan sampai sekarang belum sampai di rumah. Jelas. Ini pasti ulah Abdi.Ganendra merasa bodoh. Ia sama sekali tidak memperhitungkan keberadaan Abdi dalam menjalankan rencana-rencananya. Sekarang bisa-bisanya Abdi membawa pergi Sassi begitu saja.Saat ia menikahi Sassi, Abdi memang tak lagi mengawal Sassi. Darma meminta Abdi menjadi asisten pribadinya. Menjadi tangan kanan pengusaha tua itu. Namun, sebelum itu, pasti banyak hal yang telah dilewati Sassi dan Abdi bersama-sama. Laki-laki itu pasti rela mengorbankan nyawa untuk Sassi.Saat datang ke rumah sakit tadi, ia berpikir akan mendapatkan berita duka cita lainnya. Namun, kenyataannya jauh panggang dari api. Memikirkan hal itu membuat emosi Ganendra naik.Ganendra duduk bersandar di belakang meja kerjanya. Matanya menerawang sejauh pikirannya saat ini. Bayangan wajah Sassi muncul membuat Ganendra
"Nggak! Nggak, Di. Bercandamu nggak lucu sama sekali. A-aku ... aku nggak mau mengandung anak Ganendra."Sassi menjambak rambut dengan kedua tangannya sendiri kemudian menutup wajahnya. Ia tak dapat menahan air mata dan duduk meringkuk di dalam mobil.Abdi mengepalkan kedua tangannya, menahan sesak melihat kondisi Sassi saat ini."Anak itu nggak bersalah, Sas," ujar Abdi pelan."Kamu gampang bicara seperti itu, Di. Karena kamu nggak tau kelakuan Ganendra di belakangku!" ucap Sassi emosi."Selain dia merebut anak perusahanmu?" tanya Abdi.Sassi berpaling dari Abdi. Abdi tak pantas menjadi tempat pelampiasan amarahnya kepada Ganendra."Aku tau, Sas. Aku tau apa yang membuatmu jatuh pingsan," ujar Abdi berhati-hati."Pintu paviliun kau buka begitu lebar malam itu. Begitu pula pintu kamarnya. Aku sempat melihat semuanya saat kau mulai limbung malam itu," sambung Abdi.Abdi mencoba membuang jauh segala amarah yang ada saat mengingat kejadian itu. Ia harus fokus pada keadaan Sassi.Sassi be
'Sassi benar-benar kabur bersama Abdi. Kurang ajar!' ujar Ganendra dalam hati.Ganendra melepaskan satu kancing baju dan juga menggulung lengan kemejanya. Ia sangat membenci variabel tak terduga seperti ini. Sudah lebih dari dua puluh empat jam, Abdi dan Sassi tak juga kembali.Ganendra mengambil gagang telefon yang ada di meja kerjanya kemudian menghubungi Markus."Temui saya di tempat biasa! Sekarang!" ucap Ganendra.Ganendra tak percaya bahwa ia harus menghubungi Markus untuk masalah seperti ini.Ganendra keluar rumah dengan mengendarai mobil sendiri. Mobil Ganendra berjalan menuju sebuah daerah pelabuhan di Jakarta Utara.Ganendra meninggalkan mobilnya di parkiran Apartemen Meditiara. Kemudian ia berjalan menjauh dari apartemen. Setelah beberapa kilo meter, Ganendra memasuki gang kecil yang berkelok.Gang yang sepi. Sedikit terlihat kumuh. Namun, hanya orang-orang kaya raya yang berani masuk ke gang ini.Ganendra berhenti di depan sebuah warung tuak. Warung yang hanya terbuat dar
"Bang Abdi," panggil Malik yang berjalan mendekati Abdi.Abdi yang sedang berlatih bersama boneka kayu wingchun, menoleh kemudian menghentikan aktifitasnya."Kapan mendarat, Mal?" tanya Abdi sambil menepuk pelan lengan Malik."Sore kemarin, Bang," jawab Malik.Tak lama Satria datang dengan tergesa-gesa."Wah, yang hanimun ke Singapur. Baru datang. Puas banget tuh. Satu bulan. Mumpung gratis ya," ejek Satria kemudian memberikan serangan jarak dekat pada Malik.Malik menyambut serangan-serangan Satria dengan lihai. Mereka memang kerap melakukan hal itu."Saya ada berita buat Abang," ucap Satria setelah ia selesai dengan Malik.Mereka bertiga kemudian duduk di lapangan berumput."Saya dengar selentingan, ada yang cari-cari Abang," ucap Satria."Siapa?" tanya Abdi."Markus, Bang. Yang punya Priok," jawab Satria dengan serius."Hah, pantes!" sela Malik membuat Abdi dan Satria melihat ke arahnya."Dua minggu lalu, saya liat Markus sama lima orang anak buahnya di National Gallery Singapore,"
Abdi melihat ke arah Sassi yang muncul di ruang keluarga ditemani oleh Ani. Jika dulu rambut Sassi selalu tergerai panjang di atas pinggang, kini tinggal beberapa senti di bawah telinga. Membuat Sassi terlihat lebih segar.Selain itu, leher jenjang Sassi berhasil menjadi salah satu daya tarik tersendiri.Sassi yang selalu berpenampilan sederhana dan bersahaja, kini tampil sebagai perempuan tangguh di balik balutan blazer dan rok pensil sebatas betis berwarna merah yang ia kenakan. Sassi tidak terlalu lihai berdandan. Ia hanya menggunakan skin care secara rutin. Kulitnya memang sudah membuat banyak perempuan lain iri saat melihatnya.Setelah kejadian pahit yang ia alami, jelas membuat berat badannya turun drastis. Namun, hal itu mampu memberi nilai plus pada rencana Abdi saat ini, karena wajah Sassi yang tirus membuatnya sangat berbeda saat ini.Karena Ani mengubah total wajah Sassi. Hidung mancung milik Sassi diberi sedikit shading agar terlihat lebih runcing, bentuk bibir Sassi dibu
"Jangan senyum, jangan senyum. Muka jutek. Muka angkuh. Angkat dagu. Inget, Non. Dia itu pengkhianat. Kita harus hancurkan sampai berkeping-keping," bisik Marlina yang berada di samping kanan Sassi.Ruang meeting berukuran besar itu hanya diisi oleh satu buah meja pertemuan berbentuk bundar. Ganendra hanya membawa tiga orang yang mendampinginya. Kini, semua mata tertuju pada Sassi.Tanpa menoleh ke arah Marlina, Sassi mengikuti ucapan itu. Dengan pasti, mereka melangkah ke arah Ganendra.Ganendra menyambut Sassi dengan tersenyum hangat. Hari ini yang ia tahu, wanita di depannya adalah Emily Shander. "Hello, Miss Emily," sapa Ganendra sambil mengulurkan tangan kepada Sassi."Hai. Emily. Just Emily," balas Sassi menyambut tangan Ganendra. Tanpa senyuman.Ganendra menatap wajah Sassi dengan seksama, membuat perut Sassi terasa mual.'Masa' baru mulai, sudah ketauan?' batin Sassi. "Nice to meet you. Akhirnya kita bisa bertemu, Emily," ucap Ganendra lagi.Sassi hanya menaikkan kedua alis
Sassi kembali ke rumah. Rumah milik orang tuanya. Rumah tempat ia dilahirkan dan juga dibesarkan. Rumah yang telah direbut oleh suami dan juga sepupu yang telah mengkhianatinya.Mobil Ganendra diikuti oleh mobil Sassi telah memasuki halaman rumah. Sassi menolak saat Ganendra mengajak dirinya ikut bersama dalam satu mobil.Kedua mobil itu berhenti di depan teras rumah. Ganendra turun dari mobil, kemudian berdiri di anak tangga, menunggu Sassi keluar dari dalam mobil.Di dalam mobil, perasaan Sassi membuncah. Ia memandang ke arah halaman. Di sebelah kiri ada kebun bunga kecil, di mana dulu dirinya dan Darma sering menghabiskan waktu untuk menanam bunga.Marlina menggenggam tangan Sassi."Kita sudah sampai, Non. Non, sudah pulang ke rumah sendiri. Non Sassi, pasti bisa menghajar mereka yang sudah jahat sama keluarga Darma, Non," ucap Marlina memberi semangat pada Sassi.Sassi tersenyum mendengar ucapan Marlina.Kemudian, Malik membukakan pintu mobil, Sassi segera keluar didampingi oleh M