Cukup lama pelukan itu, Rudolf memberikan bahunya sampai wanita itu benar-benar tenang, sepertinya belum ada keinginan bagi Grace untuk melepaskan laki-laki yang baru saja dibuangnya di jalan tol beberapa saat yang lalu."Jonathan, dia lebih menakutkan dari pada malaikat pencabut nyawa bagiku." Grace melanjutkan ucapannya dengan sedikit lebih tenang, tapi lengannya masih setia bergayut pada leher kokoh milik Rudolf. Matanya sudah terbuka dan menatap lurus jendela apartemen yang masih terbuka dan tirainya bergoyang ditiup angin."Setelah menghilang begitu lama, sekarang dia kembali.""Saya pernah mendengar namanya." Rudolf menanggapi. Grace merenggangkan tubuh mereka, tapi belum menjauh dari laki-laki itu. Untuk pertama kalinya bagi Rudolf melihat ekspresi yang berbeda dari wanita itu. Mata basah yang pasrah dan ketakutan."Dia pernah bekerjasama denganku beberapa kali. Mungkin kau sering bertemu dengannya."Grace menatap lurus mata Rudolf, dia bisa melihat bagaimana bola mata biru ke
Rudolf melepaskan wanita itu saat mereka hampir kehabisan nafas. Grace langsung mengisi oksigen ke paru-parunya dengan rakus. Nafasnya tersengal, dengan mata menatap Rudolf yang disertai sinar permusuhan. Sedangkan Rudolf bangkit dengan santai merapikan kemejanya yang kusut karena perlawanan wanita itu. Entah kenapa, dia melakukan hal gila yang tidak direncanakan sama sekali. Semua itu di luar kendali dan kekuasaannya. Akhir-akhir ini dia mulai tak bisa mengontrol emosi jika berkaitan dengan wanita itu, padahal dari dulu Grace sudah memiliki sifat seenaknya padanya. Tapi tidak begitu mengganggunya."Apa-apaan kau?" Jerit Grace yang berusaha bangkit sempoyongan, lututnya lemas seakan berubah menjadi jeli. Dia sampai berpegangan ke dinding kamar untuk menjaga ke dua kakinya agar tetap tegak berdiri, jujur saja, energinya terkuras habis karena melakukan perlawanan dan meluapkan emosinya yang tak pernah kunjung berakhir jika bersama pria di depannya.."Mulut anda perlu diberi pelajaran, N
Rudolf tak begitu peduli dengan darah segar yang mengucur cukup banyak melewati kening dan hidungnya. Setelah tiang besi itu berhasil diamankan, seorang wanita yang baru datang bernama Bella membantu mengangkat baju-baju yang berserakan di lantai dan dibantu oleh Timmy."Ya ampun, lukamu cukup parah," ujar wanita yang bekerja sebagai penata busana itu dengan wajah khawatir, Timmy yang tadi ikut terpekik sudah muncul kembali dengan kotak P3K di tangannya. Bella buru-buru mengambil kotak itu dan mendekat pada Rudolf."Luka anda harus diobati, kita lakukan pertolongan pertama dulu. Mudah-mudahan tak butuh jahitan." Rudolf menurut sambil mengusap darah dengan sapu tangannya. Sedangkan Grace hanya melongo melihat Bella yang lebih panik dari siapa pun. Dia mendecih melihat Rudolf menurut dan duduk di sofa merah maroon itu. Menurutnya tindakan Rudolf terlalu berlebihan.Bella akhirnya menyadari keadaan, lalu memandang Grace tidak enak."Ups! Sorry Grace ...." Bella buru-buru menyodorkan kot
Grace merenggangkan badannya dari kenyamanan pelukan Rudolf, mencoba menyelam ke mata laki-laki yang memiliki jabatan sebagai suami sekaligus bodyguardnya. Hanya kebingungan dan tanda tanya yang tak terucap tergambar dari bola mata biru keabu-abuan itu. Sejenak Grace merasa kecewa, apa dirinya saja yang terlalu berlebihan dan membawa perasaan. Karena setelah diamati, laki-laki itu tak membalas pelukannya, dia tak juga menolak, tapi lebih tepat dikatakan bingung."Apa kau memang begini?"Grace mencoba menggali isi hati Rudolf. Sejenak kening laki-laki itu berkerut."Saya tak mengerti."Grace mengambil nafas sejenak, lalu mencoba menyentuh dadanya. Kinerja jantung yang tak biasa, untuk menuntaskan rasa penasarannya, Grace melabuhkan telapak tangannya pada dada liat berotot milik Rudofl.Grace kembali merasa hatinya kecewa, detak itu terasa normal, biasa saja, malah dikatakan tak ada bedanya. Berbeda dengannya yang seperti selesai mengangkat beban berat.Grace tersenyum pahit. Lalu menj
Pria yang berdiri di pojok itu hanya bisa mengamati dua orang yang tengah berdebat. Memperdebatkan dirinya tanpa merasa risih dan hormat. Terlebih wanita cantik yang sudah siap di depan kamera dengan dress yang melekat sempurna di tubuhnya."Yang benar saja, Alexander Tidak datang. Aku tak mungkin melanjutkan sesi foto ini." Wanita cantik itu melirik sinis pada laki-laki muda yang sudah siap dengan penampilannya. Sang lawan bicara, yang merupakan fotografer hari ini, mencoba memberi alasan."Ini tak bisa ditunda Grace. Fotomu harus sudah berada di sampul majalah besok pagi. Menunggu Alex sangat tidak mungkin. Laki-laki itu mendapatkan kecelakaan, dan tidak tau pasti kapan bisa pulih."Wanita yang ternyata Grace mengusap keningnya."Aku tak biasa bekerja sama dengan model amatir. Kau tau sepak terjangku selama ini, memasangkan orang baru denganku hanya akan membuat pamorku menjadi turun." Grace membalas sengit "Aku tak punya pilihan lain, dia memang baru lolos audisi, tapi dia cukup
Grace mondar-mandir di luar ruangan operasi. Suasana hatinya saat ini begitu kalut. Sudah dua jam, dokter belum keluar menyampaikan kabar berkaitan dengan kondisi Rudolf. Yang Grace ingat, laki-laki itu kehilangan darah cukup banyak, sedikit saja mereka terlambat, nyawa Rudolf tak akan selamat. Semua terjadi begitu saja, pertemuan itu, tembakan dan rubuhnya Rudolf karena menyelamatkan nyawanya. Semua itu tak pernah diprediksikan sama sekali. Jika saja laki-laki itu tidak membalikkan posisi, maka Grace lah yang akan berada di ruang operasi malam ini. Laki-laki itu berbuat tak terduga, menjadikan punggungan sebagai santapan peluru demi melindunginya.Beberapa menit kemudian, Timmy datang dengan beberapa orang di belakangnya, laki-laki itu memeluk Grace dan mengungkapkan rasa khawatirnya."Beb, maaf aku baru datang. Dia pasti akan baik-baik saja. Polisi sudah bekerja dengan pihak hotel dengan memeriksa CCTV untuk menangkap Jonathan. Besok pagi, polisi juga akan melakukan investigasi de
Grace terjaga dari tidurnya saat dia merasa udara kamar perawatan semakin dingin, wanita itu bangkit mencari remote AC dan menekan tombol plus supaya udara sedikit meningkat. Dia duduk kembali di samping Rudolf, mata sayunya menatap wajah tenang yang masih belum bangun bahkan di hari ke tiga setelah operasi pengangkatan peluru dilakukan.Seperti biasa, Grace melabuhkan kecupan di pipi laki-laki itu. Sebuah kebiasaan akhir-akhir ini yang mulai ditekuninya, menggenggam tangan Rudolf yang masih terpasang selang infus. Sambil sesekali mengamati cairan infus yang menetes dengan teratur.Grace membelai rambut pendek Rudolf, merasakan tekstur lembut di jemarinya. Sungguh! Dia benar-benar memerankan peran seorang istri yang baik dan setia selama tiga hari ini, sebuah sikap yang tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia sendiri tak menyangka bisa melakukan itu pada Rudolf."Kapan kau akan bangun, hmmm? Kau tau? Aku sangat kerepotan menghadapi wartawan yang mengerubungiku bagaikan lebah beberapa h
Publish ulangCanggung dan asing. Grace tak mengerti dengan dirinya sendiri. Entah kenapa semuanya jadi serba salah. Grace tak bisa menelaah rasa asing yang baru pertama dirasakannya saat ini.Rudolf sudah kembali berbaring, dia melihat Grace yang masih asik dengan kebungkamannya."Apa anda baik-baik saja, Nona? Anda terlihat tidak seperti biasanya."Grace memandang Rudolf sekilas. Kemudian kembali pada botol minuman air mineral yang berada di genggamannya."Aku sedikit lelah dan kurang tidur. Selebihnya aku baik-baik saja." Grace memaksakan senyum."Terimakasih anda telah menemani saya.""Tidak," sahut Grace. "Aku yang seharusnya berterima kasih padamu. Kalau bukan karenamu, maka aku lah yang akan berbaring di sana."Rudolf tersenyum sekilas. Dan Grace malah mengutuk jantungnya yang berdesir kembali. "Saya sudah berjanji akan melindungi anda. Dan saya sudah membuktikannya bukan?"Grace mengangguk. Bolehkah dia berharap Rudolf melindunginya bukan hanya karena dia adalah pengawal seti