"Kampret!" teriak Asta sambil berlari dari depan pintu kamarnya menuju ke arah Cakra dan Satria.
Sontak saja kedua laki-laki tersebut menatap ke arah Asta. Dan sesaat kemudian Asta pun langsung merebut benda pribadi berenda yang dipegang oleh Satria tersebut. "Ambil kembaliannya," ucap Asta sambil memberikan uang lima puluh ribu ke tangan Satria dan dengan cepat berbalik sembari berlari membawa benda tersebut kembali ke dalam kamarnya.
Kedua laki-laki yang sedang berdiri di dekat pintu masuk rumah tersebut pun hanya terdiam terpaku melihat kelakuan Asta yang *absurd* tersebut.
Setelah beberapa saat ….
"Ehem!" Sebuah deheman kemudian muncul dari bibir Satria. "Ya sudah kalau begitu, aku ke sini untuk memastikan benda yang masuk ke dalam daftar belanjaanku tadi," imbuhnya.
"Ya," sahut Cakra dingin.
Lalu Satria pun menyodorkan uang yang diberikan oleh Asta tadi. "Tolong kembalikan uang ini pada dia, aku tidak bermaksud meminta ganti untuk barang itu," ujarnya dengan ringan.
Namun dengan cepat Cakra menolaknya. "Ambil saja uang itu, lagi pula bukan aku yang memberikannya," ucapnya masih dengan nada kakunya.
"Tapi—"
"Jika sudah tidak ada hal lain lagi, silahkan pergi," potong Cakra dengan nada ringan.
Tapi tetap saja, yang namanya diusir tetap saja diusir. Satria yang mendapat kata-kata seperti itu pun langsung mengerutkan keningnya.
"Maaf tapi kami baru melakukan perjalanan jauh dari Jakarta, jadi kami perlu istirahat," imbuh Cakra yang terasa lebih halus kali ini.
Lalu Satria pun langsung tersenyum canggung mendengar ucapan laki-laki yang lebih tua beberapa tahun darinya itu. "Ah iya aku mengerti, maaf kalau mengganggu," ucapnya dan kemudian berbalik dan melangkah pergi.
Namun baru selangkah Satria berjalan, Cakra pun langsung menutup pintu rumah tersebut.
"Hufff, Jakarta … Jakarta," gumamnya lalu berjalan dengan cepat meninggalkan halaman rumah tersebut.
Sementara itu di dalam rumah tersebut, kini Cakra langsung berjalan ke depan kamar Asta dan mengetuk pintu kamar tersebut.
"Asta, buka!" panggil Cakra.
Panggilan demi panggilan pun seperti tak dihiraukan oleh Asta hingga sebuah ancaman pun keluar dari mulut Cakra. "Jika tidak membuka pintu ini, jangan salahkan aku mendobraknya. Satu … dua … ti—"
"Kenapa?" tanya Asta setelah membuka pintu kamar dan melongokkan kepalanya sambil menatap ke arah Hamka dengan santai.
"Kamu sedang apa?" tanya Cakra ketika mendapat tatapan lembut dari iris berwarna hazel tersebut.
"Ganti baju, kenapa?" tanya Asta dengan nada tak mengenakkan.
"Sudah selesai?" Cakra bertanya balik.
"Ck!" Asta memutar manik matanya dan setelah itu keluar dari dalam kamarnya tersebut. "Ada apa Kak? Apa kamu ingin pindah ke kamarku?" tanyanya dengan malas karena tahu kalau kakak angkatnya itu akan menceramahi dirinya panjang-lebar, seperti biasanya saat ia melakukan kesalahan atau hal memalukan.
"Jangan mengalihkan pembicaraan. Apa maksud kamu tadi? Apa kamu tidak bisa berpura-pura jika benda itu bukan milik kamu? Apa kamu tidak punya rasa malu sebagai perempuan?"
Kalimat-kalimat yang tentu saja tidak mengenakkan di hati Asta itu pun langsung disikapi Asta seperti biasanya. "Ya-ya-ya aku memang salah," ujarnya sambil menundukkan wajahnya.
"Sikap apa itu?" tanya Cakra yang selalu tak senang ketika mendapat sahutan seperti itu dari Asta.
Biasanya Asta hanya akan diam saja atau meminta maaf, namun kali ini berbeda. Ia dengan cepat mendongakkan wajahnya dan menatap kesal pada Cakra. "Jangan bertindak seolah-olah kamu ini kakakku. Sekarang aku ini istri kamu, kalau kamu tidak ingin ada kejadian seperti itu maka belikan benda-benda itu, soalnya aku lupa memasukkan daleman ke dalam tasku," omelnya balik.
Cakra pun terdiam mendengar hal tersebut, ia bingung harus menanggapi bagaimana tuntutan Asta tersebut. Bagaimanapun juga apa yang dikatakan oleh gadis yang berdiri di depannya itu adalah sesuatu yang tidak bisa dipungkiri olehnya.
Dan di saat Cakra terlihat tak bisa menjawab, kemudian Asta pun menambah tingkahnya. Ia dengan cepat mengangkat tangannya dan menunjuk ke arah dada bidang di hadapannya itu. "Dengar ya Kak, walaupun kamu tidak mau mengakuiku di depan siapa pun, aku ini tetap istri kamu. Mengerti?"
Ucapan Asta tersebut semakin membuat Cakra tenggelam dalam diam.
Dan sesaat kemudian Asta pun dengan cepat berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar tersebut, meninggalkan Cakra yang masih terpaku di depan kamarnya.
Tek-tek-klak! Suara Kamar Asta dikunci kembali.
Cakra pun langsung tersadar ketika mendengar suara kuncian tersebut, tangannya mengepal melihat hal itu. "Hisss," desisnya yang merasakan sesuatu yang aneh di dalam hatinya.
Setelah itu ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya.
\*
Malam harinya.
Sejak kejadian siang tadi, tak terlihat Asta keluar dari kamarnya. Cakra awalnya hanya membiarkan saja semua hal itu, dan berpikir jika gadis itu lapar maka dia akan keluar dari kamarnya. Namun sampai waktu makan malam tetap saja Asta tak keluar, hingga membuatnya merasa khawatir dan tak tahan.
"As, Asta!" panggil Hamka sambil mengetuk pintu kamar Asta beberapa kali, namun tak terdengar sahutan dari dalam kamar tersebut.
"Jangan-jangan dia ...." Bayangan-bayangan buruk pun mulai merasuki pikiran Cakra, hingga akhirnya ia pun mengetuk pintu itu makin keras.
"Asta, buka pintunya!" teriaknya.
Dan sesaat kemudian ....
KLAK! Pintu kamar itu di buka.
"Kenapa lagi?" tanya Asta yang baru keluar dari dalam kamarnya sambil menatap cuek ke arah laki-laki di depannya itu.
Namun bukannya menjawab, kini Cakra langsung menatap Asta dari ujung kaki hingga ujung kepala. Cakra menelan salivanya ketika melihat kaki putih langsat Asta yang dihiasi bulu-bulu lembut tersebut terekspos di depan matanya, apa lagi saat menatap bagian pundak dan leher Asta yang tak tertutupi kain sedikit pun, tentu saja itu langsung membangunkan sisi laki-lakinya.
"Katakan, ada apa?" tanya Asta masih dengan tampang malasnya.
"I-i-itu ... apa kamu tidak lapar?" tanya Cakra sambil menatap kembali ke wajah gadis di depannya itu. "Tunggu, maksudku kenapa kamu begini?" Ia mengganti pertanyaannya.
Kemudian Asta pun berjalan mendekat ke arah laki-laki di depannya itu dengan pelan. "Aku? Aku memakai handuk agar mudah melepasnya, karena aku ingin ...."
"Ingin apa?" tanya Cakra yang mulai tegang karena Asta berjalan semakin mendekati dirinya.
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin ....
"Ck, apa Kakak tidak tahu, aku ini ingin … mandi," ujarnya ketika tubuh sintalnya hanya berjarak beberapa inchi dari tubuh laki-laki di depannya itu.Dan setelah itu ia pun dengan cepat berjalan menjauh dari Cakra tanpa menoleh sedikit pun.Dan ketika ia sampai di depan pintu kamar mandi yang ada di ruang belakang, ia pun berhenti untuk membetulkan handuk yang melilit tubuhnya sambil menoleh ke arah Cakra. "Kita makan malam apa, atau kita keluar saja?" tanyanya dengan suara yang dibuat sedikit serak-serak seksi mengundang.Cakra yang sedari tadi terus memperhatikan langkah dan setiap gerakan dari tubuh Asta pun langsung menjawab tanpa sadar, "Keluar.""Bagus," sahut Asta sambil tersenyum manis dan kemudian masuk ke dalam kamar mandi yang sudah berada di depannya itu.Cakra pun langsung terkesiap ketika Asta menghilang dari pandangannya. "Astaga," gumamnya sambil mengus
"Hei!" Terdengar panggilan dari arah lain.Sontak saja Cakra dan Asta langsung menoleh ke arah suara tersebut."Kalian orang yang ada di tempat makan tadi kan?" tanya seorang laki-laki yang kini sedang berada di halaman rumah Satria."Dia …," gumam Asta sambil menunjuk ke arah laki-laki tersebut.Laki-laki itu pun mengerutkan keningnya ketika melihat ekspresi Asta tersebut. "Kenapa, apa kalian lupa padaku?" tanyanya."Tidak," sahut Cakra dengan cepat. "Kamu Dokter Rendra kan?"Asta pun langsung menoleh kembali ke arah Cakra. 'Kok tidak kaget, apa dia sudah tahu sebelumnya?' batinnya."Benar-benar," sahut Rendra yang kemudian berjalan keluar dari halamannya dan masuk ke halaman rumah tersebut.Setelah sampai di teras rumah tersebut, Rendra pun bersalaman dengan Asta dan Cakra dengan santai. "Kalian tinggal
"Apa yang sedang …." Kalimat Cakra terhenti ketika melihat Asta dan Rendra sedang berada di depan kompor gas. "Kamu sedang apa?" Cakra mengganti pertanyaannya dan langsung mengarahkan pertanyaan tersebut khusus untuk Asta.Asta yang sedang memegang spatula di tangannya pun menjawab dengan ringan, "Masak.""Kamu bisa masak?" tanya Cakra lagi."Bisa, dikit," jawab Asta lalu menoleh ke arah Rendra. "Kalau dia nih ... jago," imbuhnya lalu kembali terkekeh.Melihat hal tersebut, Cakra pun langsung mengerutkan keningnya. 'Sejak kapan mereka menjadi akrab?' batinnya yang merasa ada yang salah dengan hal itu."Iya aku jago karena yang aku masak ini ayam jago, Benarkan?" sahut Rendra sembari ikut tertawa kecil.Kemudian Cakra pun menyahut, "Lalu suara tadi ...." Cakra menggantung kalimatnya."Suara apa?" tanya Asta, menanggapi kalimat laki-
BRUGH!"Ishhh!" desis Asta sesaat setelah tubuhnya terjungkal di lantai rumah tersebut.Beberapa detik kemudian, ia pun dengan cepat mengganti posisinya dan duduk di lantai sembari menatap ke arah laki-laki yang kini sedang berdiri tidak jauh darinya itu."Siapa yang mengajari kamu hal seperti itu?" tanya laki-laki yang sudah resmi menjadi suaminya itu dengan sebuah tatapan tajam menyertai kalimatnya.Namun bukannya menjawab, kini Asta malah melengos dan menatap ke arah lain.Suasana di ruangan itu pun langsung berubah sunyi selama beberapa saat. Cakra pun terus saja menatap ke arah Asta dengan ekspresi yang sama, ekspresi yang menggambarkan tuntutannya agar Asta menjawab pertanyaannya itu. Begitu juga dengan Asta yang masih kekeh menatap ke arah lain dan terlihat jelas kalau tak ingin menjawab pertanyaan tersebut."Hufff …." Akhirnya Asta pun menghela nap
THAKKK! Auuu! pekik Asta ketika sebuah koin mengenai keningnya dan langsung membuat matanya terbuka lebar."Isssh!" desis Asta kesal ketika menatap koin yang kini masih berputar-putar di lantai tak jauh dari tempatnya berdiri."Jangan lama-lama!" Terdengar teriakan lagi dari laki-laki yang kini melangkah ke arah ruang tamu tersebut."Apa dia hilang ingatan, kenapa bisa memperlakukan aku seperti ini lagi. Dasar laki-laki freak," gerutu Asta lalu kembali masuk ke dalam kamarnya dan mengambil peralatan mandinya. Lima belas menit berlalu, dan kini Cakra masih menunggu Asta di ruang tamu rumah itu sembari menghentak-hentakkan kakinya karena mulai tak sabar menunggu istrinya itu."Ck, lama sekali," ucap Cakra ketika melihat Asta yang baru saja masuk ke ruang tamu tersebut.Asta yang dikomentari pun langsung
"Hei!" teriak Asta yang terkejut karena wanita paruh baya tersebut tiba-tiba saja menarik rambut ibu muda yang duduk di sampingnya."Apa kamu!" sentak wanita paruh baya tersebut sambil melotot pada Asta."Lepaskan dia!" Asta tentu tak mau kalah dan merasa benar-benar harus membela perempuan muda yang saat ini sedang memeluk erat anaknya sembari mempertahankan posisi duduknya agar tak terjatuh. Dan tanpa pikir panjang Asta langsung mengambil sebuah papan dan mengangkatnya tinggi-tinggi, ingin memukulkan papan tersebut pada wanita paruh baya di depannya. Namun tepat sebelum papan itu diayun ke arah kepala wanita paruh baya tersebut, tiba-tiba sebuah tangan menahannya.'Kok macet,' batin Asta yang merasa heran karena papan tersebut tak bisa digerakkan. Sesaat kemudian ia pun menatap ke atas, dan menemukan sebuah telapak tangan dengan tanda lahir berwarna coklat sedang menahan kayu yang dipegangnya."Jangan sembarangan," ucap pe
Satu jam berlalu, kini Asta dan Cakra sudah kembali ke rumah sewa mereka."Aku tetap tidak habis pikir, bisa-bisanya ada orang tua setega itu pada anaknya," ujarnya sembari menghempaskan tubuhnya di sofa yang ada di ruang tamu. "Dia itu baru tujuh belas tahun, tujuh belas tahun Kak," imbuhnya sambil menekan bagian akhir kalimatnya.Cakra yang masuk ke dalam rumah itu setelah Asta pun menutup pintu rumah tersebut sembari menyahut, "Kamu sudah tiga kali mengatakan kalimat ini."Jawaban datar dari Cakra langsung saja membuat Asta mendengus kesal. "Ngeselin," lirih Asta hampir tak terdengar.Setalah selesai menutup pintu utama rumah itu, kemudian Cakra pun ikut duduk di sofa sembari meletakkan barang belanjaan yang dibelinya tadi di dekatnya dan Asta. "Aku capek, bawa benda ini ke dapur," perintahnya sembari menyenderkan punggungnya di sofa tersebut agar lebih santai."Kok aku," protes Asta."Lalu siapa?" tanya Cakra sambil menoleh k
"Kamu siapa?" Laki-laki itu menatap tajam ke arah Cakra.Dan tanpa berkata apa pun lagi, Cakra dengan cepat menendang tubuh laki-laki paruh baya tersebut hingga laki-laki tersebut terjungkal ke belakang."Dancok!" Maki pelanggan lainnya sembari berdiri dan menatap tajam ke arah Cakra, terlihat jelas kalau ia tak terima dengan perlakuan Cakra pada temannya.Cakra pun membalas tatapan tajam tersebut dengan seringainya. "Aku pemilik tempat ini. Kamu bisa pergi sekarang, dan bawa orang ini," ujar Cakra sembari menunjuk ke arah laki-laki yang ditendangnya tadi.Mendengar kalau Cakra adalah pemilik tempat tersebut, orang itu pun tak berkata apapun lagi. Ia memilih untuk menolong temannya bangun dan membawanya meniggalkan tempat itu.Sementara dua laki-laki tersebut berjalan meninggalkan tempat itu, kini Cakra dan Asta sama-sama menatap ke arah dua pegawai tempat makan yang saat ini masih menundukkan wajahnya, tidak jauh dari tempat Cakra dan As
"Lalu apa jawaban yang tepat?" Tanya Cakra sambil menatap langsung mata Asta. Dia dengan lembut meraih belakang kepala Asta, dan kemudian membawa wajah mereka semakin mendekat satu sama lain. Hingga setelah beberapa saat akhirnya Cakra mengecup lembut bibir Asta. Ciuman itu membuat tubuh Asta benar-benar kaku.'Gila, ini bukan karena marah dan ini juga bukan sedang mimpi, dia benar-benar nyium aku,' batin Asta yang saat ini hanya mengedipkan matanya beberapa kali tanpa bereaksi apa pun terhadap ciuman Cakra.Hingga ...Tiiiit! Suara bel dari mobil lain yang ada di belakang mobil Cakra membuat Asta langsung mendorong tubuh Cakra.Ishhh! Desis Cakra karena bagian belakang kepalanya terbentur body mobil. "Maaf," ucap Aska sambil meringis melihat ekspresi wajah Cakra. "Cepet injak gasnya orangnya udah ngamuk-ngamuk," imbuh Asta sambil menatap ke arah belakang dan melihat orang yang ada di dalam mobil di belakang mereka saat ini baru saja keluar dari mobil.Cakra pun segera kembali ke
Setelah turun dari mobil Asta langsung menarik tangan laki-laki yang saat ini ada di dekatnya. Dia membawa laki-laki itu menjauh dari mobil."Kamu gila, ngapain kamu di sini?" tanya Asta sambil menatap tajam laki-laki yang ada di depannya."Sat, kamu jangan macam-macam, deh." Asta mengatakan hal itu sambil melepaskan lengan Satria. "Kamu kan tahu gimana galaknya Kak Cakra, Kamu sengaja ingin membuat aku kena marah terus."Sesaat kemudian Satria mengeluarkan ponselnya dan kemudian menyodorkan ponsel itu kepada Asta. "Apa?" Tanya Asta sambil menatap ke arah ponsel milik Satria. "Tulis nomor HP kamu," pinta Satria sambil terus menyodorkan ponselnya kepada Asta."Untuk apa?" tanya Asta sambil beralih kembali menatap mata Satria dengan dahi yang mengernyit."Tentu saja untuk menghubungi kamu, emangnya untuk apa lagi," jawab Satria sambil meraih tangan kanan Asta dan kemudian meletakkan ponselnya di atas tangan Asta. "Jika kamu tidak mau memberikan nomor ponselmu, maka aku akan berjal
"Mama mendengar kalau ada masalah dengan tempat yang dijadikan sebagai tantangan oleh Papamu," jawab Nyonya shassy dengan nada bicara yang terdengar jelas kalau dia sedang khawatir. Asta kembali menatap ke arah Raka yang saat ini sedang berbicara dengan Pak Harto. "Memang ada masalah, Ma. Tapi kakak sudah menyelesaikan semuanya," jawabnya lalu menghela napas panjang. "Apakah kamu tidak berbohong pada Mama?" Tanya Nyonya Shassy dengan cepat. Sebuah senyum kecil muncul di bibir Asta ketika mengingat kejadian di balai desa. "Iya Ma, Asta tidak bohong. Mama tenang saja semuanya di sini masih baik-baik saja," jawabnya untuk meyakinkan ibunya yang pasti selalu mengkhawatirkannya. "Lalu, apakah kamu sudah makan?" Tanya Nyonya Shassy."Sudah, pokoknya Mama tenang saja aku baik-baik saja di sini. Makanan juga ada di mana-mana jadi Mama tidak perlu khawatir. Sekarang Asta tutup dulu teleponnya karena Asta mau pergi ke toko kain, oke?" Ucap Asta dengan perlahan dan membuat kalimatnya terdeng
Asta pun langsung berbalik menatap ke arah Cakra. "Kamu yang melakukan ini?" tanyanya sambil nunjuk ke arah tanda cupang di tulang selangkanya.Cakra yang masuk ke dalam kamar itu dengan tergesa-gesa pun langsung mengganti ekspresi wajahnya. "Jangan konyol," sahutnya ringan."Apa maksudnya konyol?" Asta tak terima dengan perkataan Cakra. "Aku tahu jelas ini bekas ciuman, tidak mungkin bentuk begini karena digigit nyamuk."Cakra menghela napas panjang lalu melangkah ke arah lemari yang ada di kamar itu. "Mungkin kamu terbentur sesuatu," elaknya sambil mengambil pakaiannya dari dalam benda benda persegi panjang tersebut.Namun, di sela-sela gerakannya dia sempat melirik ke arah Asta yang saat ini sibuk dengan bekas merah di tulang selangkanya dan melupakan handuk kecil yang tak begitu bisa menutupi tubuhnya.'Jika yang di sini bukan aku, pasti laki-laki itu sudah memakan Asta sampai habis,' batin Cakra sambil mengalihkan pandangannya. Dia mencoba sebisa mungkin menahan hasrat yang tentu
Pada akhirnya, malam ini Asta terpaksa tidur di kursi ruang tamu karena dia bersikeras tak mau tidur sekamar dengan Cakra. Sedangkan kamarnya … setelah Cakra mengambil semua barang-barang Asta, akhirnya Cakra mengunci pintu kamar tersebut."Aku benar-benar tidak pernah berpikir akan ada hari seperti hari ini," gumam Asta sambil menatap ke arah langit-langit ruang tamu tersebut.'Apa yang harus aku lakukan setelah ini? Apa aku besok kembali ke Jakarta saja ya,' batin Asta dengan mata yang mulai terasa berat.Setelah itu pada akhirnya Asta pun tertidur karena saat itu sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Sementara itu saat ini Cakra sedang menatap ke langit-langit kamarnya. Dia mencoba mengingat semua hal yang dia lakukan hari ini."Asta," desahnya yang tak bisa merasa tenang jika sudah menyangkut wanita yang sudah menjadi bagian hidupnya sejak dia kecil itu.'Apa yang harus aku lakukan? Apa lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya tentang syarat dari Papa,' batin C
"Aku bilang … aku lupa mematikan kompor!" teriak Asta tiba-tiba sambil menendang perut Cakra, hingga membuat Cakra mundur beberapa langkah.Dan tanpa berpikir panjang, Asta pun berlari keluar dari kamar tersebut dan kemudian masuk ke dalam kamarnya sendiri.Sedangkan Cakra saat ini sedang mengelus perutnya. "Dia benar-benar menendangku," gumamnya.Setelah itu Cakra pun keluar dari kamarnya dan pergi ke dapur untuk mengecek apakah benar kompor di dapur benar-benar masih menyala. Akan tetapi, benar saja yang dia temukan adalah kompor yang mati. Bahkan tidak ada apa pun di atas kompor tersebut."Asta!" panggil Cakra yang tidak melihat istrinya di sana. Sementara itu, saat ini Asta tengah duduk di ranjang kamarnya. Dia membuka sedikit celananya dan memastikan semuanya."Gila, aku benar-benar lepas," gumamnya sambil menutup kembali celananya.Setelah itu Asta menatap ke arah langit-langit kamarnya. Dia menyentuh bibirnya dengan perlahan. "Dia benar-benar menciumiku, kasar lagi," uca
Setengah jam berlalu. Saat ini Asta yang sudah sampai di rumah pun segera meletakkan barang belanjaannya di meja dapur. Ia bernyanyi kecil sembari menyiapkan bahan masakannya."Jangan pernah kau sakiti aku lagi, cobalah untuk leng—""Sepertinya kamu sedang senang?" tanya Cakra yang tiba-tiba masuk ke dapur. "Biasa saja," jawab Asta sembari berbalik untuk mengambil pisau di dekat rak piring.Cakra kemudian dengan tenang duduk di kursi yang ada di sana. "Kamu ke mana saja tadi?" tanyanya.'Huh, sudah kusiapkan untuk ini,' batin Asta."Belanja bahan makanan, ke mana lagi," jawabnya dengan ringan."Belanja bahan makanan lebih dari satu jam?" tanya Cakra lagi.Asta pun menghela napas panjang. "Belanja kan harus milih," sahutnya masih dengan sikap tenang."Oh iya, nanti kamu kirimkan makanan ke tetangga sebelah," ucap Cakra dengan nada datar.Langsung saja Asta menoleh. "Maksud kamu ke tempat Satria?" 'Kalau benar-benar untuk mereka, ini pasti ada yang tidak beres.' Asta
"Iya kamu," sahut Satria sembari duduk di dekat Asta dan kemudian menyenderkan punggungnya di bangku tersebut. "Kamu sendiri yang menolak ajakanku. Jadi tentu saja aku terpaksa melakukan itu.""Otak kamu isinya apa?" Satria pun menoleh dan menjawab, "Cukup banyak." "Hiss …," desisan disertai ekspresi masam pun muncul di wajah Asta yang benar-benar seperti kehilangan akal menghadapi pemuda di sampingnya itu."Kenapa lagi, apa aku salah menjawab lagi?" seloroh Satria sembari menatap seorang laki-laki yang sedang berjalan ke arah mereka membawakan dua gelas pesanannya."Tidak," tukas Asta sembari menoleh kembali pada Satria. "Oh, iya aku mau bicara serius dengan kamu, baga—""Iya, aku menyukai kamu. Jadi kapan kita jadian?" Satria memotong ucapan Asta dengan seenaknya sendiri."Sembarangan." Asta membulatkan matanya. "Aku ini ingin bertanya sesuatu yang penting.""Apa?""Dari mana kamu tahu kalau aku tidak jadi bertunangan dan bahkan sudah menikah?" tanya Asta dengan ekspresi yang beru
Asta yang baru saja masuk ke dalam rumah pun langsung melangkah ke kamarnya. Ia segera merebahkan tubuhnya di ranjang setelah menutup pintu kamarnya."As!" panggil Cakra sembari mengetuk pintu kamar tersebut cukup keras."Apa lagi sih," gerutu Asta yang semakin dalam membenamkan wajahnya ke bantal.Klak! Pintu kamar tersebut terbuka."Kamu sedang apa?" Cakra yang saat ini berada di tengah pintu kamar tersebut kini menatap aneh ke arah Asta yang masih tengkurap di atas ranjang."Tidur," jawab Asta tanpa mengganti posisinya."Ck," decak kesal Cakra ketika mendapat jawaban yang tak sesuai di pikirannya. "Duduk! Aku ingin bertanya sesuatu pada kamu.""Satria?" Asta menyahut tanpa menoleh sedikit pun."..." Cakra diam selama beberapa saat karena tebakan istrinya itu benar adanya dan itu membuatnya merasa sedikit aneh. "Ada hubungan apa kamu dengan dia?" Mendengar hal itu Asta pun bangun dari posisinya dan duduk bersila menatap Cakra. "Kamu cemburu?""Kamu tahu kan, aku tidak