Alfian hanya bisa meratapi nasib yang sedang menimpanya. Hati yang sakit membuat tubuhnya lemah tak berdaya, jiwanya tak ingin hidup walau raganya masih ingin bergerak.
Hari terus berganti, pemuda itu masih berusaha untuk terus berjalan walau hanya bisa diam. Beban yang harus dia pikul membuat raganya harus tetap bekerja.* * *"Al! Kantin, yuk." Lamunan Alfian buyar ketika mendengar suara wanita yang menyebut namanya."Enggak ah. Enggak lapar aku," jawabnya setelah dia memandang wanita itu adalah Safitri.Jam istirahat kantor telah tiba, namun, Alfian masih saja seperti biasanya yang hanya duduk di kursi miliknya tanpa melakukan aktivitas apapun kecuali melamun.Safitri memutarkan kursinya menghadap Alfian, wanita itu sejak lama memperhatikan teman sekantornya itu tapi baru kali ini dia memberanikan diri untuk mengajaknya berbicara."Al, coba cerita sama aku. Sebenarnya kamu ini ada apa? Apa akan selamanya kamu seperti ini?" Tanya Safitri dengan nada lirih."Sa, aku enggak tahu harus apa dan aku juga enggak tahu apa yang akan aku lakukan ke depannya," jawab Alfian sekilas memandang gadis berkulit putih itu."Maka coba cerita, siapa tahu aku akan bisa bantu kamu cari jalan keluar. Al, masalah kalau di simpan sendiri enggak akan bisa selesai," ucap Safitri.Alfian tidak mampu menceritakan apa yang tengah dia rasakan. Hanya saja sekarang hatinya terasa membatu yang tidak bisa merasakan apapun.Gawai yang kemarin pecah, kini sudah membaik setelah di perbaiki di konter terdekat dari rumah kost nya. Pemuda itu baru tersadar hanya gawai lah yang mampu memberikan informasi dari desa."Sa, aku enggak tahu apa salahku tapi tiba-tiba kekasihku tidak lagi mau menjawab telepon dariku. Malah gawainya di berikan pada orang lain," ucap Alfian mencoba menjelaskan."Apa? Kok bisa?" Ucap Safitri terkejut."Entahlah. Padahal aku ke sini berjuang untuk menghalalkannya, bagaimana caranya supaya aku bisa menikahinya di tahun yang akan datang."Wajah Alfian murung ketika mengingat di mana masa indah yang pernah di lewati berdua bersama sang kekasih. Pemuda itu menghela nafas panjang lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi."Kalau aku nih, ya, enggak bakal aku kasih ampun. Aku yakin dia sudah ada yang lain," ucap Safitri dengan nada enteng. Alfian sekilas memandang Safitri dan secepatnya wanita itu mengangguk-anggukkan kepala seolah meyakinkan Alfian.Plak!Jihan menepuk paha sebelah kanan Alfian."Aduh! Sakit." Alfian meringis sambil mengusap-usap pahanya yang terasa panas."Al, ternyata tersangka ada dua wanita. Pertama Safitri dan yang ke dua Almera," tebak Jihan sambil memandang Alfian.Alfian mengangguk-anggukkan kepala lalu menghidupkan mesin motor untuk melanjutkan perjalanan.Teka-teki yang selama ini ada di kepala Alfian sudah mendapatkan beberapa kata untuk memecahkan jawabnya."Sekarang kita mau ke mana, Al?" Tanya Jihan ketika motor tengah berjalan."Ke rumah Almera. Aku ingin tahu apa yang sudah terjadi sebelum Hanum mengambil keputusan itu," ucap Alfian.Beberapa saat kemudian, Alfian dan Jihan tiba di sebuah rumah yang tak begitu besar dan tidak begitu kecil. Yang pada intinya rumah Almera sedang dan tampak bersih nan rapi.Alfian memandang seorang wanita yang tengah duduk di kursi yang ada di teras rumah itu. Wanita paruh baya itu meletakkan koran yang baru dia baca di atas meja."Alfian? Ada apa, Nak?" Tanya seorang wanita paruh baya itu sambil beranjak dari duduknya."Bu, Almera, ada?" Tanya Alfian setelah turun dari atas motor."Almera sudah tidak tinggal di sini lagi, Al. Dia tinggal bersama tantenya di kota," jawab wanita itu sambil tersenyum."Almera tinggal di kota?" Tanya Jihan sedikit terkejut.Wanita itu mengangguk. Tampak dari raut wajahnya wanita itu tengah menyembunyikan sesuatu dan tengah merasakan kesedihan.Jihan melangkah menuju wanita itu lalu menjabat tangan wanita paruh baya itu."Jihan, Bu," ucap Jihan memperkenalkan diri."Iya. Kamu istri Alfian kan? Gara-gara kamu anakku jadi hampir gila," ucapnya dengan nada lembut namun menusuk ke hati."Apa?" Alfian terkejut.Bu Hilda tersenyum sinis lalu memalingkan wajahnya, wanita paruh baya itu tampak tak sudi untuk memandang Jihan.Alfian yang masih bingung memandang Jihan lalu kembali memandang Bu Hilda yang masih memandang ke arah jalan yang ada di depan rumah."Bu, sebenarnya ada apa?" Tanya Alfian dengan nada lirih.Hening ..."Kamu tahu enggak sih, Al? Kamu punya perasaan enggak sih? Kamu punya pikiran tidak?" Teriak Bu Hilda.Mata Jihan seketika membulat setelah mendengar suara Bu Hilda yang menggelegar di teras rumah. Wanita itu memandang ke sekeliling untuk melihat suasana, untungnya tidak ada satu orang pun yang ada di sana."Kamu tahu? Sudah lama anakku menaruh hati padamu tapi kamu tidak pernah melihat perjuangan nya. Tidak pernah melihat apa usahanya supaya kamu bisa tenang hidup di kota.""Bu, tapi—""Aku tahu anakku tidak secantik istrimu tapi setidaknya anakku sudah melakukan yang terbaik menjaga dan ikut memperhatikan nenek dan kakek mu yang ada di sini untuk menjaga mereka." Bu Hilda memotong ucapan Alfian.Bu Hilda meluapkan amarahnya setelah beberapa saat dia tahan. Andai dia bisa berteriak lebih keras lagi, wanita itu akan berteriak untuk melepaskan sebongkah bara api yang menyala di dalam dada."Bu, sejak kapan Almera menaruh hati pada Alfian? Bukannya Almera tahu Alfian sudah milik Hanum kemarin?" Tanya Jihan dengan nada lembut. Wanita tinggi semampai itu mencoba menenangkan suasana."Iya. Almera tahu Alfian milik sahabatnya Hanum. Tapi Almera sangat berharap setelah dia tahu hubungan Hanum dan Alfian sudah berakhir. Apa dia salah?" Teriak Bu Hilda dengan mata melotot. "Sebenarnya putriku yang bodoh, kenapa dia memilih laki-laki ini untuk di cintainya? Kenapa bukan laki-laki lain yang tidak mudah menaruh hati pada perempuan lain," lanjutnya."Al! Al! Ayo kita pulang," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dan berjalan ke arah motor. Wanita itu tahu situasi ini tidak baik jika di teruskan karena sudah mencium aroma tak sedap dari teriakan Bu Hilda.Alfian pasrah dengan tarikan Jihan, pemuda itu kembali menghidupkan mesin motor lalu meninggalkan rumah itu.Di perjalanan pulang tidak ada satu katapun yang mampu di ucapkan oleh Alfian maupun Jihan. Mereka sama-sama diam dan sama-sama memecahkan masalah ini.Sreett ..."Aduh!" Jihan menepuk pundak Alfian. "Ada apa?" Lanjutnya."Ji, lihat itu!"Sebuah mobil Alphard berwarna hitam tengah parkir di halaman rumah Alfian. Setelah di perhatikan ada beberapa orang yang tengah duduk di samping nenek dan kakek dan beberapa orang lainnya berdiri di sisi mereka."Astaga, Al! Itu papa," ucap Jihan dengan mulut terperangah."Astaga, enggak pernah kubayangkan mereka bisa sampai sini, Ji," ucap Alfian."Al, putar balik!" Ujar Jihan dengan nada panik."Enggak mungkin, Ji, bagaimana dengan nenek dan kakekku?" Tanya Alfian.Alfian dan Jihan sama-sama panik, mereka tidak bisa menghindar lagi setelah salah satu orang di antara ajudan melihat mereka."Tuan! Itu nyonya!" Teriak salah satu ajudan berkepala botak."Jihan!" Brahma Utama berteriak.Alfian dan Jihan tidak bisa bergerak setelah mereka tahu semua mata tertuju pada mereka. Alfian menjalankan motor menuju halaman rumah.Perlahan Jihan turun dari atas motor lalu perlahan melangkah ke arah sang papa dengan kepala memandang ke bawah. Wanita itu sudah pasrah dan berserah diri dengan apa yang akan terjadi ke depannya dengan dirinya. Yang pasti wanita itu tengah merasakan degup jantung yang sangat luar biasa."Jihan," Brahma Utama memanggil sang putri dengan suara lembut. Suara itu mampu menggugah hati sang putri untuk memandangnya."Iya, Pa?""Kenapa kamu tidak bilang ke papa kalau kamu sudah menikah? Ayo pulang, Nak, ajak suami kamu pulang ke rumah kita," ujar Brahma.Bagai ingin terbang ke angkasa ketika sang papa tidak seperti apa yang sudah dia bayangkan. Ternyata benar ucapan sang adik, papanya hanya menginginkan dirinya menikah tanpa harus melihat status dan juga memandang harta.Jihan tersenyum lalu menghamburkan diri ke pelukan sang papa. Betapa bahagianya wanita itu mendapat restu dari orang tua padahal hubungan itu hanya pura-pura saja."Al, ini papaku," ucap Jihan sambil memandang sang papa.Alfian menjabat tangan mertua pura-pura nya itu sambil tersenyum, "Alfian, Om.""Loh, kok om sih? Papa. Papa mertua," ucap Brahma sambil tersenyum.Seketika suasana menjadi ceria setelah terdengar suara tawa dari mereka. Nenek dan kakek ikut tersenyum bahagia setelah melihat sang cucu walaupun sebelumnya mereka juga sedikit ada rasa marah..."Kakek, nenek, besok andai kakek dan nenek sudah pengen di jemput, bilang saja, ya. Supaya kami bisa jemput nenek dan kakek," ucap Jihan sambil melepaskan pelukannya."Iya. Kalian hati-hati di sana, ya. Sering-seringlah berkabar," ujar Nek Rum.Hari ini, Alfian dan Jihan di bawa ke kota untuk tinggal di sana bersama keluarga Brahma. Awalnya Alfian keberatan namun setelah mendapat pengertian dari nenek dan kakek, Alfian mendengarkan dan mau pergi ke kota.Entah bagaimana ceritanya besok di sana yang penting sekarang Alfian masih menjadi suami pura-pura untuk Jihan supaya menyelamatkan Jihan dari lelaki yang tidak dia cintai."Al, kamu tidak ingin berpamitan pada Hanum?" Tanya Jihan dengan nada lirih.Alfian tersenyum sambil menggelengkan kepala, tangan kanannya sudah memegang tali ransel sebelah kanan yang menempel di dada. "Tidaklah. Aku sudah tidak punya harapan lagi," jawab Alfian sambil berbisik."Yakin? Terus rencana kita bagaimana?""Nanti kita bicarakan di sana.""Jihan. Masuk!" Cetus Brahma dengan nada sedikit sinis.Seketika Jihan memandang sang papa dengan mata membelalak, jantungnya berdegup kencang seolah takut sifat asli sang papa kembali lagi seperti sebelumnya.Tanpa pikir panjang Jihan melangkah ke sisi mobil sambil memegang lengan Alfian."Aku naik motor saja, Ji," ucap Alfian setelah Jihan duduk di dalam mobil."Kenapa?" Tanya Jihan memandang Alfian."Naik mobil saja. Di rumah kami tidak terbiasa memajang motor," timpal Brahma yang hendak naik di bagian depan.Alfian memandang Brahma sambil masuk dan duduk di samping Jihan. Pemuda itu masih saja berpikir positif pada Brahma, namun, sang nenek sudah memiliki firasat tak enak sehingga wanita tua itu memandang sang
"Bisa. Pasti bisa," ucap Jihan meyakinkan."Sekarang istirahat lah di kamar, sayang," ucap Brahma sambil terisak.Jihan mengangguk, wanita itu melangkah ke kamar di ikuti Alfian di belakangnya. Semua orang yang ada di di sana masih fokus dengan pulih nya sang ratu dalam rumah.Bruk!Jihan menghempaskan tubuhnya di ranjang, tubuhnya menggeliat untuk melepaskan rasa lelah yang sangat luar biasa. Kelegaan dalam hati dan pikiran membuatnya terasa kantuk."Ji, besar banget kamar kamu," ucap Alfian sambil duduk di tepi ranjang."Biasa saja," jawab Jihan dengan mata terpejam."Kamu kan punya adik, kok tadi adik kamu tidak ada?" Tanya Alfian sambil melepaskan ransel yang masih di gendong sedari tadi."Mungkin dia lagi keluar. Al, sekarang apa yang akan kamu lakukan?""Maksudnya?""Almera. Kamu tidak cari tahu di mana dia?"Alfian tersenyum sambil menghela nafas, "Biarlah, biar semua berjalan dulu. Siapa tau suatu saat nanti ada jalan terbaik," ucap Alfian sambil tersenyum.Jihan beranjak dari
Mata Jihan membulat memandang sang mama yang saat ini tersenyum padanya, wanita itu sekilas melirik ke arah Alfian namun Alfian masih sibuk dengan gawainya."Tanya Alfian, Ma. Kalau aku belum siap," jawab Jihan sambil mengambil air mineral yang sedari tadi ada di samping piring miliknya."Loh, kenapa belum siap?" Tanya Sandra."Nanti keburu tua," cetus Tasya."Untuk apa cepat-cepat punya anak yang akhirnya bukan dia sendiri yang urus," timpal Jihan kesal.Alfian mematikan gawai yang ada di tangannya, pesan yang baru saja masuk ternyata dari Safitri. Wanita itu memberi kabar oleh Alfian kalau bos pemilik perusahaan itu memintanya untuk kembali bekerja di sana.Alfian bingung dengan sifat mereka yang diam, sementara dia benar-benar tidak mendengar obrolan apa yang baru saja di bahas oleh mereka."Al, di tanya mama tuh," jawab Jihan."Ada apa, Ma?" Tanya Alfian memandang Sandra."Kapan kalian berencana punya anak? Mama pengen gendong cucu dari kalian," ucap Sandra.Alfian menelan ludah,
Mata Tasya fokus memandang papa karena lelaki berkumis tebal itulah yang merespon ceritanya dari antara mereka yang ada di sana. Tasya lebih terlihat ceria di hari-hari biasanya, seperti telah melepaskan beban yang selama ini dia pikul sendiri.Tasya terus menyuap nasi sambil sesekali melirik ke arah Alfian. Wanita itu tidak segan-segan tersenyum lebar di depan kakaknya, dalam hatinya dia telah menemukan sahabat baru dalam hidupnya."Memangnya selama ini kamu enggak pernah jalan sama suami kamu? Sampai-sampai mereka kepikiran kalau kamu sudah menikah lagi. Kapan terakhir kamu jalan dengan suami kamu? Lima bulan kah atau setahun?" Tanya Jihan dengan nada datar tanpa memandang Tasya."Jangan pernah tanyakan hal itu padaku," ucap Tasya sedikit ketus."Kenapa? Kalau suami istri jalan bareng itu hal yang wajar 'kan?" Jihan meraih segelas air mineral lalu meneguknya.Kedua orang tuanya hanya bisa diam dan saling tatap, mereka sekarang mengerti kalau putri sulungnya tidak suka suaminya jalan
"Enggak. Enggak apa-apa kok, emang hawanya malam ini panas aja mungkin," jawab Jihan gugup. Wanita itu mengibaskan beberapa kali telapak tangannya di dekat bagian leher.Alfian percaya begitu saja, pemuda itu mengambil bantal dan selimut miliknya yang ada di dekat Jihan tanpa curiga sedikitpun.Jihan membenahi bantal miliknya lalu merebahkan tubuhnya, seperti biasanya Alfian tidur di sofa sedangkan Jihan tidur di ranjang.Jihan tidak bisa tidur, pikirnya jauh pergi entah kemana setelah membaca pesan dari Safitri yang ada di gawai Alfian, sesekali wanita itu merubah posisi untuk mendapatkan posisi ternyaman. Namun, sampai jam menunjukkan pukul satu dini hari pun matanya belum juga terpejam."Ih, ada apa sih dengan pikiranku ini?" Bisiknya kesal sambil menghela nafas panjang. Matanya terbuka dengan wajah yang menghadap meja rias. Ingin rasanya mencari tahu apa maksudnya tapi wanita itu mengerti kalau dia tidak boleh gegabah."Sebenarnya ini ada apa sih? Apa bener Safitri hamil karena Al
Sandra masih duduk di kursi roda di ambang pintu sedangkan Tasya masih berdiri menghadap ke arah luar. Jihan melangkah mendekati mereka sambil mendengarkan sang adik yang masih merengek kepada mama."Tasya, kamu kenapa? Mau nomornya Alfian?" Tanya Jihan sambil menggeser-geser layar gawai, "Nih, catat," lanjutnya sambil melangkah mendekati mereka.Dengan sigap Tasya menghidupkan layar gawai lalu mencatat beberapa angka yang di sebutkan oleh kakaknya. Wanita itu tidak menyadari bahwa sang mama memandangnya dengan tatapan tak suka.Wajah Tasya tampak semringah setelah selesai mencatat nomor itu, dalam hati Jihan, Alfian bukanlah miliknya sehingga dia tidak seharusnya melarang siapapun yang ingin dekat dengannya."Sudah," ucap Tasya sambil tersenyum."Sudah? Lain waktu kamu jangan bohongi mama lagi, ya," ucap Jihan sambil tersenyum sinis."Bohongi mama? Maksudnya kamu apa sih, Mbak?" Tanya Jihan sekilas memandang sang mama yang masih memandang Jihan."Jadwal posyandu Zaky besok, bukan sek
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i
"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil memandang Alfian yang masih memandang cermin.Alfian menoleh, "Tanya?" Pemuda itu duduk di tepi ranjang menatap wajah Jihan yang tampak serius, "Tanya apa?""Safitri belum menikah 'kan?" "Belum.""Dia belum menikah tapi kenapa dia sudah ha—""Kamu tahu Safitri hamil? Dari siapa?" Potong Alfian dengan mata membelalak.Jihan menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pertanyaan yang selama ini dia pendam kini sudah keluar dari mulutnya. Wanita itu terus saja di hantui rasa takut akan suami pura-pura nya lah lelaki jalang itu.Rasa panas dingin di rasakan olehnya ketika menunggu jawaban dari Alfian, perlahan matanya memandang Alfian yang kini masih duduk di depannya."Aku, aku enggak sengaja buka chat kamu kemarin. Kepo aja nomor kakek dan nenek," jawab Jihan beralasan."Jadi kamu buka aplikasi hijau milikku? Bukannya penyimpanan nomor itu di kontak telepon?" Tanya Alfian kesal.Alfian beranjak dari duduknya, pemuda it
Tidak berselang lama, Jihan kembali dengan membawa tiga gelas jus jeruk. Wanita itu duduk di sebelah kanan Alfian sedangkan Safitri duduk di seberangnya."Ada. Aku ada fotonya," ucap Safitri sambil menggeser-geserkan layar gawai miliknya."Foto siapa, Al?" Bisik Jihan pada suaminya."Danu," sahut Alfian.Mata Alfian dan Jihan sama-sama melotot ketika Safitri menyodorkan gawainya yang terpajang foto Danu di sana. Ya, benar. Di sana ada Danu suami dari Hanum.Alfian menghela nafas panjang sambil menyandarkan punggungnya di dinding. Pemuda itu ingin marah kepada Danu tapi apa untungnya? Toh lelaki itu pilihan Hanum sendiri."Jadi rencana kamu gimana, Sa?" Tanya Alfian."Ya, kami akan menikah," sahut Safitri sambil tersenyum.Alfian hanya bisa mengangguk-anggukan kepala, pemuda itu tak dapat berkata apa-apa. "Terus aku di undang ke sini untuk apa, Al?" Tanya Safitri yang masih penasaran."Danu itu—""Eh, Al, ada sesuatu yang mau aku beli. Ini penting, ayo kita pergi." Jihan memotong pemb
Sejenak Jihan akan memanggil wanita itu namun dia mengurungkan niatnya dengan membalik badan. Wanita itu masuk ke dalam rumahnya dan tidak lama keluar kembali.Jihan mentransfer uang untuk ibu kost setelah meminta nomor rekening beliau tadi, untungnya aplikasi untuk mentransfer masih ada di gawainya. Dia sudah nyaman untuk tinggal di sana maka dia tidak keberatan untuk membayar langsung selama setahun. "Mbak Jihan, mau ke mana?" Tanya tetangga sebelah rumah yang kemarin sudah berkenalan dengannya."Mau ke kantor, Al, Bu. Ada urusan dadakan," sahut Jihan sambil mengunci pintu."Oh, baru juga sebentar di tinggal, Mbak. Kangen, ya?" Ucap wanita itu dengan nada menggoda.Jihan tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala, ada-ada saja tingkah wanita itu. Tapi sebenarnya jauh di lubuk hati Jihan memang merasa senang dia akan bertemu dengan Alfian, padahal baru beberapa jam saja dia di tinggal.Jihan menghentikan langkah ketika melihat seorang wanita muda tengah menjemur pakaian yang ada di
Jihan meletakkan kembali gawai yang ada di tangannya dengan mata berkaca-kaca, kepalanya mendongak dengan memandang langit-langit rumah sembari menghela nafas panjang.Usahanya untuk menahan air mata yang hendak jatuh tak berhasil, air mata itu tetap jatuh membasahi area pipi. Wanita itu mengambil kembali gawai bukan untuk menjawab telepon melainkan mematikan daya gawai."Ma, maafin aku, Ma. Lebih baik aku pergi daripada aku harus tinggal sama papa."Jihan kembali beres-beres rumah dengan air mata yang sesekali masih menetes. Namun, sekuat hati wanita itu mencoba mengalihkan pikirannya ketika melihat isi dapur masih terlihat kosong..."Al, apa sebaiknya aku cari rumah kost sendiri, ya?" Tanya Jihan di saat mereka tengah makan malam yang baru di beli Alfian."Loh, kenapa? Kamu masih belum percaya sama aku kalau aku bakal menjaga—""Bukan itu maksudku, Al.""Lantas?" Tanya Alfian sambil memandang Jihan.Jihan dan Alfian duduk di lantai beralaskan tikar plastik, mereka tampak seperti p
Ayu tersenyum sinis memandang Jihan, sayangnya Brahma Utama tidak memperhatikannya. Lelaki paruh baya itu fokus memandang sang putri dengan sangat marah."Pa—""Jihan! Sudah papa peringatkan kamu, kalau kamu tidak bisa terima dengan keputusan papa ini sebaiknya kamu pergi!" Ucap Brahma Utama dengan nada lantang.Rasa emosi Jihan tidak bisa di bendung lagi, tanpa pikir panjang wanita itu menutup dengan kuat daun pintu sehingga menyebabkan suara sangat keras.Jihan mengambil sebuah koper dari atas almarinya, wanita itu menyusun beberapa baju miliknya dan juga peralatan serta perlengkapan dirinya.Tidak menunggu waktu lama, wanita itu menuruni anak tangga dengan menarik gagang koper berwana hitam. Langkahnya sejenak berhenti ketika melihat sang papa dan wanitanya duduk berdua di kursi makan."Eh, mau ke mana kamu, Mbak?" Tanya Tasya terkejut, wanita yang masih duduk di kursi yang ada di teras itu beranjak sambil meletakkan gawai di atas meja."Aku mau pergi, Tasya. Enggak ada lagi sainga
Jihan yang tengah duduk di lantai dengan kedua tangan melipat di atas lutut, kini berdiri tegap sambil memandang sang adik."Tasya, sampai kapan kamu anggap aku ini musuh? Hah?" Tanya Jihan sambil melangkah ke arah Tasya."Aku bukan menganggap, tapi kamu memang musuhku," ucap Tasya dengan ketus."Apa salahku? Apa?" Teriak Jihan."Kamu enggak sadar? Semua kasih sayang mama kamu ambil, Mbak. Mama lebih sayang sama kamu dan mama lebih perhatian sama kamu, mama enggak pernah memberi perhatian yang sama sepertimu," ucap Tasya dengan rasa geram.Unek-unek di dalam hati kini telah keluar dari mulut Tasya, selama ini wanita itu hanya bisa memendam karena tiada tempat mengadu. Jika mengadu kepada sahabatnya, hal inilah yang dapat merendahkan dirinya karena dia selalu bercerita dialah yang terbaik di rumah ini."Kamu enggak pergi saja ikut suamimu? Ngapain lagi kamu di sini, mau jadi janda?" Ucap Tasya dengan nada ketus dan wajah sinis."Aku di sini untuk mama, bukan untuk hidupku," jawab Jihan
Secepatnya Jihan menjawab telepon, "Halo, Pa," sapa wanita itu setelah menggeser layar gawai ke arah kanan."Jihan, kamu kenapa belum sampai?" Tanya Brahma Utama dari seberang."Pa, Jihan mendadak tidak enak badan," jawab Jihan dengan nada lirih. Jantungnya berdegup kencang setelah mengingat wanita yang di bawa sang papa telah di usir olehnya."Ya, sudah. Papa cari pengganti saja," jawab Brahma Utama lalu mengakhiri panggilan.Jihan menghela nafas panjang sambil memandang Alfian yang masih duduk di tepi ranjang tengah memandangnya."Al, kamu enggak ke kantor?" Tanya Jihan."Enggaklah, besok saja," jawab Alfian sambil membuka sepatu yang dia kenakan."Berangkat saja, aku enggak kenapa-kenapa kok," ujar Jihan sambil menyeka poni ke belakang telinga.Alfian menggelengkan kepala, pemuda itu tahu kalau masalah yang sedang di hadapi istrinya sangat rumit. Setelah membuka sepatu pemuda itu masuk ke dalam kamar mandi."Al, aku ke kamar mama dulu, ya," ucap Jihan sambil memandang Alfian yang t
"Ih, ngaco kamu," ucap Jihan dengan bibir manyun.Gelak tawa Alfian menggelegar, tak pernah di bayangkan pemuda itu bisa berkenalan dengan wanita secantik dan sebaik Jihan. Sungguh beruntung hidupnya setelah bertemu Jihan, kini dia tidak lagi pusing memikirkan keperluan nenek dan kakeknya yang ada di kampung karena semua fasilitas dan kebutuhan sudah di penuhi oleh Jihan, bahkan setiap bulannya Jihan mampu mengirimkan uang yang lebih dari yang sebelumnya di kirimkan oleh Alfian untuk nenek dan kakeknya..."Sayang, nanti kalau kamu sudah pulang, telpon aku, ya. Jangan naik angkot," ujar Alfian sambil mengunyah."Memangnya kamu mau pulang jam berapa?" Tanya Jihan sambil memandang suaminya yang ada di samping."Ya, seperti biasanya," jawab Alfian sambil menelan makanan yang baru di kunyah.Sarapan pagi ini tampak ada yang kurang, di mana kursi milik Sandra masih kosong. Sedari tadi Jihan sesekali memandang ke arah kamar sang mama namun kamar itu masih tetap tenang dengan posisi tertutu
"Aku boleh tanya sesuatu?" Tanya Jihan sambil memandang Alfian yang masih memandang cermin.Alfian menoleh, "Tanya?" Pemuda itu duduk di tepi ranjang menatap wajah Jihan yang tampak serius, "Tanya apa?""Safitri belum menikah 'kan?" "Belum.""Dia belum menikah tapi kenapa dia sudah ha—""Kamu tahu Safitri hamil? Dari siapa?" Potong Alfian dengan mata membelalak.Jihan menghela nafas panjang sambil mengalihkan pandangan ke arah lain, pertanyaan yang selama ini dia pendam kini sudah keluar dari mulutnya. Wanita itu terus saja di hantui rasa takut akan suami pura-pura nya lah lelaki jalang itu.Rasa panas dingin di rasakan olehnya ketika menunggu jawaban dari Alfian, perlahan matanya memandang Alfian yang kini masih duduk di depannya."Aku, aku enggak sengaja buka chat kamu kemarin. Kepo aja nomor kakek dan nenek," jawab Jihan beralasan."Jadi kamu buka aplikasi hijau milikku? Bukannya penyimpanan nomor itu di kontak telepon?" Tanya Alfian kesal.Alfian beranjak dari duduknya, pemuda it
Jihan tertawa lepas sambil menutup mulutnya, wanita itu sangat terlihat bahagia sampai-sampai dia tidak menghiraukan beberapa pasang mata menyaksikan mereka.Jihan memegang tangan Alfian lalu berjalan ke arah pintu masuk, gedung yang tinggi di penuhi dengan pengunjung untuk berbelanja yang mereka perlukan."Eh, Al! Itu," ucap Jihan menghentikan langkahnya sambil memandang ke arah jalan yang ramai pengunjung."Ada apa?" "Itu, anu. Ih, siapa itu, suami Hanum," ucap Jihan sambil menarik lengan Alfian dengan langkah panjang dan suara terbata."Mana ih? Jangan suudzon, ngapain suami Hanum sampai sini," ucap Alfian sambil terus mengikuti langkah Jihan.Jihan terus memantau lelaki berjaket kulit serta celana jeans yang sedang menggandeng seorang wanita, wanita itu celingukan karena pandangannya terhalang oleh beberapa pengunjung lain.Entah kenapa langkah mereka kalah sehingga mereka kehilangan jejak, Jihan menghentikan langkah sambil menoleh ke arah kanan dan kirinya."Ji, yang bener aja i